Atikah Yuniar Rahma was born in East Kalimantan and raised in South Kalimantan. Rahma has been fond of reading all her life. As she grew older, she explored various reading genres, such as poetry, short stories, and novels. Her desire to become a writer began with her interest in reading literary works.
In 2021, she continued her higher education in the English Language Education Study Program, at Mulawarman University. Rahma participated in the English Language Education Student Association at the university. She also interned as a teacher for four months in the Kampus Mengajar Program organized by the Ministry of Education, Culture, Research, and Technology. During her senior year of college, Rahma spent seven months teaching with fellow teachers at the English Legion Language Training Institution. While conducting research for her thesis, she wrote short stories. Batimbang Safar is her first published short story.
Atikah’s winning question: As an academic and an author, what is your most proficient method of writing?
Atikah Rahma at atikahyuniar@gmail.com
***
Batimbang Safar
Gia berdiri di tepi jalan tempat pemberhentian sementara kendaraan. Dia baru saja tiba dari Pulau Jawa tempat kerjanya dan sedang menunggu mobil antar-jemput. Kali ini Gia tidak dijemput oleh ayah atau kakaknya. Ayahnya sakit dan kakaknya sedang sibuk dengan pekerjaannya. Sudah lebih dari setahun Gia tidak pulang kampung ke kota asalnya, Tanjung Tabalong, Kalimantan Selatan. Di kecamatan itu dia dilahirkan dan dibesarkan hingga menempuh bangku Sekolah Menengah Atas. Untuk sampai di sana dia masih harus menempuh perjalanan darat sekitar lima jam lagi dari bandara Syamsudin Noor dengan menggunakan kendaraan umum.
Tabalong adalah sebuah kabupaten di Kalimantan Selatan, sedangkan Tanjung adalah kecamatan yang menjadi pusat kabupaten itu. Namun, orang sudah biasa menyebut kecamatan itu Tanjung Tabalong. Bahasa yang digunakan sehari-harinya adalah bahasa Banjar dan bahasa Indonesia, sama dengan daerah atau kabupaten lain di Kalimantan Selatan. Di kota yang tidak terlalu ramai itu, adat dan budaya serta kearifan setempat masih banyak diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Di dalam lubuk hati Gia, ada perasaan rindu dengan kampung halaman. Rindu akan udaranya yang sejuk, makanan khasnya, terutama masakan ibunya, dan rindu bertemu dengan kawan lamanya.
Satu jam lagi Gia akan tiba di rumah. Dia memandangi suasana kecamatan Tanjung Tabalong dari balik kaca jendela mobil. Ada beberapa perubahan yang terlihat menghiasi pusat kabupaten itu. Tampak gerbang nan megah di jalan baru, jalan yang dibangun untuk pengembangan dan perluasan kota. Selain itu, berdirinya bangunan baru berupa ruko di tanah kosong dekat pom bensin sepertinya sudah siap huni. Keadaan jalan juga dirasa lebih mulus dibanding keadaan sekitar setahun lalu, ketika dia terakhir kali pulang untuk menghadiri pernikahan Al, kakaknya.
Mobil membawa Gia tiba di lampu merah tugu obor yang sangat terkenal karena kekhasannya. Bangunan termasyhur itu mengeluarkan kobaran api dari pipa gas yang disalurkan oleh perusahaan gas milik negara. Karya seni dengan kobaran api yang dia lihat saat ini sangatlah bersinar karena dikelilingi oleh lampu-lampu hias berwarna-warni yang terlihat lebih jelas di kala malam. Gia terbuai dalam lamunan.
Mobil yang membawa Gia melanjutkan perjalanan berbelok ke kanan, ke wilayah permukiman Tanjung Bersinar. Rumahnya berada tidak terlalu jauh dari pintu masuk perumahan. Sebelumnya, dia telah mengirimkan sebuah pesan kepada ibunya bahwa sekitar lima menit lagi dia akan tiba di rumah.
“Pak, berhenti di situ ya. Rumah warna abu-abu berpagar hitam,” kata Gia pada sopir. Gia yang duduk di kursi belakang pengemudi sejak tadi pandangannya tidak lepas dari teras rumah yang tampak dari kejauhan. Mobil berhenti tepat di depan rumahnya, dan dia melihat kedua orangtuanya dan Al yang beranjak dari teras dan berlari kecil menuju ke arah gerbang pagar yang terbuka.
Sopir turun dan melangkah ke arah belakang mobil untuk mengeluarkan koper Gia dan beberapa tas berisikan oleh-oleh. Gia membuka pintu mobil, bergegas turun sambil membawa tas punggung, dan langsung menghampiri orangtuanya.
“Mama, Abah!” Gia memanggil kedua orangtuanya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
Gia meraih uluran tangan Mama dan menciumnya, lalu mencucup tangan Abah, kemudian Gia memeluk keduanya. Tidak lupa, Gia juga mengecup tangan abangnya yang sekarang telah menjadi seorang ayah.
“Sehat, Nak? Gimana perjalanannya?” Mama merangkul pundak Gia dengan tatapan penuh kasih.
“Alhamdulillah baik Ma. Lancar aja,” Gia kembali memeluk Mama.
“Abah sehat, ‘kan? Gimana kakinya yang jatuh minggu lalu? Masih bengkak?” cecar Gia menanyakan kabar Abah.
“Iya Nak, sudah berkurang sakitnya,” Abah meyakinkan Gia sambil mengucapkan hamdalah.
“Kak Laila mana, Bang?” Gia bertanya kepada Al keberadaan kakak iparnya.
“Ada di kamar. Lagi menyusui si kecil. Nanti Abang panggil.” Al mengambil barang bawaan Gia yang bergegas menghampiri sopir untuk membayar ongkos perjalanan. Kemudian Gia, Abah, Mama, dan Al masuk ke dalam rumah.
Gia dan Abah berjalan menuju ruang tamu. Mereka kemudian duduk di kursi. Mama menuju ke dapur sambil berkata, “Mama mau bikin teh sekalian kopi buat Abah.”
“Iya Ma. Jangan terlalu manis ya tehnya!” Gia menaruh tas punggungnya di atas kursi di ruang tamu.
Al menaruh barang bawaan Gia di samping kursi panjang itu. Setelah itu, dia ke kamar untuk memanggil Laila.
Beberapa saat kemudian, Al kembali ke ruang tengah bersama Laila dan si bayi dalam gendongannya.
Gia bangkit dari duduknya dan menghampiri kakak iparnya, mencium tangannya lalu mengalihkan pandangannya ke bayi perempuan dalam gendongan kakak iparnya. “Ihh lucunya keponakanku. Mirip banget mukanya sama Abang. Gemas tante Gia liatnya.” Gia memandang keponakannya sambil memainkan jemari mungilnya yang lembut. “Gimana Kak Laila kabarnya, sehat?”
“Sehat Gia,” senyum Laila merekah.
Ingin sekali rasanya Gia menggendong keponakannya, tetapi dia menyadari belum membersihkan diri. Al dan Laila tersenyum melihat Gia menarik kembali tangannya yang terulur untuk menggendong keponakannya.
“Gia ada bawa oleh-oleh kesukaan Abang,” Gia berkata sambil berjalan mengambil tas oleh-oleh di samping kursi panjang. “Ini ada bolu lapis talas Bogor, khusus untuk Abang.”
“Wih enak nih. Tau aja kesukaanku. Makasih ya.” Al tersenyum lebar menerima pemberian adiknya. Mereka pun bersama Abah duduk di kursi tamu sambil makan oleh-oleh lainnya yang dibawa Gia, yakni bika Bogor talas ubi dan keripik pisang.
“Gimana kerjaanmu? Ga mau coba cari kerja di sini?” Al bertanya di sela menikmati oleh-oleh.
“Belum ada rencana sih, Bang. Mau cari pengalaman dulu lah,” jawab Gia sembari meraih keripik pisang.
Tidak berselang lama, Mama datang dengan membawa seteko teh dan secangkir kopi panas. Mereka pun larut dalam obrolan santai keluarga. Sesekali ada gelak tawa di sela-sela perbincangan santai. Laila pun, meski dengan bayi dalam gendongan, tidak ketinggalan, ikut larut dalam suasana gembira.
Al bekerja di salah satu perusahaan tambang di Kota Tanjung Tabalong. Dia dan Laila tinggal di sebuah rumah sewaan yang tidak terlalu jauh dari kediaman orangtua Gia. Namun, setelah Laila melahirkan, Mama meminta mereka menetap sementara bersamanya sampai hari tasmiyah tiba.
Perbincangan masih terus berlanjut hingga akhirnya Mama bertanya, “Gia mau makan atau mandi dulu?”
“Makan dulu aja Ma. Gia sudah lapar,” Gia tertawa kecil. Terdengar suara keriut memelas dari perut Gia.
Mereka langsung berdiri lalu kakinya menuju ruang makan.
“Iya Nak.” Mama seraya tersenyum lebar menempatkan sebuah mangkok besar berisi ikan patin dan udang yang dimasak dengan kuah bumbu santan kuning di meja.
Abah dan Al paling suka makan dengan lauk ikan patin masakan Mama. Dengan lauk itu nasi dan kuah santan kuning tidak tersisa di piring mereka. Sementara Gia dan Laila lebih suka dengan udangnya. Mama senang melihat masakannya dilahap habis.
Setelah menyelesaikan makan malamnya, Gia pergi ke kamarnya sambil membawa kopernya. Lalu, sebelum salat Isya, dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari itu, hari yang sangat melelahkan baginya, telah selesai.
***
Keesokan harinya, begitu bangun dari tidur nyenyaknya, Gia langsung menuju ruang makan untuk sarapan. Loceng dinding menunjuk waktu telah hampir pukul sembilan.
“Ya ampun, anak gadis Mama baru bangun,” Mama yang berada di dapur menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Gia.
“Sudah bangun dari tadi Ma, tapi Gia tidur lagi abis salat Subuh,” kata Gia menarik kursi di meja makan dengan mata yang masih sayu.
Setelah membereskan piring dan gelas sisa sarapan keluarga di pencucian piring, Mama menghampiri Gia. “Ini ada nasi kuning, Nak. Kalau mau teh, rebus air. Teh yang di teko, sisa Al tadi, sudah dingin. Cuma kamu aja nih yang belum sarapan, Sayang.” Mama mengelus rambut Gia. “Oh, iya nanti bilang ke Abang ya, antar sayur lodeh ke tempat Nenek. Itu sudah Mama siapkan di wadah.” Mama menunjuk wadah bening berpenutup di atas meja makan. “Bilang juga ke Abang, nanti malam jam delapan kita mau ke rumah Nenek,” jelas Mama.
“Iya Ma. Abah mana Ma?” Gia balik bertanya.
“Abah di teras kayaknya. Biasanya Abah pagi baca berita daring di ponsel.”
Gia duduk di meja makan. Satu bungkus nasi kuning dia habiskan tanpa sisa. Dia baru beranjak dari kursi ketika melihat abangnya berjalan ke ruang makan. “Bang, disuruh Mama antarkan sayur lodeh ke tempat Nenek ya. Bilang juga ke Nenek nanti malam jam delapan kita mau ke rumahnya.”
“Siap, Bos,” canda Al.
Sehabis sarapan, Gia membantu mamanya bersih-bersih rumah. Seharian Gia menghabiskan waktunya dengan menemani keponakannya.
Malam harinya, Gia dan keluarga menuju rumah Nenek menggunakan mobil yang dikemudikan oleh Al. Setelah kurang lebih lima belas menit, terlihatlah pintu rumah Nenek yang terbuka.
“Assalamualaikum,” terdengar suara berat Abah mengucapkan salam.
“Waalaikumussalam ….” Amang Dani, adik ipar Abah menjawabnya. Begitu mendengar jawaban, Abah langsung masuk dan Amang Dani segera bangkit dari duduknya dan menghampirinya.
Nenek beserta Acil Aluh – istri Amang Dani – yang sedang duduk, beranjak menyambut kedatangan Gia dan keluarganya. Mereka pun bersalam-salaman.
“Ya Allah Gia lawasnya ikam kada bebulik sehat aja kah?” kalimat pertama yang dilontarkan Nenek saat bertemu dengan Gia. Nenek menanyakan kabar atas kepulangan Gia ke kampung halamannya. Nenek meraih kepala Gia dan mencium kening serta pipinya berulang kali.
“Sehat Ni. Nini kayapa habarnya?” Gia menjawab bahwa dia dalam keadaan baik dan sehat. Dia juga menanyakan kabar Nenek.
Nenek tersenyum, “Nini kaini ni ay kada tapi kawa bediri lawas dah tuha, tapi Alhamdulillah baik aja.” Dia menjelaskan bahwa sekarang tidak bisa berdiri terlalu lama karena sudah renta. Namun, dia bersyukur, secara keseluruhannya, kesehatannya baik-baik saja.
“Ini oleh-oleh selendang gasan Nini lawan wadai bika” Gia menyampaikan kepada Nenek bahwa dia membawa selendang dan bika bogor talas ubi untuk Nenek sekeluarga. Nenek menyambut pemberian Gia dengan sumringah. Kemudian, Nenek mengajak keluarganya untuk makan.
Rumah Nenek merupakan rumah sederhana berbahan kayu. Tidak ada meja makan di rumah Nenek sehingga mengharuskan yang hadir untuk makan lesehan. Hidangan makan malam telah tersaji di ruang tengah yang biasa digunakan sebagai ruang makan. Ada soto Banjar yang hanya perlu diberi kuah yang wadahnya di atas kompor dan iwak babanam, ikan bakar khas Banjar. Sajian itu dilengkapi dengan kue bingka pisang, kue lumpur khas Banjar, serta es sirup merah.
“Nini handak soto Banjar kah? Kena Gia tuangkan kuahnya.” Gia menawarkan diri untuk melayani Nenek.
“Hiih Gia. Beri sambal seikit lah Gia,” Nenek minta sotonya diberi sedikit sambal.
Gia ke dapur untuk memenuhi pesanan Nenek. “Ini Ni sotonya. Begamat lah Ni, masih panas. Gia meambil air putih hulu setumat.” Gia memberikan semangkuk soto Banjar kepada Nenek lalu mengambil air putih. Setelah itu, dia pun ikut bergabung menikmati sajian Nenek. Gia memilih iwak babanam dan makan lesehan bersama yang lainnya.
Selesai makan bersama, Gia membantu Acil Aluh membawa piring kotor ke dapur. Mereka berdua mencuci piring bersama. Sementara itu, di ruang tengah, terdengar obrolan santai yang sesekali diselingi gelak tawa.
Gia dan Acil Aluh kembali ke ruang tengah setelah membereskan cucian piringnya. Gia duduk bersila di samping Laila, sedangkan Acil Aluh duduk di samping Mama. Obrolan semakin asyik setelah mereka bergabung membentuk lingkaran. Mereka bertanya kepada Gia mengenai kehidupannya selama di perantauannya di Bogor.
“Alhamdulillah, seberataan kawa bakumpul hari ini. Nini himung banar lawas kita kada bakumpul lengkap. Ada Gia cucu Nini hanyar bulik dari perantauan,” Nenek mengungkapkan rasa senangnya dapat berkumpul bersama lebih-lebih dapat bertemu Gia yang pulang ke kampung halamannya.
“Al pulang beisi anak halus bebinian. Pabila jar handak syukuran Mat?” Nenek menanyakan kepada Abah, yang biasa dipanggilnya Amat, mengenai rencana syukuran cicitnya yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
“Insya Allah dua minggu lagi Ma, tanggal dua puluh satu,” jawab Abah.
“Uhh … ayu ja. Nini handak selajur diadakan Batimbang Safar anaknya Al karena inya lahir bulan Safar selajuran mendoakan cicit nenek supaya dijauhi dari bala,” Nenek berkeinginan untuk mengadakan Batimbang Safar buat mendoakan cicitnya agar terhindar dari musibah.
Sontak segenap yang hadir terkejut. Apa yang ada di benak Nenek sehingga secara tiba-tiba dia ingin mengadakan acara Batimbang Safar buat cicitnya?
Ada banyak sekali budaya Banjar yang dilakukan untuk mencari berkah dalam menjalani kehidupan, acara budaya yang sarat doa. Salah satunya adalah Batimbang Safar. Batimbang, bahasa Banjar, berarti “menimbang,” sedangkan Safar adalah nama bulan kedua dalam penanggalan Hijriah. Sebagian masyarakat Banjar, penduduk yang bermukim di Kalimantan Selatan, meyakini bahwa bulan ini penuh dengan malapetaka. Dalam Batimbang Safar, bayi yang lahir di bulan Safar ditimbang dalam sebuah timbangan yang berbentuk ayunan. Bayi itu ditempatkan di salah satu ayunan, sedangkan ayunan yang lain diisi dengan hasil bumi seperti tebu, kelapa muda, dan ketan. Upacara dilangsungkan dengan diiringi lantunan ayat suci Alquran.
Pada pelaksanaan upacara, ayunan ditempatkan di ruang tengah rumah. Untuk penyangga ayunan digunakan batang pohon bangkal ⸺ tanaman khas Kalimantan Selatan yang umumnya digunakan sebagai bahan baku bedak dingin. Di setiap ujung batang pohon, sarung dipakai sebagai ayunannya.
Timbangan dilakukan tiga kali. Bayi ditimbang dengan mushaf Alquran pada timbangan pertama. Pada timbangan kedua, bayi ditimbang dengan beras ketan. Terakhir, bayi ditimbang dengan kelapa muda dan tebu merah. Pada setiap penimbangan, bayi baru dikeluarkan dari ayunan setelah beratnya seimbang.
Batimbang Safar dilangsungkan dengan tujuan untuk mendoakan bayi yang lahir pada bulan Safar agar dia terhindar dari malapetaka dan hidup dengan penuh berkah. Upacara itu dapat dilaksanakan pada saat melakukan syukuran pemberian nama kepada bayi yang baru lahir.
Gia dan Al tidak lahir pada bulan Safar sehingga Batimbang Safat tidak perlu dilakukan untuk mereka. Kalau pun Gia dan Al lahir di bulan Safar, orangtuanya pasti menolak untuk menyelenggarakan Batimbang Safar. Abah memang tidak sependapat dengan Nenek dalam hal ini. Abah dan Mama percaya bahwa bulan lahir dari seorang anak, apa pun bulannya, semuanya sama baiknya.
Mendengar usul Nenek untuk mengadakan Batimbang Safar buat cicitnya, Abah mengutarakan pendapatnya, “Ma, zaman sekarang sudah jarang sekali budaya Batimbang Safar dilakukan. Semua bulan itu sama baiknya. Cukup syukuran saja. Rezeki dan maut sudah diatur-Nya.”
Nenek tampak sedikit kesal dengan pendapat Abah. Dia menghela nafas sebelum berujar, “Nini handak yang terbaik gasan anaknya Al cicit nenek. Ini sudah kebiasaan budaya kita. Amun lain kita yang manaruskan siapa lagi?” Nenek ingin yang terbaik untuk cicitnya, begitu katanya. Batimbang Safar akan hilang jika masyarakat Banjar sudah enggan untuk melakukannya, begitu kekhawatirannya.
Ibu Gia tidak tinggal diam, dia berkata, “Ma, sebelumnya saya minta maaf. Maksud Mama baik, tapi kita tidak perlu mengadakan Batimbang Safar. Sama seperti Mama, kami semua ingin yang terbaik untuk cicit Mama. Mengadakan syukuran kami rasa sudah cukup.”
Di luar perkiraan semua yang hadir, Nenek terlihat mulai naik pitam. Dengan suara tinggi dia berkata, “Kada handak tahu anaknya Al harus Batimbang Safar! Buhan kam ni handak dapat bala kah?” Nenek meminta Batimbang Safar harus tetap diadakan. Jika tidak, keluarga mereka akan mendapat malapetaka, begitu dia menegaskan.
“Astaghfirullahaladzim,” ucap semua yang ada di ruang itu nyaris berbarengan. Jika Nenek sudah marah, siapa pun akan merasa segan untuk membantah pendapatnya.
Namun, Abah kembali menyampaikan pemikirannya, “Bukan begitu Ma. Banyak orang di luar sana yang lahir di bulan Safar, tetapi mereka tidak melakukan Batimbang Safar. Sejauh yang saya tahu, tidak ada masalah. Saya percaya nasib baik-buruknya anak tidak bergantung pada bulan apa dia dilahirkan.”
Nenek tidak lagi menutupi kemarahannya. Dengan lantang dia berkata, “Buhan ikam ni dasar kada beres. Niat Nini baik gasan keluarga kita.” Setelah melahirkan kemurkaannya, Nenek merajuk diam. Dia menatap lurus ke depan dengan kesal.
Amang Dani dan Acil Aluh tidak berani berkata-kata. Sementara Al, Laila dan Gia hanya bisa diam mendengar serunya adu mulut tersebut. Mereka tidak berani mengutarakan pendapatnya karena takut memperkeruh keadaan. Mama tampak kaget melihat begitu marahnya Nenek. Sedikit beda dengan Abah yang paham betul dengan sifat Nenek. Namun, dia tidak akan melanjutkan percakapan.
Suasana jadi hening. Sementara malam sudah semakin larut. Waktu menunjukkan hampir jam sepuluh.
“Ulun bulik dulu Ma. Kena ulun pikirkan,” tiba-tiba suara Abah memecah keheningan. Abah berdiri, lalu melangkah menghampiri Nenek untuk berpamitan. Seperti halnya Abah, Mama, Al, Laila, dan Gia mencium tangan Nenek sebelum melangkah keluar meninggalkan rumahnya. Amang Dani dan Acil Aluh mengantarkan kepergian tamunya sampai di pinggir jalan.
***
Pada sore hari, seminggu semenjak kejadian tidak mengenakkan di rumah Nenek, Abah, Mama, Al, Laila, dan Gia berkumpul di ruang tengah menonton tayangan hiburan di televisi sambil menikmati sukun goreng. Abah sudah mencoba menelepon Amang Dani untuk berbicara dengan Nenek, tetapi Nenek enggan bercakap-cakap dengan Abah.
“Bah, gimana jadinya? Kita mau mengadakan Batimbang Safar atau tidak?” Mama bertanya sambil menonton acara di televisi.
“Nanti Abah ke rumah Nenek coba bujuk lagi. Semoga Nenek melunak,” kata Abah.
Gia yang ikut mendengarkan percakapan itu mengangguk. “Iya Bah. Gia setuju. Semoga Nenek sudah tidak marah lagi.”
“Kalau Al terserah Abah aja. Al ikut aja,” Al pun mengemukakan pendapatnya.
Dua hari kemudian, Abah memberi kabar kepada Mama, Al, Laila, dan Gia bahwa dia sudah berkunjung ke rumah Nenek. Dia membujuk Nenek tentang tidak perlunya mengadakan Batimbang Safar. Abah juga menceritakan mengenai keraguan Nenek. Akhirnya, Abah, demi menjaga perasaan Nenek, memutuskan untuk melaksanakan upacara itu bersama syukuran kelahiran cucunya.
Tiba saatnya hari acara syukuran sekaligus upacara Batimbang Safar untuk bayi Al dan Laila diselenggarakan.
Setengah jam sebelum acara yang direncanakan dimulai jam sepuluh pagi, Nenek datang bersama Amang Dani sekeluarga. Abah menyambut kedatangan Nenek lalu menuntunnya untuk duduk di ruang tengah. Belum terlihat kehadiran para tamu undangan. Nenek, dengan isyarat tangannya, menyuruh Abah untuk duduk di sampingnya.
“Mat, tidak perlu mengadakan Batimbang Safar,” kata Nenek pelan.
Abah kaget atas apa yang Nenek katakan. “Tidak perlu?” kata Abah memastikan pendengarannya.
Nenek sambil tersenyum mengangguk, “Setelah Mama pikir, bujur jua jar ikam. Semua bulan itu sama baiknya. Mama jua ada mendengar ustadz bepandir kayak itu.” Nenek mendengar perkataan seorang ustadz, orang yang dia hormati karena budi pekertinya, yang menyampaikan pendapatnya kepada Nenek tentang Batimbang Safar. Ternyata, pendapat ustadz itu mirip pendapat Abah.
Kemudian, Abah segera memanggil Amang Dani untuk memindahkan timbangan ayunan beserta perlengkapannya dari ruang tengah ke belakang rumah.
Tamu undangan telah berdatangan termasuk Ustadz yang akan memimpin acara syukuran. Sebelum mulai, Abah dengan sedikit gugup dan wajah tegang mengumumkan perubahan acara melalui pengeras suara. “Assalamualaikum Bapak, Ibu, dan para hadirin semua. Saya mengucapkan terima kasih Bapak, Ibu, Saudara semua sudah berkenan hadir dalam acara syukuran dan Batimbang Safar cucu kami. Namun, atas kesepakatan keluarga, kami akan mengadakan syukuran tanpa Batimbang Safar. Untuk itu saya mohon maaf. Selanjutnya, acara saya serahkan sepenuhnya kepada Pak Ustadz.”
Suasana menjadi sedikit riuh. Namun itu hanya sesaat karena acara langsung dimulai.
Gia bersyukur akhirnya Nenek tidak memaksakan kehendaknya. Sebagai seorang berpendidikan, Gia pun berpendapat bahwa kebaikan dan keburukan anak memang tidak tergantung pada bulan apa dia dilahirkan. Namun, ilmu yang didapatkan dari kampus dan pengalaman yang diperoleh dari kantornya di Bogor tidak mengizinkannya untuk sekadar meniru pemikiran Abah atau Nenek. Dia tidak dapat melupakan kata-kata Nenek tentang bakal punahnya upacara budaya Batimbang Safar, kekayaan budaya masyarakat Banjar. Dia berencana, bila kelak sudah menikah dan dikaruniai anak, untuk tetap mengadakan upacara budaya itu dengan niat semata-mata untuk mensyukuri karunia-Nya yang berupa buah hatinya – upacara budaya yang tidak ada sangkut-pautnya dengan ketakutan akan malapetaka yang akan menimpa seorang anak disebabkan bulan kelahirannya.
*****