Putri Sri Ardianti is a student of UIN Alauddin Makassar, majoring in English language and literature. Her interest in writing began when she was in high school, and she maintains a personal blog of her poems and favorite quotes. Puya ke Puya (Gramedia, 2015), a novel by Faisal Oddang, ignited her desire to write a book. Ardianti is the founder of the Rumah Perempuan LPG podcast, which each month broadcasts a new chapter that focuses on women’s empowerment.
Adrianty’s winning question: What is the message you wanted to convey, and which was harder for you; researching or writing the story?
Putri Sri Ardianti: putrisriardianti2@gmail.com
***
Dupa Terakhir
“Makamkan Emba segera, sebab tidak ada yang perlu kita tunggu lagi.” Kalimat ini bagi Iga bak sebuah mantra yang mengubah banyak hal, yang memperpanjang hari-harinya dan yang memperingkas waktu tidurnya.
Iga telah menjadi wanita yang terbiasa hidup dan menghidupi dirinya sendiri. Cintanya pada Emba telah membawanya sampai ke desa terpencil di pedalaman Sulawesi Selatan, yang begitu berbeda dengan tempat tinggal asalnya. Dia berasal dari daerah perkotaan. Iga tumbuh di antara gedung-gedung menjulang tinggi, tetapi di tempat ini hanya ada hutan lebat. Namun, itu semua tidak lagi penting baginya karena dia telah menentukan pilihannya. Pilihan itu membuatnya tidak punya alasan untuk pulang dan bertemu orangtuanya lagi.
Karena jika Iga kembali, dia akan dibunuh untuk menegakkan martabat keluarganya. Hal ini telah menjadi warisan turun-menurun di keluarganya. Walaupun tinggal di daerah perkotaan, adat Bugis ayahnya tetap dijunjung tinggi dalam keluarganya.
Apabila ada seorang gadis yang meninggalkan rumah, untuk kawin silariang, menikah tanpa persetujuan keluarga, dia haruslah kembali dengan mahar yang telah ditentukan pihak keluarga. Menurut adat Bugis, jika dia menampakkan diri tanpa mahar tersebut, keluarga berhak membunuhnya.
Tiga tahun terakhir yang dijalani Iga cukup mengacak-acak hidupnya. Cinta yang seharusnya hangat di meja makan setiap harinya harus dia relakan. Emba kini tidak lagi ada dalam hari-harinya. Emba telah dikubur bersama dengan harapan Iga untuk bisa pulang pada keluarganya. Kejadian itu sangat membekas di hatinya. Tahun lalu, pada hari yang begitu cerah, Emba berangkat bekerja dengan penuh semangat untuk mencari pundi-pundi rupiah agar bisa segera membawa Iga pulang pada keluarganya. Namun, sayang, hari yang cerah itu menjadi hari terakhir laki-laki itu untuk berjuang demi cintanya. Kematian telah sampai padanya lewat kecelakaan.
Namun, meskipun telah kehilangan Emba, Iga masih bertahan tinggal di desa ini. Dia sudah menyesuaikan diri dengan kebiasaan orang-orang di tempat ini. Kebiasaan adat, nada bicara orang yang tinggi, dan mencari nafkah dengan hanya mengandalkan pertanian, sudah tidak asing lagi baginya.
Salah satu kebiasaan adat kampung Emba yang telah Iga jalani sejak kepergian Emba adalah kebiasaan menyambut bulan suci Ramadhan.
Ramadhan adalah bulan kerinduan yang disambut dengan beragam cara di desa ini. Ada yang tertawa senang keliling kampung dengan obor di tangannya. Ada yang sibuk membersihkan sudut demi sudut tempat tinggalnya. Ada pula yang menyambut bulan suci dengan wangi dupa yang meruap di rumahnya.
Di antara pilihan-pilihan itu, Iga memilih untuk menyambut Ramadhan dengan meruapkan wangi dupa dan memberi makan kepada orang terkasih yang telah meninggal dunia. Kebiasaan ini membutuhkan berbagai hidangan seperti nasi dalam berbagai warna, ketupat, dan lauk-pauk yang biasanya berupa daging ayam atau telur. Acara itu dilangsungkan dengan bantuan orang pintar atau dukun yang ada di desa.
“Dua potong ayam, Pak,” ujar Iga pada laki-laki tua yang setiap hari lewat di depan rumahnya dengan gerobak usang. Iga memandang dagangan tukang daging dengan begitu bersemangat sebelum mengatakan, “Mendiang suami saya sangat menyukai itu.”
Tanpa banyak bicara, laki-laki itu langsung membungkusnya dan memberikannya pada Iga.
Orang-orang di desa ini percaya bahwa wanginya dupa dan lezatnya masakan yang dihidangkan dalam penyambutan bulan Ramadhan akan dinikmati oleh orang terkasih yang telah meninggal. Menghidangkan makanan kesukaan orang yang telah meninggal adalah bentuk cinta pada orang itu. Iga yang membeli daging ayam, memasak, dan menghidangkannya percaya bahwa suaminya akan dapat menikmatinya.
Setiap kali menuju Ramadhan, Iga menjadi orang yang sibuk. Dia mempersiapkan banyak hal untuk menyambut bulan itu. Dia percaya dapat mendatangkan suaminya petang nanti, walaupun tidak dalam keadaan kasat mata.
Begitu selesai mengolah bahan makanan, dan dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Iga memilih mengeluarkan baju-baju suaminya dari lemari, dan menyetrikanya. Masyarakat di desa ini juga percaya bahwa menyediakan pakaian orang yang telah meninggal merupakan penghormatan bagi mendiang tercinta. Mereka akan mengenakannya saat penyambutan datangnya bulan suci yang berlangsung pada petang, setelah salat Magrib.
Emba adalah laki-laki yang rapi, dan Iga tidak ingin almarhum kekasihnya itu memakai baju yang kusut karena telah tersimpan lama dalam lemari. Baju demi baju pun dia setrika, hingga dia menemukan kemeja biru yang sebenarnya sudah kurang layak untuk dipakai. Namun, suaminya dulu sangat menyukai baju itu. Bahkan, hampir setiap kali Iga selesai menyeterika baju itu, suaminya akan memakainya kembali. Iga tersenyum memandang baju itu, dan membatin, Suamiku tentu akan senang memakai baju kesukaannya ini.
Setelah selesai menyetrika pakaian suaminya, Iga beranjak menuju dapur untuk menyiapkan piring. Dia mengeluarkan piring-piring yang hanya dia gunakan pada saat-saat tertentu, seperti untuk penyambutan bulan Ramadhan. Sesuai dengan kepercayaan masyarakat, jumlah piring haruslah ganjil. Iga memilih untuk menghidangkan sembilan piring nasi beserta sembilan piring lauk-pauk.
Dengan wajah sumringah, Iga membersihkan piring-piring itu dari debu dengan hati-hati. Bahkan dia menggunakan kain baru, bukan kain yang biasa dia gunakan untuk membersihkan piring yang lainnya.
Matahari sore yang cukup panas menyorot itu kini menyapa Iga lewat jendela di dapurnya. Dia masih memandangi opor ayam yang telah tersaji di depannya. Wajahnya terlihat berbunga-bunga bagaikan orang yang baru saja menerima surat cinta dari kekasihnya. Dia percaya bahwa penyambutan yang dia rencanakan akan menghantarkan suaminya untuk menikmati hidangan yang telah dia persiapkan dengan penuh semangat.
Piring-piring itu kemudian dia isi dengan makanan yang dia masak seharian. Empat piring berisi nasi beras hitam, empat piring lainnya berisi nasi beras putih, dan satu piring berisi ketupat. Sembilan piring lainnya dia isi dengan lauk-pauk seperti telur dan ayam, sedangkan sayurnya berupa sayur pepaya yang bahannya dia ambil dari kebunnya sendiri.
Setelah mengisi piring-piring tersebut, Iga beranjak ke ruang tamu untuk menggelar tikar sebagai alas duduk dalam penyambutan nanti. Konon katanya ketika menuju waktu petang, maka orang yang telah meninggal sedang dalam perjalanan. Dia akan kembali ke rumahnya, dan menikmati hidangan yang dipersiapkan keluarganya.
Suaminya mungkin sedang di perjalanan, itulah yang Iga percaya. Kepercayaanya itu membuat dia ingin mempersiapkan diri juga. Setidaknya, dia tampil dengan pakaian yang rapi serta sedikit riasan di wajahnya.
Di kamarnya dia memandang tubuhnya di cermin lemari. Baju yang dia beli setahun lalu masih nampak baru karena jarang dia pakai. Dia bisa melihat betapa kurus tubuhnya saat ini, dan matanya terlihat sendu. Ada rasa rindu di balik tatapan Iga kepada dirinya sendiri, rindu kepada suaminya, kepada keluarganya terutama pada ibunya. Ibunya telah merawat Iga dengan baik selama belasan tahun, tetapi saat ini wanita itu harus menanggung malu karena pilihan Iga.
Iga menghembuskan napas dengan kasar. Saat ini sudah tidak ada gunanya menyesali keputusannya. Memilih Emba dan meninggalkan keluarganya adalah pilihan yang Iga kira tidak akan memberikan jalan sunyi yang begitu panjang dan dingin. Sekarang, sekeras apa pun Iga mencoba merasakan hangat cinta suaminya, tetap saja dia berada di tempat yang dingin. Iga kini sebatang kara di desa yang begitu jauh dari tempat dia dibesarkan.
Suara ketukan pintu membuyarkan Iga dari lamunannya. Dia melirik jam dinding yang ada di kamarnya dan tersenyum. Waktunya telah tiba dan orang yang mengetuk pintu pastilah Daeng Tompo. Dia seorang dukun yang terkenal di desa ini, dan dipercaya untuk memandu kebiasaan adat seperti penyambutan bulan suci ini. Dukun dipercaya memiliki kelebihan khusus, sehingga dapat memahami hal tidak kasat mata, serta mampu berbicara dengan arwah di alam gaib. Tanpa mempertimbangkan pemahaman seorang dukun terhadap pengetahun keagamaan, dia dipercaya untuk memandu kebiasaan adat penyambutan Ramadhan.
Dengan senyuman yang begitu mekar di wajahnya, Iga bergegas membuka pintu. Daeng Tompo sudah berdiri tepat di depan pintunya dengan angkuh. Jika dilihat dari perawakannya, pria tersebut umurnya sekitar delapan puluh tahun ke atas. Dia tidak datang sendirian, ada seorang perempuan yang berdiri dengan wajah datar di belakangnya. Perempuan itu adalah istrinya dan biasanya dia yang dipercaya untuk menyusun hidangan.
Daeng Tompo dan istrinya kemudian memasuki rumah Iga. Sebagai tuan rumah, Iga berkawajiban menyiapkan minuman untuk tamunya yang sudah dia persilakan duduk. Hal ini adalah bentuk penghargaan, sekaligus agar Daeng Tompo bisa menikmati kopi sambil menunggu hidangan siap.
“Mari saya bantu,” kata wanita itu sembari berdiri. Dia melangkah mengikuti Iga yang kembali menuju ke dapur setelah meletakkan secangkir kopi di depan Daeng Tompo.
Melihat semua piring yang telah terisi, istri Daeng Tompo yang berdiri di belakang Iga menganggukkan kepalanya. Mereka mulai mengambil piring-piring itu, lalu membawa dan meletakkannya di atas tikar yang telah disediakan Iga.
Empat piring nasi beras hitam berada di sebelah kiri dan empat piring nasi beras putih diletakkan di sebelah kanan. Sementara, piring yang berisi ketupat berada di tengah. Lauk-pauk diletakkan berdekatan dengan piring-piring itu.
Ketika istri Daeng Tompo sibuk menyusun hidangan, Iga mempersiapkan tempat dupa. Dupa itu ditaburi sisa-sisa pembakaran kayu yang masih ada bara apinya. Wangi kemenyan dari tempat dupa dengan cepat menyebar pada tiap sudut rumah. Iga merasa senang dengan bau itu. Kemenyan dipercaya disukai oleh orang yang telah meninggal.
Setelah semua hidangan tertata rapi, Iga meletakkan tempat dupa di sudut tikar. Kemudian Iga dan istri Daeng Tompo duduk di atas tikar. Daeng Tompo yang sedari tadi duduk sambil sesekali meminum kopinya, bangkit dan berjalan menuju tempat dupa. Dia kemudian duduk bersila di depannya. Kedua perempuan itu segera memperbaiki cara duduknya. Mereka duduk seperti sedang tahiyat dalam salat.
“Tunggu,” kata Iga, ucapan yang membuat Daeng Tompo menoleh ke arahnya. Iga menyadari ada yang kurang, yaitu pakaian suaminya. Tanpa menunggu tanggapan Daeng Tompo, Iga langsung berdiri dan melangkah menuju kamar. Setelah beberapa menit Iga kembali keluar dengan kemeja biru kesukaan Emba.
Iga meletakkan kemeja itu di samping dupa. Kemudian dia kembali duduk. Suasana menjadi hening. Apa yang sedang dilakukan Iga, diharapkannya dapat mempertemukannya dengan Emba, meskipun pertemuan itu hanya sebatas kepercaayan semata.
Iga memandang makanan yang tersusun rapi di tikar. Dia membayangkan suaminya yang memakai baju yang dia setrika siang tadi sedang menyantap masakannya dengan lahap.
Sementara itu Daeng Tompo sibuk membacakan mantra yang akan menjadi inti dari penyambutan bulan suci ini.
“Siapa nama ayahnya?” pertanyaan Daeng Tompo memecah keheningan.
“Samir,” Iga menjawab dengan senyum kelegaan di wajahnya. Pertanyaan itu adalah tanda bahwa acara penyambutan Ramadan telah selesai.
Daeng Tompo kemudian berdiri dan berpamitan.
Iga mengantar kepergian Daeng Tompo beserta istri hingga ambang pintu, lalu dia menyerahkan beberapa lembar uang sebagai bentuk ucapan terima kasih. Daeng Tompo telah meluangkan waktu untuk penyambutan bulan Ramadhan di rumah Iga, jadi sudah sepatutnya Iga membalas budi baiknya.
Malam itu begitu membahagiakan bagi Iga, walaupun dia sudah bersusah payah menyiapkan makanan yang begitu banyak dan dia tidak menyantapnya. Namun, perkara menikmati makanan sama sekali tidak penting untuknya. Dia lebih memilih berbaring di atas ranjang. Hatinya memang bahagia, tetapi tidak bisa dipungkiri tubuhnya kelelahan, jadi tidur adalah pilihan yang paling tepat.
Suara riuh warga yang berteriak di luar rumah Iga itu membuatnya membuka matanya dengan perlahan. Dia mendengar suara warga kian mendekat. Sepertinya akan lewat di halaman depan rumahnya. Iga berjalan menuju pintu untuk melihat para warga yang akan lewat. Dia mengenang saat Ramadhan pertama dia tinggal di desa ini. Menjelang waktu Sahur, Emba ikut keliling desa bersama warga lainnya. Sekarang, Iga membayangkan suaminya berada di antara orang-orang yang lewat itu.
Iga membuka pintu rumahnya. Matanya terpusat pada orang-orang yang berjalan di depan rumahnya. Ada sehelai kertas yang terselip pada pintu rumahnya, dan kertas itu terjatuh saat Iga membukanya. Dia melihat kertas itu sekilas, sebelum kembali memusatkan perhatian ke keramaian di depan. Saat semua rombongan telah lewat, dia mengambil kertas yang tadi jatuh.
Iga melangkah masuk dan duduk di tikar yang belum dia lipat. Masih terlihat sisa-sisa makanan di atasnya. Mata sayunya membaca kertas itu. Dalam pikirannya, dia beranggapan bahwa kertas itu adalah daftar urutan warga yang akan menyediakan buka puasa di masjid. Sudah menjadi kebiasaan di desa ini, bahwa setiap hari setiap warga mendapat giliran untuk menyediakan buka puasa di masjid.
Tahun lalu Iga mendapatkan giliran di hari pertama puasa. Saat ini dia ingin tahu kapan dia mendapat giliran menyediakan buka puasa.
Makanan yang kau sediakan itu merupakan wujud ketidakikhlasanmu atau kemungkaranmu? kalimat itu tertulis begitu jelas pada kertas di tangan Iga. Dia kaget begitu membacanya. Ternyata itu bukan daftar penyedia buka puasa, tetapi sebuah pertanyaan. Namun, siapa yang menyelipkan kertas itu pada pintu rumahnya dan mengapa orang itu melakukannya? Setahunya, yang dia lakukan semalam, adalah yang dilakukan oleh sebagian besar orang-orang di desa ini.
Keesokan harinya, di pagi buta, Iga duduk di dapur dengan makanan yang telah dia sajikan. Sahur pertamanya dilakukannya sambil memikirkan jawaban atas pertanyaan yang tertulis di kertas tersebut. Pertanyaan apakah dia ikhlas akan kepergian Emba, adalah pertanyaan yang tidak perlu baginya. Tentu saja dia tidak bisa mengikhlaskan kepergian suaminya. Selain itu tidak ada niat dalam hatinya untuk mungkar. Dia tidak pernah meninggalkan salat bahkan ketika dia sedang sakit, jadi kemungkaran adalah hal yang dia hindari.
Iga belum menemukan jawaban atas pertanyaan untuk apa dia menyiapkan makanan yang begitu banyak untuk penyambutan bulan suci. Dia merasa hanya mengikuti kebiasaan warga. Dia juga beranggapan bahwa makanan itu adalah perwujudan cintanya pada Emba.
Pertanyaan itu sangat mempengaruhi pikiran Iga, maka Iga memutuskan untuk menemui Ibu Nur, seorang ustazah di desa itu. Ibu Nur adalah orang yang dipercaya memiliki ilmu agama yang lebih baik daripada warga lainnya. Dia mulai menceritakan apa yang telah dia alami, mulai dari kebiasaan penyambutan bulan Ramadhan hingga ditemukannya kertas yang berisi pertanyaan.
Ibu Nur mendengarkan cerita Iga dengan seksama sebelum kemudian menanggapinya. “Adat istiadat tidak pernah lepas dari kehidupan kita. Kepercayaan bahwa makanan yang kamu hidangkan, baju yang kamu siapkan, dan wangi kemenyan pada dupa yang kamu bakar, akan dinikmati oleh orang terkasihmu yang telah meninggal merupakan salah satu contohnya. Kamu melakukannya itu semua sebagai perwujudan betapa kamu mencintai almarhum suamimu. Kita mengungkapkan perasaan cinta dengan berbagai cara. Terkadang kita tidak menyadari bahwa kita telah memilih cara yang salah.”
Sesampainya di rumah, Iga kembali memikirkan perkataan Ibu Nur. Terbersit dalam hati Iga untuk bertanya pada Daeng Tompo. Iga dikuasai kegelisahan tentang apa yang telah dia lakukan. Setelah mendapatkan sudut pandang mengenai adat-istiadat dari Daeng Tompo, dia berharap bisa mendapat jawaban atas kegelisahannya. Dia pun lalu berjalan menuju rumah Daeng Tompo. Sambil berjalan, dia memikirkan apa yang akan dia katakan nanti agar perkataannya itu tidak menyinggung perasaan sang dukun.
Sekitar lima puluh meter dari rumah Daeng Tompo, langkah kaki Iga dihentikan oleh seseorang. Orang itu lalu mendekat dan menarik pergelangan tangannya. Tarikan pelan itu membuat tubuhnya berbalik ke arah orang itu. “Tidak perlu ke sana,” kata orang itu yang ternyata adalah Ibu Nur yang tadi dia temui.
Karena bingung dengan apa yang dilakukan Ibu Nur, Iga pun bertanya, “Kenapa?”
“Intinya kamu tidak perlu ke sana,” nada suara Ibu Nur yang semula lembut berubah menjadi tegas.
Iga menatap perempuan di depannya itu, dia tidak mengerti apa maksudnya. “Saya ingin Daeng Tompo juga memberi saya jawaban seperti halnya Ibu Nur.”
“Kamu ini beragama apa?” suara Ibu Nur kian meninggi, suara yang membuat Iga kaget. Orang yang dikenal lemah lembut, saat ini menjadi orang yang menyeramkan baginya. Dia bahkan tidak bisa melontarkan satu kata pun.
Tentu saja Iga beragama Islam, dan Ibu Nur juga tahu akan hal itu. Namun, yang dimaksud Ibu Nur adalah apa yang dilakukan Iga. “Kamu harusnya mawas diri, jangan-jangan hatimu telah dibutakan oleh perasaan tidak ikhlasmu.” Ibu Nur memegang kedua pundak Iga, menggoyangkannya layaknya orang yang sedang berusaha membangunkannya dari tidur.
Iga tidak dapat berbuat apa-apa diperlakukan seperti itu.
“Saya yang menyelipkan kertas itu, agar kamu sadar” kata Ibu Nur dengan tangan masih memegang pundak Iga.
Iga merasa sesak, dia menghela napas.
Ibu Nur menggandeng tangan Iga. Mereka berjalan semakin menjauh dari rumah Daeng Tompo. Perjalanan mereka dihiasi keheningan. Iga sibuk dengan pikirannya sendiri, begitu pula dengan Ibu Nur. Setelah berjalan sekitar lima menit, mereka sampai di rumah Ibu Nur. Mereka memasuki ruang tamu, dan Ibu Nur mengucapkan, “Assalamualaikum.”
Iga melihat ada beberapa orang di sana. Ada imam masjid, dan beberapa orang yang memakai peci.
Ibu Nur mempersilakan Iga untuk duduk. Namun, sebelum Iga sempat duduk, Ibu Nur bertanya, “Bagaimana kalau kamu dirukiah saja?”
Pertanyaan Ibu Nur itu membatalkan niat Iga untuk duduk, “Maksud Ibu?” Rukiah adalah pengobatan pada orang yang terkena gangguan jin dan guna-guna. Rukiah dipercaya sebagai perawatan jiwa dalam Islam. Dalam benaknya Iga meronta mempertanyakan. Aku bukan orang yang terkena guna-guna atau kerasukan. Orang-orang di kampung ini juga banyak yang melakukan hal yang sama denganku. Mengapa hanya diriku yang akan ditiupi doa-doa dan di basuhi bahkan dimandikan air yang telah dibacakan doa tertentu?
“Hatimu akan lebih tenang jika kamu dirukiah,” nada suara Ibu Nur kembali lembut, tetapi tidak bagi Iga. Dia merasa Ibu Nur memaksakan kehendaknya padanya.
“Saya baik-baik saja, tidak perlu diperlakukan seperti ini. Kalau Ibu Nur merasa saya salah, rukiahlah juga orang-orang di kampung ini.” Setelah mengatakan itu, Iga melangkah keluar dari rumah itu.
Namun, saat Iga sudah berada di ambang pintu, tangannya kembali ditarik oleh Ibu Nur. Ibu Nur memandang Iga tanpa berkata apa pun, hanya air matanya yang mengaliri wajahnya. “Saya turut prihatin dengan takdir kelammu.” Ibu Nur lalu memeluk tubuh Iga, dan mengusap punggungnya pelan.
Iga yang sudah lama tidak pernah diperlakukan seperti itu, menjadi terharu dan air matanya ikut mengalir. Kedua wanita yang kemudian berpelukan itu sama-sama terisak.
“Jadikan Ramadhan ini jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan, bukan mendekatkan diri pada kemungkaran. Cintamu kepada Emba luar biasa tetapi caramu mencintainya salah. Benar katamu bahwa seharusnya saya merukiah orang-orang di desa ini juga, tetapi saya belum mampu membuat semua orang di desa ini meninggalkan kebiasaan adatnya ini. Apa lagi bagi mereka yang lahir dan tumbuh di sini. Namun, kamu berbeda. Saya percaya kamu dibesarkan dengan ajaran agama yang baik oleh orangtuamu. Saya merasa bersalah jika membiarkanmu mungkar.”
Penjelasan Ibu Nur mengaduk-aduk perasaan Iga. Apa yang dia dengar barusan dia rasa sebagai kebenaran. Mengenai orangtuanya yang membesarkannya dengan ajaran agama masih dapat dia pertanyakan. Adat istiadat di tempat orangtuanya pun memungkinkan terjadinya pembunuhan terhadap anak yang melakukan kawin silariang. Kepergian Emba membuat dia kehilangan pegangan, membuat dia tidak tahu harus berbuat apa. Pada akhirnya dia lalu menerima kebiasaan adat orang kampung, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Sebenarnya dia hanya ingin menyampaikan kasih sayangnya pada Emba. Selain itu, memberikan makanan kepada mendiang suaminya yang dikasihi bukan adat kebiasaan yang buruk, begitu batinnya.
Setelah salat Taraweh, Iga memutuskan untuk mengikuti saran dari Ibu Nur untuk dirukiah. Iga berharap hatinya akan lebih tenang dan bisa kembali berjalan ke arah yang benar sesuai dengan syariat agama. Jauh di dalam lubuk hatinya, Iga sebenarnya tidak percaya bahwa rukiah akan membuatnya lebih tenang. Dia merasa tidak kemasukan jin atau yang semacamnya. Namun, dia hanya tidak ingin mengecewakan Ibu Nur yang menaruh perhatian begitu besar pada dirinya – lebih besar perhatiannya ketimbang perhatian yang diberikan oleh Daeng Tompo dan orang-orang yang selama ini menjadi tetangganya.
*****