Click here for:

Perempuan Naga

Falantino Eryk Latupapua has published several articles in scientific journals and books. His poems have been published on social media and in the anthologies Pemberontakan dari Timur (CV. Maleo, 2014) and Biarkan Katong Bakalai (Kantor Bahasa Maluku, 2013). Perempuan Naga is his first short story.
In 2004, Latupapua earned a bachelor’s degree in Indonesian language education at the Pattimura University and has served his alma mater as a lecturer since 2005. In 2011, he obtained his master’s degree in Indonesian literature at the Faculty of Cultural Studies, Gadjah Mada University. Currently, he is a doctoral candidate in Indonesian literature at the Faculty of Humanities, University of Indonesia.

Falantino Eryk Latupapua: falantinoeryk@gmail.com

 

 

Perempuan Naga

 

Ikan kuah kuning itu sudah mendidih. Asap putih tipis mengepulkan wangi daun kemangi bersamaan dengan semburat bau halia, serai, dan kunyit yang sudah dia tambahkan tadi. Tangan kanan Eba memeras sebutir jeruk nipis ke dalam mangkok berwarna kecokelatan yang beberapa bagiannya sudah sumbing karena terbentur.

Sudah siang. Sebentar lagi Joro pulang, batin perempuan itu sambil menyeka keringat yang turun pelan-pelan di pelipisnya dengan sepotong kain cita berwarna jingga pucat yang dihamparkannya di bahu kiri. Rambutnya yang keriting disanggul sekenanya. Beberapa helai anak rambut yang mulai beruban menjuntai melewati kerah kebaya merahnya yang sudah lusuh.

Dalam satu gerakan yang cekatan, Eba menyisihkan biji-biji jeruk nipis itu dengan jemarinya yang legam. Dia lalu membuangnya ke dalam garuru, tempat sampah yang dibuat dari ujung pelepah pohon sagu, yang terletak di kaki tungku. Sambil menuangkan perasan jeruk hingga melebur ke dalam kuah yang tengah menggelegak, Eba mengaduknya pelan-pelan. Beberapa saat kemudian, dia menyendok kuah dan potongan tebal daging ikan cakalang ke dalam mangkuk. Dia membungkukkan kepala, lalu menutup matanya selama beberapa detik sambil menghela napas panjang seakan menghayati kenikmatan masakannya sendiri.

Dengan sepotong kayu, Eba mengacak sisa-sisa api di bawah besi tungku agar benar-benar padam. “Joro akan makan dengan lahap,” bisiknya. Ada senyum tipis tersungging di bibirnya yang tebal. Eba berjalan ke meja makan dan meletakkan mangkuk itu. Di sana sudah ada sepiring kecil irisan jantung pisang yang ditumisnya dengan sepetak bawang dan sejumput garam.

Hati Eba serasa mekar. Dia sudah mengenali perasaan ini dengan baik selama dua puluh tahun pernikahan mereka. Dia sangat suka memasak. Ini yang membuatnya berbeda dari banyak perempuan di Kampung Sameth, Pulau Haruku, tempat mereka tinggal. Perempuan-perempuan itu gemar sekali duduk bergunjing ketimbang berjibaku di dapur. Dibandingkan mereka, dirinya tentu jauh lebih baik dalam menjalani hidup yang paling pantas bagi seorang ibu rumah tangga, yakni melayani suami dan anak-anak.

Tiba-tiba, Eba terpaku di pinggir meja. Tubuhnya menegang. Matanya berair. Dia tahu bahwa perasaan sedih ini akan selalu muncul ketika menyadari bahwa masakan yang disiapkannya akhir-akhir ini semakin sedikit takarannya. Bayangan anak-anaknya saling berebutan menyendok makanan ke piring memeras hatinya. Anak-anaknya sudah mati.

Sambil menggeleng pelan, Eba menghapus air matanya. Sudahlah. Jangan menangis lagi. Nanti tulang-tulang mereka bergerak dalam kubur, tidak tenanglah mereka di sana, di dalam hati dia menasihati dirinya. Ada senyum pahit terbit di bibirnya. Eba meraih tudung saji yang tergantung di dinding lalu dihamparkannya di meja. “Cuma papeda yang belum masak. Akan baik bila aku mengaso sebentar. Air akan kujerang nanti. Papeda akan kusiapkan begitu dia tiba. Joro akan merajuk jika papeda-nya sudah agak dingin.” Eba berbicara pelan. Sambil menghela napas berat, dia membalikkan badannya lalu melangkah pelan ke arah belakang.

***

Eba berjalan melewati dapur yang masih dipenuhi asap dari tungku yang tadi digunakan untuk memasak. Dia terbatuk-batuk sejenak sambil melangkah melewati pintu, yang seperti dinding-dinding rumah mereka itu, dibuat dari gaba-gaba, pelepah dahan pohon sagu yang berukuran besar. Atap rumah terbuat dari helai-helai daun sagu yang diikat lalu ditopang oleh kerangka yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Rumah itu terletak di atas tebing karang, terasing di bagian selatan kampung. Tebing karang hitam yang mencuat menjadi benteng pengadang deburan ombak dahsyat pada saat musim timur. Di belakang rumah yang menghadap laut, Eba dan Joro biasanya duduk sambil memandang Pulau Ambon di kejauhan sana. Jika hari sedang cerah, puncak Gunung Salahutu terlihat amat mengagumkan disiram cahaya matahari. Hari ini gunung itu terlihat agak menakutkan dibalut awan kelabu.

Joro memahat ceruk kecil di sela-sela dinding karang yang terjal. Lewat ceruk itulah mereka bisa berjalan menuruni tebing menuju bibir pantai di bawah sana untuk sekadar berak, mencari kerang, atau memancing ikan.

Eba menghempaskan pantatnya ke atas balai-balai yang terbuat dari gaba-gaba di bawah jejeran pohon ketapang. Pohon ketapang yang paling tinggi ditanam oleh Joro dua hari sesudah anak lelaki bungsu mereka mati, dua tahun lalu. Anak itu jatuh lalu terseret ombak saat mengambil kerang laut yang menempel di tebing karang. “Diambil setan laut,” demikian kata para tetua kampung. Mayatnya ditemukan mengapung di lautan oleh nelayan dari desa tetangga, sehari kemudian. Tubuh itu sudah membengkak. Mulutnya menganga. Setelah dua hari menangisi anak itu, Eba dan Joro memutuskan untuk menanam sepohon ketapang untuk mengingat hari penuh kesedihan itu.

Sekarang, Eba memejamkan matanya. Dia merasa kesedihan itu mulai kembali datang dan mencoba menepiskannya dengan menghirup bau laut dalam-dalam. Bau garam yang bercampur dengan semburat bau ikan cakalang setengah kering menguar dari atas jemuran bambu yang membujur di samping rumah. Jemuran bambu itu didirikan oleh anak tertuanya sebelum mati sebulan lalu. Tiada sakit yang anak itu derita. Pada subuh di hari Minggu, dia ditemukan sudah tidak bernyawa oleh Joro yang bersiap pergi memancing ikan. Mata anak itu masih terbuka, tubuhnya menegang dengan bekas cekikan di lehernya. Tangis Eba pecah.

“Dicekik setan,” demikian gumaman tertahan dari beberapa orang kampung sambil menatap Eba dengan pandangan yang sulit dia pahami.

Seminggu sesudah masa berkabung lewat, Joro menanam anakan pohon ketapang yang ketiga persis di sebelah kanan pohon ketapang kedua yang mulai tumbuh besar. Pohon ketapang yang kedua itu ditanam oleh Joro saat anak perempuan mereka mati, setahun lalu. Anak perempuan satu-satunya itu disengat kelabang yang sepertinya jatuh dari atap rumah ke atas tempat tidurnya. Tidak lama kemudian, tubuh anak itu kejang sambil menjerit kesakitan dengan mata membelalak, lalu mati. Kelabang itu menghilang entah ke mana.

Dahan ketapang kering melayang dan jatuh di pangkuan Eba. Menurut Joro, pohon ketapang yang ditanamnya adalah lambang pengharapan akan kehidupan, agar tidak ada lagi kematian. Akan tetapi, setelah kehilangan yang bertubi-tubi itu, Eba merasa suaminya itu hanya mengada-ada. Anak-anaknya mati satu demi satu, berguguran bagaikan daun-daun ketapang itu.

Eba ingat kepada anak perempuannya yang cantik dan rajin, anak lelaki bungsunya yang nakal tetapi menggemaskan, dan anak sulungnya yang penurut dan tampan, sama seperti bapaknya. Eba kembali dihumbalang oleh perasaan benci yang sama dahsyatnya dengan kebencian yang serta-merta menjalari dirinya tatkala mendengar bisik-bisik perempuan kampung yang menyebut-nyebut sesuatu seperti “digigit setan” saat melayat jenazah anak itu.

Eba tidak punya kekuatan untuk melawan perlakuan penduduk kampung terhadap dirinya. Semua penduduk kampung ini adalah kerabat suaminya. Eba merasa akan melukai perasaan Joro apabila dia bertengkar melawan perlakuan mereka yang semena-mena itu. Akhirnya, dia selalu diam dan menelan rasa benci itu untuk dirinya sendiri.

***

Eba seorang yatim piatu. Dia lahir dan tumbuh di Kampung Kairatu, di Pulau Seram. Bapaknya mati empat bulan sebelum dia lahir. Eba lalu dibesarkan oleh Nenek, dukun kampung yang membantu persalinan ibunya. Ibunya meninggal empat hari sesudah melahirkannya. “Dimakan naga,” demikian jawaban beberapa perempuan di Kampung Kairatu yang ditanyai tentang asal-muasal kematian ibunya. Sang Nenek, seperti biasanya, selalu bungkam ketika ditanya.

Nenek membesarkannya dengan penuh sayang. Perempuan tua itu amat suka menari. Nenek biasanya menari di dalam kamarnya yang temaram. Dia menggumamkan semacam nyanyian tanpa kata untuk mengiringi gerakannya.

Beberapa kali Eba melihatnya menari di halaman belakang gubuk mereka pada malam hari, terutama saat bulan sedang penuh. Sesekali, Nenek akan memanggil Eba, lalu memintanya mengikuti gerakan tarian itu.

Eba tidak kunjung memahami maksud Nenek menyuruhnya ikut menari. Akan tetapi, lama-kelamaan dia semakin suka menari. Eba bisa menirukan tarian Nenek dengan sempurna sambil menutup mata. Meskipun begitu, dia tetap tidak bisa menggumamkan nyanyian Nenek yang sering dia dengar.

Joro dan Eba berjumpa pada pesta katreji, tarian khas Maluku yang dipengaruhi budaya Portugis, di Kampung Kairatu. Pertemuan itu terjadi setahun sesudah Eba kehilangan Ica, suami pertamanya.

Ica mati diserang seekor celeng ketika berburu di hutan.

Joro datang ke pesta dansa itu bersama-sama dengan pemuda-pemudi lain atas undangan penyelenggara pesta. Mereka segera saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Joro ingin segera menikahi Eba. Akan tetapi, niat Joro itu ditentang keras oleh kerabat mereka, termasuk para tetua Kampung Sameth. Selain Eba adalah seorang janda, pertentangan itu juga disebabkan kedua kampung memiliki hubungan pela gandong, hubungan persaudaraan antarkampung secara adat. Seorang laki-laki dari Kampung Sameth tidak boleh menikahi perempuan dari Kampung Kairatu. “Pamali. Leluhur akan marah. Kita semua akan kena musibah,” kata mereka. Di samping itu, desas-desus bahwa Eba adalah perempuan suanggi, pengamal ilmu hitam, telah santer terdengar di Kampung Sameth.

Seperti biasa, Joro diam saja. Dia adalah laki-laki yang rajin dan sederhana, tidak pernah banyak bicara. Joro lalu mengajak Eba kawin lari ke rumah sahabatnya di Kampung Tala, di sebelah barat Pulau Seram. Sesudah melangsungkan pernikahan, mereka bertekad untuk menetap dan membangun hidup baru di Kampung Tala.

Empat bulan kemudian, datanglah berita dari Kampung Sameth. Ibu Joro hampir mati karena sakit. “Dia dirasuki suanggi,” demikian tukas beberapa kerabat sambil menatap Eba dengan tajam dan penuh kecurigaan saat mereka berdua tiba di sana.

Eba bisa merasakan bahwa mereka mencurigai dirinya telah mengirim guna-guna hingga ibu mertuanya jatuh sakit.

Joro adalah anak tunggal dari salah satu tetua Kampung Sameth. Bapaknya terbunuh saat kerusuhan berdarah antara orang-orang Islam dan Kristen di pulau itu pada 1999, dua puluh tahun lalu. Oleh karenanya, para tetua kampung meminta agar dia tetap tinggal di rumah pusaka untuk menjaga warisan keluarga mereka.

Joro tahu bahwa perempuan yang menjadi istrinya tidak diinginkan oleh keluarga besarnya. Dia tetap bergeming. Laki-laki itu tetap melaut dan pergi ke hutan. Permintaan para tetua agar membuang perempuan itu dan mencari istri yang sepadan tidak dia dengarkan. Joro tidak pernah menyatakan perasaan cintanya dengan cara memeluk Eba atau sekadar mengusap kepala anak-anaknya. Akan tetapi, dia tidak pernah ringan tangan atau tidak setia. Di mata Eba, dia laki-laki sempurna. Dia tidak banyak berubah sejak saat pertama Eba menangkap kilatan penuh sayang di matanya.

Saat anak bungsu mereka mati, desas-desus yang berkembang di kampung mengenai Eba sebagai pembawa petaka bagi keluarga besar mereka makin santer. Hal itu sampai ke telinga Eba, juga ke telinga Joro dan kedua anak mereka yang tersisa. Eba masih belum lupa perlakuan perempuan-perempuan kampung yang memunggunginya saat tiba di sungai untuk membasuh perabotan dapur atau mencuci pakaian. Berbulan-bulan mereka semua menolak berbicara dengannya.

Eba tidak tahan lagi.

Joro pun demikian. Dia segera membawa Eba dan kedua anak mereka menjauh ke pinggiran kampung dan mendirikan rumah sederhana untuk mereka tinggali. Joro tidak lagi sering bertemu dengan orang-orang kampung. Dia selalu pergi ke hutan dan memancing seorang diri. Kebunnya pun dikerjakan seorang diri.

Saat kematian ketiga menghampiri keluarga mereka, orang-orang kampung itu makin berani. Mereka meneriaki Eba dengan sengit, menyebut-nyebutnya sebagai perempuan naga dan suanggi.

Menurut Joro, orang-orang kampung percaya bahwa dalam tubuh Eba bersemayam seekor naga yang akan membunuh anggota keluarganya pelan-pelan dengan berbagai cara. Naga itu berdiam di dalam jiwa perempuan keturunan suanggi.

Beberapa orang lain bersikeras bahwa itu adalah akibat yang harus ditanggung oleh Eba dan Joro karena berani melangsungkan pernikahan meskipun punya hubungan pela gandong. Mereka tidak segan mengusir dan meludahi Eba saat berpapasan.

Eba lebih sering mengurung diri di rumah. Dia tidak pernah muncul di kebaktian gereja, bahkan tidak pernah lagi pergi ke sungai untuk mencuci baju dan perabotannya. Dia merasa marah atas segala tuduhan yang dilontarkan padanya oleh warga kampung. Dia sendiri tidak mengerti mengapa hidupnya dikelilingi kematian. Dia juga tidak memahami pikiran mereka yang menganggap dirinya sebagai pembawa kematian. Dia bukan suanggi. Dia pun tidak percaya pada takhayul tentang naga dan hubungan pela gandong yang bisa membunuh anak-anaknya. Sejak kecil, Nenek selalu membawanya ke gereja dan mengajarinya berdoa. Di setiap ruangan di gubuk Nenek ada gambar Tuhan, kecuali di kamar temaram tempat Nenek menari.

Eba percaya pada Tuhan. Saat kecil, dia kadang-kadang menangis sambil menatap gambar di dinding gubuk, meminta orangtuanya hidup lagi, atau meminta supaya Nenek jangan mati karena dia tidak sanggup membayangkan akan menjalani hidup seorang diri. Meskipun orang tuanya tidak pernah hidup lagi dan Nenek akhirnya mati, Eba tetap suka pada Tuhan yang selalu disebutnya dalam doa.

***

“Mama Eba! Mama Eba! Buka pintu! Buka!” suara ketukan keras di pintu depan yang diringi teriakan seseorang membuat Eba terperangah. Dia tersadar dari lamunannya. Eba segera berdiri dari balai-balai, lalu mengayunkan langkah setengah berlari melewati dapur menuju ruang depan.

“Mama Eba! Buka pintu! Cepat!” suara itu semakin keras. Eba meraih gerendel pintunya, lalu menggeserkan pengaitnya ke arah kiri.

Seraut wajah kecokelatan yang kurus dan penuh keringat menatapnya dengan mata merah membelalak seakan terkejut bercampur takut. Eba mengenali anak gadis itu. Namanya Pite, anak dari adik sepupu suaminya. Sebelum Eba membuka mulutnya untuk berbicara, Pite kembali berteriak dengan kencang. Tubuhnya bergetar makin hebat. “Mama Eba! Mama Eba! Bapa Joro jatuh dari pohon cengkeh. Bapa Joro sudah mati! Bapa Joro sudah mati!” anak itu berbicara dengan tersengal-sengal sambil menahan tangis.

Dunia di hadapan Eba tiba-tiba gulita. Bibirnya tidak sanggup bicara. Dia mundur selangkah sambil berpegangan pada daun pintu. Tangan dan kakinya gemetar. Air matanya menggenang, tetapi tenggorokannya seperti tercekat, tidak mampu mengeluarkan suara.

“Mama Eba … Mama Eba …!” teriak Pite sambil menunjuk ke arah kejauhan di lembah.

Orang-orang tampak menyemut di sana. Sebagian dari mereka mengenakan pakaian berwarna hitam yang biasanya dikenakan oleh para tetua kampung. Mereka menyusuri jalan menanjak yang mengarah rumah Eba. Diiringi tabuhan tifa bertalu-talu yang menyiarkan kematian ke penjuru kampung, mereka mengusung sesosok tubuh dengan langkah yang terburu-buru.

“Joro …!” raungan Eba tenggelam dalam keriuhan warga kampung yang mendekati rumah Eba.

Terdengar ratap para perempuan menyebut-nyebut nama Joro bersahut-sahutan dengan gemuruh suara para lelaki meneriakkan serentetan kalimat yang bernada marah. “Perempuan suanggi! Pembunuh Joro! Perempuan naga! Usir dia! Eba! Keluar kamu!”

Eba dibekap kebekuan. Kakinya yang baru mulai berlari untuk menemui tubuh yang ditandu itu seakan terpaku. “Joroo!” Teriakan yang terasa memarut tenggorokkannya tidak juga melewati bibirnya yang kering, bergetar.

Tiba-tiba Eba terlempar ke masa tiga puluh tahun lalu, saat pertama kali dia menyadari bahwa orang-orang yang dikuasai amarah sanggup berbuat apa saja. Peristiwa serupa telah menimpa Nenek ketika ratusan warga Kampung Kairatu tiba-tiba mendatangi rumahnya sambil meneriakinya dengan sebutan suanggi lalu menghancurkan rumah dan segala isinya.

Eba didera kerinduan yang tak terperikan pada Nenek. Dia berlari meninggalkan Pite, menuju ke kamar tidurnya. Dia membuka lemari kayu tua dan mengeluarkan kotak kayu yang terletak di salah satu sudutnya. Air matanya berguguran membasahi kotak itu. Dia membukanya dengan tergesa-gesa lalu meletakkannya di atas meja. Pada bagian dalamnya terukir gambar kepala naga. Eba melepaskan tusuk kondenya hingga rambutnya tergerai lepas. Dia memejamkan matanya. Tubuhnya mulai bergoyang pelan. Dorongan yang gaib mengantar Eba ke dalam tarian yang dulu membuat orang-orang Kampung Kairatu menuduh Nenek sebagai suanggi.

Bunyi riuh teriakan manusia diselingi ratap tangis itu makin dekat. Eba mempercepat gerakan tariannya. Bayangan Nenek muncul di hadapannya berujar lirih, “Ingatlah, setiap perempuan adalah naga yang mampu menghanguskan seisi dunia dengan dengan api. Bahkan jika harus menangis pun, api itu tidak akan bisa dipadamkan oleh air mata. Jangan biarkan kekuatan dalam dirimu kalah dengan kepahitan!”

Gerakan tarian Eba semakin liar. Kepalanya mendongak ke atas. Satu demi satu gambaran muncul di dalam ingatannya. Anaknya yang mati satu demi satu; tarian yang dilakukannya diam-diam di hadapan kotak kayu Nenek yang terbuka; Joro yang selalu tersenyum di hadapan sepiring ikan kuah kuning; perempuan-perempuan kampung yang menggunjingkan kotak kayu bergambar naga miliknya; serta para tetua kampung yang selalu menatapnya dengan pandangan penuh kebencian.

Dengan lengan kirinya, Eba meraih kotak berisi ukiran naga itu. Dia memeluk kotak pemberian Nenek itu erat-erat. Satu-satunya peninggalan Nenek yang mampu dia selamatkan dari amuk orang-orang Kampung Kairatu yang menuduh perempuan tua itu suanggi. Nenek yang sangat dia sayangi, yang mengajarinya menari, berdoa, dan memasak papeda dan ikan kuah kuning paling enak di dunia.

Suara riuh orang-orang dan gegap tabuhan tifa makin dekat dan begitu mengancam. Beberapa saat kemudian, telinganya menangkap suara batu yang berjatuhan melubangi atap rumah yang terbuat dari daun sagu. Suara puluhan laki-laki dan perempuan bersahutan, “Keluar kamu, Eba! Perempuan suanggi! Joro mati! Enyahlah kamu!”

Eba membuka mata saat merasakan hawa panas di sekelilingnya. Api telah menjalari dinding rumah itu dengan amat cepat. Matanya perih dan nafasnya mulai sesak karena dikepung asap tebal. Di tengah kobaran api sekeliling lemari kayu, Nenek tersenyum penuh sayang sambil membuka kedua lengannya. Eba menari sambil bergerak maju lalu melebur dalam pelukan Nenek. Kotak kayu jatuh ke lantai saat Eba menyandarkan kepalanya di dada Nenek. Panas membara di sekeliling berganti menjadi kehangatan yang melenakan Eba. Dia kembali menutup mata. Senyum yang manis tersungging di bibirnya. Bersamaan dengan itu, suara gemeretak yang keras disusul gemuruh bangunan roboh membubungkan asap hitam pekat dan pijaran bunga-bunga api ke langit yang mulai memerah.

***

Tabuhan tifa berhenti. Keriuhan orang-orang yang berkumpul di sekeliling rumah itu berangsur hening. Hanya terdengar suara ombak menghantam tebing karang. Pada sela-sela gumpalan asap tebal yang masih mengepul dari reruntuhan rumah, terlihat barisan para tetua kampung yang berpakaian hitam. Mereka menatap kobaran api pada reruntuhan rumah dengan pandangan penuh kemarahan.

Di tengah barisan para tetua, berdiri seorang laki-laki bertubuh subur. Dia berpakaian hitam panjang. Kulitnya bersih, wajahnya bulat, dengan rambut yang berminyak. Laki-laki itu berdiri sambil menatap lurus ke depan. Dia menengadahkan telapak tangan kanan ke arah reruntuhan rumah. Tangan kirinya memegang buku tebal berwarna hitam yang sedang terbuka. Dengan suara berat dan lantang, laki-laki itu berkata, “Saudara-Saudaraku dalam iman! Ini adalah suatu peringatan tentang hukuman Tuhan bagi siapa saja yang menyembah berhala. Ingatlah, Tuhan kita adalah Tuhan yang pencemburu. Tuhan akan menghukum manusia yang menduakan-Nya. Seperti ada tertulis di dalam firman ….” Laki-laki itu diam sejenak, lalu menunduk. Dia menatap buku tebal yang ada di tangan kirinya. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu mengucapkan dengan lantang kata-kata yang dibacanya dari buku itu, “Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk iblis dan malaikat-malaikatnya. Amin!”

Lautan manusia menggumamkan, “Amin.” Gerimis perlahan turun dari langit yang mulai gelap. Satu per satu orang-orang itu berjalan menjauh dari reruntuhan rumah yang hampir habis dilalap api. Beberapa laki-laki kembali menggotong mayat Joro yang terbaring di atas tandu dan ditutup sehelai kain hitam. Mereka semua berjalan dengan langkah pelan dan dalam diam menuruni lembah menuju ke arah kampung.

 

*****

Choose Site Version
English   Indonesian