Click here for:

Rahasia Pak Dwija

G. Budi Subanar was born in Yogyakarta on March 2, 1963. He was ordained to priesthood on July 29, 1994. He earned a bachelor’s degree in social philosophy from the Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara in Jakarta in 1988 and in 2002 obtained his master and doctorate degrees in missiology – religious and cultural studies from the Pontificia Universita Gregoriana in Rome. He is the director of the graduate program of Sanata Dharma University in Yogyakarta. Previously, he served as the head of the magister program of religious and cultural studies. He also teaches at the university.

Subanar writes fiction as well as nonfiction. The following are some of his works:The Local Church in the Light of Magisterium Teaching on Mission. A Case in Point: The Archdiocese of Semarang Indonesia 1940–1981 (Casa Editrice L’Universita Gregoriana, Roma, 2001); Bayang-bayang Kota Pendidikan. Yogyakarta: Learning Society (Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2007); Menari di Terra Incognita (Penerbit Kanisius, 2009); Soegija. Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan (Penerbit Galang Press, 2012). This work was then filmed by Studio Audio Visual PUSKAT (producer) with Garin Nugroho as the director; Kilasan Kisah Soegijapranata (Penerbit KPG Kepustakaan Populer Gramedia, 2012); Hilangnya Halaman Rumahku (Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2013); Soegija A Child of Bethlehem van Java (Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2015).

 

Copyright ©2019 by G. Budi Subanar. Published with permission from the author. Translation copyright ©2019 by Laura Harsoyo.

 

Rahasia Pak Dwija

 

Walaupun kami bertetangga telah cukup lama, Pak Dwija dan aku baru bersahabat setelah melayat bersama pada suatu hari pertengahan Agustus 1985. Pak Dwija pulang kantor lebih awal. Adi Malela, seorang mantan pejuang meninggal karena usia tua. Menurut desas desus, dia salah seorang teman Supriyadi, tokoh tersohor pejuang Pembela Tanah Air (PETA) yang melawan Jepang dalam pemberontakan 14 Februari, 1945. Kehadiran Pak Dwija di tempat melayat, membuka tabir hubungan antara dirinya dengan almarhum Adi Malela. Ternyata, keduanya selama ini punya sikap memegang rahasia sekuat baja. Dalam sambutan sebelum pemberangkatan jenasah, Pak Dwija menyingkapkan yang selama ini hanya diketahui sebagai desas-desus.

“Mari kita menundukkan kepala untuk kepergian Bapak Adi Malela. Jaman pendudukan Jepang, kami dipertemukan saat pelatihan di sekolah perwira di Bogor. Kami ditugaskan bersama di Blitar sampai dipercaya memimpin pasukan, memegang komando dengan katana, pedang Jepang. Itu tanggung jawab tidak mudah. Almarhum bersama saya memang pernah bersama-sama menjadi teman seperjuangan Supriyadi. Ini beban pengalaman yang kami tanggung berdua. Bahkan, gara-gara itu kami sama-sama diadili dan dihukum di Jakarta oleh tentara Jepang.” Pak Dwija tersedak. Dia membuang pandangangannya ke kejauhan sebelum melanjutkan kata-katanya, “Sekarang, Bapak Adi Malela sudah menyelesaikan hidup dan perjuangannya. Semoga beroleh istirahat abadi di hadapan Sang Khalik pemilik kehidupan.” Demikian sambutan Pak Dwija yang diungkapkan dengan suara berat dan terbata-bata.

Semenjak kematian tokoh pejuang itu, perangai Pak Dwija berubah seratus delapan puluh derajat. Dia tidak lagi hadir sebagai seorang bapak yang ramah dan riang. Wajahnya menjadi lebih banyak murung dan perangainya menjadi mudah gelisah.

Sering kali, sekitar tengah malam dari rumah Pak Dwija kerap terdengar teriakan-teriakan tidak jelas. Rumah kami bersebelahan dan kami terpaksa mendengarkannya. Beberapa tetanggapun berkata mendengar sangat jelas teriakan-teriakan itu.

Waktu-waktu berikutnya, saat sore hari, aku sering melihat Pak Dwija melamun di teras rumahnya pada saat aku melewati rumahnya dalam perjalanan pulang dari sekolah.

Salah satu sore seperti itu, sekitar sebulan setelah meninggalnya Adi Malela,  kudengar suara serak Pak Dwija memanggil pada saat kulewati rumahnya. “Nak Mas, mampir! Masih kuliah sejarah ya?” Pak Dwija agak berteriak.

“Ya, Pak,” jawabku dari luar pagar sambil turun dari sepeda. Pada saat itu, sedang pulang dari kampus. Semester akhir ini, aku  memang sedang disibukkan dengan penulisan skripsi tugas akhir bidang sejarah setempat  dengan berbagai usaha bertukar pikiran dengan dosen pembimbing. Pengolahan lapangan dan berbagai buku-buku bacaan yang ada sedang membutuhkan perhatian mendalam.

“Sini-sini, saya sedang butuh beberapa keterangan sejarah. Saya pengin mendengarkan kisah-kisah dari Masa Kerajaan Singhasari dan Majapahit. Siapa tahu bisa membantu saya.” Demikian kata Pak Dwija berharap padaku.

Demi rasa hormat padanya, kuikuti undangannya. Lama kami terlibat pembicaraan di teras rumahnya.

Sejak saat itu, Pak Dwija beberapa kali mengundangku untuk bercerita tentang sejarah kerajaan-kerajaan di wilayah Jawa Timur dan wilayah-wilayah Nusantara lainnya. Termasuk para penguasa dan beragam kisah di seputar masa-masa itu. Kebiasaan ini menjadi kesempatan bagiku untuk mengulang dan mengembangkan kuliah yang kuikuti dan mendalam pengertianku dari buku-buku yang sudah kubaca.

***

“Berkali-kali anak-anak di rumah serta putri sulungku dan suaminya memberi saran padaku untuk menuliskan pengalaman masa laluku. Setiap kali mereka membicarakannya,  aku diam. Aku menolak yang diminta oleh anak-anak dan menantuku untuk menuliskan pengalaman masa muda jaman itu.” Pak Dwija membuka percakapan. Dia seperti agak gelisah menempatkan diri pada kursi tempat duduknya. Sementara, aku duduk dengan kepala agak tertunduk sambil menunggu kalimat selanjutnya.

“Nak Mas tahu riwayat hidup Pak Adi Malela yang meninggal bulan lalu?” tanya Pak Dwija. Dia seperti  memeriksa lagi pengetahuanku tentang almarhum temannya.

“Saya tidak begitu mengenalinya, Pak. Kata beberapa tetangga dekatnya, beliau orang agak samar-samar, Pak,” jawabku berhati-hati.

“Apakah setelah kubeberkan pada saat pemakamannya semua menjadi jelas?” tanya Pak Dwija mencari tahu.

“Saya tidak banyak tahu. Katanya, Pak Adi itu menyimpan sebuah katana di rumahnya. Itu barang mahal, Pak. Ada orang yang membuat tiruannya dan memperdagangkannya. Benda pusaka yang dijadikan barang dagangan,” kataku sekenanya.

“Hush, jangan menyebut pedang samurai itu barang mahal.” Pak Dwija memalingkan pandangannya. Matanya yang keruh melayang seperti mencari sesuatu di kejauhan. Dia meremas-remas tangannya sambil bergumam, “Karena barang itu aku sekarang sering berteriak-teriak kalau malam.”

Ucapannya membingungkanku dan dengan tidak tahu bagaimana menanggapinya, aku hanya diam.

Pak Dwija berdehem beberapa kali lalu berkata, “Jadi, begini. Aku dan Pak Adi Malela itu dulu pernah menjalani pelatihan di rensetai, sekolah perwira untuk tentara PETA, Pembela Tanah air. Kami pernah menjabat sebagai seorang komandan kompi, chudanco istilahnya. Kami disapa Chudanco Adi Malela dan Chudanco Dwija. Kami bersama-sama di Batalyon Pendidikan Pembela Tanah Air di Daidan Markas Komando Blitar. Umur kami belum tigapuluh tahun saat itu.” Pak Dwija mulai bercerita. “Supriyadi pada saat itu menjabat komandan peleton, Shodanco. Sebenarnya kami atasannya…,” suara Pak Dwija pelan mendatar.  

“Oh, begitu ya Pak. Saya sama sekali tidak pernah mendengar sebelumnya,” kataku terus terang.

“Sstt, memang ini rahasia kami. Lebih dari empatpuluh tahun lamanya, kami hidup dengan rahasia kami. Kami bersikap memegang rahasia sekeras baja.” Pak Dwija mengungkapkannya dengan tegas, matanya memandangiku dalam-dalam.

“Semenjak sahabatku Chudanco Adi Malela meninggal, pertahananku jebol.  Seperti ada sebuah lubang yang menganga pada hidupku. Aku jadi banyak bermimpi buruk setelah kepergiannya. Pengalaman-pengalaman pahit yang selama ini kami simpan. Dihajar tentara Jepang habis-habisan. Ini gara-gara peleton Shodanco Supriyadi yang memberontak. Kami yang ada di tingkat kompi dan batalyon kena getahnya….” Suaranya Pak Dwija putus-putus. Badannya mulai gemetar. Dia meremas-remas tangannya seolah menenangkan dirinya sebelum memandangiku dengan tatapan putus asa.

“Ya, Pak,” jawabku. “Terima kasih saya boleh mendengarkan kisah sejarah Bapak di masa itu,” kataku lagi.

Setelah berdiam sesaat, Pak Dwija meneruskan percakapan. “Nak Mas lebih mendalami sejarah abad delapanbelas dan sembilanbelas ya?” Pak Dwija bertanya seperti mengalihkan pembicaraan. Dia sepertinya tertarik dengan tema skripsi tugas akhirku.

“Iya, Pak. Ini satu pokok besar baru yang sedang diperkenalkan. Ada beberapa pengajar kami yang punya keahlian di bidang tersebut.” Jawabku terus terang.

“Pantesan. Kalau aku tanya lebih mendalam dari masa Singhasari dan Majapahit, selalu mengatakan itu wilayah arkeologi karena terkait dengan peninggalan candi-candi. Atau, kemungkinan lain, menyebut sastra Jawa Kuna karena terkait dengan naskah-naskah sastra jaman itu. Mungkin, Nak Mas perlu tahu. Aku waktu sekolah guru dulu malah sempat mendapat pelajaran Jawa Kuna. Guru-guru kami masa itu masih senang mengajak murid-muridnya membuka tulisan-tulisan Adi Parwa bagian awal kisah Mahabarata dan sejenisnya. Sekarang malah Nak Mas sudah tidak mendapatkan kuliahnya.”

“Saya tidak tahu kalau dulu Pak Dwija jadi guru sekolah,” kataku menyela.

“Ya, memang tidak banyak orang tahu aku dulu guru sekolah. Itu sudah masa lalu,” katanya.

“Tapi, Pak Dwija  beruntung bisa membaca dan diajak mendalami sumber-sumber yang penuh ajaran budi pekerti dari warisan sastra Jawa Kuna. Sekaligus dengan sejarah-sejarah yang ada di sekitarnya. Sekarang, kami sudah dikotak-kotakkan, Pak. Arkeologi sendiri, Sastra Jawa Kuna sendiri, Ilmu sejarah juga dipelajari sendiri. Sepertinya tidak terkait satu sama lain. Perangkat bahasanya juga harus khusus. Untuk bidang sejarah menguasai Bahasa Belanda saja, saya perlu usaha setengah mati. Karena bacaan buku-buku dan dokumen laporannya sebagian besar berbahasa Belanda, belum lama saya baru bisa membaca sumber-sumber yang saya butuhkan.”

“Ya, Bapak sempat jadi guru beberapa tahun. Seorang guru muda sesuai namaku, Dwija Taruna. Tapi terputus dengan kedatangan tentara Jepang. Semua jadi kacau. Sekolah-sekolah diambil alih. Guru-guru ada yang dicalonkan jadi pelatih bela negara katanya. Jepang butuh orang yang mampu memimpin orang lain untuk mengurusi dan melatih para pemuda yang dikumpulkan dari berbagai daerah. Bapak bersama Pak Adi termasuk di antaranya. Kami dipaksa untuk membentuk pasukan rakyat yang menjadi mesin perang melawan Sekutu—dipaksa ikut menindas tenaga romusha, tenaga kerja paksa yang menderita untuk membangun jalan dan berbagai sarana tentara yang lain. Kami harus menutup mata terhadap kumiai, pemerasan dan perampasan harta rakyat dengan bermacam-macam pajak sehingga mereka semakin sengsara. Jaman serba sulit. Betul-betul serba sulit.” Pak Dwija menghentikan ceritanya sambil menerawang.

“Aku belum bisa melanjutkan ceritanya. Belum sanggup…. Mungkin masih butuh waktu untuk mencernanya kembali. Kenangan-kenangan pahit yang berseliweran. Dan, ah, siksaan-siksaan itu terlalu berat. Sungguh-sungguh di luar peri kemanusiaan.” Pak Dwija menghela nafas dalam-dalam.

Aku duduk diam, tidak berani menanggapi ungkapannya.

“Kapan-kapan akan kuceritakan lagi,” katanya menyudahi percakapannya.

Aku mohon pamit dari pertemuan sore itu.

Malam hari, aku mendengar teriakan-teriakan dari rumah Pak Dwija. Teriakan-teriakan yang tidak jelas. Aku tidak bermaksud untuk mencari tahu apa yang diteriakkannya. Tidak ada sepatah kata yang dapat kupahami. Entah, apakah Ibu Dwija atau putra-putrinya paham dengan teriakan-teriakan yang keluar dari mulut Pak Dwija.

Aku tidak bisa membayangkan kegelisahan Pak Dwija. Aku tidak bisa merasakan kecemasan Ibu Dwija dan putra-putrinya menghadapi malam-malam seperti itu.

Pagi harinya, seperti tidak terjadi apa-apa. Pak Dwija ke kantor hampir bersamaan dengan anak-anak yang berangkat ke sekolah atau kuliah. Dan Ibu Dwija juga berangkat ke pekerjaannya di rumah sakit.

Pembantu rumah tangga yang bertugas membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan memasak, juga tidak merasa ada sesuatu yang perlu dikuatirkan. Dia mengerjakan segala sesuatunya seolah tidak terjadi apa-apa. Toh, dia sudah puluhan tahun mengabdi di keluarga Bapak Dwija Taruna.

Semua berjalan tanpa ada gejolak apa pun. Teriakan-teriakan Pak Dwija yang mengingau saat tidur malam, tentu akan lewat dan tidak perlu dikuatirkan.

***

 Seperti biasa, Pak Dwija telah menghadangku sepulang dari kampus. Kami duduk di teras berdua. Di tengah percakapan, lalu Pak Dwija mulai membeberkan lagi kenangan pahitnya. “Aku duluiadili tentara Jepang dalam Gunritsu Kaigi, mahkamah pengadilan militer di Jakarta. Termasuk almarhum Chudanco Adi Malela,” kata Pak Dwija menyela di tengah pembicaraan.

“Dari Blitar kami dibawa ke Jakarta. Bertruk-truk jumlahnya. Katanya dijanjikan tidak akan dilakukan tindakan apa pun. Ternyata kami dimasukkan di penjara. Pakaian kami dilucuti, sampai hampir telanjang. Beberapa komandan, termasuk almarhum Adi Malela dan aku ditempatkan secara terpisah. Kami dianggap sebagai tokoh-tokoh kunci yang merancang pemberontakan Februari itu. Anggota lainnya dikumpulkan di satu ruangan.

Iya, caranya tentara Jepang memaksa para pelatih PETA yang dikira terlibat dalam pemberontakan terlalu kejam. Aku dihajar dengan senjata sinai, batang bambu yang dibelah dan di dalamnya diisi per besi,” katanya lagi.

“Berat rasanya kehilangan Chudanco Adi Malela yang mengalami nasib sama. Selama ini dia menjadi sinar indah yang menerangiku. Dia menjadi sahabat yang hadir saat berbagai kesulitan melanda. Bahkan, saat beban keluarga akibat dari banyak anak yang harus kutanggung sehingga hampir menghancurkan diriku, dia membantu dan menguatkanku. Sekarang sepeninggalnya, terpaksa aku mengais-ngais lagi dan mengingatnya. Butuh usaha keras untuk bisa menuliskannya.”

Pak Dwija meninggalkanku di teras. Dia masuk ke dalam. Keluar lagi membawa satu amplop dan sebuah pedang katana.

“Dalam catatan ini,  kutulis hampir semua peristiwa yang bisa kuingat dan menghantuiku sepeninggal Chudanco Adi Malela. Memang belum bisa semuanya. Selama ini kami bisa menyimpannya, karena kami masing-masing bertindak tahu sama tahu. Sepeninggal dia, duh, rasanya peristiwa-peristiwa itu muncul tanpa kendali. Kata orang serumah, setiap kali di tengah tidur, aku berteriak-teriak tidak keruan. Putra sulungku pernah secara sembrono menyarankanku. ‘Pak, guncang-guncangan itu ditulis saja.’ Guncangan apa! Tahu apa dia dengan pengalaman-pengalamanku!”

“Ah, sudahlah,” katanya sambil seperti menepiskan sesuatu. “Ini ada beberapa catatan di sini. Ada juga beberapa gambar peta. Dan lukisan wajah Supriyadi. Silahkan, Nak Mas toh akan menjadi ahli sejarah. Jadi, pada Nak Mas catatan ini kuserahkan,” katanya sambil menyerahkan satu sampul berisi kertas-kertas.

Aku menerimanya  tanpa bisa berkata apa-apa. Hanya berkaca-kaca.

“Sstt, Nak Mas. Ini katana yang pernah kuceritakan dulu.” Pak Dwija memegangi sebuah katana yang sudah berkarat, sambil menunjukkannya padaku. Gagangnya masih kokoh, tak ada pelindung tangan di bagian pegangannya. Lalu Pak Dwija meletakkannya di atas meja. Pandangannya kemudian menerawang.

“Boleh saya melihat dan memegangnya?” tanyaku meminta ijin.

“Jangan. Kamu tidak paham. Itu bukan barang mainan,” kata Pak Dwija seperti bersalin tekanan suara daripada biasanya. Duduknya tegak. Tatapan matanya tidak mengarah kepadaku seperti kalau dia bicara dalam keadaan biasa.

“Kami sama-sama dihukum oleh pengadilan militer Jepang. Shodanco Supriyadi berhasil melarikan diri, menghilang dan memang tidak pernah kembali. Kami jajaran anggota batalyon yang menjadi atasannya, dan anggota PETA yang lain di bawahnya, harus menjalani pengadilan militer Jepang di Jakarta. Tentara Jepang itu terus menerus bertanya pada kami tentang keberadaan Shodanco Supriyadi. Siksaan-siksaan panjang yang mengiringi pelaksanaan  pengadilan itu, membuatku berteriak-teriak setiap malam. Aku tidak mampu menahannya sepeninggal Chudanco Adi Malelo.” Pak Dwija bercerita.

Aku diam tanpa menanggapi sepatah katapun. Aku juga tak berani memandangi Pak Dwija yang tetap duduk tegap di tempatnya.

“Maaf, Nak Mas. Mungkin aku masih harus menuliskannya lagi. Iya, anak-anak dan menantuku  telah menyarankannya. Silahkan, Nak Mas pulang.

“Ya, Pak. Terima kasih,” jawabku singkat.

“Saya menunggu cerita rahasia katana,” kataku sebelum pamit.

“Terima kasih,” kata Pak Dwija sambil berdiri. Dia berdiri tegap di sebelahku, seakan mengiringkanku segera beranjak dari tempat dudukku.

Aku beranjak dan  berdiri menghadap Pak Dwija. Menundukkan kepala dalam-dalam ke arahnya lalu pamit.

“Ya, silahkan,” jawabnya singkat.

***

Beberapa hari berlalu, aku lewat halaman rumah Pak Dwija tanpa dihadang oleh Pak Dwija. Biasanya dia memintaku singgah dan mengajaknya berbincang-bincang. Menanyai tugas skripsiku atau dia bercerita tentang pengalamannya. Aku merasa seperti ada sesuatu yang kurang.

Kisah katana sepertinya belum selesai diceritakannya. Masih ada yang kutunggu kelanjutan ceritanya. Ah, suatu ketika Pak Dwija pasti menceritakannya.

Suatu sore, Bu Dwija yang menghadangku. Dia mempersilahkan aku singgah.

“Nak Mas, tolong mampir sebentar,” katanya ramah.

Aku duduk di tempat biasanya. Bu Dwija masuk ke rumah dan keluar lagi dengan beberapa lembar kertas di tangan.

“Beberapa hari ini Bapak sakit, Nak. Sekarang juga sedang tidur. Beliau pesan untuk menyerahkan kertas ini pada Nak Mas. Bapak meminta Nak Mas membacanya di sini saja. Silahkan.” Katanya sambil menyerahkan kertas itu padaku.

Bu Dwija masuk rumah lalu kembali dengan membawa teh untukku.

Aku mulai membaca tulisan tangan Pak Dwija, Tulisan seorang guru pendidik sebelum kedatangan Jepang. Dengan bentuk-bentuk hurufnya yang berirama.

“Akhirnya, setelah hampir sebulan menjalani pemeriksaan, hukuman pengadilan militer Jepang dijatuhkan. Kami masuk penjara. Chudanco Adi Malela dan aku dihukum limabelas tahun. Lain-lain hukumannya beragam. Badan penuh bilur-bilur bekas siksaan. Bahkan dua gigiku tanggal. Kami tidak tahu akan seperti apa nasib kami selanjutnya.

Beberapa bulan setelah kemerdekaan, kami dibebaskan dari penjara. Chudanco Adi Malela dan aku bersepakat bersama-sama kembali ke Blitar. Beberapa orang di Blitar masih mengenali kami. Dua katana komando yang ada di bekas Batalyon Pendidikan Pembela Tanah Air di Daidan Markas Komando Blitar diserahkan kepada kami berdua. Mereka anak buah yang lolos dari pengadilan Jepang yang masih mengenali kami. Sungguh terharu kami dibuatnya.

Kami berdua sempat jadi Tentara Rakyat Indonesia berpangkat Letnan Kolonel. Ah, apakah pantas penghargaan itu. Jadi, kami bersepakat meninggalkan tugas pekerjaan militer. Masak, tentara Indonesia di sebuah negara merdeka punya anggota yang menyandang luka bekas siksaan tentara Jepang. Ah, hanya akan menjadi aib. Kami memilih kerja di jalur sipil. Masing-masing berpisah. Ternyata dipertemukan lagi di kampung ini. Sekarang, Chudanco Adi Malela telah mendahuluiku. Entah kapan giliranku.”

Sampai di situ tulisan Pak Dwija selesai.

Kupandangi kursi kosong di depanku. Di situ, Pak Dwija biasanya duduk. Meja di depanku juga kosong. Di meja itu Pak Dwija pernah menempatkan katananya.

Aku meletakkan kertas yang selesai kubaca. Perlahan-lahan, aku menyandarkan diri di kursi yang kududuki.

***

Choose Site Version
English   Indonesian