Everyone should view themself in a philosophical way in order to find meaning in their life.
At age 46, Rinto Andriono survived a stroke, caused by a blockage in his brain vessels, which paralyzed the right side of his body. Writing was one of the healing activities his neurologist recommended as a means to restore his ability to reason. Rinto began to write in June 2018, six months after he had the stroke.
Prior to this, Rinto was a post-disaster recovery planner, who worked extensively in various disaster sites throughout Indonesia and Asia. Now, during his post-stroke period, he is more involved in studies and online training and writing on post-disaster mitigations. In his spare time, Rinto likes to go for walks and read material with philosophical content regarding the protection of the natural environment.
Rinto writes to find meaning in his life, which now has limitations. Writing frees his soul and mind, both of which might have been constricted before his stroke, even though, at that time, he had no physical constraints.
Under the guidance of Ahmad Yulden Erwin, Rinto wrote a dozen short stories, which he compiled in an e-book titled Kencan Hikikomori, Hikikomori’s Courtship.
Rinto now participates in an on-line writing workshop facilitated by Purwanti Kusumaningtyas and Lian Gouw at the University of Satya Wacana in Salatiga. Rinto’s current writing project features the character of a beautiful, God-created creature who undergoes a gender change.
Rinto can be reached at rinto.andriono@gmail.com.
Pohon Pongo
Miranti terbangun dari tidurnya, dia berpeluh di tengah malam yang dingin. Napasnya tersengal-sengal. Di dalam kepala Miranti masih menggema bisikan Lukman baru saja.
“Mir, pergilah ke Pohon Tempat Memohon! Bawa serta Kasih bersamamu.” Kata-kata Lukman begitu bening mengiang dalam tidurnya.
Miranti menatap Kasih, putrinya yang sedang terlelap di sampingnya. Berbeda dengannya, tiada peluh yang membasahi badan Kasih. Udara malam itu memang sedang dingin, lumrahnya udara musim kemarau yang kering dan panas?
Miranti sudah tidak bisa lagi memicingkan mata. Malam terlalu rusuh dan hatinya sudah terlalu resah. Baru-baru ini dia sering bermimpi tentang Lukman, suaminya yang menghilang di tengah Rimba Raya Sebangau, di Kalimantan Tengah, sejak tiga tahun yang lalu. Berpuluh rombongan pencari sudah menghutan berbulan untuk mencari suaminya. Namun sampai kehabisan perbekalan, hasilnya selalu hampa. Sehampa hati Miranti yang kembali menjadi separuh setelah biasanya penuh bersama Lukman.
Lulusan dari Kedokteran Hewan Institute Pertanian Bogor, Miranti sekarang bekerja sebagai perawat kesehatan orangutan-orangutan untuk Taman Nasional Sebangau dalam kerja sama dengan Borneo Orangutan Survival Foundation, BOSF. Kedukaan mendalam karena kehilangan suaminya membuat Miranti enggan kembali ke Bogor, kota kelahirannya. Pengetahuannya tentang siloka yang diwarisi dari para karuhun Sunda membuat Miranti yakin bahwa kekasihnya masih hidup di suatu tempat di hutan raya Kalimantan ini. Dalam bisikan mimpi Miranti, Lukman sedang mempersiapkan sesuatu untuk masa depan mereka dan anaknya, untuk kehidupan yang pernah mereka impikan hidup menyatu dengan hutan. Untuk itu, Miranti yakin, dia dan Kasih putri mereka, hanya perlu menunggu waktunya tiba.
“Lukman, aku tahu kau akan datang untuk menjemput kami, tapi kapan? Aku sudah lelah,” ratap Miranti sambil mendekap Kasih.
Miranti termenung, dia mengingat kembali kata demi kata percakapan mereka sebelum Lukman beranjak dari pelukannya demi nasib hutan yang mereka cintai. Dalam mimpinya malam itu, Miranti seolah terlempar ke masa lalu, memang belakangan ini garis waktu semakin semena-mena melengkung dari masa kini ke masa lalu Miranti. Dan Lukman berganti-ganti antara hidup dan tiada. Ingin rasanya Miranti tidak pernah tersadar dari mimpinya, dimana Lukman nyata bersamanya.
“Aku akan pergi sebentar. Jaga baik-baik anak kita, ya,” Lukman berkata kepada Miranti pada hari buruk yang selalu mengawan di hati Miranti dan membuat hari-harinya kelabu.
Miranti masih mengingat jelas kata-kata yang timbul dari hati risaunya itu. “Apakah kau tidak bisa menunda kepergianmu?”
“Tidak, aku hanya hendak memenuhi baktiku.”
“Tetapi terlalu berbahaya, para preman kebun sawit sedang mencarimu.”
“Sang Roh adalah segala cahaya hidupku, aku hanyalah pantulan cahayanya.” Itu yang dikatakan Lukman saat itu, saat mereka beradu mulut tentang bahaya yang mengancam Lukman selaku rimbawan pegiat kelestarian.
Miranti teringat saat dia mencegah, “Ya, tetapi keadaan di Taman Nasional Sebangau sedang genting, mereka masih kesal karena kau gagalkan upaya mereka menyerobot wilayah taman.”
Miranti tahu, Lukman bukannya tidak sungguh-sungguh memikirkan ucapannya. Miranti merasa Lukman sedang menghadapi buah simalakama. Miranti teringat melihat Lukman termenung, menghentikan gerak tangannya membungkus barang-barang. Lukman pasti ingat belaka betapa dia dan kawan-kawan suku Dayak Ngaju telah mempermalukan para pengusaha sawit dengan bukti penyerobotan kawasan taman.
“Cahaya yang membimbingku ke sana segera,” Lukman menukas, setelah menyingkirkan semua kebimbangan.
“Mereka tak kan berhenti berusaha memperluas kebun sawitnya hingga ke dalam wilayah taman, Roh memang sudah membimbingmu tapi bisakah kau melakukannya nanti?”
“Tidak bisa, Sayang, mungkin darmaku sedang dibutuhkan hutan ini sekarang, percayalah!” Lukman berusaha menenangkannya.
“Ya, tapi waktunya itu lho yang tidak tepat!”
Lukman tidak menggubris penyanggahannya.
Kemudian hening melingkupi keduanya, mereka terdiam menahan kerisauan masing-masing. Malam itu, Lukman pergi dan menghilang begitu saja di dalam rimba.
Kawan-kawan rimbawan pegiat lingkungan menduga Lukman telah dilenyapkan di tengah prahara yang melanda hutan. Beberapa orang mempercayainya bahwa inilah bentuk balas dendam dari para mandor kebun karena Lukman telah giat menggalang perlindungan bagi hutan. Mereka sepertinya menganggap Lukman sebagai pelaku penjegalan terhadap perluasan kebun sawit yang jauh menjorok ke Taman Nasional Sebangau. Namun tidak ada yang bisa membuktikan kebenarannya.
Itu adalah adu mulut terakhir Lukman dengannya. Miranti terhenyak dari lamunannya. Dia menghela nafas sambil mengusap kening Kasih yang mulai terbangun.
Miranti mendengar sayup-sayup lolongan dan seruan orangutan. Miranti menajamkan telinganya.
Para orangutan berida terdengar memimpin barzanji. Miranti semakin risau, dia tahu belaka bahwa orangutan adalah mahluk batiniah yang bisa turut merasakan nasib rimba. Mereka seolah bisa mendengar senandung paduan suara hutan yang makin lama makin lirih dan parau. Itu adalah nyanyian hutan yang sedang sekarat. Hanya orangutan-orangutan paham benar dengan suara itu.
Pagi kembali menyingsing dengan kesibukan Miranti pada tugas-tugas perawatan orangutan. Banyak orangutan yang diselamatkan para jagawana dari taman nasional mengalami luka bakar parah, lemas dan kekurangan air. Sisi timur Taman yang berdekatan dengan wilayah Ibu Kota Negara di Sepaku, wilayah Penajam Paser Utara, mulai terbakar. Banyak satwa liar dan orangutan terluka.
Untungnya semua kejadian pilu ini tidaklah mempengaruhi masa kecil Kasih. Sebagai anak yang selalu ingin tahu, Kasih setiap hari mengikuti perjalanan para jagawana memberikan makan pada orangutan. Kasih begitu menyukai kegiatan ugahari bersama para jagawana itu. Bahkan dia sering tidak menghabiskan buah makan siangnya. Dia sangat suka menyisakan bekal buahnya untuk Pongo, anak orangutan kesayangannya. Mereka adalah dua makhluk berlainan jenis, tapi nampak seperti telah lama saling kenal. Mereka sering saling mengulurkan tangan, bertukar ubi dengan pisang. Kadang mereka kedapatan sedang bermain bersama. Sementara itu Laksmi, ibu Pongo, dan Miranti sama-sama hanya mengawasi dari kejauhan.
“Bu, ayo kasih makan Pongo dan Laksmi ….” Kasih merajuk ibunya. Miranti melihat dari jendelanya dua orangutan itu sudah menanti di luar, di pinggir hutan.
Miranti dan Kasih beranjak menemui Laksmi dan Pongo.
Laksmi adalah orangutan betina dewasa, yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di Taman Nasional Sebangau. Di balik bulunya, tubuh Laksmi penuh dengan carut bekas luka, yang dia peroleh dari para mandor, semenjak maraknya perkebunan sawit di situ. Berangkat dari pengalaman itulah, Laksmi menjadi orangutan yang selalu waspada. Nyawanya pernah hampir melayang bila tidak diselamatkan oleh para jagawana, akibat siksaan mandor yang kejam. Mirantilah yang memberinya nama Laksmi. Ia adalah salah satu induk orangutan di Taman dan sekaligus penyintas yang ulet. Laksmi menjadi orangutan yang selalu waspada.
Pagi ini kabar kebakaran taman semakin meluas. Gambut yang kering karena kemarau yang panjang menjadi penghantar api yang baik. Kebakaran tidak dari ujung dahan yang hijau, namun bara merayap dari dasar akar tanah gambut tak terkendali. Bau kayu lembab yang terbakar mulai menguar dihantarkan asap putih menebal campuran uap air dan zat asam arang. Satwa-satwa dan penduduk kampung tepi rimba pun sesak nafas dibuatnya.
Laksmi menatap Miranti tak seperti biasa. Matanya yang coklat terasa menghampiri hati Miranti dengan kepiluan mendalam. Miranti mahfum. Dia tahu belaka soal kabar kebakaran itu. Dia merasa, Laksmi punya rasa yang sama tentang kebakaran itu. Mereka ibu yang sama-sama risau dengan keselamatan dirinya dan anaknya. Seolah ada satu pertanyaan yang mempertautkan keduanya, Akankah mereka masih bisa menemukan hari esok yang kembali menghijau?
Sesaat kemudian, tempat pemberian makan para orangutan menjadi riuh. Para orangutan yang sedang sarapan seolah tiba-tiba menyahut sebuah panggilan dari dalam rimba. Miranti turut menoleh ke arah rimba. Laksmi sontak menjadi gelisah. Sejenak dia menatap Miranti tanpa bersuara. Lalu, sambil mengerang, Laksmi menarik tangan Pongo untuk kembali menghutan.
“Barzanji lagi? Tadi sudah.” Miranti merasa merinding ketika para orangutan itu semakin sering barzanji, seolah mereka bertanya, “Apa yang salah dengan kehidupan hutan ini?”
Miranti melihat Pongo enggan mengikuti ibunya. Ia masih sibuk menghisap daging ubi yang manis yang baru saja diberikan kepadanya oleh Kasih. Namun sepertinya hati Laksmi sudah terpanggil ke sisi lain hutan. Pongo melambaikan tangannya pada Kasih yang kecewa dengan tingkah Pongo dan Laksmi yang tidak biasa.
Mawas dengan suasana orangutan yang tampak genting, Miranti juga menggenggam tangan Kasih yang sedang penuh tanda tanya.
“Kenapa mereka pergi cepat kembali menghutan, Bu?” tanya Kasih.
“Mereka harus menghadap Sang Roh Rimba.”
Kasih tidak puas dengan jawaban ibunya, tetapi dia harus bergegas mengikuti langkah ibunya yang juga tergesa-gesa kembali ke pusat perawatan.
Sesampainya di Pusat Perawatan, Kasih masih tidak terima. Dia masih memberondong ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan atas apa yang baru saja dialaminya di pinggir hutan.
“Siapakah Sang Roh Rimba?” cecar Kasih.
“Dia adalah kekuatan atas segala kekuatan yang menghidupi segala sesuatu di dalam hutan. Dia yang menghidupkan dan mematikan semua yang ada di dalam rimba.”
“Termasuk Ayah?” Tanya Kasih.
Pelan dan lirih Miranti menjawab, “Iya ….”
Dalam benak Miranti, dia tertegun dengan pertanyaan Kasih baru saja. Miranti pun baru beberapa hari ini merasa bahwa Lukman tidak mati. Dia tinggal bersama Sang Roh Hutan dan belakangan sering mengunjunginya di dalam mimpi. Mimpi-mimpi yang membuatnya risau sepanjang hari.
Dalam pengamatan Miranti, hidup terberat Laksmi, Pongo dan para orangutan adalah saat musim kering. Saat kemarau seperti ini hutan akan penuh asap, banyak pohon yang terbakar. Mereka juga kesulitan memperoleh makanan. Laksmi dan Pongo sering hanya mengandalkan sedikit ubi dan pisang dari Taman Nasional, sekadar untuk ganjal. Makanan sedang susah didapat.
Jatah makan dari Taman Nasional hanya diberikan satu kali sehari. Pongo dan kawan-kawan masih lapar. Karena mereka rindu akan pucuk daun dan buah manis yang makin susah didapat saat kemarau, mereka menyerbu umbut sawit di kebun sawit pinggiran Taman Nasional Sebangau. Makanan yang bila tak hati-hati, akan menghadiahkan bilur pegal dan ruam panas di badan, akibat siksaan para mandor. Para mandor sering mengusir orangutan kelaparan dengan senapan angin, air panas, racun babi hutan atau cairan asam.
Sepengetahuan Miranti, pada musim kemarau putih penuh asap seperti ini, orangutan-orangutan sering berkumpul di Pohon Agung di penjuru Taman. Mereka bersama-sama barzanji dipimpin oleh orangutan berida. Mereka menyerahkan jiwa dan tubuh yang sedang kelaparan ini pada Sang Roh yang kali ini mewujud sebagai Pohon Agung, bersama dengan kelaparan, api yang melelehkan kulit dan asap yang membuat sesak nafas. Semua itu adalah jelmaan Sang Roh Rimba.
Pohon Agung tempat mereka barzanji adalah pohon berbuah buni. Bijinya yang lezat disukai orangutan, tupai, dan burung-burung. Batangnya besar, dahannya kekar, kulit batangnya obat yang mujarab, jerubung yang rimbun merupakan rumah buat aneka satwa termasuk orangutan. Akar Pohon Agung itu kuat dan menancap dalam untuk menahan perawakan yang tinggi besar. Pohon Werkodara demikian Kasih dan Miranti yang berdarah Parahiyangan menyebut pohon besar sekeluarga Pohon Bodhi ini.
Miranti sudah beberapa kali menyaksikan dalam tugasnya sebagai dokter orangutan di hutan, bagaimana sekumpulan orangutan menampilkan kerisauan mereka dengan barzanji. Para berida seperti kesurupan, mereka berayun, melolong, meraung dan terus mencoba meraih dahan, daun, dan ranting pohon. Ini pohon bukan sembarang pohon, ini adalah Pohon Tempat Memohon. Orangutan itu seolah menyerahkan seluruh jiwa dan tubuhnya untuk dirasuki roh.
Selama delapan tahun bekerja, Miranti berpendapat bahwa para orangutan itu adalah mahluk yang sangat rohaniah. Meskipun mereka seolah kesurupan saat barzanji, sebenarnya mereka sedang menghadap Roh Rimba. Miranti percaya pada ketulusan hati orangutan.
Pada saat barzanji, Miranti merasa seekor orangutan berida tertua meraung berkata, “Roh pasti akan memelihara kita. Dia hadir di mana-mana, sebagai yang baik dan yang buruk.”
Dengan raungan yang kuat orangutan berida itu lanjut seperti berkata, “Dia yang kita takuti, tapi sekaligus yang kita rindukan.”
Riuh di hutan mereda. Miranti membayangkan barzanji para orangutan telah selesai. Menurut Miranti memang para orangutan itu bukan sedang menggugat Sang Roh atas kebakaran dan kelaparan yang berkepanjangan ini. Mereka tak pernah menggugat. Mereka tak pula sedang memohon azab bagi para mandor yang kejam atau para cukong sawit yang serakah. Mereka bukan pendendam. Mereka hanya menyerahkan diri mereka pada keseimbangan alam. Mereka percaya bahwa alam hanyalah bandul yang bergerak di antara titik keseimbangan. Mereka ikhlas-ikhlas saja bila dalam pergerakan bandulan itu berarti adalah kepunahan jenis mereka.
Miranti yakin, hutan yang bernyanyi dengan parau inilah yang didengar oleh para orangutan yang tadi berkumpul melakukan barzanji. Hal ini tidak bisa didengar oleh manusia yang terlalu banyak tuntutan dan praduga. Hanya makhluk yang lugulah yang bisa mendengarkan nyanyian hutan dan riuhnya pertautan perasaan pohon-pohon di dalam jaringan syaraf di dasar rimba. Hanya merekalah yang bisa mendengar suara bariton pohon mahoni tua, suara sopran pohon ulin yang kokoh atau suara tenor pohon meranti yang tinggi langsing. Pada hutan yang sehat, suara-suara itu menjadi sebuah senandung paduan yang merdu.
***
Kebakaran hutan Taman Nasional Sebangau pada puncak kemarau 2019 sungguh hebat. Kebakaran terjadi bersamaan dengan rencana pembangunan Kawasan Sepaku, Penajem Paser Utara sebagai ibukota negara yang baru. Ibukota yang lama telah terlampau banyak beban. Pemerintah meniatkan membangun ibukota yang baru dengan gagasan lapis sanding antara manusia dengan alam. Namun, sepertinya, pelaksanaan gagasan tersebut banyak kecolongan dalam penerapannya. Kebakaran adalah cara yang paling hemat dan mudah untuk membuka hutan.
Taman Nasional Sebangau pun ikut terbakar hebat. Bara api begitu dalam dan luas membakar jaringan syaraf akar di dasar rimba. Hutan sekarat. Udara pengap, zat asam berubah menjadi asam arang yang mematikan kehidupan. Senandung paduan suara pohon-pohon tertelan riuh gemertak dahan yang terbakar menjauhi kebakaran yang tak kunjung ada ujungnya. Mereka terpontang-panting menjauh. Kelelahan dan nafasnya sesak zat asam arang. Akhirnya jatuh dan terpanggang.
Orang-orang mengungsi keluar kota atau bersembunyi di dalam rumah. Mereka yang tidak memiliki kemewahan mengungsi ke pulau yang aman, akan bersembunyi saja di dalam rumah.
Miranti sangat berat hati untuk mengungsi. Perasaannya akan kehadiran Lukman justru semakin menguat di saat genting ini. Namun demi kesehatan Kasih, Miranti pun terpaksa memesan tiket pesawat dengan masygul. Menghadapi kenyataan seperti ini, hati Miranti seperti hendak terbelah ke dua sisi yang berbeda.
Gerak hatinya mengajaknya tetap di sini untuk tetap dekat dengan Lukman. Namun, kewarasan pikirannya berkata lain. Belakangan ini, penampakan Lukman semakin nyata di dalam mimpi dan lamunannya. Dia semakin mengejawantah dalam keseharian Miranti. Seolah dia menemani.
***
Pagi Rabu itu, di puncak kemarau tahun 2019, kelabu menutup langit Taman Nasional Sebangau. Seolah paham dengan perasaan ibunya, Kasih pun nampak bergeming untuk tidak pergi dari Kompleks Perumahan Taman Nasional Sebangau. Kasih selalu mengkhawatirkan nasib Pongo. Kekhawatiran ini bertambah sejak Pongo dan Laksmi meninggalkannya dengan tiba-tiba beberapa hari lalu di tempat pemberian jatah makan orangutan.
“Ayo, kita ke tempat pemberian makan orangutan!” rengek Kasih pagi itu.
Sudah dua hari ini, karena kelangkaan pasokan bahan baku, Pengelola Taman sementara menghentikan pemberian makan kepada orangutan.
“Tapi tidak ada jagawana yang memberikan makan di sana,” kata Miranti.
“Aku ingin ketemu Pongo.” Kasih memaksa.
“Para jagawana sedang sibuk, mereka membantu pemadaman kebakaran hutan.” Miranti membujuk.
“Ya… kita saja yang ke sana saja.”
Akhirnya Miranti pun menyerah. Namun dia membuat semacam penawaran pada Kasih.
“Tapi setelah itu, jika kita terpaksa harus mengungsi ke Bogor, Kasih mau ikut ya.” Miranti membuat penawaran sekedarnya, dia sendiri enggan pergi meskipun akal nalarnya menyuruh dia pergi dari tempat ini.
Kasih mengangguk, meski Miranti meragukan anggukan Kasih juga sampai ke hati anak itu. Miranti merasa, Kasih seolah melihat jalan keselamatan yang lain, yang tidak bisa dia ceritakan.
Miranti memasangkan masker penyaring udara menutupi hidung dan mulut Kasih. Tempat pemberian makan orangutan hanya jarak yang dekat saja, jarak jalan kaki. Namun kali ini terasa sangat jauh. Miranti sangat merasa tidak aman. Dia membawa beberapa tabung oksigen kecil di dalam ranselnya, bersama air dan sedikit kudapan.
Taman Nasional gelap dan sangat berasap. Langit pun jingga, seolah turut terbakar. Udara amat panas.
Sebentar kemudian mereka sudah tiba di tempat pemberian makan. Tempat yang biasanya ramai, kini sepi dan kelabu. Tidak ada reriungan para orangutan seperti biasanya.
“Pongo, sini dong,” celoteh Kasih dengan riang.
Ibunya masygul membisu. Angin bertiup membawa asap yang semakin tebal. Membelah keabuan, dua sosok nampak tertatih datang dari kejauhan. Pongo dan Laksmi datang menghampiri.
“Kamu lapar, Pongo?” Kasih mengeluarkan beberapa buah pisang.
Kewarasan akal pikiran Miranti risau dengan keselamatan mereka di tengah hawa pengap kebakaran hutan ini. Tetapi sepertinya pikiran waras itu sudah bertekuk lutut pada daya gerak hatinya. Dia membiarkan Kasih berceloteh riang dengan Pongo. Laksmi hanya menatap dari kejauhan seperti biasa. Tiba-tiba hidung Miranti seperti mencium bau Lukman. Bau yang dahulu pernah akrab dan kini hanya terekam dalam kenangan.
“Baumu sekarang dapat kurasakan kembali di hidungku Lukman,” gumam Miranti. Bau itu mengudara di sekitar tubuh Miranti bersisihan dengan bau asap yang mematikan. Miranti tak kuasa menolak daya tarik bau itu. Dia sadar dirinya harus menggapai tabung oksigen yang dibawanya, tetapi tak dilakukannya. Bau Lukman sangat kuat membawa Miranti pada kedamaian yang selama ini dirindukannya. Kedamaian yang salah tempat, apa boleh buat. Gerah rusuh suasana hati Miranti. Udara semakin panas. Miranti limbung.
Dalam limbungnya, segala sesuatu seolah mencari jalan selamat sendiri-sendiri. Kewarasan nalar Miranti berusaha menggerakkannya untuk menyelamatkan diri segera. Namun batinnya membuai dengan bayangan kedamaian bertiga bersama Lukman dan Kasih di dalam rimba. Sementara jantung dan paru-parunya mulai memberontak kekurangan zat asam. Dengan mata berkunang-kunang dia melihat tampak Laksmi kembali merimba menggandeng tangan Pongo. Seperti tidak rela ketinggalan, Kasih pun menyeret tangan Miranti mengikuti Laksmi dan Pongo. Kaki-kaki Miranti terseok-seok mengikuti Kasih yang menjadi sangat yakin dengan langkah-langkahnya. Nampaknya mereka akan pergi menjauh ke dalam rimba ke pohon tempat memohon.
Dalam keadaan kabut itu, Miranti semakin merasakan kehadiran Lukman. Baunya semakin menguat di tengah kabut asap. Sesampai di bawah pohon tempat memohon dengan mata setengah terkatup, Miranti seolah melihat bayangan Lukman muncul tampak segar bugar dari lubuk naungan rimba yang terdalam.
Dia menyapa, “Aku telah lama menunggu kalian, Mir ….”
Miranti tersenyum. Nalarnya sudah sepenuhnya bertekuk lutut, terlebih saat melihat Kasih melompat-lompat kegirangan menyambut Lukman.
Tidak ada asap dan gemertak suara ranting terbakar. Hanya suara Lukman yang bening menyapa. Tidak ada cukong sawit dan mandor jahanam. Hutan pun masih sangat perawan. Seperti pertama kali semesta membuatnya. Semua mahluk hidup seolah roh yang segar bugar, meninggalkan jasad yang renta dan penuh masalah.
Lukman membungkuk untuk menggendong Kasih. “Biarkan ibumu menyelesaikan moksanya,” kata Lukman mencubit hidung Kasih.
Langit jingga telah menjadi merah.
Miranti terbaring dengan landasan akar besar Pohon Tempat Memohon.
*****