L.K. Ara was born in Takengon, Aceh, on November 12, 1937. A poet, writer of children stories as well as a commentator on literary and art publications, he has been widely published in several newspapers and magazines in Indonesia, Malaysia and Brunei. Ara is the recipient of the Hadiah Seni from Pemda Aceh (2009) a prestigious cultural government award from the Province of Aceh.
Ara has served as the cultural editor of Harian Mimbar Umum (Medan), worked for the Secretary of State and until his retirement in 1985 held a position at the Balai Puataka.
Together with K. Usman, Rusman Setiasumarga, and M. Taslim Ali, he founded the Teater Balai Pustaka (1967) which introduced the poets of the Tradisional Gayo, and To’et, who performed in all major cities in Indonesia. Ara has been published extensively by respected publishers such as, Balai Pustaka, Grasindo, Pena, Tonggak, Horison Sastra Indonesia, and Yayasan Mata Air Jernis.
Ara is a regular participant in literary events in Indonesia and Malaysia. In April of this year he attended the Pertemuan Sastrawan NUMERA in Padang.
******
Collection Of Poems L.K. Ara
Benteng Rikit Gaib 1904
Di lembar buku tua itu
kutemu gambarmu
kampung yang senyap
hanya tumpukan mayat-mayat
dan tiang bambu yang lurus dan layu
seperti tersedu
benteng Rikit Gaib telah rubuh
pagar bambu berduri runtuh
para pejuang negeri
telah dihabisi
oleh Van Daalen dengan keji
lelaki perempuan
orang tua anak anak bahkan
dibunuh secara kejam
tanpa perikemanusiaan
Van Daalen memang mengirim utusan
Meminta pejuang agar suka perdamaian
Tapi pimpinan pejuang
Aman Linting
dan Reje Kemala Darna
Menolak saat itu juga
Karena di dada sudah ditanam
Pohon berbuah tabah
Lebih baik mati syahid daripada menyerah
(Banda Aceh, 29/1/2012)
Debur Ombak Itulah
Debur ombak itulah
yang memanggil manggil
hingga kami menjejakkan kaki ketempat ini
pada suatu petang yang tenang
menyelusuri jalan yang membentang
dari jalan beraspal hingga jalan bebatuan
hingga ke pinggir lautan
tiba dipintu gerbang yang terbuka
dan leluasa memandang selat Melaka
terbayang kapal kapal perang siap siaga
dengan 2000 para janda
prajurit yang terlatih dan setia
membela tanah pusaka
dari serangan Portugis dan Belanda
batu batu benteng masih berdiri
meski kurang terpelihara
lubang lubang pengintaian
masih terbuka ke arah lautan
tempat musuh datang menyerang
dan kami menyaksikan itu
setelah lebih 500 tahun berlalu
pada saat akar telah menjalar membesar
melilit benteng batu
pada saat lumut menebal
menempel benteng batu
kini kami rindu pada keperkasaanmu
wahai laksamana pertama di dunia
kini kami kehilangan
rasa kepahlawanan
rasa pengabdian
rasa kesetiaan
karena lebih memuja kemewahan
harta benda, pangkat dan kekuasaan
debur ombak itulah
yang setia mengabdi
sepanjang sejarah dari dulu hingga kini
yang terus berdebur dalam diri
hingga kami tak kan melupakannmu Laksama Malahayati.
(Banda Aceh, 11/1/12)
Hening
Batu menunggu
Aku tahu
Tapi kadang kaki pergi lama
Mengembara
Meninggalkanmu
Aku tahu
Batu menunggu
Aku tahu
Hingga gelombang pasang
Datang menghiburmu
Hingga lumut
Jadi teman akrabmu
Aku tahu
Batu menunggu
Aku tahu
Ketika kau diam
Ditikam tikam
Belati matahari sepanjang hari
Ketika kau diam
Di tikam tikam
Pisau sepi sepanjang hari
Aku tahu
Diammu sungguh diam
Gerak zikir yang dalam
Hingga sampai ke puncak diam
Hening
(Banda Aceh, 26/11/11)