July 12, 1945 – December 12, 2022
Yapi Panda Abdiel Tambayong, better known as Remy Sylado, was equally lauded as an author, actor, and musician. Dewi Anggraeni translated his novel Namaku Mata Hari (Gramedia, 2010) into English and My Name is Mata Hari was published by Dalang in 2012. We are honored to have been a small part of his remarkable journey and are grateful for his many contributions to Indonesia’s literary landscape.
Bab 16
Aku merasa dikajeni di sanggar seni pinggir Kali Elo ini. Pemimpinnya sendiri merasa senang karena aku ikut-ikutan memanggilnya Mbah Kung.
Di sini aku diberi sebuah rumah kecil, berdinding papan, pas satu kamar, menghadap ke timur. Di depan rumah ini ada burung perkutut dalam sangkar gaya mataraman terbuat dari penjalin dan bambu, yang arang-arang manggungnya, tapi sekali manggung di latar bunyi gamelan, terdengar magis, tak cukup perbendaharaan kata dari pengalaman batin di usiaku yang begini muda untuk bisa menerangkan asrar kedalamannya.
Rencana yang sudah ada dalam pikiranku, adalah aku masih akan tinggal di sini sampai lusa, dan setelah itu aku belum menentukan ke mana arah langkahku. Satu dan lain hal, karena rasa-rasanya aku masih berminat memelihara marahku pada Ruud.
Selain itu, bicara soal lusa, rombongan kesenian pimpinan Mbah Kung ini pada hari itu akan mengisi acara pertunjukan di bawah Candi Borobudur untuk menyambut Sri Sultan Hamengkubuwono yang akan datang dari Ngayogyakarta Hadiningrat ke sini mengantar seorang tamu agung dari Batavia, J.Th.Cremer, mirip nama Menteri Urusan Koloni.
Mbah Kung memberi kesempatan kepadaku — mudah-mudahan aku sanggup melaksanakannya — menari berdua dengan Astri putrinya. Semua anggota mendukung. Itu membuat aku semakin percaya, bisa menyesuaikan diri sebagai bagian dari masyarakatnya. Di sini aku merasa benar-benar menjadi manusia, bukan bangsa. Kira-kira dengan perasaan ini, hubungannya pas dengan pandanganku sendiri selama ini, tentang keutamaan maknawi atas kata “kemanusiaan” ketimbang “kebangsaan.”
Lihat saja diriku. Siapa sebetulnya aku? Ayahku seorang Fries, dan dengannya, seperti semua orang yang berasal dari provinsi Friesland, tetap merasa bukan bagian dari bangsa Nederland. Kemudian anakku, dari perkawinan dengan orang Skot, harus disebut apa keorangannya? Orang Skot, sebagaimana umumnya mereka yang berasal dari wilayah Skotland, memang berbahasa Inggris, tapi mereka tidak merasa bagian dari bangsa Inggris. Lalu aku siapa pula, kalau ibuku berasal dari tanah tempat aku berdiri saat ini, daerah Borobudur, puser kebudayaan Jawa nan adiluhung. Jadi, tak ragu lagi, aku adalah manusia, dan aku sedang berada di tengah-tengah manusia.
Lusa itu aku akan menari di depan orang-orang yang memerintah. Ini akan menjadi pengalaman pertama yang selalu akan merangsang untuk terus mengulanginya. Sudah tentu aku tak mau gagal. Aku ingin orang-orang penting yang menyaksikan tarianku akan terkesan.
Kata Mbah Kung, “Gambaran tari kembar bisa dipelajari rohnya dari dinding Candi Borobudur.”
Aku ingin tahu gambaran yang mana itu.
Tadi pagi aku bangun sebelum fajar di ufuknya. Menjelang sinar matahari masuk ke rumah kecilku, aku mandikan Norman John, siap-siap berangkat ke Candi Borobudur. Aku ke situ ditemani Astri. Tak mungkin aku bisa langsung menemukan relief yang menggambarkan tarian dua perempuan yang dimaksud Mbah Kung di candi yang begini besar, kalau tidak diantar oleh orang yang sudah hafal betul tempat-tempatnya.
Astri mengantar aku ke galeri kedua, pada dinding utama, Gandavyuha, yang seluruhnya terdiri dari 128 panel. Di situ terlihat relief dua orang penari perempuan bertelanjang dada di sebelah kanan, menghadap ke pemimpin tari di tengah-tengah. Aku tidak tahu di mana letak kecanggungan relief ini. Astri yang menerangkannya.
Agak sulit aku memahaminya, karena dia menerangkan dengan bahasa Jawa kromo-deso, dan meskipun aku sangat suka belajar bahasa, memang aku mengakui kali ini repot. Masih untung dia bicara sambil menunjuk-nunjuk ciri busana yang dikenakan oleh sosok-sosok dalam relief itu. Ketika menunjuknunjuk sosok kedua penari, dia menyebut-nyebut kata “Buddha,” dan ketika dia menunjuk-nunjuk sosok pemimpin tari, dia menyebut-nyebut “Hindu.”
“O? Aku mengerti,” kataku. “Kamu bermaksud mengatakan relief ini aneh, sebab di Candi Borobudur yang Buddha, ada sosok berbusana Brahma.”
“Ya, ya, ya,” kata dia.
Tarian seperti itu kiranya yang diharapkan oleh Mbah Kung untuk kami lakukan. Di relief ini tergambar, kedua penari memiringkan kepala ke kanan nyaris mendangak, tangan kanan dinaikkan dengan sikut setinggi kepala dan ujung tangan masing-masing jatuh di bawah dagu, lalu tangan kiri diulurkan lurus ke ujung luar mengena lutut kaki kiri yang dinaikkan sampai segaris payudara.
Ini adalah posisi diam. Aku menyebutnya dalam bahasa Belanda “stillstand.” Kalau aku diharapkan bisa melakukan tari dengan bertolak pada stilstand ini, aku kira, yang pertama harus dipikirkan adalah menafsir gerak sebelumnya dan gerak sesudahnya. Hanya dengan dua tafsiran itu, aku kira, aku sudah menemukan bagan gerak-gerak yang bersinambung. Dalamnya tercipta melalui imajinasi — lagi-lagi aku harus memakai kata ini — tentang suatu kesinambungan gerak-gerak yang indah dan kemudian menjadi utuh sebagai sebuah wujud kesenian.
Tinggal bagaimana aku bisa mencipta kesenian tersebut dengan tubuh disertai roh dan jiwa, di hadapan tuan-tuan yang bakal datang ke Borobudur sini pada besoknya besok. Pertanyaan dalam diriku: seperti apa — bukan siapa — Raja Jawa dari Yogyakarta dan seorang Belanda yang namanya sama dengan nama Menteri Urusan Koloni dari Batavia itu? Dan jawabku sendiri: seperti apapun — bukan siapapun — mereka, aku harus membuat mereka terkesan. Itu adalah ambisi satu-satunya yang dibenarkan dalam semua seni-pertunjukan. Di samping itu, penonton yang berasal dari golongan orang-orang berkedudukan tinggi, tidak peduli pada soal mutu dalam seni: bagus atau tidak. Yang penting pelakunya cantik atau tidak, bisa atau tidak diperdayakan kemudian diberdayakan. Begitu kata Mbah Kung.
Konon ini leluri lumrah, para pejabat tinggi yang berada di luar rumah, mesti memanfaatkan kesempatan kesendiriannya dengan meminta kepada bawahannya seorang “bantal guling bergerak” menemani tidurnya.
Kiranya sebentar lagi aku akan bertemu dengan pejabat tinggi seperti itu. Gambaran yang diberikan Mbah Kung kepadaku cukup menggelitikkan penasaranku.
Kata Mbah Kung, ”Semua pejabat tinggi berkecenderungan terhadap dua –ta, yaitu wani-ta dan har-ta.”
Aku bertanya, “Bagaimana itu?”
Dan jawab Mbah Kung sangat cerdas, “Wanita gampang tergoda oleh harta. Jadi tidak heran, di otak pejabat tinggi selalu dua –ta itu yang dipikir.”
Menarik nian.
Aku menyimpulkan — mudah-mudahan tidak keliru — bahwa harta pejabat tinggi itu diperoleh dari korupsi — demikian aku baca runtuhnya VOC dulu sebelum menjadi Nederlandsch Indië itu karena korupsi — dan dengan harta hasil korupsi itu mereka berpestapora dengan wanita-wanita.
“Ah, urusan orang-orang tua,” kataku sendiri. “Lebih indah dunia anak-anak.” Ketika aku berkata begitu, itu terjadi di esok harinya ketika beberapa anak di padepokan Mbah Kung bermain-main sambil menyanyi — yang disebut “dolanan lare” — dengan riang ria:
Eh dhayohe teko
Eh beberno kloso
Eh klasane bedhah
Eh tambalno jadah
Eh jadahe mambu
Eh pakano asu
Eh asune mati
Eh guangno kali.
Aku tepekur. Betapa masa kanak hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Sertamerta aku ingat masa kanakku. Pada ulangtahun ke-6, Ayah memberi hadiah miniatur kereta kambing, dan aku pandai memainkannya.
Bab 17
Aku tunggu tuan, atau mungkin juga tuan-tuan, pejabat tinggi
tersebut datang ke Borobudur.
Seperti apakah dia, atau mereka? Apakah mereka berkumis-kumis. Atau apakah pejabat paling tinggi di antara mereka itu berkepala botak?
Kalau botak, aku bosan, sebab Ruud yang saban hari tidur di sebelahku dengan bunyi dengkur mirip babi bunting, juga botak. Aku kerap membayangkan — membayangkan dengan prihatin — bahwa botak mengingatkan pada bola yang ditendang-tendang di lapangan. Ternyata tidak.
Yang bernama J. Th. Cremer, pejabat tinggi dari Batavia itu, punya rambut. Tidak tua, tapi juga bukan muda. Penampilannya mengingatkan pada sosok Yidis, turunan-turunan Yahudi di Amsterdam: memandang semua keadaan dengan untung-rugi.
Dia dikawal oleh tiga orang bulek lain, berjalan mengelilingi Candi Borobudur, sementara Sri Sultan Hamengkubuwono menunggu di bawah. Kedatangan Cremer ke sini dalam rangka hendak mempromosikan Borobudur sebagai bangunan ajaib untuk dikunjungi oleh orang-orang Eropa.
Setelah selesai melihat-lihat keadaan candi, Cremer turun ke bawah, duduk bersama Raja dari Yogyakarta hendak menyaksikan pertunjukan di situ. Matahari sudah terbenam, dan semua obor yang telah ditancapkan ke tanah di sekeliling pelataran pertunjukan dinyalakan, lalu muncul seorang yang bicara menjilat-jilat pada tuan-tuan itu sebagai kata sambutan dengan kata-kata berbunga yang cuma dia sendiri merasa bagus.
Dan, giliranku menari bersama Astri ….
Persis seperti harapanku, sehabis menari Cremer menyuruh salah seorang stafnya yang bercakap Belanda dengan dialek Limburg, menemui aku, dan meminta aku menemui Cremer. Dalam sekejap saja, melalui dua-tiga kalimat yang diucapkan oleh Cremer, aku sudah menemukan pembenaran atas teori tadi tentang dua –ta tersebut. Sebab, dalam percakapan yang berlangsung di tempat yang agak jauh dari rombongan kraton, Cremer selalu mencuri-curi pandang di gelap malam yang diterangi obor-obor, melihat payudaraku.
Dia memulai percakapan dengan memuji sembari tidak yakin akan apa yang diucapkannya. “Kamu bisa menari Jawa dengan baik.”
Aku menanggapi pernyataannya dengan senyum alakadar, menyadari bahwa dia seorang kolonialis.
Lalu dia melanjutkan dengan pertanyaan yang kelihatannya, ah, aku tidak punya kata bahasa Belanda ini dalam bahasa-bahasa yang lain, yaitu nuchter: seakan-akan bijak, seakan-akan obyektif, tapi dingin, dan tidak mabuk.
“Boleh saya tahu, dari mana asalmu?”
Aku menjawab tak sesuai dengan yang dia maui. “Saya tinggal di Ambarawa.”
“Maksud saya, asalmu di Belanda. Dari mana asalmu di sana?”
“Saya lahir di Leeuwarden.”
“Hm, Friesland?”
“Ya.”
“Hm. Saya pernah membeli topi di Leeuwarden.”
“Benarkah?”
“Ya. Kenapa?”
“Perusahaan topi itu sudah lama bangkrut.”
“Bagaimana kamu tahu?”
“Itu adalah perusahaan topi milik ayah saya.”
“Astaga. Betapa kecilnya dunia.”
Aku ketawa, prihatin. Mudah-mudahan ketawaku yang prihatin begini tidak kelihatan tolol.
Secepatnya Cremer bertanya, “Siapa namamu?”
Secepat itu pula aku menjawab, “Mrs. MacLeod.”
Cremer nampak tegang. “Oh? Suamimu orang Inggris?”
“Skot.”
“Hm. Kamu Mrs. MacLeod. Lantas mana Mr. MacLeodnya?”
“Untuk saat ini saya tidak peduli dia di mana.”
Cremer nampak kendor. “Hei! Kamu punya masalah dengan suamimu?”
Aku merasa tidak perlu menjawab, memastikan dia akan bertanya lagi, dan memang benar.
“Apa yang terjadi?”
Aku berpikir untuk mengujinya. “Kalau saya jawab, Anda toh tidak mungkin bisa menolong.”
Cremer memegang kedua tanganku. Sepintas kelihatannya dia hendak menunjukkan kesan seorang ayah kepada anak. Tapi aku tidak yakin sikap ini polos. Aku malah yakin itu akting. Alasannya, dia melakukan ini sembari makin penasaran mau melihat payudaraku. Bersamaan dengan itu terasa juga getaran tertentu di tangannya yang membuatku gugup.
“Kenapa tidak? Saya siap menolongmu. Apa yang terjadi dengan dirimu?”
“Biasa,” jawabku. ”Urusan rumahtangga. Dia tua, saya muda.”
“Ya, ya, ya,” kata Cremer sok-tahu. “Itu masalah berat. Saya bisa mengerti. Kamu masih bergelora, sementara suamimu pasti sudah loyo.”
Nah, kan? Pikirannya ngeres.
“Bukan itu, Tuan Cremer.”
“Lantas apa? Beri tahu saya. Saya pasti akan menolongmu.”
“Benarkah?”
“Tentu saja.”
“Baiklah. Kalau bisa, suami saya itu dipindahkan dari Ambarawa.”
“Memangnya siapa suamimu itu?”
“Dia opsir, Tuan Cremer.”
Dengan enteng Cremer berkata, “Itu gampang. Kamu ingin dia dipindahkan ke mana? Batavia?”
“Terserah Anda, Tuan Cremer.”
“Akan saya lakukan. Dalam pada itu, saya ingin mengontak kamu nanti secara langsung. Tulis alamat dan nama gadismu. Siapa nama gadismu?”
“Margaretha Geertruida Zelle.”
“Hm. Ya, ya, ya. Saya ingat nama keluargamu itu. Zelle. Merek topi itu. Kalau sampai kamu pindah ke Batavia, saya perlu kamu, untuk bekerja pada saya.”
“Terimakasih, Tuan Cremer.” Aku bergerak hendak berlalu.
“Tunggu,” kata Cremer.
“Ya, Tuan Cremer,” kataku, berbalik.
Cremer menarik tanganku, memegang pinggangku, lantas mengecup pipiku. Cara kecupnya sangat Belanda, yaitu tiga kali: sun pipi kiri, sun pipi kanan, dan sun pipi kiri lagi. Setelah itu, sambil tetap memegang pinggangku, melihat payudaraku, dia bertanya: “Apakah kamu sedang hamil?”
Jawabku tersipu, “Ya, Tuan Cremer, jalan tiga bulan.”
Tangannya berpindah ke bahuku, dan dia menepuk-nepuk.
“Menari jangan loncat-loncat,” katanya.
“Ya, Tuan Cremer,” kataku.
Aku pun bersikap sangat Belanda: nuchter.
Di bagian gelap sana terdengar Norman John menangis. Sejak tadi anakku itu digendong oleh istri Mbah Kung.
Bab 18
Aku sengaja tidak pulang ke Ambarawa sampai aku merasa mau. Maksudku, nanti aku pulang ke Ambarawa kalau aku mau, bukan karena aku ingin. Ada perbedaan penghayatan, bukan semata semantik, dalam dorongan antara pengertian “kemauan” dan “keinginan.” Kalau aku bilang “mau” maka ini bisa saja terjadi tiba-tiba tanpa rencana, sedangkan kalau aku bilang “ingin” berarti aku sudah merencanakannya dalam pikiranku. Padahal, sepanjang ini, dalam kecewaku pada Ruud karena ide gilanya itu, karuan sudah membuat aku merasa terjauhkan secara batin dengannya.
Aku sengaja diam di sanggar seni di pinggir Kali Elo ini, menikmati hidup bebas di tanah nan gemah ripah loh jinawi, barangkali bertemu roh para leluhur ibuku. Dengan tidak pulang sampai empat hari ini, aku yakin telah membuat Ruud kelimpungan di Ambarawa.
Dari cerita istri opsir Van Donck pada sepekan kemudian setelah aku memutuskan pulang ke Ambarawa, aku tahu bahwa Ruud bingung mencari aku, dan bahkan mendatangi seorang pertapa tua — yang lebih dikenal dengan nama kecilnya René — di atas lereng Gunung Ungaran, untuk membaca kartu tentang ke mana menghilangnya Mrs. MacLeod.
Pertapa bernama René itu adalah orang Prancis yang pada dua dasawarsa lampau datang ke Indonesia sebagai tentara Belanda, dan ditugaskan di Salatiga. Waktu itu, diketahui bahwa René datang di Salatiga bersama dengan seorang Prancis lainnya yang diduga homoseks pesuka sesama — dan sebetulnya sudah dikenal di Paris sebagai penyair, tapi meninggalkan kehidupan kepenyairannya karena keinginannya bertualang sebagai tentara sewaan di Indonesia — yaitu Arthur Rimbaud.
Aku percaya pada cerita istri opsir Van Donck itu, sebab ketika aku pulang ke rumah, aku lihat beberapa lembar kertas berisi puisi Arthur Rimbaud. Salah satu yang menarik adalah dalam tulisan tangan berjudul Départ.
Sehabis membaca ini, aku mengambil lembar kertas yang lain untuk membacanya, dan bersamaan dengan itu Ruud muncul, mengejutkan aku, lantaran suara girangnya mirip seperti ringkik kuda. “Margaretha, darling!” serunya, dan langsung memeluk aku dan Norman John. “Dari mana saja kamu?”
Aku diam. Aku belum bisa berkata apa-apa. Ceritanya terlalu panjang. Dan, dalam keadaan tak disangka-sangka begini, aku malah seperti orang linglung, bahkan satu hurufhidup pun, seperti taruhlah “O, A, U,” tak muncul di mulutku.
Malahan Ruud yang sumoreh mencium-cium aku dari pipi sampai ujung jari tangan. ”Oh, darling, aku begitu menguatirkan dirimu dan Norman,” katanya.
Bab 19
Lagi aku mendapat pengetahuan dari pengalaman, yaitu peribahasa “habis gelap terbitlah terang.” Maksudku, perasaan tentang batin yang tadinya kepalang terjauhkan karena perilaku-perilaku fiil Ruud dilatari oleh gagasan-gagasan gilanya itu, barangkali kini bisa dibangun kembali — katakanlah semacam restorasi terhadap bangunan yang rusak — dengan gairah yang baru. Ini bukan berarti tanpa ganjalan di hati.
Bagaimanapun, masalah yang masih sipongang di hatiku, adalah pertanyaan dari lembar masa lampau: adakah sebuah pernyataan verbal dari Ruud yang bisa aku dengar dari mulutnya menyatakan satu-satunya kata yang menurutku sederhana, tapi akan menjadi indah jika dilafazkan, dan bisa membangun rasa damai di rumah?
Masalahnya, Ruud tidak pernah mengatakan “sorry,” padahal dia tahu betul makna sosial perkataan ini, sebab kata ini adalah bahasa ibunya. Sekarang aku ingin mendengar kesungguhannya melafazkan kata itu.
Mampukah dia?
Mungkin.
Maukah dia?
Entah.
Kalau dia mau, itu bagus. Tapi, kalau toh dia mengucapkan itu, dan pikirannya tetap temangsang pada ide gilanya, itu tidak bagus. Kenapa aku menjadi begini jelimet? Aku makin kenal suamiku. Ruud seorang yang ruwet. Kalau bisa dicarikan padanan otaknya dengan benda-benda tertentu, aku ingin menyamakannya dengan ijuk yang hitam-hitam, tajamtajam, kusut-kusut. Aku mengandaikan otak Ruud seperti ijuk yang kusut, tajam, dan hitam, sebab ijuk dari pohon enau yang telah dibuat tali oleh orang Indonesia — bahasa Jawanya disebut tali duk — pernah melukai tanganku karena tajam-tajamnya itu, waktu aku menimba air dari sumur di belakang rumah.
Nah, aku berharap Ruud bisa bilang “sorry,” dan tidak lagi melukai hatiku. Luka di tangan karena tali ijuk, gampang sembuhnya, tapi luka di hati karena ide gila dari otak yang ruwet seperti ijuk, akan terus terbawa dalam ingatan sampai ke liang lahat. Setidaknya gagasan-gagasan cemar untuk membalas dendam — demikian aku pernah berkata dalam diamku — mungkin merupakan dampak darinya.
Aku tunggu pernyataan ”sorry” tersebut sampai besok, lusa, tulat, tubin, dan rasanya telingaku belum mendengar kata itu diucapkan, baik di malam hari sebelum tidur maupun di pagi hari setelah bangun. Masak, masih sama seperti dulu di Amsterdam?
Kendati begitu, memang dalam lima hari ini aku menjadi nyonya-rumah yang berdaulat. Cara Ruud memperhatikan aku, serasa seperti khadam istana mengabdi pada ratu. Aku sendiri pun belum melihat bagaimana Ratu Wilhelmina dilayani di istana musim panas Huis ten Bosch. Tapi aku rasa atensi Ruud padaku setelah aku minggat satu minggu, benar-benar mengejutkan, dan barangkali lebih absurd daripada kelakuan pandir hendak memetik bintang untuk giwang di kuping kekasih.
Aku kuatir, kalau-kalau pamrih di balik aksi ini nanti berbentur, lantas keadaannya malah bubrah, kacau, silang-selimpat. Pokok soalnya, sekali lagi, aku belum dengar lewat telingaku Ruud mengucapkan kata ”sorry.” Sementara, aku kira ukuran kejantanan seorang suami yang seorang opsir, justru ditimbang dari kesungguhannya menyatakan ”sorry” kepada mitranya di ranjang yang diikat oleh perkawinan resmi secara militer. Kali ini aku serius, harus mendengar Ruud menyatakan ”sorry.”
Malam ini, setelah menidurkan Norman John, aku duduk di depan rumah, dirangkul Ruud, memandang ke langit yang sebentar lagi akan dikunjungi purnama. Dalam keadaan begini, rasanya hatiku dirasuki kemenangan, tapi bukan kedamaian, dan entah bagaimana mengubahnya, lalu memeliharanya sebagai kebun bunga di ceruk sanubari.
Ruud memang bicara bunga-bunga. Dan aku terpesona. Tapi taajul, aku bimbang juga. Melintas pikiran, tentang betapa bicara yang terlampau harum seperti bunga, sebut misalnya bunga sedepmalam, dalam kodratnya memiliki batas waktu sekian jam saja selama musimnya. Jadi, bolehkah dipercaya harumnya bunga di mulut manusia? Aku sangsi, bunga tidak bisa mewakili roh di pusat nurani, sementara lidah yang bertugas sebagai perantara perasaan-perasaan gampang dikalahkan — segampang kentut — dalam pikiran-pikiran yang sudah kumuh dari garis mula. Garis mula itu adalah ide gila hendak menaiki Nyai Kidhal.
Aku tunggu saja cakapnya yang berbunga-bunga. Siapa nyana di ujungnya nanti ada kata ”sorry.” Sambil mengelus-elus perutku, Ruud berkata, ”Aku berharap anak kita yang ada di rahimmu sekarang ini, akan lahir sebagai perempuan yang sama cantiknya dengan ibunya. Oh, sebagai ayahnya, aku akan bangga sekali. Dengarlah, Nak, barangkali dalam kepalaku, di tempat akalbudi bersemayam, aku pernah ragu sebagai lelaki tidak berpikir akan menjadi seorang ayah, tapi sekarang dalam hatiku, di tempat aswada bersemayam, aku tidak ragu lagi, karena cinta sudah mengumumkan lewat rahim ini, bahwa aku telah menjadi ayah atas dua orang anak.”
Aku tidak bilang apa-apa. Gerangan pikiranku masih keruh, sulit memilah mana bagian yang mukim pengharapan, dan mana pula bagian yang singgah kekalutan.
Ruud menjemput tanganku lantas mencium jari-jemari, pada jarimanis yang melingkar cincin kawin. Alih-alih benar, selama ini dia kaku, tidak romantis, tapi sekarang malah seperti buaya keroncong gadungan.
“Kira-kira nama apa yang akan kita berikan pada anak kita ini nanti?” katanya, tetap mengelus-elus perutku.
Aku mencoba toleran, untuk menjaga suasana yang terasa kondusif ini.
Kataku, “Orang jarang memilih nama Hercules.”
“Astaga,” serunya, nanap, ketawa. “Itu kalau anak kita putra. Kalau putri?”
“Aku suka Pertiwi.”
“Apa itu?”
“Orang Barat menyebut tanahairnya secara lelaki: vaderland, fatherland, patrie. Orang Timur, di sini, menyebutnya secara keibuan: Pertiwi.”
“Kamu suka itu?”
“Ya.”
“Aku tidak.”
“Lalu, kenapa kamu tanya aku?” Aku merajuk. Mukaku — aku tak bisa lihat tapi aku yakin — pasti mecucu kecut.
Kalaupun Ruud tidak melihat mukaku di malam yang dihiasi oleh purnama ini, niscaya dia bisa membaca rasa kesal di hatiku lewat intonasi yang aku ucapkan dalam kalimat terakhir tadi. Aku mengucapkan kalimat itu sembari membuang muka.
Buru-buru Ruud mencium pipiku. Dia membujuk. Tangannya pindah ke punggungku, menepuk-nepuk, menyabar-nyabarkan. Dan, aneh bin ajaib, sesuatu yang tidak aku duga, dan katakanlah tidak aku harapkan samasekali di kasad ini, malah sekonyong-konyong diucapkan Ruud dengan jelas sekali. “Sorry, darling.”
Aku melongo, terlolong-lolong, seperti melihat setan lewat. Ternyata ada kata ”sorry” di mulutnya. Maka, aku tidak bisa berkata apa-apa.
Ruud heran melihatku. Dia sapu-sapukan tangannya di mukaku yang bengong, supaya mataku tidak menerawang hampa. “Hei! Ada apa?”
Saking suka, aku rangkul Ruud, menciumnya, sekilas lupa semua kerikil yang pernah menyandung ketenangan batinku. Sekilas aku tidak berpikir bahwa untuk semua kebenaran yang ada di kulit bumi ini takarannya sementara: ada saatnya manusia menikmati ketawa karena senang, ada pula saatnya manusia mesti membiarkan airmatanya tumpah sampai cadangannya habis karena susah.
Aku sendiri tetap bertanya-tanya di semua saat: sebetulnya apa yang dicari manusia pada hari esok kalau hari kemarin pun berujung pada pemborosan pikiran. Kalau langit, di bimasakti sana, bisa memberi melalui purnama, aku mau cari hari esokku, sampai kuyup tubuhku ketika kemarau, sampai hangus tubuhku ketika hujan, sementara dalam tekadku akan bersikeras: anganan paling murni adalah dalam nafsu yang melahirkan cinta berlanjut tanggungjawab. “Oh, aku mengantuk, Ruud,” kataku.
Dan, dia tuntun aku ke ranjang. Kelihatannya dia cinta aku.
*****