Mata Yang Indah

Budi Darma is an Indonesian novelist, essayist, and short-story writer. He is often cited as an absurdist writer. His novel Olenka (Balai Pustaka, 1980) won the 1980 Jakarta Art Council Prize. Other novels are Rafilus (Balai Pustaka, 1988) and Ny. Talis: Kisah mengenai Madras (PT Gramedia Pustaka Utama, 1996). Harmonium (Pustaka Pelajar, 1995) is his book of literary criticism. “Mata yang Indah (Beautiful Eyes)” was included in his short story collection, Kritikus Adinan (Bentang Budaya, 2002). Currently, Budi Darma is a professor of English literature at the Surabaya National University in Indonesia.

“Mata yang Indah (Beautiful Eyes)” first appeared in the short story collection, Kritikus Adinan (Bentang Budaya, 2002), copyright © 2002 by Budi Darma. Published with permission of the author. Translation copyright © 2013 by Nurul Hanafi, edited by Sal Glynn.

***

 

Mata Yang Indah

Beberapa saat sebelum meninggal, Ibu mengelus-elus kepala saya, kemudian berkata: “Haruman, lihatlah mata saya baik-baik.” Tampak ada nyala lembut dalam mata Ibu, nyala lilin yang hampir padam. Lilin sudah hampir habis, demikian pula sumbunya. Namun tampak, nyala lilin itu tenang, tidak sama dengan nyala lilin yang berjuang untuk tetap hidup pada saat berhadapan dengan angin yang akan membunuhnya.

Saya tahu Ibu akan meninggal, meninggal dengan benar-benar pasrah.

Dengan mendadak ada bau, entah datang dari mana, amat lembut, namun amat segar. Saya diam, namun saya ingat cerita Ibu ketika saya masih kecil dahulu, “Haruman, pada saat saya akan meninggal kelak, akan ada bau dari sorga dikirim ke dunia.”

“Siapa yang mengirim?” tanya saya, dulu, ketika saya masih kecil.

“Malaikat. Ketahuilah, Haruman, ada masa awal dan ada masa akhir, demikian juga kehidupan manusia. Menjelang saat kehidupan seseorang berakhir, pasti ada malaikat melayang-layang tidak jauh dari dia yang akan meninggal. Kadang-kadang malaikat tidak membawa apa-apa, kadang-kadang membawa petaka, kadang-kadang pula membawa bunyi-bunyian atau bau yang tidak pernah terbayangkan oleh manusia sebelumnya. Lakukanlah tindakan-tindakan mulia dengan hati yang bersih dalam kehidupanmu, Haruman, agar kelak, sebelum kamu meninggal, malaikat akan membawakan kamu pertanda-pertanda yang agung.”

Entah mengapa, begitu Ibu selesai berkata mengenai malaikat yang pada suatu saat akan datang, saya lupa kata-kata Ibu. Saya hanya ingat, Ibu selalu berbuat baik kepada siapa pun, dan sering sekali ibu saya memberi nasihat kepada saya untuk meniru perbuatan-perbuatannya. Sebagai anak yang baik, saya selalu menurut.

Pada suatu hari, entah umur berapa saya pada waktu itu, Ibu menyuruh saya untuk pergi, entah ke mana. “Lupakanlah saya, Haruman, namun jangan lupa nasihat-nasihat saya. Pergilah ke tempat-tempat jauh untuk mencari pengalaman. Pada saatnya nanti, kamu pasti akan merasa, bahwa waktumu untuk kembali kepada saya telah tiba.”

Demikianlah, sejak saat itu saya mengembara. Selama mengembara saya pernah menjadi pengayuh perahu tambang, penebang pohon di hutan-hutan lebat, tukang memasang atap rumbia, dan entah apa lagi. Nasihat Ibu untuk selalu bertindak baik dengan hati bersih selalu saya turuti. Tapi entah mengapa, saya merasa bahwa saya selalu dicurigai oleh siapa pun yang bertemu dengan saya. Begitu melihat mata saya, siapa pun, pasti membersitkan sikap curiga.

Kecurigaan apa yang mereka pendam, saya tidak tahu. Apakah mereka mencurigai saya sebagai pencuri, pembunuh, penipu, atau apa pun, saya tidak pernah tahu. Karena itu, saya selalu merasa bersalah, atau, mungkin lebih dari sekadar bersalah. Saya merasa saya berdosa, kendati saya yakin saya tidak pernah melakukan tindakan laknat sama-sekali. Berpikir buruk pun, kepada siapa pun dan kepada apa pun, saya tidak pernah.

Mungkin karena saya merasa selalu dicurigai, dan karena itu saya selalu merasa bersalah dan berdosa, saya selalu berpindah-pindah tempat. Tidak pernah saya tinggal di suatu tempat lebih dari tiga hari. Memang, tidak ada satu orang pun yang pernah mengusir saya, namun saya sendiri merasa bahwa saya akan menjadi beban bagi mereka.

Pada suatu hari, ketika saya sedang berjalan dari satu desa ke desa lain, seekor burung besar, tanpa saya ketahui dari mana asalnya, dengan sangat mendadak menukik ke arah saya, lalu berusaha dengan amat susah-payah untuk menyerang mata saya. Entah mengapa, tepat pada saat cakar burung akan menghunjam ke mata saya, saya berhasil menutup wajah erat-erat dengan tangan. Dengan sangat cepat burung itu kembali ke udara, lalu dengan sangat mendadak berusaha menyerang lagi.

Demikianlah, bertubi-tubi burung itu menyerang saya, dan bertubi-tubi pula saya menutup wajah saya dengan tangan. Akhirnya, burung itu hanya sanggup melukai tangan saya, tanpa sanggup mencongkel mata saya.

Untuk menahan rasa sakit, saya terguling-guling di atas tanah dan mengerang-erang dahsyat, entah berapa lama. Namun, sampai berhari-hari, darah masih terus merembes keluar dari luka tangan saya, dan rasa sakit masih benar-benar menyiksa.

Sesuai dengan pesan Ibu, selama mengembara memang saya sudah berhasil melupakan Ibu. Selama mengembara itu saya tidak pernah berpikir, bahwa seharusnya saya mempunyai ibu, ayah, saudara, dan kerabat lain. Saya benar-benar merasa sebatang kara, tanpa pernah menyadari perasaan saya sendiri bahwa saya adalah sebatang kara.

Entah mengapa, pada saat saya hampir selesai berguling-guling di atas tanah untuk menahan rasa sakit, sekonyong-konyong saya teringat cerita Ibu, dahulu, ketika saya masih kecil.

“Haruman,” demikianlah kata Ibu dahulu, ketika saya masih kecil. “Orang-orang suci pernah berkata, sebagaimana yang sering saya katakan dahulu, bahwa para pengembara besar ditakdirkan untuk tinggal di suatu tempat tidak lebih dari tiga hari. Kalau tidak, akan timbul kekacauan. Ingat-ingatlah kembali kisah para pengembara besar, sebagaimana yang sudah sering saya ceritakan.”

Entah mengapa, begitu saya selesai teringat kata-kata Ibu mengenai para pengembara besar, dengan sangat mendadak saya lupa Ibu, demikian pula semua tindakan dan kata-kata Ibu. Hanya memang, kadang-kadang, saya merasa mendapat peringatan, entah dari siapa, untuk tidak tinggal bersama orang lain lebih dari tiga hari. Dan, memang, saya tidak pernah mempunyai keinginan sedikit pun untuk mengganggu dan membebani orang lain.

Demikianlah, setelah saya kena serang burung besar itu, saya cacat. Tangan saya masih tetap dapat saya pergunakan untuk bekerja, namun lambat dan cepat capai. Seluruh tubuh saya juga menjadi tidak beres.

Kadang-kadang tubuh saya mendadak panas, seolah darah saya mendidih. Beberapa kali pula dengan mendadak saya kehilangan keseimbangan. Kalau keseimbangan kacau, saya terpaksa berjalan terhuyung, kemudian terjatuh, dan kemudian berguling-guling menahan rasa sakit.

Namun, saya harus terus bekerja. Saya tidak mau mengganggu dan membebani orang lain. Dan saya menolak untuk menjadi pengemis.

Setelah sekian kali pernah menjadi pendayung perahu tambang di berbagai desa, akhirnya saya kembali lagi menjadi pendayung perahu tambang di sebuah desa sepi dan terpencil. Mengapa saya menjadi pendayung perahu tambang lagi, tidak lain karena pada suatu hari, ketika saya sedang tertidur di bawah sebuah pohon rindang, dengan sangat mendadak tubuh saya tertumbuk dengan tidak sengaja oleh seorang laki-laki. Begitu keras dia menumbuk saya, sampai-sampai dia terpaksa terguling.

Saya benar-benar terperanjat ketika saya menyadari, bahwa laki-laki yang tidak sengaja menumbuk tubuh saya ini memiliki mata yang luar biasa indah, dan luar biasa cemerlang. Namun terasa benar, bahwa mata yang luar biasa indah itu sebetulnya mengandung penyakit.

“Apakah kamu seorang laki-laki muda?” tanya dia.

“Ya,” kata saya.

Saya sadar bahwa dia memandang saya dengan tajam, namun saya juga sadar bahwa sebetulnya dia tidak melihat saya.

“Maaf, sudah bertahun-tahun saya mengalami rabun mata. Makin hari, makin rabun mata saya. Padahal, di desa ini hanya sayalah yang mau menjadi pendayung perahu tambang. Kebetulan pula, saya tidak mempunyai kemampuan untuk bekerja apa pun selain mendayung perahu tambang saya. Penumpang perahu tambang memang sangat jarang, namun tidak berarti bahwa saya dan perahu saya tidak pernah diperlukan.”

Pemilik perahu tambang itu bernama Gues. Potongan tubuhnya rasa-rasanya mirip potongan tubuh saya, begitu juga cara dia berjalan. Segera setelah dia membawa saya ke perahu tambangnya, dia menghilang entah kemana. Mula-mula saya tidak tahu bagaimana dia bisa berjalan dan mengayuh perahunya, sebab, saya benar-benar yakin, bahwa sebetulnya matanya sudah benar-benar buta.

Sampai hampir menjelang malam, tidak ada satu penumpang pun memerlukan perahu tambang. Saya gelisah, karena sampai hampir menjelang malam itu pula, tidak nampak tanda-tanda bahwa pemilik perahu tambang itu akan datang. Maka, setelah mengikat perahu tambang erat-erat, saya berjalan ke arah pohon rindang, dan tertidur lagi di tempat tubuh saya tertumbuk Gues tadi.

Entah berapa lama saya tertidur, saya tidak tahu. Seandainya tidak ada tangan halus mengusap-usap kepala saya, pasti saya akan tertidur terus sampai lama. Tangan halus siapa? Saya tidak tahu, namun saya yakin, pasti tangan halus perempuan. Malam sudah benar-benar gelap, dan saya tidak bisa melihat.

Dengan sangat mendadak, mulut saya terkunci oleh sepasang bibir yang memagut-magut bibir saya. Saya mendengar nafas mendesah-desah ganas. Di antara pagutan-pagutan bibir, kadang-kadang saya mendengar suara lembut, namun dengan nada marah: “Gues, mengapa kamu tidak pernah memperlakukan saya sebagai istri kamu? Berilah saya keturunan. Kalau kamu mati, siapa yang akan menemani saya?”

Sebelum saya kena perkosa istri Gues, saya sempat membebaskan diri. Istri Gues berusaha menangkap saya, namun saya tidak pernah tertangkap. Saya sempat mendengar lolong-lolong pilu dia: “Gues! Gues! Bukankah saya istrimu?”

Pada saat dia melolong-lolong sambil berusaha mengejar saya, saya bisa menarik kesimpulan mengapa Gues bisa berjalan dan mengayuh perahunya. Nampaknya, karena kebiasaannya yang sudah amat lama, dia hapal semua jalan yang harus dilaluinya. Dia menumbuk tubuh saya, karena, agaknya, selama ini tidak pernah ada penghalang apa pun di bawah pohon rindang itu.

Tampaknya, setelah menyadari bahwa saya lari ke arah yang tidak biasa ditempuh Gues, dia sadar bahwa saya bukan Gues. Maka melolong-lolonglah dia, memohon ampun kepada Seru Sekalian Alam. Dia merasa benar-benar menyesal, karena telah berusaha melumat-lumat tubuh laki-laki yang ternyata bukan suaminya.

Mendengar lolong-lolong penyesalan, saya berhenti sekejap. Rasa berdosa menyergap seluruh jiwa dan raga saya. Kendati saya tidak pernah berusaha memperkosa siapa pun, saya merasa telah menodai istri orang lain. Hati saya benar-benar luka. Sambil menangis, saya berlari menjauhi desa.

Luka hati saya tidak pernah sembuh. Kehidupan saya bagaikan kehidupan dalam neraka, neraka tempat saya tinggal selama-lamanya. Dosa saya, rasanya, tidak akan pernah terhapus.

Demikianlah, saya terus mengembara, tanpa ingat dan tanpa keinginan untuk mengingat berapa lama saya sudah mengembara. Dan demikianlah, pada suatu hari, dengan sangat mendadak saya teringat Ibu. Maka berjalanlah saya pulang, melalui jalan-jalan yang sudah begitu lama saya tinggalkan.

Ketika saya tiba kembali di desa Ibu, saya melihat pemandangan yang benar-benar mengerikan. Debu beterbangan, rumah tinggal sedikit karena rumah-rumah lain sudah roboh, tanah retak-retak kekeringan, pohon-pohon mati, dan tidak ada satu hewan pun yang nampak. Sungai juga sudah benar-benar kering. Desa Ibu telah ditinggalkan oleh semua penduduk, kecuali Ibu. Dan Ibu nampaknya tetap bertahan, untuk menunggu kedatangan saya kembali.

Begitu bertemu dengan Ibu saya sadar, bahwa Ibu sudah lama bersiap-siap untuk meninggal. Dan dia akan terus bertahan hidup, seandainya saya tidak pernah kembali. Begitu melihat saya datang, begitu pula dia tampak akan meregang nyawa. Namun, masih sempat dia mengelus-elus kepala saya.

Tepat pada saat tangan Ibu mulai mengelus-elus kepala saya, langsung saya teringat kembali cerita Ibu dahulu, ketika saya masih kecil, mengenai malaikat yang pada suatu saat pasti akan datang menghampiri siapa pun.

“Haruman, maafkanlah saya. Doa-doa saya untuk mendatangkan bidadari ternyata gagal. Sampai saatnya kamu akan meninggal, kamu tidak akan pernah didatangi bidadari. Mudah-mudahan setelah kamu meninggal nanti, bidadari akan menjemput kamu. Bidadari yang akan menjemput kamu, tidak lain adalah calon isteri kamu di sorga sana.”

Begitu ibu saya selesai mengucapkan kata-katanya, dengan mendadak mata saya menjadi pedih. Dan dengan mendadak pula, saya merasa benar-benar buta. Saya tidak bisa melihat apa pun.

“Haruman, dengarlah pengakuan dosa saya. Dahulu saya pernah memperkosa seorang laki-laki, entah siapa. Saya tertarik oleh matanya, mata yang terus berkilat, mengirimkan cahaya-cahaya indah. Mata dia jauh lebih indah daripada kelereng mainan para dewa. Malam harinya saya tertidur pulas, dan bermimpi.”

Dalam mimpi, menurut Ibu, Ibu merasakan beban dosa yang amat berat, karena dia sedang mengandung bayi tanpa ayah yang akan hidup tanpa mata. Tampaknya, ada bidadari yang merasa iba kepada Ibu. Bidadari ini segera terbang entah ke mana, dan dalam waktu singkat sudah kembali dengan membawa sepasang mata indah.

“Ketahuilah, wahai perempuan malang,” kata bidadari, “karena saya merasa amat sangat kasihan kepada kamu, dengan sangat tergesa-gesa tadi saya mencomot mata seseorang. Saya tidak tahu siapa dia. Apakah semasa masih hidup dia orang berhati mulia atau sebaliknya, saya tidak tahu. Arwah dia masih melayang-layang, belum ditentukan apakah dia akan tercebur ke neraka ataukah terangkat ke sorga. Saya hanya tahu, wahai perempuan malang, bahwa mata dia luar biasa indah. Dan karena saya sudah telanjur mencomot sepasang mata indah ini, tidak mungkin saya mengembalikan kepada pemiliknya. Ketahuilah, dia tidak akan memerlukan mata lagi. Kalau ternyata dia tercebur ke neraka, dia akan memperoleh mata baru, mata jahanam sesuai dengan kebejatan hati dan tindakan dia selama dia masih hidup. Dan kalau ternyata dia terangkat ke sorga, dia akan memperoleh sepasang mata baru yang jauh lebih indah.”

Tepat pada saat Ibu akan mendesahkan nafas terakhir dalam hidupnya, saya berkata, “Ibu, pergilah dengan damai. Sudah sejak dahulu saya memaafkan Ibu. Bidadari yang selama ini Ibu harapkan, telah datang menjemput saya.”

Saya yakin, Ibu tidak sempat mendengar kalimat saya terakhir.

Surabaya, 8 Oktober 2000

Dipetik dari kumpulan cerita ‘Fofo dan Senggring’, Grasindo, 2005, hal.115-122.

***

 

Beautiful Eyes

Nurul Hanafi is a writer of fiction and literary translator based in Yogyakarta, Central Java. His work includes a novel, short stories, three plays, and two books of folktales. He studies early modern English literature, ancient Greek plays, and contemporary writers. His translation of “Mata yang Indah” was edited by Sal Glynn.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

***

 

Beautiful Eyes

A few moments before she died, Mother stroked my head and said, “Haruman, look into my eyes!”

A soft glow lit my mother’s eyes. It reminded me of serene candlelight, not the kind that wildly flickers as it tries to withstand the wind.

I knew my mother would die peacefully.

All of a sudden, the air filled with fragrance. The scent was subtle but very fresh. I remembered the story Mother told me when I was a child.

“Haruman, some day in the future when I die, heaven will send fragrances to the earth.”

“Who will send it?” I asked.

“Angels. Haruman, know there is a time to begin and a time to end, and such is mortal life. When a life comes to its end, an angel hovers around the mortal about to die. Sometimes the angel doesn’t bring anything and it’s a bad omen. Other times he comes with voices or scents never imagined by any mortal. Always perform good deeds as long as you live so the angel will bring you a great omen.”

I don’t know why, but as soon as Mother told me about the angel, I forgot her words. I only remembered that my mother always performed good deeds and frequently advised me to do the same. The good child that I was, I always obeyed her.

Then one day, I don’t know how old I was, Mother told me to leave. “Forget me, Haruman, but don’t forget my counsel. Go, travel to far-away places and look for new experiences. You will know when it is time to return to me.”

I have been on the road since then. During my wanderings, I was a sampan rower, worked as a lumberjack in dense forests, built thatched roofs, and worked many other odd jobs.

Following Mother’s counsel, I always performed good deeds, but everywhere I went, people were suspicious of me. Their suspicion was apparent each time our eyes met.

I have no idea why they distrusted me. Did they suspect me to be a thief, a killer, a cheater, or anything else? I never knew. That’s why I always felt guilty, or even worse, a sinner, even though I’d never committed any crime. I never thought ill of anyone, regardless of who they were.

Perhaps my feeling of always being suspected caused me to feel guilty and sinful, and made me drift from place to place. I never stayed in a place for more than three days. No one chased me away, but I knew I would be a bother if stayed longer.

One day as I walked from village to village, a big bird swooped out of nowhere and attacked me. Just before its claws scratched my eyes, I covered my face tightly with both hands. The bird flew quickly into the air, and dived toward me again.

As the bird kept on its attack, I covered my face with my hands. In the end, the bird hurt my hands but was unable to scratch my eyes out. I dropped to the ground and rolled around moaning for I don’t know how long. Blood dripped from my wounded hands and the pain was unbearable.

During my wanderings, it was easy to follow my mother’s order that I should forget her. For as long as I had been on the road, I had never given a thought to having a mother, father, siblings, and relatives. I felt very lonely without realizing I was, in fact, alone.

While rolling on the ground to overcome the pain, I remembered the story Mother told me when I was a small boy.

“Haruman,” she said, “The sages foretold of great wanderers who were fated to stay no more than three days in a place, for otherwise there would be a riot. Keep in your mind the stories I have told you.”

When I remembered my mother’s stories, I forgot about her kindness and advice.

It’s true I had occasional hints to stay no more than three days anywhere, but those couldn’t be attributed to a single person. I had no intention to disturb anyone.

That being the situation, I found myself handicapped after being assaulted by the bird. I still could use my hands to work, but I was slow and tired easily.

My whole body had become unbalanced. Sometimes I suddenly got very hot as if my blood was boiling. There were times I lost my balance and staggered, and even fell down. To endure the pain, I rolled on the ground.

In order to keep from being a burden to others, I had to keep working. I refused to be a beggar.

I traveled from village to village until I arrived at a quiet secluded place, and returned to the job of sampan rower because of the following incident.

One day as I was sleeping under a weeping willow tree, a man stumbled over me. The impact made him fall.

I noticed he had a pair of remarkably beautiful eyes. Yet at the same time I sensed there was something wrong with them.

“Are you a young man?” he asked.

“Yes,” I replied.

I realized that while he stared at me, he could not see me.

“I’ve been near-sighted for many years. It gets worse as time goes by. But in this village, I’m the only one who’s willing to be a sampan rower. I can’t do any other job. People rarely travel by water, but it doesn’t mean that my sampan and I are totally useless.”

The rower was called Gues. I noticed how much we looked alike, even in the way we walked. Right after he took me to his sampan, Gues disappeared. I didn’t know how he could find his way and row his sampan, for I was quite sure he was totally blind.

The night was approaching and still no one needed the sampan. I became anxious when it became darker and there was still no sign of Gues. After mooring the sampan securely, I walked back to the weeping willow tree and fell asleep at the place where Gues had stumbled over me.

I don’t know how long I had been asleep when I felt a soft hand stroking my head. Whose hand was it? I was sure it belonged to a woman. The night was pitch dark and I couldn’t see anything.

Suddenly, a mouth firmly closed over mine. Lips nibbled and sucked. Between passionate moans and fierce kisses, a soft voice demanded, “Gues, how can I be your wife and yet you don’t treat me as one? To be a husband is to produce descendants. Who will keep me company after you die?”

I managed to run before Gues’s wife raped me. She tried to catch me, but never did.

“Gues! Gues! Am I not your wife, am I not?” her wailing continued.

Years of walking the same road and rowing the same sampan enabled Gues to do so by memory. He had tripped over me because there had never been any obstacles under the tree.

The wife realized her mistake when I ran in a direction different than the one usually taken by Gues. She directed her laments to the gods. She cried out with deep remorse for trying to relish the body of a man other than her husband.

Hearing her regret, I halted for a moment. I was overcome by a sense of guilt. Even though I never tried to rape anyone, I thought I had dishonored another man’s wife. I was deeply hurt and ran crying from the village.

The wound never healed. My life turned into a hell. It felt as if my sins would never be forgiven. I wandered without trying to remember how long I had been walking aimlessly, until one day I remembered my mother.

I started to travel home, retracing the long abandoned road.

My old village was in a frightful state of despair. Only a few houses stood among the ruins. Drought had cracked the soil and killed the greenery. Even the river was dry. Everyone and their beasts had left the village, except for my mother. She had remained for my homecoming.

As soon as I saw my mother, I knew she had been preparing to die for a long time. But she would have kept on living had I not come home.

When I arrived, she seemed to ready herself, yet she still took time to stroke my head. I remembered her story about the angel that was sure to visit any mortal at a certain time. “Haruman, please forgive me. My prayers to summon an angel have failed. Until you die, no angel comes to visit. But one will escort you at the time of your death. That angel is your spouse-to-be in heaven.”

As soon as Mother finished speaking, I felt a stinging pain in my eyes and I was suddenly blind. I could not see anything.

“Haruman, please listen to my confession. A long time ago, I raped a man I didn’t know. I loved his eyes that were like radiating brilliant lights and committed the sin. The sparkle of his eyes was greater than those of the marbles the gods play with. That night I fell fast asleep and dreamed.”

While she slept, my mother said, she found herself punished by the unbearable sin, for in her womb she carried a fatherless baby to be born without eyes.

An angel took pity on her. It flew away and came back with a pair of beautiful eyes.

“Heed me, poor woman,” said the angel. “Driven by pity for you, I took a pair of mortal eyes from their sockets. I don’t know who he is. I don’t know if he is a pious man or otherwise. His soul is still hovering. His fate of falling into hell or flying to heaven has yet to be determined. The only thing I know, oh, poor woman, is that he has a pair of remarkably beautiful eyes. Once I plucked these eyes, I was unable to return them to the owner. But I can assure you that he doesn’t need them anymore. If he’s thrown in hell, he will be given a new pair of eyes, satanic ones that match the immoral behavior during his lifetime. If he is lifted to heaven, he will be given a pair of even more beautiful eyes.”

Before she breathed her last breath, I said, “Mother, leave in peace. I forgave you a long time ago. The angel you’ve been waiting for is here to pick me up.”

I’m certain my mother did not hear my last sentence.

***