Teguh Afandi likes to write short stories, essays, and book reviews. He won The Golden PEN Award from the Strategic Human Resource Program, took first place in the Femina Short Story Competition, and placed third at the Green Pen Award issued by the Indonesian Department of Forestry. Teguh’s short stories have been published by several newspapers, including Harian Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, and Femina, a women magazine. His book reviews have been featured in Koran Tempo, Jawa Pos, and Jurnal Ruang, an online publication.
Teguh is employed as an editor at a Jakarta-based publishing house.
He can be reached at teguhafandi@gmail.com.
Copyright ©2018 by Teguh Afandi. Published with permission from the author. Translation copyright ©2018 by Laura Harsoyo.
Pohon Pu Tao Tua
Di halaman rumah Boneo, sebatang pohon pu tao yang lebih sering disebut pohon jamblang, tampak payah menopang tubuhnya yang semakin tua. Tinggi batangnya tak melebihi genting rumah. Cecabangan menyeruak membuat tajuk mendompol, tetapi kering karena banyak daun rebah ke tanah oleh kelelahan. Pohon pu tao itu berdiri sama tua dengan rumah si empunya. Hanya, rumah yang dulu berlantai tegel hitam dan berdinding papan kayu nangka kini sudah berubah dengan lantai keramik warna metalik dan dinding bata dan jendela kaca.
Sudah lama pula pohon pu tao itu tak pernah berbuah. Memang, ketika musim berbuah datang, akan tumbuh bunga dan bakal buah yang merimbuni tajuk. Namun, pohon pu tao terlalu lemah untuk mempertahankan sebiji buah pun. Walau pu tao berbuah lebat sekalipun, tidak akan ada yang berniat memakannya. Buah dari pohon tua itu sudah disingkirkan dari meja makan. Buahnya masam tidak menimbulkan minat.
Meski pohon pu tao itu sudah sedemikian tua, Boneo belum berniat menebangnya. Dia masih takut akan nasihat ibunya.
Kata Harmunik, jangan sampai ditebang pohon pu tao itu sebelum Boneo menikah dan punya keluarga baru. Bagaimanapun, pohon itu kenangan hidup atas almarhum ayah dan hari kelahiran Boneo.
Ayahnya menanam pohon pu tao ketika tahu anak pertamanya adalah lelaki. Anak lelaki kelak membawa tanggung jawab untuk mikul dhuwur mendhem jero. Mengangkat derajat orangtuanya dan mewarisi nama keluarga.
Harmunik terus marah-marah. Akhir-akhir ini, banyak hal kecil yang mengusik kemarahan Harmunik. Seolah-olah segala sesuatunya tidak berada di tempat semestinya dan membangkitkan kekesalan. Dedaunan pu tao yang luruh karena angin membuatnya mengomel. Suara anak-anak yang riuh sepulang sekolah membuatnya gerah. Semua dirasakannya salah. Penyebab utamanya ialah Boneo yang belum juga menikah. Seperti pohon yang masuk musimnya, tapi enggan menumbuhkan buah.
“Kamu ini kenapa, Boneo? Pekerjaan sudah mapan, harta juga sudah cukup, tapi masih belum juga mau menikah,” Harmunik berbicara dengan nada yang cukup tinggi. Anak satu-satunya itu seperti menutup telinga dari semua omongan Harmunik dan para tetangga.
“Belum ada yang cocok,” Boneo menjawab santai. “Meski menikah adalah hukum alam, tidak mungkin bila dipaksakan.”
Kesendirian Boneo sempat menimbulkan desas-desus kurang baik, bahwa dia adalah keturunan Luth yang ditenggelamkan hujan batu karena suka sesama jenis. Bagaimana mungkin seorang lelaki bereperawakan kekar, wajah tak terlalu buruk, pendidikan tinggi (yang membawanya ke kedudukan yang baik di kantor), tapi terus melajang hingga umur kepala empat. Pastilah ada sesuatu di benak Boneo yang tidak beres.
Akan tetapi, desas-desus itu terbantahkan ketika suatu kali Boneo pulang bersama seorang wanita berpipi kuning mentega. Para tetangga –yang selalu tidak sabar bila melihat berita baru– tersenyum bangga.
Perjaka mapan yang tidak lekas kawin penanda dua hal, sakit jiwa atau tenggelam dalam kemaksiatan. Nyatanya hubungan dengan wanita berpipi mentega itu tak lebih dari selembar almanak bulanan. Boneo kembali berjalan sendirian sambil mengulum senyum tanpa penyesalan.
“Ayahmu pasti menangis di kuburnya, Boneo!”
“Mengapa?”
“Keturunannya putus di kamu,” Harmunik terhenti sampai di situ. “Percuma ayahnya menanam pohon pu tao ini, penanda kebusukanmu.” Ada keputusasaan dalam nada bicara Harmonik.
“Apa tidak menikah itu tanda busuk, Bu?”
“Apa yang hendak kamu cari setelah semuanya kamu dapatkan? Pendidikan, pekerjaan? Apa tidak hendak kamu mencari pasangan?” Pertanyaan Boneo dijawab dengan pertanyaan kembali.
“Belum ada yang cocok,” selalu itu yang dikatakan Boneo sebagai alasan penutup percakapan.
Seolah aneka alasan lain akan dibantah Harmunik, kecuali yang satu ini.
Kerutan yang telah berdiam di wajah Boneo semakin dalam ketika dia tersenyum dan melaju meninggalkan Harmunik. Air mata membasahi pipi Harmunik. Dia meraung seperti koak sepasang gagak yang mewartakan kematian bagi keturunan Boneo.
***
Harmunik mulai sering melamun. Mata sayu menatap dahan putau yang semakin sepuh. Kulit kayu mengelupas dierami sarang semut. Beberapa klarap—sejenis kadal yang mampu terbang, beranak-pinak di rongga pokok pu tao. Rasanya, ada bagian di hatinya yang mulai keropos. Saban hari, sindiran dan gunjingan tetangga seperti jarum kasur yang dilesatkan tepat ke dada Harmunik.
“Silsilah keluarga seperti pohon semakin ke tua semakin rimbun. Banyak keturunan,” kata suami Harmunik ketika menanam pu tao tepat pada hari menanam ari-ari Boneo. Pohon pu tao adalah tanda keberlanjutan keturunan. Selama keturunannya masih hidup, pu tao harus tetap dijaga. Sebaliknya, selama pu tao masih berdiri tegak, selama itu pula keturunannya harus dilanjutkan.
Darah yang tumpah di dipan saat melahirkan Boneo tidak boleh sekejap menguap. Terlebih, dulu, pernikahan Harmunik ditentang semua orang. Bagaimana mungkin, Harmunik yang sekadar putri penjual serabi kuah minggah bale dengan menikahi lelaki bergaris biru di pembuluh nadinya. Meski tidak beroleh restu keluarga mertua, Harmunik menikah dengan dampak tak diperkenankan menggunakan nama keluarga. Sudah dilepas menjadi sebatang pohon baru yang tidak ada kaitannya dengan dahan induk.
“Makanya aku pilih pu tao,” Harmunik mengingat perkataan suaminya. “Pu tao tidak berharga, tapi selalu ada buah yang memaniskan lidah.”
***
Semakin lama, pohon pu tao semakin tidak menunjukkan daya. Sebagaimana Harmunik yang tak kuasa menahan kuasa tua. Angin kencang mematahkan beberapa dahan. Dedaunan rontok ke tanah. Halaman rumah Harmunik dipenuhi rerontokan daun dan cabang-cabang pu tao yang saling silang. Hingga selesai masa duha, Harmunik tak berniat membersihkannya. Dia hanya menunggu kepulangan Boneo dari perjalanan dinas luar kota. Harmunik memendam gejolak perasaan yang beriak laiknya air di buluh yang digoyang lindu.
“Bu, kutebang saja ya pohon pu tao itu?” tanya Boneo sore itu, selepas perjalanan dinas.
Harmunik masih diam.
“Bu, Boneo janji, tahun depan akan menikah. Hanya, Boneo belum menemukan calon yang sesuai.”
“Apa saja, terserah kamu,” Harmunik tidak berselera menjawab.
“Sekarang, Boneo mau menebang pohon pu tao tua itu,” Boneo gegas berdiri.
Dia kemudian memanggul kapak lalu mendekati pokok pu tao. Dengan beberapa tebas saja, pohon pu tao sudah rebah ke tanah. Dengan kapak juga, Boneo merampasi dahan-dahan lalu memotong-motongnya menjadi beberapa bagian dengan ukuran sepadan. Dia menumpuk potongan dahan itu di tepian teras. Bisa dijadikan kayu bakar atau arang untuk membakar jagung, pikirnya. Boneo mengelap peluh di dahi dan bahu. Lalu, dia masuk ke dalam rumah, ingin mendinginkan suhu badan.
Harmunik masih terdiam di kursi. Sebingkai foto pernikahannya tergeletak di pangkuan. Matanya terpejam. Beberapa jenak sebelumnya, ketika pertama kali terdengar suara berdebam, saat pokok pu tao tua membentur tanah pekarangan, Harmunik menyebut-nyebut nama Allah, mewiridkannya dengan suara begitu lemah.
Cahaya senja menerobos lewat kisi-kisi jendela, membentuk pola di kulit Harmunik. Pohon pu tao yang biasa menghalau cahaya kini sudah tiada.
“Bu, sekarang rumah kita lebih cerah. Tidak ada penghalang sinar matahari lagi.” sambil meraih segelas air dingin, Boneo melanjutkan, “Bu, kemarin Boneo bertemu dengan Amhar, kawan kuliah dulu, yang sama-sama belum punya pasangan. Besok, Boneo kenalkan sama ibu.” Senyum Boneo mengembang.
“Bu, kalau tidur di kamar,” kata Boneo. Dia mendekati tubuh Harmunik yang sudah lemas.
Pohon pu tao itu sudah ditebang. Harmunik tak lagi merisaukannya.
***