Click here for:

Antara Lepet Dan Sura

Tria Oktafianawas born in Probolinggo, East Java,and currently works as an Indonesian language teacher at SMP Negeri 41, a state junior high school in Purworejo. She is aliteracy activist and writes literary and cultural fiction. Oktafiana has loved writing and literature, especially poetry and short stories, since she was young. Her poems and short stories have been published in several anthologies. Akar Serumpun Anyaman Rasa (SIP Publishing Indonesia 2025) was published as the output of Festival Puisi Tiga Negara, a three-country poetry festival in Indonesia, Malaysia, and Singapore. Her work is included in Gendang Gending 100 Tahun Kinartosabdho (Dewan Kesenian Provinsi Jawa Tengah 2025), a poetry anthology that showcases 100 poets. Oktafiana’s work is inspired by her daily experiences that she records as insightful stories.

Tria Oktafiana: triaoktafiana56@gmail.com

*****

 

Antara Lepet Dan Sura

Pagi itu Dusun Beji diramaikan oleh suara kokok ayam. Namun, para petani belum banyak yang berkegiatan di luar rumah. Kepulan asap tampak putih membubung pertanda penduduk kampung itu sedang memasak untuk sarapan dan bekal mereka pergi ke sawah.

Suntre, anak lelaki satu-satunya dari tetua desa, sudah duduk di dapur bersama Sasandewi, kakak perempuannya

“Mbak, kita buat kupat lepet lagi?” tanya Suntre yang terheran-heran karena dia dan kakaknya sudah membuat kupat lepet berulang-ulang kali.

Sasandewi, mengangguk dan berkata, “Ya, dan kelak kau juga harus mengajari anak-anak Dusun Beji membuat lepet.”

“Kenapa harus aku, Mbak? Kenapa tidak Mbak saja?” Suntre menanggapi dengan kedua alisnya terangkat.

“Kau satu-satunya anak laki-laki, dan Bapak adalah seorang tetua dusun. Kelak siapa yang akan menggantikan Bapak jika bukan kau, Suntre?” Sejak dulu, urusan membuat kupat lepet selalu menjadi tanggung jawab Sasandewi. Suntre, yang usianya belum genap tujuh belas tahun, hanya bisa duduk di samping Sasandewi sambil memperhatikan jemari kakaknya menganyam selongsong kupat yang cantik.

“Tapi …,” gerutu Suntre sebelum dia melanjutkan ucapannya, “ya, sudah kuteruskan pekerjaan kita biar kupatnya jadi banyak.” Raut wajah Suntre cemberut tetapi tangannya tetap melakukan pekerjaannya itu. Akibatnya, kupat lepet buatannya jadi kurang rapi bentuknya.

Kupat lepet merupakan makanan khas yang mudah didapat di Dusun Beji yang terletak di wilayah Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo. Makanan ini dibuat penduduk pada masa panen padi. Pembuatannya menjadi kebiasaan khusus yang hanya dilakukan saat padi sudah siap dipanen, sebagai tanda dimulainya pesta panen. Masyarakat mempercayai kata-kata leluhur mereka bahwa setelah makan kupat lepet dan membaca doa bersama tetua Desa Beji, kegiatan memanen padinya menjadi berkah. Terhidangnya makanan itu juga sebagai wujud penghormatan mereka kepada alam sekaligus juga ungkapan rasa syukur atas hasil panennya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sang pemelihara tanah dan penumbuh setiap bulir padi di sawah.

Makanan khas tersebut terbuat dari campuran beras ketan, kelapa parut, dan garam. Tahap-tahap pembuatannya dimulai dengan memasukkan beras ketan yang telah tercampur dengan kelapa parut, daun pandan, dan garam ke dalam selongsong yang terbuat dari janur. Kemudian selongsong yang telah terisi itu direbus hingga matang. Daun kelapa yang dipilih adalah daun muda yang masih segar berwarna kehijauan, lentur dan harum alami. Alasan memilih janur memang bukan hanya karena mampu membungkus ketan dengan rapat. Masyarakat yakin janur juga membawa lambang kesucian dan keberkahan, seolah setiap helai daun itu menyimpan doa yang terjalin di sela seratnya.

Lepet selalu disajikan bersama dengan sayur sura yang gurih dan menyatu dengan cita rasa lepet. Sayur ini biasanya terdiri dari daging ayam atau sapi, telur puyuh, dan telur ayam. Kedua macam telur tersebut direbus tidak sampai terlalu matang, lalu dikupas dan dikeringkan. Selanjutnya daging dan telur itu dimasak dalam santan kelapa bersama-sama tumisan berbagai rempah, seperti kunyit, jahe, lengkuas, daun salam, dan serai. Beraneka rempah ini memberikan bau harum dan cita rasa yang kuat. Lepet dengan sayur khasnya ini menjadikan hidangan ini tidak hanya sekadar makanan, tetapi juga lambang rasa syukur atas hasil panen.

Sambil menarik napas panjang dan menghembuskannya kembali Suntre mengucapkan kekesalannya, “Gusti, berikanlah aku ilmu yang mampu menembus langit agar aku mampu untuk tetap menjalankan kebiasaan Bapak.”

Mendengar ucapan Suntre, Sasandewi menepuk pundak kanan adiknya itu dan berkata, “Kebiasaan itu memang baik. Aku yakin kau mampu melakukannya dengan baik dan penuh tanggung jawab.”

***

Suntre sebenarnya tidak suka menerima takdir itu. Bagaimana tidak, ada banyak hal aneh yang harus dipelajarinya, termasuk sesuatu yang tidak masuk akal. Sebagai contoh keanehannya adalah kejadian beberapa hari lalu. Saat itu mendung tiba-tiba menggulung langit, mengancam penghuni dusun dengan akan segera datangnya hujan deras. Ketika kegelapan semakin menggelayuti pelataran, ayah Suntre mengeluarkan sapu lidi dan beberapa bumbu dapur, seperti bawang merah, bawang putih, terasi, dan cabai.

Aneh memang apa yang dilakukan ayah Suntre, tetapi dalam kepercayaan orang dusun, itu hal biasa. Ayah Suntre berjongkok di tengah pelataran tanah yang mulai lembap. Jemarinya yang kurus menancapkan bumbu-bumbu itu pada sapu lidi yang didudukkan terbalik di tengah pelataran di mana biasa digelar kepang untuk menjemur gabah. Itulah langkah yang perlu diambil untuk menghadapi datangnya hujan lebat yang disertai angin kencang. Suntre melangkah cepat mendekati ayahnya dan memperhatikan setiap tindakan yang dilakukannya. Sang ayah pernah menjelaskan bahwa bumbu-bumbu itu adalah tumbal yang dipersembahkan kepada alam dengan harapan alam akan senang dan tidak menumpahkan hujan dan angin dengan berlebihan.

Mungkin bagi orang di luar Dusun Beji, tindakan ayah Suntre ini dianggap konyol. Namun, bagi sang ayah dan masyarakat dusun itu, hal itu adalah bagian dari kepercayaan yang telah membudaya, yang telah mereka jalani turun-temurun. Di tengah alam yang kadang tidak terduga dan tidak terkendali perangainya, manusia mencari cara untuk berdamai dengan kekuatan alam. Dengan kebiasaan seperti itu, warga dusun menemukan dan merasakan kedekatan mereka dengan alam.

“Bapak sedang menolak hujan? Mana mungkin hujan bisa dicegah dengan itu?” Suntre, yang masih tidak percaya dengan apa yang dilakukan ayahnya, menunjuk ke arah sapu lidi yang didudukkan terbalik dengan bumbu yang menancap di ujung lidinya.

“Ilmu itu luas, Le. Yang sekarang kita kenal sebagai adat, kebiasaan dan budaya, itulah ilmu yang dimiliki leluhur kita. Kita tak boleh menyia-nyiakan ilmu itu. Ilmu tak hanya dicari di bangku sekolah, kau juga harus mencarinya di alam terbuka.” Jawaban ayah Suntre selalu kembali ke pentingnya adat, budaya, alam, dan leluhur.

***

Suasana malam itu di pelataran pendapa Dusun Beji semakin meriah karena pagelaran wayang kulit akan segera dimulai. Para seniman dari desa tetangga beserta pengombyong-nya telah tiba. Para pembawa alat dan pendukung pertunjukan, mulai bekerja menyiapkan panggung di lapangan desa. Pagelaran wayang kulit malam itu bukan sekadar hiburan biasa, melainkan pesta panen raya yang ditunggu-tunggu warga. Wayang kulit dihadirkan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil bumi yang diperoleh warga desa. Denting gamelan dan tembang sinden menandai waktu panen. Pertunjukan itu dilangsungkan sebagai wujud syukur, silaturahmi serta pengingat untuk hidup selaras dengan alam.

Warga kampung berkumpul dengan membawa makanan dan minuman untuk dinikmati bersama pada saat pertunjukan wayang berlangsung.

Sasandewi dan Suntre baru saja selesai memasak kupat lepet beserta sayur sura. “Mbak, suara gamelan dan sindennya sudah terdengar!” seru Suntre.

Ketika lampu panggung dinyalakan dan suara gamelan mulai mengalun, semua mata tertuju pada kelir, – layar putih tempat bayangan wayang bergerak mengikuti setiap alur cerita. Di balik layar itu, tangan dalang dengan lincah menghidupkan tokoh-tokoh yang membuat penonton terdiam terpaku. Orang-orang berkerumun di lapangan desa dengan kegembiraan yang terasa di udara. Ada yang datang bersama keluarga, ada juga yang memilih menikmati pertunjukan sendirian. Sebagian mengenakan baju terbaik mereka, sementara yang lain lebih memilih tampil santai dengan baju yang biasa dipakainya sehari-hari. Namun, terlepas dari penampilan mereka, semuanya berkumpul dengan gairah yang sama untuk menyaksikan sebuah pertunjukan yang mereka tunggu-tunggu. Dengan senyum lebar menghiasi wajah mereka, Sasandewi dan Suntre duduk berdampingan di depan kelir.

“Ini adalah cara kita untuk merayakan hasil panen,” bisik Sasandewi kepada adiknya saat melihat berbagai sosok wayang dengan beraneka perwatakannya muncul di atas panggung, “Acara ini juga untuk bertemu satu sama lain, agar bisa saling memaafkan,” lanjutnya.

“Saling memaafkan itu lambang dari kupat lepetnya ya, Mbak?” tanya Suntre sambil menggigit kupat lepet yang masih hangat yang dibawanya dari rumah untuk bekal. Kata kupat memang sering dikaitkan dengan kata lepat yang berarti salah.

Sasandewi mengangguk. Kemudian telunjuknya mengarah ke kelir yang sudah terisi oleh bayangan tokoh-tokoh wayang. “Kau bisa lihat wayang-wayang Ki Dalang Marta, kan? Dia memainkan semua tokoh pewayangan sesuai dengan apa yang ingin dia tampilkan. Kiranya begitulah manusia, kita ini hanya wayang Tuhan,” jelas Sasandewi pada adiknya. “Wayang adalah bayangan, dan bayangan-bayangan itu melambangkan kehadiran manusia di bumi milik Tuhan,” lanjutnya.

“Kalau sindennya? Gamelannya? Itu ada maknanya juga, Mbak?” kembali Suntre bertanya.

“Jelas ada. Syair lagu-lagu yang dinyanyikan sinden itu maknanya dalam, musik gamelan juga mempunyai makna tersendiri. Makanya kamu tanya Bapak besok, biar tahu,” jawab Sasandewi.

Malam itu, Ki Dalang Marta mementaskan kisah Sesaji Rajasuya. Bukan lakon wayang yang kaku dan resmi, tetapi lakon yang dibumbui bahasa Jawa logat Dusun Beji yang khas. Tokoh-tokoh wayang dihidupkannya dengan lucu dan menarik. Prabu Jarasanda digambarkan sebagai tokoh yang kasar tetapi juga memiliki sisi kelembutan manusiawi. Prabu Puntadewa ditampilkan dengan keanggunan dan kekuatan batin yang mengilhami. Di sela-sela pementasan, Ki Dalang mengaitkan kisah itu dengan kehidupan sehari-hari warga Dusun Beji, kearifan budaya yang mengajarkan nilai-nilai kebajikan seperti kejujuran, kesetiaan, dan keberanian. Pesan kebajikannya disampaikan dengan bahasa yang sederhana, tetapi penuh makna. Sasandewi dan Suntre tampak sangat menikmati kisah ini. Sementara itu ayahnya duduk di kursi paling depan bersama para tamu undangan lainnya.

***

Menjelang sore sebelum magrib, di bawah pohon beringin tua, anak-anak Dusun Beji berkumpul. Bukan untuk bercerita hantu, mereka berkumpul untuk bermain selongsong kupat lepet. Selongsong-selongsong itu dibentuk menyerupai pedang, keris, tombak, dan wayang. Bayangan pementasan wayang kulit yang dibawakan oleh Ki Dalang Marta beberapa hari lalu masih terbayang jelas di benak mereka dan kini diwujudkan dalam permainan.

“Ini Bima!” seru anak laki-laki berambut ikal sambil menyodorkan selongsong kupat lepet yang dibentuk menjadi wayang Bima.

“Nah, ini Arjuna! Bisa memanah!” sahut teman perempuannya, dengan selongsong kupat lepet berbentuk wayang dengan panahnya.

Suara tawa riang anak-anak memenuhi udara senja. Mereka beradu peran, menirukan adegan-adegan pewayangan yang mereka saksikan pada pentas wayang beberapa malam yang lalu. Bayangan wayang kulit seolah hidup kembali dalam permainan mereka. Selongsong kupat lepet yang sederhana menjadi sarana untuk mereka-reka dan menghidupkan kembali cerita pewayangan. Mereka asyik mereka-reka di bawah pohon beringin tua di Dusun Beji.

***

Kisah tentang Dusun Beji, tetua desa, Sasandewi, dan Suntre adalah kisah masa lalu. Setelah ditinggal tetua desa lebih dari sepuluh tahun lalu, Dusun Beji seakan kehilangan rohnya.

Sawah-sawah warga menjadi perumahan. Hasil panen tidak lagi melimpah. Dan, musim yang sulit ditebak menjadi pelengkap penderitaan Dusun Beji saat ini. Sudah tidak ada lagi mentari sore yang tampak menyelinap di balik Gunung Sumbing, semburat jingganya sudah tertutup tembok gedung-gedung baru. Sudah tidak tercium lagi bau harum janur direbus yang mengepul uapnya. Sudah tidak ada lagi anak-anak Dusun Beji yang bermain janur untuk membuat benda-benda seperti keris, bola, dan berbagai bentuk hewan. Kearifan daerah Dusun Beji sudah terkikis. Untung masih ada orang yang pulang kampung, kemudian mencoba melestarikan kebiasaan Dusun Beji, mirip seperti yang dilakukan tetua desa yang sudah berpulang – ayah Sasandewi dan Suntre.

***

Di sudut kota yang jauh dari Desa Beji, sebuah kedai kopi pinggiran menghadirkan suasana hangat yang menyambut setiap pengunjung. Kehangatan suasana bagi sebagian orang akan semakin lengkap bila dinikmati bersama secangkir kopi yang harum menggugah selera.

Di pojok kedai, Endarwati dan Jaka duduk bersama asyik bercakap-cakap. Mereka memang bersepakat bertemu setelah tidak berjumpa sejak acara hajatan keluarga di desa beberapa bulan lalu. Keduanya sekarang telah tinggal di kota yang tidak jauh dari Dusun Beji. Kedai kopi yang sederhana itu menjadi tempat pilihan mereka berbagi cerita. Setiap kali Endarwati tersenyum, lesung pipinya muncul. Endarwati meneguk kopi yang tersaji di meja dengan perlahan. “Kopinya sedap. Aku jadi teringat saat berlibur ke rumah Eyang Ndewi, kopinya hanya ditambah sedikit gula.”

Sorot mata Jaka tampak teduh saat menceritakan langkahnya dulu, dari tanah tenang hijau kampung halaman menuju kota yang sibuk riuh. Dalam percakapan hangat itu, kenangan lama menemukan tempatnya kembali.

“Menurut Eyang Untre, di desa, kopi digunakan untuk kanca melek. Kopi juga menjadi bagian gugur gunung, kerja bakti. Orang-orang yang punya hajat akan menyediakan makanan ringan beserta minumannya untuk warga desa yang dengan sukarela lek-lekan. Lembur hingga larut malam itu digunakan untuk nyengkuyung keberhasilan acara. Memang sudah menjadi kebiasaan untuk bersama mendukung keberlangsungan acara empunya hajat pada keesokan harinya.” Jaka menanggapi.

“Sukarela? Maksudmu cuma-cuma begitu? Kalau di sini kan sudah ada E-O? Kita tinggal bayar pengelola kegiatan itu dan semua bakal beres. Apakah di desa semua warga dengan sukarela nyengkuyung acara?” tanya Endarwati dengan mengangkat alisnya.

“Itulah gugur gunung, semua ikut handarbeni, merasa sama-sama memiliki.” jawab Jaka.

“Kalau dengar kisahmu, terutama cerita dari kakekmu, mungkin lebih enak tinggal di desa. Ternyata, di kota, bising pipa asap dan ribut tuter bikin telinga sumpek tiap pagi,” kata Endarwati.

“Bisa iya, bisa tidak. Sawang-sinawang,” Jaka menjelaskan bahwa apa yang tampak indah di mata seseorang, belum tentu terasa indah bagi orang yang menjalaninya.

Alis Endarwati terangkat dan matanya membesar seolah menahan rasa ingin tahu. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, dia kagum pada kekayaan kosa kata daerah yang meluncur begitu alami dari mulut Jaka, karena dia sudah lama larut dalam gaya bahasa zaman sekarang.

“Ya itu kan dari sudut pandangmu bilang begitu, dari sudut pandang orang lain bisa jadi kebalikannya. Siapa yang tahu jika ternyata banyak orang desa yang juga berpikir bahwa hidup di kota sepertimu justru lebih enak?” Ada nada getir yang terselip di balik tawa ucapannya — seakan dia ingin meyakinkan Endarwati, bahwa hidup perlu selaras dengan alam dan kebiasaan desa.

“Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kini hubungan manusia satu dengan lainnya dipahami sebagai hubungan kebendaan. Kehangatan dan cinta kasih memudar. Kebanyakan orang kini telah kehilangan kepribadian,” ucap Endarwati lirih. Jemarinya menggenggam gagang cangkir yang mulai dingin. Tatapannya menerawang ke luar jendela kedai, menatap lalu-lalang kendaraan dengan sorot mata yang meredup.

Benar, sepertinya ada yang hilang,” Jaka menanggapi keluhan Endarwati. “Ya, termasuk kepribadian kita sebagai orang Jawa yang memang dikenal dengan kearifannya. Sopan santun, salah satu contohnya, merupakan perwujudan kearifan itu.”

Jaka menatap ke arah pintu masuk kedai itu. Suaranya tenang tetapi ada semburat getir yang sulit disembunyikan. “Yang hilang tidak selalu harus disesali,” ujar Jaka, seolah dia ingin meyakinkan dirinya sendiri; dan, upayanya itu sama kuatnya seperti saat dia meyakinkan Endarwati arti sawang-sinawang.

Endarwati menoleh cepat. Alisnya berkerut, bibirnya terbuka setengah, menampakkan keterkejutannya yang bercampur penasaran. “Maksudmu?” tanyanya pelan, matanya menelisik Jaka seakan ingin menyibak lapisan perasaan yang tersembunyi di balik kalimatnya.

Jaka menegakkan tubuhnya, kedua alisnya bertaut rapat. Tatapannya menancap lurus pada Endarwati, seakan ingin menekankan tiap kata yang keluar melewati bibirnya. “Kepribadian kita sebagai orang Jawa atau orang timur mungkin saja menjadi penghambat kita untuk maju sebagaimana majunya orang-orang yang kita sebut sebagai orang barat,” katanya, kali ini dengan nada mantap.

“Menurutmu fried chicken, hamburger, dan pizza, lebih pas untuk makan kita sehari-hari daripada ayam ingkung, arem-arem, dan sengkulun?” Endarwati, memancing Jaka berbicara tentang kepribadian orang barat yang sebenarnya dia sukai. Tanpa menunggu jawaban Jaka, dia melanjutkan, “Menurutku tidak bermasalah jika itu memang lebih disukai oleh kawula muda Indonesia saat ini.”

Perbincangan antara Endarwati dan Jaka terpotong karena kopi pesanan kali kedua mereka datang.

Jam malam beranjak jauh, tetapi pertanyaan Endarwati justru semakin mengakar. Sebenarnya, masih banyak lagi yang ingin ditanyakannya kepada Jaka. Namun, semakin dalam Endarwati bertanya, semakin kosong pandangan mata Jaka. Tatapannya semakin menjauh, seolah dia sedang menatap dunia di balik dinding kedai. Malam Minggu memang suasana yang menenteramkan untuk berbincang-bincang. Namun, tidak untuk malam itu. Kopi dan makanan ringan yang tandas seolah menengarai perpisahan mereka.

Malam itu, Jaka berpamitan singkat. Dia membawa pulang keyakinan bahwa dia ingin tetap berpijak pada nilai leluhurnya, bukan pada pola kebaratan yang disukai Endarwati.

Endarwati menarik napas panjang, matanya menerawang ke luar jendela. Sadar bahwa zaman terus bergerak dan sulit dibendung, dia yakin pada akhirnya sejauh apa pun anak muda merantau, desa selalu punya cara sendiri untuk memanggil mereka pulang. Kisah-kisah Dusun Beji pun harus tetap hidup agar warisan leluhur menjadi penuntun di tengah arus zaman. Endarwati tersenyum tipis, dia yakin bahwa setiap cerita akan menemukan jalan pulangnya sendiri.

*****

 

 

Choose Site Version
English   Indonesian