Introduction to 2025 series of short stories.

Dalang published Footprints / Tapak Tilas, the 49 short-story, bilingual compilation in 2022. The publication celebrated our tenth anniversary and acknowledged the contributing 44 authors and 18 translators. This launch resulted in the seven short stories to be featured here in 2025.

Each of these short-story authors represents one of the seven areas Indonesia is known for.

During the Footprints / Tapak Tilas launch event in each region, we asked the audience for questions and offered a competition. The most in-depth question submitted, that would help an up-and-coming author or translator, would win and receive a copy of Footprints / Tapak Tilas. The winners were requested to write a short story and promised that the professionally edited work and its translation would be featured on our website.

These authors are mostly young, aspiring writers with a keen interest in literature and sense of nationalism. We hope that being published on our website will give them a foothold into the literary world and inspire them to continue the journey with their writing muse.

Our stories are not only geared to develop writing skills, but are also aimed at nurturing Indonesian literature with the hope of breaking through international walls. As for our foreign readers, we hope our stories bring enlightenment regarding Indonesian customs, culture, history, and society. For the Indonesian readers, we hope to awaken and/or nurture a sense of pride in their home country and the bounty it has to offer.

A recording of the events can be found at:
https://sites.google.com/view/bincangsastra-eng/beranda


Junaedi Setiyono

Junaedi Setiyono received a scholarship from Ohio State University to conduct research as part of his doctorate degree in language education, which he received in 2016 from the State University in Semarang, Central Java. He felt being part of Dalang Publishing after he was entrusted with the edit of Lolong Anjing di Bulan (Sanata Dharma University Press 2018), a novel by Arafat Nur, and the translation of two short stories: Mengenang Padewakkang, by Andi Batara Al Isra, and Ketuk Lumpang, by Muna Masyari — both published in 2022 in Dalang’s Footprints/Tapak Tilas, a bilingual short story compilation.

Setiyono’s most recent assignment — to edit the 2025 series of six short stories to be published in installments on Dalang’s website — gave him the opportunity to improve his own writing skills, including accurate word placement, appropriate sentence structure, and careful examination of the storyline’s plausibility as composed by the author.

Dalang has published two of Setiyono’s novels: Dasamuka (Penerbit Ombak 2017) and Tembang dan Perang (Penerbit Kanisius 2020).

Setiyono teaches writing and translation at his alma mater, the Muhammadiyah University of Purworejo. He received three awards for Dasamuka from: the Jakarta Arts Council; the Indonesian Ministry of Education and Culture; and the Southeast Asian Literature Council.

Junaedi Setiyono: junaedi.setiyono@yahoo.co.id

 

Terre Gorham

Terre Gorham has spent her entire life coaxing words to sing. Briarcliff Elementary School “published” her first short story when she was in 2nd grade. She went on to earn a degree in writing. She freelanced her work until she landed a full-time job as editor of The Downtowner Magazine, in Memphis, TN, where she wrote, edited, and guided young writers for more than 20 years. Gorham has ghost-written a novel for a non-profit organization that helps abused women. She joined Dalang Publishing in 2017 as the English language editor. Her words have been published in hundreds of publications. She is currently working for an event production company where she edits documents ranging from client presentation decks to policy manuals. Now, nearing “retirement age,” she continues her editing work on a freelance basis once again.

Terre Gorham: terregorham@gmail.com

 

 

 

 


Dupa Terakhir

Putri Sri Ardianti is a student of UIN Alauddin Makassar, majoring in English language and literature. Her interest in writing began when she was in high school, and she maintains a personal blog of her poems and favorite quotes. Puya ke Puya (Gramedia, 2015), a novel by Faisal Oddang, ignited her desire to write a book. Ardianti is the founder of the Rumah Perempuan LPG podcast, which each month broadcasts a new chapter that focuses on women’s empowerment.

Adrianty’s winning question: What is the message you wanted to convey, and which was harder for you; researching or writing the story?

Putri Sri Ardianti: putrisriardianti2@gmail.com

***

 

Dupa Terakhir

“Makamkan Emba segera, sebab tidak ada yang perlu kita tunggu lagi.” Kalimat ini bagi Iga bak sebuah mantra yang mengubah banyak hal, yang memperpanjang hari-harinya dan yang memperingkas waktu tidurnya.

Iga telah menjadi wanita yang terbiasa hidup dan menghidupi dirinya sendiri. Cintanya pada Emba telah membawanya sampai ke desa terpencil di pedalaman Sulawesi Selatan, yang begitu berbeda dengan tempat tinggal asalnya. Dia berasal dari daerah perkotaan. Iga tumbuh di antara gedung-gedung menjulang tinggi, tetapi di tempat ini hanya ada hutan lebat. Namun, itu semua tidak lagi penting baginya karena dia telah menentukan pilihannya. Pilihan itu membuatnya tidak punya alasan untuk pulang dan bertemu orangtuanya lagi.

Karena jika Iga kembali, dia akan dibunuh untuk menegakkan martabat keluarganya. Hal ini telah menjadi warisan turun-menurun di keluarganya. Walaupun tinggal di daerah perkotaan, adat Bugis ayahnya tetap dijunjung tinggi dalam keluarganya.

Apabila ada seorang gadis yang meninggalkan rumah, untuk kawin silariang, menikah tanpa persetujuan keluarga, dia haruslah kembali dengan mahar yang telah ditentukan pihak keluarga. Menurut adat Bugis, jika dia menampakkan diri tanpa mahar tersebut, keluarga berhak membunuhnya.

Tiga tahun terakhir yang dijalani Iga cukup mengacak-acak hidupnya. Cinta yang seharusnya hangat di meja makan setiap harinya harus dia relakan. Emba kini tidak lagi ada dalam hari-harinya. Emba telah dikubur bersama dengan harapan Iga untuk bisa pulang pada keluarganya. Kejadian itu sangat membekas di hatinya. Tahun lalu, pada hari yang begitu cerah, Emba berangkat bekerja dengan penuh semangat untuk mencari pundi-pundi rupiah agar bisa segera membawa Iga pulang pada keluarganya. Namun, sayang, hari yang cerah itu menjadi hari terakhir laki-laki itu untuk berjuang demi cintanya. Kematian telah sampai padanya lewat kecelakaan.

Namun, meskipun telah kehilangan Emba, Iga masih bertahan tinggal di desa ini. Dia sudah menyesuaikan diri dengan kebiasaan orang-orang di tempat ini. Kebiasaan adat, nada bicara orang yang tinggi, dan mencari nafkah dengan hanya mengandalkan pertanian, sudah tidak asing lagi baginya.

Salah satu kebiasaan adat kampung Emba yang telah Iga jalani sejak kepergian Emba adalah kebiasaan menyambut bulan suci Ramadhan.

Ramadhan adalah bulan kerinduan yang disambut dengan beragam cara di desa ini. Ada yang tertawa senang keliling kampung dengan obor di tangannya. Ada yang sibuk membersihkan sudut demi sudut tempat tinggalnya. Ada pula yang menyambut bulan suci dengan wangi dupa yang meruap di rumahnya.

Di antara pilihan-pilihan itu, Iga memilih untuk menyambut Ramadhan dengan meruapkan wangi dupa dan memberi makan kepada orang terkasih yang telah meninggal dunia. Kebiasaan ini membutuhkan berbagai hidangan seperti nasi dalam berbagai warna, ketupat, dan lauk-pauk yang biasanya berupa daging ayam atau telur. Acara itu dilangsungkan dengan bantuan orang pintar atau dukun yang ada di desa.

“Dua potong ayam, Pak,” ujar Iga pada laki-laki tua yang setiap hari lewat di depan rumahnya dengan gerobak usang. Iga memandang dagangan tukang daging dengan begitu bersemangat sebelum mengatakan, “Mendiang suami saya sangat menyukai itu.”

Tanpa banyak bicara, laki-laki itu langsung membungkusnya dan memberikannya pada Iga.

Orang-orang di desa ini percaya bahwa wanginya dupa dan lezatnya masakan yang dihidangkan dalam penyambutan bulan Ramadhan akan dinikmati oleh orang terkasih yang telah meninggal. Menghidangkan makanan kesukaan orang yang telah meninggal adalah bentuk cinta pada orang itu. Iga yang membeli daging ayam, memasak, dan menghidangkannya percaya bahwa suaminya akan dapat menikmatinya.

Setiap kali menuju Ramadhan, Iga menjadi orang yang sibuk. Dia mempersiapkan banyak hal untuk menyambut bulan itu. Dia percaya dapat mendatangkan suaminya petang nanti, walaupun tidak dalam keadaan kasat mata.

Begitu selesai mengolah bahan makanan, dan dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Iga memilih mengeluarkan baju-baju suaminya dari lemari, dan menyetrikanya. Masyarakat di desa ini juga percaya bahwa menyediakan pakaian orang yang telah meninggal merupakan penghormatan bagi mendiang tercinta. Mereka akan mengenakannya saat penyambutan datangnya bulan suci yang berlangsung pada petang, setelah salat Magrib.

Emba adalah laki-laki yang rapi, dan Iga tidak ingin almarhum kekasihnya itu memakai baju yang kusut karena telah tersimpan lama dalam lemari. Baju demi baju pun dia setrika, hingga dia menemukan kemeja biru yang sebenarnya sudah kurang layak untuk dipakai. Namun, suaminya dulu sangat menyukai baju itu. Bahkan, hampir setiap kali Iga selesai menyeterika baju itu, suaminya akan memakainya kembali. Iga tersenyum memandang baju itu, dan membatin, Suamiku tentu akan senang memakai baju kesukaannya ini.

Setelah selesai menyetrika pakaian suaminya, Iga beranjak menuju dapur untuk menyiapkan piring. Dia mengeluarkan piring-piring yang hanya dia gunakan pada saat-saat tertentu, seperti untuk penyambutan bulan Ramadhan. Sesuai dengan kepercayaan masyarakat, jumlah piring haruslah ganjil. Iga memilih untuk menghidangkan sembilan piring nasi beserta sembilan piring lauk-pauk.

Dengan wajah sumringah, Iga membersihkan piring-piring itu dari debu dengan hati-hati. Bahkan dia menggunakan kain baru, bukan kain yang biasa dia gunakan untuk membersihkan piring yang lainnya.

Matahari sore yang cukup panas menyorot itu kini menyapa Iga lewat jendela di dapurnya. Dia masih memandangi opor ayam yang telah tersaji di depannya. Wajahnya terlihat berbunga-bunga bagaikan orang yang baru saja menerima surat cinta dari kekasihnya. Dia percaya bahwa penyambutan yang dia rencanakan akan menghantarkan suaminya untuk menikmati hidangan yang telah dia persiapkan dengan penuh semangat.

Piring-piring itu kemudian dia isi dengan makanan yang dia masak seharian. Empat piring berisi nasi beras hitam, empat piring lainnya berisi nasi beras putih, dan satu piring berisi ketupat. Sembilan piring lainnya dia isi dengan lauk-pauk seperti telur dan ayam, sedangkan sayurnya berupa sayur pepaya yang bahannya dia ambil dari kebunnya sendiri.

Setelah mengisi piring-piring tersebut, Iga beranjak ke ruang tamu untuk menggelar tikar sebagai alas duduk dalam penyambutan nanti. Konon katanya ketika menuju waktu petang, maka orang yang telah meninggal sedang dalam perjalanan. Dia akan kembali ke rumahnya, dan menikmati hidangan yang dipersiapkan keluarganya.

Suaminya mungkin sedang di perjalanan, itulah yang Iga percaya. Kepercayaanya itu membuat dia ingin mempersiapkan diri juga. Setidaknya, dia tampil dengan pakaian yang rapi serta sedikit riasan di wajahnya.

Di kamarnya dia memandang tubuhnya di cermin lemari. Baju yang dia beli setahun lalu masih nampak baru karena jarang dia pakai. Dia bisa melihat betapa kurus tubuhnya saat ini, dan matanya terlihat sendu. Ada rasa rindu di balik tatapan Iga kepada dirinya sendiri, rindu kepada suaminya, kepada keluarganya terutama pada ibunya. Ibunya telah merawat Iga dengan baik selama belasan tahun, tetapi saat ini wanita itu harus menanggung malu karena pilihan Iga.

Iga menghembuskan napas dengan kasar. Saat ini sudah tidak ada gunanya menyesali keputusannya. Memilih Emba dan meninggalkan keluarganya adalah pilihan yang Iga kira tidak akan memberikan jalan sunyi yang begitu panjang dan dingin. Sekarang, sekeras apa pun Iga mencoba merasakan hangat cinta suaminya, tetap saja dia berada di tempat yang dingin. Iga kini sebatang kara di desa yang begitu jauh dari tempat dia dibesarkan.

Suara ketukan pintu membuyarkan Iga dari lamunannya. Dia melirik jam dinding yang ada di kamarnya dan tersenyum. Waktunya telah tiba dan orang yang mengetuk pintu pastilah Daeng Tompo. Dia seorang dukun yang terkenal di desa ini, dan dipercaya untuk memandu kebiasaan adat seperti penyambutan bulan suci ini. Dukun dipercaya memiliki kelebihan khusus, sehingga dapat memahami hal tidak kasat mata, serta mampu berbicara dengan arwah di alam gaib. Tanpa mempertimbangkan pemahaman seorang dukun terhadap pengetahun keagamaan, dia dipercaya untuk memandu kebiasaan adat penyambutan Ramadhan.

Dengan senyuman yang begitu mekar di wajahnya, Iga bergegas membuka pintu. Daeng Tompo sudah berdiri tepat di depan pintunya dengan angkuh. Jika dilihat dari perawakannya, pria tersebut umurnya sekitar delapan puluh tahun ke atas. Dia tidak datang sendirian, ada seorang perempuan yang berdiri dengan wajah datar di belakangnya. Perempuan itu adalah istrinya dan biasanya dia yang dipercaya untuk menyusun hidangan.

Daeng Tompo dan istrinya kemudian memasuki rumah Iga. Sebagai tuan rumah, Iga berkawajiban menyiapkan minuman untuk tamunya yang sudah dia persilakan duduk. Hal ini adalah bentuk penghargaan, sekaligus agar Daeng Tompo bisa menikmati kopi sambil menunggu hidangan siap.

“Mari saya bantu,” kata wanita itu sembari berdiri. Dia melangkah mengikuti Iga yang kembali menuju ke dapur setelah meletakkan secangkir kopi di depan Daeng Tompo.

Melihat semua piring yang telah terisi, istri Daeng Tompo yang berdiri di belakang Iga menganggukkan kepalanya. Mereka mulai mengambil piring-piring itu, lalu membawa dan meletakkannya di atas tikar yang telah disediakan Iga.

Empat piring nasi beras hitam berada di sebelah kiri dan empat piring nasi beras putih diletakkan di sebelah kanan. Sementara, piring yang berisi ketupat berada di tengah. Lauk-pauk diletakkan berdekatan dengan piring-piring itu.

Ketika istri Daeng Tompo sibuk menyusun hidangan, Iga mempersiapkan tempat dupa. Dupa itu ditaburi sisa-sisa pembakaran kayu yang masih ada bara apinya. Wangi kemenyan dari tempat dupa dengan cepat menyebar pada tiap sudut rumah. Iga merasa senang dengan bau itu. Kemenyan dipercaya disukai oleh orang yang telah meninggal.

Setelah semua hidangan tertata rapi, Iga meletakkan tempat dupa di sudut tikar. Kemudian Iga dan istri Daeng Tompo duduk di atas tikar. Daeng Tompo yang sedari tadi duduk sambil sesekali meminum kopinya, bangkit dan berjalan menuju tempat dupa. Dia kemudian duduk bersila di depannya. Kedua perempuan itu segera memperbaiki cara duduknya. Mereka duduk seperti sedang tahiyat dalam salat.

“Tunggu,” kata Iga, ucapan yang membuat Daeng Tompo menoleh ke arahnya. Iga menyadari ada yang kurang, yaitu pakaian suaminya. Tanpa menunggu tanggapan Daeng Tompo, Iga langsung berdiri dan melangkah menuju kamar. Setelah beberapa menit Iga kembali keluar dengan kemeja biru kesukaan Emba.

Iga meletakkan kemeja itu di samping dupa. Kemudian dia kembali duduk. Suasana menjadi hening. Apa yang sedang dilakukan Iga, diharapkannya dapat mempertemukannya dengan Emba, meskipun pertemuan itu hanya sebatas kepercaayan semata.

Iga memandang makanan yang tersusun rapi di tikar. Dia membayangkan suaminya yang memakai baju yang dia setrika siang tadi sedang menyantap masakannya dengan lahap.

Sementara itu Daeng Tompo sibuk membacakan mantra yang akan menjadi inti dari penyambutan bulan suci ini.

“Siapa nama ayahnya?” pertanyaan Daeng Tompo memecah keheningan.

“Samir,” Iga menjawab dengan senyum kelegaan di wajahnya. Pertanyaan itu adalah tanda bahwa acara penyambutan Ramadan telah selesai.

Daeng Tompo kemudian berdiri dan berpamitan.

Iga mengantar kepergian Daeng Tompo beserta istri hingga ambang pintu, lalu dia menyerahkan beberapa lembar uang sebagai bentuk ucapan terima kasih. Daeng Tompo telah meluangkan waktu untuk penyambutan bulan Ramadhan di rumah Iga, jadi sudah sepatutnya Iga membalas budi baiknya.

Malam itu begitu membahagiakan bagi Iga, walaupun dia sudah bersusah payah menyiapkan makanan yang begitu banyak dan dia tidak menyantapnya. Namun, perkara menikmati makanan sama sekali tidak penting untuknya. Dia lebih memilih berbaring di atas ranjang. Hatinya memang bahagia, tetapi tidak bisa dipungkiri tubuhnya kelelahan, jadi tidur adalah pilihan yang paling tepat.

Suara riuh warga yang berteriak di luar rumah Iga itu membuatnya membuka matanya dengan perlahan. Dia mendengar suara warga kian mendekat. Sepertinya akan lewat di halaman depan rumahnya. Iga berjalan menuju pintu untuk melihat para warga yang akan lewat. Dia mengenang saat Ramadhan pertama dia tinggal di desa ini. Menjelang waktu Sahur, Emba ikut keliling desa bersama warga lainnya. Sekarang, Iga membayangkan suaminya berada di antara orang-orang yang lewat itu.

Iga membuka pintu rumahnya. Matanya terpusat pada orang-orang yang berjalan di depan rumahnya. Ada sehelai kertas yang terselip pada pintu rumahnya, dan kertas itu terjatuh saat Iga membukanya. Dia melihat kertas itu sekilas, sebelum kembali memusatkan perhatian ke keramaian di depan. Saat semua rombongan telah lewat, dia mengambil kertas yang tadi jatuh.

Iga melangkah masuk dan duduk di tikar yang belum dia lipat. Masih terlihat sisa-sisa makanan di atasnya. Mata sayunya membaca kertas itu. Dalam pikirannya, dia beranggapan bahwa kertas itu adalah daftar urutan warga yang akan menyediakan buka puasa di masjid. Sudah menjadi kebiasaan di desa ini, bahwa setiap hari setiap warga mendapat giliran untuk menyediakan buka puasa di masjid.

Tahun lalu Iga mendapatkan giliran di hari pertama puasa. Saat ini dia ingin tahu kapan dia mendapat giliran menyediakan buka puasa.

Makanan yang kau sediakan itu merupakan wujud ketidakikhlasanmu atau kemungkaranmu? kalimat itu tertulis begitu jelas pada kertas di tangan Iga. Dia kaget begitu membacanya. Ternyata itu bukan daftar penyedia buka puasa, tetapi sebuah pertanyaan. Namun, siapa yang menyelipkan kertas itu pada pintu rumahnya dan mengapa orang itu melakukannya? Setahunya, yang dia lakukan semalam, adalah yang dilakukan oleh sebagian besar orang-orang di desa ini.

Keesokan harinya, di pagi buta, Iga duduk di dapur dengan makanan yang telah dia sajikan. Sahur pertamanya dilakukannya sambil memikirkan jawaban atas pertanyaan yang tertulis di kertas tersebut. Pertanyaan apakah dia ikhlas akan kepergian Emba, adalah pertanyaan yang tidak perlu baginya. Tentu saja dia tidak bisa mengikhlaskan kepergian suaminya. Selain itu tidak ada niat dalam hatinya untuk mungkar. Dia tidak pernah meninggalkan salat bahkan ketika dia sedang sakit, jadi kemungkaran adalah hal yang dia hindari.

Iga belum menemukan jawaban atas pertanyaan untuk apa dia menyiapkan makanan yang begitu banyak untuk penyambutan bulan suci. Dia merasa hanya mengikuti kebiasaan warga. Dia juga beranggapan bahwa makanan itu adalah perwujudan cintanya pada Emba.

Pertanyaan itu sangat mempengaruhi pikiran Iga, maka Iga memutuskan untuk menemui Ibu Nur, seorang ustazah di desa itu. Ibu Nur adalah orang yang dipercaya memiliki ilmu agama yang lebih baik daripada warga lainnya. Dia mulai menceritakan apa yang telah dia alami, mulai dari kebiasaan penyambutan bulan Ramadhan hingga ditemukannya kertas yang berisi pertanyaan.

Ibu Nur mendengarkan cerita Iga dengan seksama sebelum kemudian menanggapinya. “Adat istiadat tidak pernah lepas dari kehidupan kita. Kepercayaan bahwa makanan yang kamu hidangkan, baju yang kamu siapkan, dan wangi kemenyan pada dupa yang kamu bakar, akan dinikmati oleh orang terkasihmu yang telah meninggal merupakan salah satu contohnya. Kamu melakukannya itu semua sebagai perwujudan betapa kamu mencintai almarhum suamimu. Kita mengungkapkan perasaan cinta dengan berbagai cara. Terkadang kita tidak menyadari bahwa kita telah memilih cara yang salah.”

Sesampainya di rumah, Iga kembali memikirkan perkataan Ibu Nur. Terbersit dalam hati Iga untuk bertanya pada Daeng Tompo. Iga dikuasai kegelisahan tentang apa yang telah dia lakukan. Setelah mendapatkan sudut pandang mengenai adat-istiadat dari Daeng Tompo, dia berharap bisa mendapat jawaban atas kegelisahannya. Dia pun lalu berjalan menuju rumah Daeng Tompo. Sambil berjalan, dia memikirkan apa yang akan dia katakan nanti agar perkataannya itu tidak menyinggung perasaan sang dukun.

Sekitar lima puluh meter dari rumah Daeng Tompo, langkah kaki Iga dihentikan oleh seseorang. Orang itu lalu mendekat dan menarik pergelangan tangannya. Tarikan pelan itu membuat tubuhnya berbalik ke arah orang itu. “Tidak perlu ke sana,” kata orang itu yang ternyata adalah Ibu Nur yang tadi dia temui.

Karena bingung dengan apa yang dilakukan Ibu Nur, Iga pun bertanya, “Kenapa?”

“Intinya kamu tidak perlu ke sana,” nada suara Ibu Nur yang semula lembut berubah menjadi tegas.

Iga menatap perempuan di depannya itu, dia tidak mengerti apa maksudnya. “Saya ingin Daeng Tompo juga memberi saya jawaban seperti halnya Ibu Nur.”

“Kamu ini beragama apa?” suara Ibu Nur kian meninggi, suara yang membuat Iga kaget. Orang yang dikenal lemah lembut, saat ini menjadi orang yang menyeramkan baginya. Dia bahkan tidak bisa melontarkan satu kata pun.

Tentu saja Iga beragama Islam, dan Ibu Nur juga tahu akan hal itu. Namun, yang dimaksud Ibu Nur adalah apa yang dilakukan Iga. “Kamu harusnya mawas diri, jangan-jangan hatimu telah dibutakan oleh perasaan tidak ikhlasmu.” Ibu Nur memegang kedua pundak Iga, menggoyangkannya layaknya orang yang sedang berusaha membangunkannya dari tidur.

Iga tidak dapat berbuat apa-apa diperlakukan seperti itu.

“Saya yang menyelipkan kertas itu, agar kamu sadar” kata Ibu Nur dengan tangan masih memegang pundak Iga.

Iga merasa sesak, dia menghela napas.

Ibu Nur menggandeng tangan Iga. Mereka berjalan semakin menjauh dari rumah Daeng Tompo. Perjalanan mereka dihiasi keheningan. Iga sibuk dengan pikirannya sendiri, begitu pula dengan Ibu Nur. Setelah berjalan sekitar lima menit, mereka sampai di rumah Ibu Nur. Mereka memasuki ruang tamu, dan Ibu Nur mengucapkan, “Assalamualaikum.”

Iga melihat ada beberapa orang di sana. Ada imam masjid, dan beberapa orang yang memakai peci.

Ibu Nur mempersilakan Iga untuk duduk. Namun, sebelum Iga sempat duduk, Ibu Nur bertanya, “Bagaimana kalau kamu dirukiah saja?”

Pertanyaan Ibu Nur itu membatalkan niat Iga untuk duduk, “Maksud Ibu?” Rukiah adalah pengobatan pada orang yang terkena gangguan jin dan guna-guna. Rukiah dipercaya sebagai perawatan jiwa dalam Islam. Dalam benaknya Iga meronta mempertanyakan. Aku bukan orang yang terkena guna-guna atau kerasukan. Orang-orang di kampung ini juga banyak yang melakukan hal yang sama denganku. Mengapa hanya diriku yang akan ditiupi doa-doa dan di basuhi bahkan dimandikan air yang telah dibacakan doa tertentu?

“Hatimu akan lebih tenang jika kamu dirukiah,” nada suara Ibu Nur kembali lembut, tetapi tidak bagi Iga. Dia merasa Ibu Nur memaksakan kehendaknya padanya.

“Saya baik-baik saja, tidak perlu diperlakukan seperti ini. Kalau Ibu Nur merasa saya salah, rukiahlah juga orang-orang di kampung ini.” Setelah mengatakan itu, Iga melangkah keluar dari rumah itu.

Namun, saat Iga sudah berada di ambang pintu, tangannya kembali ditarik oleh Ibu Nur. Ibu Nur memandang Iga tanpa berkata apa pun, hanya air matanya yang mengaliri wajahnya. “Saya turut prihatin dengan takdir kelammu.” Ibu Nur lalu memeluk tubuh Iga, dan mengusap punggungnya pelan.

Iga yang sudah lama tidak pernah diperlakukan seperti itu, menjadi terharu dan air matanya ikut mengalir. Kedua wanita yang kemudian berpelukan itu sama-sama terisak.

“Jadikan Ramadhan ini jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan, bukan mendekatkan diri pada kemungkaran. Cintamu kepada Emba luar biasa tetapi caramu mencintainya salah. Benar katamu bahwa seharusnya saya merukiah orang-orang di desa ini juga, tetapi saya belum mampu membuat semua orang di desa ini meninggalkan kebiasaan adatnya ini. Apa lagi bagi mereka yang lahir dan tumbuh di sini. Namun, kamu berbeda. Saya percaya kamu dibesarkan dengan ajaran agama yang baik oleh orangtuamu. Saya merasa bersalah jika membiarkanmu mungkar.”

Penjelasan Ibu Nur mengaduk-aduk perasaan Iga. Apa yang dia dengar barusan dia rasa sebagai kebenaran. Mengenai orangtuanya yang membesarkannya dengan ajaran agama masih dapat dia pertanyakan. Adat istiadat di tempat orangtuanya pun memungkinkan terjadinya pembunuhan terhadap anak yang melakukan kawin silariang. Kepergian Emba membuat dia kehilangan pegangan, membuat dia tidak tahu harus berbuat apa. Pada akhirnya dia lalu menerima kebiasaan adat orang kampung, sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Sebenarnya dia hanya ingin menyampaikan kasih sayangnya pada Emba. Selain itu, memberikan makanan kepada mendiang suaminya yang dikasihi bukan adat kebiasaan yang buruk, begitu batinnya.

Setelah salat Taraweh, Iga memutuskan untuk mengikuti saran dari Ibu Nur untuk dirukiah. Iga berharap hatinya akan lebih tenang dan bisa kembali berjalan ke arah yang benar sesuai dengan syariat agama. Jauh di dalam lubuk hatinya, Iga sebenarnya tidak percaya bahwa rukiah akan membuatnya lebih tenang. Dia merasa tidak kemasukan jin atau yang semacamnya. Namun, dia hanya tidak ingin mengecewakan Ibu Nur yang menaruh perhatian begitu besar pada dirinya – lebih besar perhatiannya ketimbang perhatian yang diberikan oleh Daeng Tompo dan orang-orang yang selama ini menjadi tetangganya.

*****

 

The Last Offering

Yuni Utami Asih has loved poetry, short stories, and novels since elementary school. She stepped into the world of translation after hosting the launch of Footprints/Tapak Tilas (Dalang Publishing, 2023), a bilingual short story compilation in celebration of Dalang’s tenth anniversary. The first novel she translated was Pasola (Dalang Publishing 2024), by Maria Matildis Banda. Her most recent work was translating the 2025 series of six short stories to be published in installments on Dalang’s website.

Apart from teaching at the English Language Education Study Program, Faculty of Teacher Training and Education, Mulawaran University, Asih is involved in educational workshops for teachers in Samarinda, East Kalimantan, Indonesia, and surrounding areas.

Yuni Utami Asih: yuniutamiasih@fkip.unmul.ac.id.

***

 

The Last Offering

“Bury Emba immediately; we don’t have anything to wait for.” For Iga, those words were a mantra that lengthened her days and shortened her sleep.

Iga had become a woman who was accustomed to living alone and supporting herself. Her love for her late husband, Emba, had taken her all the way to this remote village in the hinterland of South Sulawesi, which was very different from the urban area where she came from. Iga grew up among towering buildings; now, a dense forest surrounded her. But all that no longer mattered; she had made her choice — a choice that now prevented her from ever going home to visit her parents.

If Iga returned home, she would be killed to uphold her family’s dignity. This had been a hereditary legacy for them. Despite living in an urban area, the family had retained her father’s Bugis traditions which said that if a girl left home to silariang, marry without the family’s consent, she had to return with a dowry amount determined by the family. If she returned without the dowry, the family had the right to kill her.

Iga’s past three years since moving to Emba’s village had been quite turbulent. She had to do without the warm family love that once surrounded her. Emba had been buried along with Iga’s hopes of being able to return to her family. Her husband’s death had deeply affected her. A year ago, Emba had gone to work, filled with enthusiasm to earn Iga’s dowry money so he could take Iga home to visit her family. But that sunny day became his last; Emba had been killed in an accident.

Iga persisted on living in the village, even without Emba. She had adapted to the customs there. She had become familiar with the high tone of people’s speech, and how to make a living by relying solely on farming.

One of the village traditions Iga had decided to adopt after Emba’s death was the welcoming of the holy month of Ramadan, the ninth month of the Islamic calendar, observed by Muslims worldwide as a month of fasting, prayer, reflection, and community.

Ramadan was welcomed in various ways in the village. Some people walked around holding torches and laughing happily. Some busily cleaned each corner of their homes. Others welcomed the holy month with the fragrance of incense.

Iga chose to welcome Ramadan by burning incense and feeding a deceased loved one — her Emba. The villagers believed that loved ones who had passed away could enjoy the fragrance of incense and the delicious food served in celebration of Ramadan. Serving a loved one’s favorite food was considered a form of expressing love for that person. This required the preparation of different colors of rice, as well as ketupat — rice cakes cooked in a diamond-shaped pouch of woven palm leaf — and side dishes, usually made with chicken and eggs.

As Ramadan approached, Iga became a busy person, preparing many things to welcome the month. She believed that the aroma of her food would make Emba’s spirit visit her in the evening. The ceremony would be solemnized by a shaman in the village.

“Two pieces of chicken, please,” Iga told the old meat peddler who passed in front of her house every day, pushing a worn-out cart. Iga looked eagerly at the peddler’s wares before choosing. “My late husband really liked that.”

Without saying much, the man wrapped the chicken and handed it to her. Iga bought the chicken and cooked it, believing that Emba would enjoy it, too.

After preparing the food, Iga used the energy she had left to take her husband’s clothes out of the closet and iron them. The villagers also believed that providing clothes for the deceased loved ones was a tribute to them. The clothes would be laid out when welcoming the holy month during dusk, after the Maghrib prayer.

Emba had been a neat man, and Iga did not want him to wear wrinkled clothes that had been stored in the closet for a long time. As Iga was ironing each shirt, she came upon a worn-out blue shirt that had been his favorite. Almost every time Iga had finished ironing this shirt, Emba had worn it again. Smiling, Iga looked at the old shirt and thought, He would love to wear his favorite shirt.

After she finished ironing, Iga went to the kitchen and took out the plates she only used on special occasions. Village custom said the plates for each kind of food had to be an odd number, not even. Iga chose to serve nine plates of rice and nine plates of side dishes. She cheerfully and carefully cleaned the plates using a new cloth.

The heat of the afternoon sun streamed in through the kitchen window. Iga kept checking on the coconut milk chicken soup cooking before her. She looked radiant, as if she had received a love letter. She believed that all her arrangements to welcome Ramadan would lead her husband home to enjoy the dishes she had prepared so enthusiastically. The villagers believed that the soul of the deceased would find its way home in the evening and be ready to enjoy the food the family had prepared.

She filled the serving plates with her food: four plates of black rice, four of white rice, and one of ketupat. The other nine plates were filled with side dishes prepared with eggs, chicken, and a coconut soup of young papaya from Iga’s garden.

After filling the serving dishes, Iga went to the living room and spread out a mat to sit on during the ceremony.

As late afternoon turned into early evening, Iga believed that her husband was probably on his way, and she wanted to prepare herself as well — at least put a little makeup on her face so she would appear attractive.

In her room, Iga looked at herself in the closet mirror. The clothes she had bought a year ago still looked new because she rarely wore them. She saw how thin she was now, and how sad she looked. She saw a sense of longing in her gaze, a longing for her husband, for her family, especially for her mother, who had taken good care of Iga for nineteen years and now had to bear the shame of her daughter’s choice.

Iga sighed. There was no point in regretting her decision now. She never expected to face such a long and lonely road when she chose Emba and left her family. Now, no matter how hard Iga tried to feel the warmth of her husband’s love, she remained in a cold place, alone in a village far away from where she grew up.

A knock on the door snapped Iga out of her reverie. She glanced at the wall clock in her room and smiled. The time had come, and the person knocking on the door had to be Daeng Tompo, a well-known shaman in the village. The villagers had always trusted him to guide traditional events, such as the welcoming of the holy month, without considering his religious credentials. Shamans were believed to have special powers that enabled them to understand the unknown and to speak with spirits in the supernatural realm.

Smiling, Iga rushed to open the door. Daeng Tompo met her haughtily. His stature indicated that he was around eighty years old or more. The shaman did not come alone. His wife stood behind him with a blank expression on her face. She was usually the one entrusted with arranging the dishes for the meal.

Daeng Tompo and his wife entered Iga’s house. As their host, Iga invited them to take a seat while she prepared something to drink. This was not only a token of appreciation, but also to give Daeng Tompo time to enjoy his coffee while waiting for the dishes to be served.

Iga placed the cup in front of Daeng Tompo.

“Let me help you,” his wife said as she rose and followed Iga back to the kitchen.

Standing behind Iga, Daeng Tompo’s wife noted that all the plates had been filled. She nodded. They started carrying the plates to the mat in the living room.

Four plates of black rice were placed on the left side of the mat, and four plates of white rice were placed on the right. The plate of ketupat was set in the center. The side dishes were arranged close to the rice plates.

While Daeng Tompo’s wife was busy arranging the dishes, Iga prepared the burner for the frankincense. She placed a cube of it on the embers in the burner, and the fragrance quickly curled into every corner of the house. Iga loved the smell. She believed that the dead liked the scent as well.

After all the dishes were neatly arranged, Iga placed the incense holder on a corner of the mat. Iga and Daeng Tompo’s wife knelt on the mat and sat back on their heels. Daeng Tompo, who had finished his coffee, now rose. He walked towards the incense burner and seated himself cross-legged in front of it. The two women immediately adjusted their posture to that of a tahiyat, in prayer, shifting their seated weight sideways onto their folded left leg and arching the sole of the right foot, placing it just behind the left foot, as if on tiptoe.

“Wait!” Iga’s voice caused Daeng Tompo to turn to her. Iga had just realized her husband’s clothes were missing. Without waiting for Daeng Tompo’s response, Iga rose and walked quickly to her bedroom. Seconds later, she returned with Emba’s favorite blue shirt.

Iga placed the shirt next to the incense burner and resumed her prayerful posture. The room became quiet. Iga hoped what she was doing would bring her together with Emba, even if it only happened in her mind.

Iga looked at the platters of food arranged neatly on the mat. She imagined her husband, wearing his favorite blue shirt she had ironed that afternoon, enjoying his food.

Meanwhile Daeng Tompo recited the ceremonial chant used to welcome Ramadan.

“What was his father’s name?” Daeng Tompo’s question signaled the conclusion of the ceremony.

“Samir,” Iga answered with a smile of relief.

Daeng Tompo rose and said goodbye.

Iga escorted the shaman and his wife to the doorway, where she handed him some money as a token of gratitude for his kindness in taking the time to welcome the month of Ramadan at her house.

Iga felt happy. She didn’t care that she had gone to the trouble of preparing so much food and not eaten any of it. The matter of enjoying food was not important to her at all. Even though she was truly happy, she could not deny her exhaustion. All she wanted to do now was lie down on her bed and sleep.

***

The distant noise of people chanting “Sahur! Sahur!” outside her house woke Iga slowly. Outside, it was still dark. She heard the chanting grow louder as the crowd grew closer. It sounded like they were going to pass by her front yard. Iga rose and stood in her doorway to watch them. She recalled her first month of Ramadan in this village. Every morning before dawn, Emba and other men would wake the villagers so they could prepare sahur, the pre-dawn meal essential for sustaining Muslims during the fasting day ahead. Iga imagined her husband walking among the passersby.

As Iga watched the people passing her house, she noticed a piece of paper on the floor. It must have been tucked into her doorjamb and fallen when she opened the door. Iga glanced at the paper, but returned her attention to the chanters. After everyone had passed, she picked up the paper, stepped inside, and sat down on the mat which still displayed the meal.

It was village custom that at every sunset during Ramadan, the residents took a turn to provide iftar, the meal eaten to break the Muslims’ daylong fast, at the mosque. Iga assumed that the paper she held was a list of the people who were scheduled to donate iftar to the mosque’s congregation each evening. Last year, Iga’s turn to provide iftar fell on the first day of fasting. Now, she wanted to know when it would be her turn to provide the meal this year. She opened the note.

Is the food you provided for your deceased husband a form of your ignorance or your disobedience of Muslim law? The sentence, written boldly on the paper, shocked her. This was not a list of iftar providers, but a question. Who had slipped this note into my doorjamb and why did that person do it? Iga thought back to her activities the prior evening with the shaman and his wife. She believed that her welcoming of Ramadan had been conducted properly, the same as that of most people.

Before dawn broke, Iga sat in her kitchen, eating her first sahur and thinking about the note. The question about whether she was ignorant about preparing food to honor Emba’s spirit did not make sense to her. She definitely still grieved and still could not accept her husband’s death. On the other hand, she had never intended to disobey Muslim law or do wrong on purpose. She had always performed the prayers, even when she was ill.

Iga had not questioned herself about why she had prepared so much food to welcome the holy month. She believed she was just following the customs of the community and that the food was a manifestation of her love for Emba.

The question disturbed Iga so deeply that she decided to see a village ustazah, female priest. Nur was believed to have a deep religious knowledge. Iga recounted to Nur her actions of welcoming the month of Ramadan, from start to when she discovered the paper with the question.

Nur listened carefully to Iga’s story. “Traditions are steeped in our lives,” Nur told her. “The belief that the food you serve, the clothes you prepare, and the fragrance of the incense you burn will be enjoyed by your deceased loved ones is one example. You did all these things as a manifestation of how much you love your husband. We express our love in many different ways. Sometimes we don’t realize that the method we have chosen is wrong.”

Back home, Iga thought about Nur’s words. She felt overwhelmed with anxiety about what she had done. She considered consulting Daeng Tompo. Perhaps the shaman’s perspective would relieve her anxiety. Walking to his house, she thought about how to frame her words in order not to offend him.

Before she reached Daeng Tompo’s house, Iga felt someone gently tugging her wrist. Iga turned. “No need to go there,” Nur said softly.

Confused, Iga asked why.

“My point is,” Nur repeated, “you don’t need to go there.” Her tone had become stern.

Iga stared at the woman in front of her, not understanding. “I want Daeng Tompo to give me an explanation,” Iga said, “just like you did.”

“What is your religion?” Nur’s sharp voice shocked Iga into silence. This was not the gentle woman she had known.

Iga was a Muslim, of course, and Nur knew that. Nur grasped both of Iga’s shoulders. Shaking them lightly as if trying to wake her up she said, “You should be aware, lest your heart be blinded by your love for your deceased husband.”

Iga took a deep breath.

Still clasping Iga’s shoulders, Nur said, “I left the paper in your door to awaken your conscience,” Then Nur took Iga’s hand. Each absorbed in their own thoughts, they walked silently away from Daeng Tompo’s house.

Minutes later, they arrived at Nur’s home. They entered the living room, and Iga saw the imam of the mosque and other men wearing a religious peci, hat.

Nur called out a greeting, “Assalamualaikum.” She invited Iga to sit down, but before Iga could seat herself, Nur asked, “How would you feel about undergoing a rukiah?”

What does she mean? thought Iga. Rukiah was an Islamic form of exorcism, a healing method that used the Quran and hadith to treat sickness and other problems. I’m neither a witch nor possessed. Most villagers observe Ramadan the same way I did. Why am I the one who needs to be prayed for and bathed in holy water?

“Your heart will be calmer if you get a rukiah.” Nur’s voice was soft, but Iga felt imposed upon.

“I’m fine,” Iga said, as she turned to leave. “I don’t need to be treated like this. If you feel that what I did was wrong, then the other villagers need a rukiah, too.”

At the doorway, Nur pulled Iga back and looked at her with tearful eyes. “I’m sorry. I worry about your dark fate.” Nur embraced Iga and rubbed her back gently.

Iga had not been held like that for a long time. Touched, she began to cry, and the two women hugged each other.

“Use this Ramadan as a way to get closer to God, not get closer to evil,” said Nur. “Your love for Emba is admirable, but the way you show your love for him is wrong. You’re right in saying that I should administer rukiah to all the people of this village, too, but I haven’t been able to stop anyone from making offerings to the dead — especially those who were born and raised here. But you are different. I believe that your parents raised you with good Muslim values. I would feel guilty if I now allowed you to stray.”

Nur’s explanation stirred Iga’s feelings. She accepted Nur’s words as the truth. But she still questioned what her parents had taught her about their beliefs which condoned killing girls who committed silariang marriages. Emba’s death had made Iga vulnerable ⸺ she had not known what to do. So in the end, she had done what she had never done before: accepted the customs of the village she and Emba had made home. All she had wanted to do was express her love for Emba, and preparing food for someone she loved, didn’t seem like such a bad thing to do.

That night, after the Taraweeh, late evening prayer during the month of Ramadan, Iga decided to follow Nur’s suggestion and undergo a rukiah. Iga hoped that it would give her tranquility and return her to the right path in accordance with Muslim law. In truth, Iga did not believe that the rukiah would calm her. She was not possessed by an evil spirit or such. She just did not want to disappoint Nur, who had invested so much of herself in Iga’s religious well-being — much more than Daeng Tompo or any of her other neighbors ever had.

*****

 

Choose Site Version
English   Indonesian