Click here for:

Nyale

Maria Matildis Banda finished her graduate studies at Universitas Udayana (UNUD) in Denpasar, and now teaches at the Faculty of Cultural Studies of UNUD. She started writing short stories in 1981. Teaching and researching the oral traditions of Nusa Tenggara Timur (NTT), the southernmost province of Indonesia, has given her a strong basis for writing novels with an ethnic background. Between 2015 and 2021, she wrote and self-published three novels set in NTT: Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga, about postnatal care in Flores; Suara Samudra, about whale hunting; and Bulan Patah, about childbirth outside of wedlock. A fourth novel, Doben (Lamalera 2017), is set in Timor Island. Maria has written the column “Parodi Situasi” in the Pos Kupang Daily since 2000.

Maria Matildis Banda: bmariamatildis@gmail.com

 

 

Nyale
Cuplikan dari novel Pasola yang akan segera terbit

 

Malam gelap gulita. Ini malam ketujuh menurut perhitungan rato nyale, tetua adat, yang telah memperhitungkan perjalanan bulan gelap pada bulan Maret tahun 1934 itu untuk kedatangan cacing laut, di Pantai Ratenggaro. Sore hari, semua anggota keluarga membersihkan makam leluhur dan keluarga di depan Kampung Ratenggaro dan sekitarnya. Pada malam hari, perempuan dan laki-laki menari dan kawoking di pelataran.

Setelah Waleka mengikuti Limbu Koni dan Biri pulang ke rumah, masih ada banyak orang yang menari sampai jauh malam demi menunggu waktu kedatangan nyale. Pada jam empat pagi, hampir semua orang meninggalkan rumah menuju pantai yang masih gelap.

Waleka berjalan di depan diikuti Inya Peke. Di belakang Inya Peke, ada Limbu Koni yang menggandeng lengan Banu, anak Inya Peke. Mereka diikuti Biri, teman akrab Limbu Koni, kedua orang tua Waleka, serta anggota keluarga lainnya.

“Kenapa nyale datang waktu bulan gelap?” Banu bertanya. “Nyale takut bulan, takut matahari!” Limbu Koni yang menjawab. “Semoga nyale gemuk-gemuk dan ada semua warna,” katanya lagi.

“Nale atau nyale, Inya?” Banu bertanya lagi.

“Nale atau nyale sama saja, sama-sama cacing laut. Yang pasti, cacing laut yang datang hari ini banyak sekali,” sambung Biri.

Angin berembus perlahan membelai wajah-wajah yang diliputi harapan. Mereka berjalan beriringan menuju Pantai Ratenggaro yang jaraknya hanya selemparan batu dari uma parona.

“Engko cocok tinggal di sini. Dekat pantai. Sudah tiga hari di sini engko tidak pernah mengeluh sesak napas,” kata Limbu Koni yang dijawab Biri dengan lantunan memanggil nyale yang sudah didengarnya sejak sore kemarin.

“Laki-laki yang menarik tanganmu itu … Ndalo namanya? Tidak tahu malu!” Biri berbisik.

“Jangan pedulikan. Biarkan saja. Diam,” kata Limbu Koni.

“Kita pesta hari ini!” kata Inya Peke. “Pesta nyale dan pesta pasola. Waleka pasti gagah sekali hari ini.”

“Saya mau jadi to paholong seperti Bapa Waleka,” Banu berceloteh sambil menarik tangan ibunya.

“Bagus sekali. Bapa Waleka adalah to paholong yang duduk di atas pelana. Gagah perkasa seperti siapa?” tanya Limbu Koni.

“Banu!” jawab Banu sambil tertawa.

Dengan gembira mereka berjalan melalui binya bokolo, pintu gerbang utama di antara makam batu, memasuki jalan setapak menuju pantai. Debur ombak terdengar jelas menandakan bahwa pantai berada sangat dekat. Bulan tidak ada. Kerlap-kerlip bintang, harapan, dan kebutuhan adalah petunjuk jalan menuju pantai. Semuanya ingin menemukan nyale di Pantai Ratenggaro.

Waleka melantunkan kawoking,

Nyale ayam wo wo wu

Ibunda nyale bunda nyale bertelur banyak-banyak

Sebanyak-banyaknya seperti telur siput

Sebanyak-banyaknya seperti telur belalang

Potong-potong gumpalan telur yang banyak

Nyale ayam wo wo wu

Ibunda nyale bunda nyale

Banyak seperti telur siput … wo wo wu

Syair dilantunkan bergantian sejak berjalan dari kampung dengan harapan cacing laut datang dalam jumlah banyak seperti telur siput dan telur belalang. Semua orang masuk ke laut yang sudah surut. Dinginnya air laut di keremangan pagi menyengat kulit kaki yang telanjang. Telapak menyentuh pasir dan batu- batu kecil di dasar laut yang terasa licin. Sementara tangan meraba-raba menyentuh cacing yang licin dan geli. “Oh dapat, licin, banyak, geli, wo wo wu … wo wo wuuu,” ramai suara-suara dengan berbagai ucapan sambung-menyambung.

Bau Nyale adalah kebiasaan menangkap cacing nyale. Bau cacing-cacing laut yang ditangkap itu dapat dicium warga yang ada di pantai.

Waleka bergerak kian kemari menjemput nyale dengan penuh semangat. Dia menyentuh dan menggenggam erat cacing-cacing yang didapatnya dari balik batu-batu kecil.

Inya Peke mengikutinya sambil menadah dengan sebuah keranjang. Banu, Limbu Koni, dan Biri juga berada di sekitarnya. Biri selalu meloncat-loncat karena geli, tapi tetap berupaya untuk memasukkan tangannya ke dalam air, merogoh di balik batu untuk menangkap cacing yang bergerak-gerak dan licin.

Limbu Koni berada dekat Waleka. Dia menahan rasa geli saat cacing-cacing itu menyentuh kakinya berkali-kali. Dia menunduk sambil meraba-raba di balik batu. Demikian juga Waleka. Keduanya tertawa saat tangan mereka saling bertemu. Keduanya menangkap cacing-cacing itu di balik batu yang licin. Mereka bangga bukan main saat berhasil menambah jumlah nyale dalam wadah yang dibawa Banu dan Inya Peke.

“Bola nyale!” tiba-tiba Waleka berseru saat kedua tangannya menjemput sarang nyale. Gumpalan cacing itu membentuk bola besar, sedikit lebih besar dari bola kaki. Dia segera keluar dari air menuju tepi pantai diikuti Limbu Koni, Biri, Banu, Bapa, Inya, kakak, serta keluarganya yang lain.

“Tangkap lagi, Bapa,” Banu girang bukan main. Dia memohon agar boleh menangkap lagi karena di tangannya hanya ada beberapa ekor cacing yang kemudian dimasukkan ke dalam wadah kecil yang tergantung di lehernya.

“Cukup,” jawab Waleka, “ini sudah banyak sekali. Bagi-bagi dengan orang lain,” bisiknya di telinga ponakannya.

Kegiatan menangkap cacing laut itu berhenti ketika ujung sinar matahari mulai muncul di cekungan tanjung kecil di bawah tebing Kampung Ratenggaro. Semua orang kembali ke pantai dengan hasil tangkapannya masing-masing. Dengan gembira, mereka pulang ke kampung. Sarang nyale hanya berhasil didapatkan Waleka.

Meskipun Limbu Koni tidak berkata apa pun padanya, Waleka tahu gadis itu bangga dan mengaguminya.

“Itu tanda engko ada untuk Waleka,” Inya Peke menggoda Limbu Koni. “Jodoh. Lancar semuanya.”

“Pesta tidak lama lagi,” sambung Biri.

“Sama dengan engko. Wuri Wona sudah tidak sabar menunggu,” keduanya tertawa.

Sarang nyale diurai di sisi mata api, bagian tengah rumah panggung yang digunakan sebagai dapur. Bola dibagi tiga dan berada dalam genggaman Limbu Koni, Inya Peke, dan Biri. Selanjutnya diurai. Beberapa kali gumpalan terjatuh karena licin dan cacing yang diurai dari gumpalan bergerak dan merayap gelisah kekurangan air.

Banu yang selalu memungut dan meletakkannya kembali ke dalam wadah. Sungguh sangat banyak cacing gemuk dan berwarna-warni cerah dan menggiurkan.

“Merah, hijau, kuning, putih, hitam, wuiih ada semua warna,” kata Banu dengan gembira. Kedua orang tua Waleka, para perempuan dan laki-laki serta segenap anggota keluarga, gembira. “Gemuk-gemuk! Warnanya terang. Tanda apa Inya?” tanya Banu.

“Tanda subur, panen limpah, hidup jadi lebih baik,” jawab Limbu Koni yang disambut dengan syukur oleh Biri dan Inya Peke. Aneka masakan dari bahan nyale mulai diolah. Limbu Koni dan Biri membantu Inya Peke dan keluarga besar Waleka dengan cekatan.

“Nyale palowor,” kata Inya Peke kepada Limbu Koni.

“Ya Inya,” jawab Limbu Koni sambil tertawa. Bersama Inya Peke dan Biri dia memasak nyale palowor. Masakan dengan bahan utama cacing nyale dan santan kental. Baunya harum dan rasanya lezat setelah dilengkapi dengan berbagai bumbu.

“Kita buat bodho juga kah, Inya?” tanya Biri.

“Ya, dendeng nyale itu disimpan di sini,” jawab ibu Waleka sambil menyerahkan sebuah periuk tanah. “Cukup untuk beberapa bulan ke depan! Wah, banyak sekali!” katanya dengan bangga.

Mereka juga membuat sambal dengan bahan dasar lombok hijau dan cacing yang gemuk-gemuk dan terang warnanya.

Limbu Koni dan Biri terlibat secara langsung dalam segenap kegiatan dapur.

Waleka bangga karenanya. Dia terutama bangga pada Limbu Koni.
Keduanya hanya berani curi-curi pandang dan segera menghindar setelah ketahuan satu sama lain. Akan tetapi, Waleka tahu bahwa nanti di lapangan pasola segalanya akan menjadi lebih indah, memesona.

Sarapan pagi dihidangkan sebelum berangkat ke lapangan pasola. Ayah Waleka bicara sebelum makan. Di hadapan sanak saudara yang datang dari jauh, lelaki tua itu menggarisbawahi beberapa hal. Bapa Tua menyampaikan hal itu dalam bahasa setempat.

“Waleka sudah tangkap sarang nyale pada Bau Nyale di pantai. Jaga itu rezeki untuk sepanjang hidup. Sarang nyale yang besar kumpulan nyale berwarna-warni, gemuk, dan bercahaya. Itu khusus, sangat khusus! Tidak semua pencari nyale mendapatnya. Ini tanda untuk rezeki seumur hidup. Hanya engko saja yang dapat sarang nyale. Itu sungguh luar biasa. Engko diberi banyak. Jaga itu. Kalau engko lupa bahwa engko sudah diberi begitu banyak dalam sarang nyale, apa pun akan diambil kembali dari engko.”

“Ya, Bapa,” jawab Waleka dengan yakin.

“Hidup harus setia dan jujur. Bersyukurlah pada apa yang engko punya. Jangan ambil lebih. Apa pun tantangannya, jangan pernah ambil lebih. Apalagi kalo engko ambil yang bukan engko punya,” kata bapanya lagi. Diikuti dengan berbagai pesan untuk anak cucu turun-temurun. Bapa Tua melengkapi pesan yang disampaikan pada acara duduk bersama di rumah panggung mereka.

“Engko akan jadi to paholong terbaik sepanjang hidup,” kata Bapa Tua lagi dan Waleka mendengar nasihat ayahnya dengan saksama.

“Ya Bapa!”

“Setia dan jujur itu kuncinya,” Bapa Tua tegas. “Tidak hanya pada gaya lompat dan kemampuanmu melayang bersama kudamu, Lenggu Lamura, pada titik lembing dilempar,” Bapa Tua berhenti sejenak sebelum bicara lebih lanjut, “tapi juga setia dan jujur pada kuda yang terbang bersama engko. Di lapangan pasola, engko dan Lamura adalah satu,” Bapa Tua menatap Waleka dengan tajam sambil menggarisbawahi, “Lamura dan engko adalah satu. Ingat itu.”

“Ya Bapa!” Waleka menyetujui dengan sepenuh hati.

“Tidak hanya pada kemenangan dan kepuasan mengenai dan menjatuhkan sasaran, tetapi juga pada kerendahan hatimu merangkul dan menolong kembali lawan yang engko kalahkan.” Bapa Tua berbicara kata demi kata dan diperhatikan dengan saksama oleh semua yang hadir, termasuk Limbu Koni.

Calon istri Waleka itu memperhatikan wajah calon mertuanya. Sorot matanya teduh, alis matanya tebal. Tulang pipinya menonjol dan rahangnya tampak kukuh. Wajah Waleka mirip sekali dengan ayahnya.

“Engko harus yakin bahwa setiap tetes keringat dan setiap tetes darah yang jatuh di lapangan itu jatuh dengan jujur dan setia dan tidak akan jadi kering di sana. Tidak hanya untuk panen hasil kebun, tetapi lebih dari itu, demi kehidupan yang sesungguhnya. Setia dan jujur itu kuncinya!”

Limbu Koni terpana oleh kata-kata Bapa Tua. Dia benar-benar seorang kabani pa ate — julukan yang diberikan kepada laki-laki yang pandai dan cerdas.

Pengalaman hidup dan perantauannya membawa ternak sampai ke Flores, Timor, Alor, bahkan sampai di Maluku dan Sulawesi pada masa muda dulu, membuat Bapa Tua itu matang pada hari tua, di hadapan anak-anak, cucu, dan keluarga besarnya. Apalagi di hadapan Waleka, satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga.

“Bapa Tua itu kabani pa ate yang luar biasa,” bisik Biri.

“Ya,” jawab Limbu Koni. “Semoga Waleka bisa menjaga kata-kata Bapa Tua sepanjang hidupnya,” kata Biri. “Semoga.”

“Ya,” jawab Limbu Koni. Dirinya merasa kata-kata itu tidak hanya ditujukan bagi Waleka sebagai to paholong, tetapi juga bagi dirinya yang sudah diterima sebagai bagian dari uma parona keluarga besar Waleka.

Waleka pun merasakan hal sama. Dia tahu, sebagai laki-laki Ratenggaro, dia harus menjadi laki-laki yang setia dan jujur. Tergetar hatinya ketika menyadari Bapa Tua sedang menatapnya lekat-lekat.

“Kalau engko jujur dan setia, engko pasti bisa jaga harga diri keluarga, uma parona, Ratenggaro, kabisu, suku, dan tentu saja harga dirimu sendiri,” Bapa Tua tersenyum setelah selesai bicara. Sorot matanya memberi sinar dan harapan bagi Waleka.

Diam tetapi pasti, Koni juga mencatat setiap kata Bapa Tua ke dalam pikiran dan hatinya. Dia angkat wajahnya sejenak memperhatikan wajah laki-laki tua itu lagi. Koni terkenang Bapa Bili, guru di Weetebula, yang selalu bicara dengan tenang setiap kali memberi nasihat. Saat Koni berpindah tatapannya ke wajah Mama Tua, ibu Waleka melempar senyum yang ikhlas.

*****

Choose Site Version
English   Indonesian