Anindita Siswanto Thayf was born in Makassar, on the island of Sulawesi. Her love for books began when she was in kindergarten. She started to write because she likes to let her imagination run free. The original of Daughters of Papua, Tanah Tabu (Gramedia 2009) won the 2008 Dewan Kesenian Jakarta (Jakarta Arts Council) Novel Competition. Thayf’s next work is the trilogy, Ular Tangga (Gramedia 2018)
Thayf holds a degree in Engineering from Universitas Hasanudin, Makassar. Public speaking makes her nervous. For the sake of her imagination and writing process, she now lives in Blitar with her husband, Ragil N.
She can be reached at bambu_merah@yahoo.com
*****
Bab 8
Sebenarnya aku masih belum puas bermain bersama Yosi. Beberapa permainan mengasyikan belum sempat kami mainkan. Penyebabnya, teriakan kesal mace Helda sudah terdengar menyambar-nyambar telinga. Membuat wajah Yosi meringis, seolah jeweran tangan Ibunya itu sudah singgah di tempatnya yang biasa.
“Aku pulang dulu,” desisnya sangat enggan, menjauh dari arena permainan, sebelum kemudian melayangkan senyum pamit kepadaku sambil melambaikan tangan perpisahan untuk hari itu. Aku pun mengangguk pasrah. Berusaha tidak menghalangi langkahnya dengan kata-kata yang bisa membuat hari sahabatku itu semakin sedih. Sembari melepaskan ikatan karet gelang dari batang pohon pinang yang tumbuh lurus dekat pagar, kuantar kepergiannya dengan pandangan kasihan. Tentunya sangat berat bagi Yosi meninggalkan permainan lompat karet kami. Ia tinggal melakukan satu lompatan terakhir menuju kemenangan. Lompatan Merdeka. Tak hanya itu, aku pun tahu perasaan Yosi pastinya sama denganku. Kami masih ingin bermain lebih lama lagi. Setelah seminggu lebih terkurung dalam rumah karena ada perang yang pecah di jalan besar, bisa bermain kembali rasanya bagai sebuah mimpi yang mewujud nyata.
“Ada kabar gembira! Perang sudah berhenti. Berhenti karena korban yang mati sudah sama. Sepuluh orang dari Kelompok Atas, juga sepuluh dari Kelompok Bawah,” begitu pemberitahuan Mama Mote, lebih dikenal dengan nama Mama Pembawa Berita, yang datang kemarin. Ia muncul dengan sepasang mata yang bersinar di wajah yang sarat ekspresi. Senang, lega, sekaligus sengsara karena itu berarti kehadirannya tidak bakal dinantikan lagi.
Ketika itu, aku sedang bermain rumah-rumahan sendiri di kolong meja. Berpura-pura perang juga sedang terjadi di dunia khayalku, dengan pintu dan jendela rumah harus terus-menerus ditutup rapat, agar bahaya dari luar tetap di luar dan tidak masuk ke dalam, begitu pesan Mace. Aku pun sengaja mengurung diri di bawah meja. Terbentengi ujung-ujung kain taplak yang menjuntai kaku dan kotor di keempat sisinya. Aku tetap berdiam di situ hingga Mama Pembawa Berita datang, duduk di kursi kayu tepat di depanku, lalu mulai mengoceh dengan semangat yang menolak reda.
“Sekarang jalan besar sudah sepi. Semua mayat sudah dibawa pergi. Yang ada hanya genangan darah, anak panah, dan potongan kayu. Ada juga petugas yang dipasang buat jaga-jaga. Petugas yang membawa senjata api. Mereka bilang, orang-orang yang mati itu masih muda-muda semua oo….”
*****
Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: https://gpu.id/book/89380/tanah-tabu