Click here for:

Aku Akan Pulang Ke Wamena

Friska Sibarani was born on July 13, 1998 in Wamena, Jayawijaya, on the island of Papua. Her parents were Bataks who migrated to Papua. She grew up in Wamena until she was eighteen and then decided to continue her education on the island of Java.

Currently, Friska is a student of Indonesian Literature at the University of Sanata Dharma, Yogyakarta. Her interest in reading and writing supports her aspiration to become a professional writer. Friska started writing in 2016. Aku Akan Pulang ke Wamena is her first short story.

Friska can be reached at friska1307.siba@gmail.com.

 

Aku Akan Pulang Ke Wamena

Kuletakan surat penempatanku menjadi guru di Wamena di atas meja coklat tua di kamarku dan meneguk air minum untuk mencoba menenangkan pikiran. Kupandangi sebuah bingkai foto di atas meja. Fotonya sudah memudar Aku tak ingat kapan terakhir aku memandangi foto itu.

“Ibu, Ayah, aku rindu! Masih bisakah kita bertemu?” bisikku dengan suara yang bergetar sambil mengambil foto tersebut.

Untuk beberapa waktu ingatan masa kecilku pun kembali. Aku lahir pada tahun 1996 di sebuah kota kecil di Kabupaten Jayawijaya. Kota tersebut bernama Wamena, yang berarti anak babi. Di Wamena aku menjalani masa-masa kecilku bersama kedua orang tuaku. Meski kami bukanlah penduduk asli di kota Wamena, kedua orang tuaku selalu mengajarkan aku untuk mencintai tanah kelahiranku tersebut. Masa kanak-kanakku tak berbeda dengan orang lain.

Kota kecil tersebut memiliki penduduk yang beragam dari berbagai daerah. Aku sendiri memiliki teman bermain yang berasal dari Padang, Madura, Sunda, Toraja dan Wamena. Orang tuaku selalu berpesan padaku untuk tidak membeda-bedakan teman-temanku dari manapun mereka berasal.

Ayahku adalah seorang perantau yang berasal dari Jawa dan ibuku berasal dari Sumatera. Ayah merantau ke Wamena setelah dia baru lulus Sekolah Menengah Atas. Awalnya ayahku bekerja sebagai karyawan toko perabotan. Lalu akhirnya memutuskan untuk membuka usahanya sendiri dan kemudian menjadi seorang pedagang kelontongan di Wamena.

Ibuku adalah seorang pegawai pegawai negeri sipil yang ditugaskan di Wamena. Ibuku bekerja di Dinas Sosial. Keduanya bertemu di tempat ini kemudian memutuskan menikah dan melanjutkan hidup di tanah yang indah ini. Dahulu masa kecilku terbilang sangat menyenangkan, hingga hari itu tiba.

Tanggal 6 Oktober 2000 terpaku dalam ingatan penduduk kota Wamena sebagai peristiwa Wamena Berdarah. Peristiwa itu terjadi akibat peristiwa penurunan paksa Bendera Bintang Kejora oleh TNI dan Polri sebagai tindakkan pemerintah Indonesia terhadap gerakan kemerdekan yang disuarakan oleh penduduk asli Papua. Saat itu aku baru berusia empat tahun.

Sore itu senja baru saja menghilang di balik gunung-gunung yang mengelilingi kota. Aku berlari ke sana ke mari bermain bola biru kesayanganku. Aku terkejut melihat sebuah gumpalan asap hitam tebal di atas gunung-gunung yang tadinya indah. Bunyi tembakan mulai terdegar dari sudut-sudut kota yang jauh. Beberapa orang mulai berlarian di depan rumah kami.

Seorang tetanggaku yang juga adalah penduduk asli menyuruh kami segera masuk dan berlindung di bawah tempat tidur.
Dengan cepat kami mengikuti perintahnya. Bunyi tembakan terus terjadi berjam-jam.

Ayah mendekapku dalam rangkulan. Dia berusaha menutup telingaku agar aku tak mendegar apapun. Namun, jeritan yang sangat menakutkan di luar sana tetap terdengar olehku dan hingga kini masih terekam dalam pikirku.

Beberapa kali rumahku diobrak-abrik oleh beberapa orang Dani yakni penduduk asli Wamena yang mencari para pendatang. Terdengar beberapa orang dari mereka berteriak “Ou… ou… ou…

“Kenapa mereka?” Ibu rupanya gugup dan prihatin. “Kenapa mereka kesakitan?”

“Memang tidak kesakitan.” Ayah merangkul aku lebih erat sambil berbisik, “Teriakan ou, ou, adalah ciri khas orang Dani untuk berperang.”

Dekap Ayah menempelkan kupingku pada dadanya. Terdengar detak jantungnya yang cepat.

“Rupanya, mereka ingin kita segera meninggalkan kota Wamena.” Ayah menghela nafas.

Dengan mencuri pandangan dari lengan ayah yang merangkulku, kulihat sebuah parang tajam berlumuran darah segar yang dipegang oleh salah satu orang Dani yang telah berhasil masuk ke dalam rumah kami.

Semalaman penuh Ibu terus-menerus menghitung rosario sambil berdoa agar ada orang yang menolong kami keluar dari keadaan ini. Kami masih berlindung di kolong tempat tidur.

Aku merasa malam itu adalah malam yang paling mengerikan dalam hidupku. Dadaku merasa sesak untuk bernafas di kolong tempat tidur yang sempit. Tempat itu yang juga gelap dan berdebu. Beberapa kali aku merengek untuk segera keluar. Tetapi Ayah hanya memelukku agar aku mau bersabar menunggu pertolongan.

Pagi harinya doa ibuku terkabul. Beberapa anggota TNI dengan persenjataan lengkap datang ke rumah kami.

Ayah segera keluar dan meminta bantuan.

Kami sekeluarga segera dibawa menggunakan truk milik TNI.

Sementara, kerusuhan terus terjadi. Pembantaian terjadi di mana-mana. Anggota Polri dan masyarakat asli Wamena saling membunuh. Seolah-olah tak akan ada lagi damai di antara mereka.

Sepanjang jalan Ibu menghalangi pandanganku dengan tangannya.

Dari celah-celah jari-jarinya kulihat mayat-mayat bergelimpangan di sepanjang jalan. Beberapa di antaranya tak memiliki badan yang utuh lagi.

Semua orang menjerit ketakutan dan berlari-lari menyelamatkan diri. Banyak yang terpisah dari keluarganya. Bahkan banyak juga yang melihat anggota keluarganya terpenggal dan terpanah di depan mata sebelum akhirnya juga ikut terbunuh. Anak-anak kecil menjerit ketakutan. Sambil menangis mereka mencari ibunya. Suara tangisan terdengar memilukan di mana-mana
Kami diungsikan ke Polsek. Di sana, kami segera bergabung dengan pengungsi lain yang juga bernasib sama dengan kami. Saat itu, kami bersyukur masih dapat lolos dari peristiwa 6 oktober 2000 kemarin. Semuanya saling bantu-membantu mengobati luka-luka. Para wanita membantu ibu-ibu menjaga anak-anaknya yang terus menangis ketakutan. Sementara para pria membantu TNI untuk menyediakan makanan. Para pria memasak menggunakan sekop dan drum sebagai alat masak. Tak ada pilihan lain. Saat itu bertahan hidup adalah hal terpenting.

Kami diberi tempat untuk beristirahat di dalam ruang berjeruji bersama pengungsi lain.

Ibuku memelukku agar mau memejamkan mata setelah berhari-hari tak bisa tidur.

Di sudut ruang berjeruji itu aku melihat ayah mencoret-coret kertas kusam. Wajahnya, seperti sedang gelisah.

Aku segera duduk di pangkuannya sambil memeluknya dengan erat.

Ayah memasukan kertas yang dia tuliskan sebelumnya ke dalam saku jaketku. Dia mengelus-ngelus rambutku dan berkata, “Beristirahatlah, Sayang! Sebentar lagi kita harus pergi dari sini, kita sudah terlalu lama menunggu.”

Untuk pertama kalinya kulihat mata Ayah berkaca-kaca. Belum sempat air matanya membasahi pipi, aku memeluknya erat.

Esok paginya kami diangkut bersama rombongan besar ke bandara karena keadaan kota yang masih sangat rawan.

Para petugas TNI mengawal kami untuk keluar dari kota Wamena. Langit masih saja menampakkan kabut yang gelap. Beberapa kali pesawat jet milik angkataan udara RI melintas dengan cepat.

Saat itu kulihat kanan dan kiriku hampir semua orang menahan takut.

Ayah berbisik padaku, “Tenanglah Lin, setelah ini kita akan pergi jauh,” dan seperti biasa, aku selalu percaya pada kata-kata Ayah.

Sesampainya di bandara, keadaan tak seperti yang diharapkan. Bandara telah ditutup oleh beberapa orang Dani bersenjatahan panah. Pesawat terus berputar di atas kota dan tak dapat mendarat. Kelompok orang Dani semakin banyak.

Terjadi perlawanan dari anggota TNI menyerang balik orang Dani. Beberapa anggota TNI dan orang Dani tewas di tempat karena terpanah atau tertembak senjata api. Muncratan darah membanjiri tiap sudut lapangan udara. Akhirnya TNI berhasil mengatasi serangan orang Dani.

Dengan cepat pesawat mendarat begitu keadaan aman.

Ayah segera menggendongku. Sambil ditariknya tangan Ibu, Ayah terus berlari ke arah pesawat yang jaraknya cukup jauh.

Orang-orang semakin berdesakan. Dorong-mendorong terjadi untuk saling mendahului sampai di pesawat secepatnya.

Dengan lengan dan tangannya, ayah berusaha melindungi kepalaku agar tak terbentur oleh desakan orang yang semakin ganas. Badanku bergetar ketakutan. Jemari-jemariku mencengkram Ayah.

Sambil berdesak-desak ke pintu pesawat, dia mengangkatku pada pundaknya. Terdengar Ayah terus meminta tolong pada beberapa orang yang berada di pintu pesawat agar mau menerimaku.

Begitu kami berada persis di bawah pintu pesawat, seorang pria paruh baya di sebelah kami menarik badanku dengan kencang.

Lenganku seperti hampir lepas rasanya. Aku menangis kesakitan.

Pria paruh baya tersebut memelukku dengan kuat. Kami berhasil menaiki beberapa anak tangga pesawat, sedangkan kedua orang tuaku semakin terhimpit oleh orang-orang yang berusaha saling mendahului.

Aku tidak ingin terpisah dari Ayah dan Ibu dan merontak dalam pelukannya. Pria tesebut berusaha menahan rontakkanku dan terus mencoba menaiki anak tangga yang dipenuhi oleh orang-orang yang saling mendorong. Langkahnya mulai terpincang-pincang terinjak beberapa orang.

Aku sama sekali tak memperdulikannya. Aku hanya terus beteriak melihat ayahku yang semakin terpojok oleh segerombolan orang. Beberapa saat kemudian pria paru baya tersebut berhasil membawaku masuk ke dalam pesawat.

Aku terus menangis terisak-isak memangil Ayah dan Ibu namun mereka tak juga terlihat di manapun. Pintu pesawat telah tertutup dan aku masih belum menemukan mereka. Aku tidak mengenal seorangpun yang berada di dalam pesawat.

Tubuhku masih bergetar ketakutan. Aku menjerit sambil berlari-lari di antara orang-orang mencari Ayah dan Ibu.

Pria paruh baya tersebut kembali menarikku ke dalam pelukannya dan berusaha membuatku berhenti menagis. Namun aku masih tidak memperdulikannya. Aku sangat ketakutan melihat orang tuaku tidak berada di sisiku. Dalam pelukan pria tersebut aku terus terisak-isak hingga mulai merasa sangat lelah. Aku tertidur dalam pelukannya selama penerbangan berlangsung dari Wamena ke Jayapura.

Sesampainya di Jayapura, pria paruh baya yang menolongku dengan gelisah terus menerus melihat ke segala arah seperti mecari orang di antara para pengungsi. Dia kemudian menitipkan aku pada para perawat di bandara.

Para perawat berusaha menghiburku sambil mengobati luka-luka di tubuhku. Mereka akhirnya menemukan kertas yang ditaruh ayah di saku jaketku. Ternyata kertas itu berisi nama dan alamat budheku yang berada di Jakarta. Merekapun akhirnya mengirimkanku kepadanya. Sejak saat itu Budhe menjadi wali yang membesarkanku.

***

Air mataku telah mengalir membasahi foto kedua orang tuaku. Setelah semua yang telah terjadi pada masa lampau, aku tak pernah berharap untuk kembali lagi ke Wamena. Bagiku kenangan masa kecilku adalah hal yang kubenci karena membangkitkan kesedihan dan rasa takut dalam lubuk hatiku. Namun, tugas pekerjaan yang baru kuterima menghadapkanku dengan pilihan yang sulit.

Dengan perlahan kubaca lagi daerah penugasanku: Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Hatiku mulai merasakan perih. Kupejamkam mataku kuat-kuat. Ingin rasanya aku berteriak hingga langit pecah, “Mengapa semesta membalikkan keadaan semaunya?”

Kurenungkan dalam-dalam wajah Ayah, Ibu dan masa kecilku. Aku dibesarkan dengan rasa cinta yang besar pada tanah kelahiranku. Ibuku juga selalu mengajariku untuk tidak membedakan orang lain hanya berdasar atas tampilan ragawinya.

Kini berkali-kali ku tepuk permukaan meja tulisku dengan penuh rasa penyesalan bercampur amarah. Bagaimana bisa selama ini aku tumbuh sambil menyimpan dendam. Aku tahu bukan ini yang diinginkan ayah ibuku. Bukan sikap ini yang mereka inginkan dari putrinya. Tapi bagaimanapun kehilangan kedua orang terkasih adalah kepedihan yang masih membekas pada hatiku.

Satu kesalahanku yang aku sadari saat ini adalah seharusnya aku tidak boleh menilai buruk sebuah kelompok masyarakat hanya berdasarkan sudut pandangku saja. Apa yang kualami pada masa kecilku seharusnya tidak membuatku membangun benteng perbedaan. Segala hal yang terjadi pada kedua orang tuaku tidak sepenuhnya kesalahan sebuah kelompok masyarakat. Aku, orang tuaku, dan semua orang lain adalah korban dari murka dan perbedaan yang mencerminkan saat itu. Aku coba menenangkan diriku kembali dalam diam.

Sekarang aku mengerti apa yang diharapkan kedua orang tuaku. Kuambil sebuah kertas dan aku luapkan segala isi hati terdalamku dengan coretan yang dengan cepat memenuhi kertas tersebut.

Peristiwa tanggal 6 Oktober sebetulnya tidak perlu terjadi jika musyawarah damai digunakan sebagai jembatan yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Malah kedua pihak, yaitu aparat gabungan TNI, Polri dan Masyarakat Papua di Wamena saling mempertahankan pendapat masing-masing.

Pemerintah bersikeras, meminta masyarakat menurunkan bendera Bintang Kejora yang berkibar di beberapa titik di Kota Wamena.

-Sementara masyarakat menolak dan melawan.

Hal inilah yang mengakibatkan sedikitnya 30 orang tewas dan 40 lainnya luka berat. Luka dari peristiwa ini membuat aku mengerti persoalan itu bukan soal perbedaan, bukan soal pandangan. Bukan persoalan kebudayaan tapi ini adalah subuah kepercayaan. Kepercayaan antara dua pihak yang sama-sama merasa sebagai korban. Korban kekerasan, korban ketidakadilan terkait perbedaan terhadap kelompok masyarakat. Keduanya merasa terancam dengan kehadiran satu sama lain.

Kita bukan dibentengi sebuah perbedaan karena pada hakikatnya kita tak pernah berbeda. Tetapi sebuah pembatas terbesar di antara kita adalah kecurigaan pada satu sama lain. Inilah yang menjadi penghalang agar kita dapat hidup berdampingan dalam damai.

Saat peristiwa itu terjadi tak ada satu mayatpun yang kulihat mengeluarkan warna darah yang berbeda dari satu sama lain. Hanya saja saat tertutup oleh warna kulit berbeda ketidakpercayaan antara masyarakat asli Papua dan pendatang muncul dan membuat satu sama lain semakin menjauh. Seharusnya aparat militer, petugas pemerintah dan masyarakat sipil yang tinggal di wilayah Papua maupun penduduk asli, mampu memahami luka sejarah ini. Dengan memahami luka sejarah dan tabiat orang Papua, kita dapat hidup berdampingan dengan damai di tanah Papua.

Usai menulis catatan singkat tersebut, hatiku terasa ringan. Pikiranku memusat pada surat penempatanku menjadi guru di Wamena. Aku teringat perkataan Budhe yang pernah berkata padaku, “Menjadi guru adalah pekerjaan yang mulia!”

Menurutku pekerjaan yang mulia seharusnya dilakukan secara tulus. Dan kini aku bertekat untuk siap berdamai dengan kenangan pahitku di masa kecil. Aku semakin mantap pada keputusanku. Aku akan segera meminta doa restu Budhe agar mengijinkanku menjadi seorang guru di Wamena. Semoga Budhe juga mau mengerti dan menerima keputusan yang telah kubuat. Kuambil surat perjanjian kerjaku dengan perlahan. Sejenak aku membacanya kembali. Jemari-jemariku mulai menggenggam pena menandatanganinya. Aku siap. Kuhelahkan nafas panjang sambil berkata, “Aku akan pulang ke Wamena!”

***

Choose Site Version
English   Indonesian