Click here for:

Yun Labu dan Sayak-betingkat

Benny Arnas‘s short stories have been published in many national newspapers such as Kompas, Koran Tempo, and Horison magazine. He won a number of writing contests. His novel, Kayu Lapuk Membuat Kapal (Diva Press, 2021) won first place in a Novel Writing Contest on Prophet Muhammad in 2021. His other novel, Curriculum Vitae (Gramedia Pustaka Utama, 2017) won the Jakarta Arts Council Novel Writing Contest in 2016.
Since 2009, Arnas has served the Benny Institute, a cultural association in his hometown, by organizing writing classes, acting classes, English classes, ulu literacy classes, book fairs, film festivals, book clubs, etc.

Benny Arnas Instagram: bennyarnas

 

Yun Labu dan Sayak-betingkat

 

Di bantaran anak Sungai Musi yang rindang, konon di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Musi Rawas Raya, terdapat dua kerajaan. Pagarbesi, kerajaan dengan bala tentara dan abdi yang banyak di bagian selatan dan Batangpuan, yang jauh lebih kecil, di utaranya. Para perempuan, dari dua kerajaan yang suaminya pulang tiga bulan sekali sebab bertugas di Kerajaan Pagarbesi, berkeyakinan bahwa wujud cinta yang berbalas adalah bila sayak-betingkat, wadah makanan dari batok kelapa yang ditumpuk, kembali dalam keadaan kosong. Tidak terkecuali bagi Yun Labu. Putri Kerajaan Batangpuan itu melepas kebangsawanannya setelah dikawini Napalong, pengembara tampan yang berasal dari Kerajaan Pagarbesi.

Pertautan itu tidak mendapat restu Ginde Ulak dan Putri Mayang, orangtuanya yang tidak lain adalah pemuncak Kerajaan Batangpuan. Selain harkat yang tidak sejenjang, cara Napalong mengawini Yun Labu juga membuat mereka merasa diremehkan.

Napalong menculik Yun Labu ⸺ meskipun Yun Labu mengatakan kalau dialah yang minta diculik ⸺ dan membawanya ke kepala puak di kampungnya untuk dikawinkan. Hampir saja, Napalong dibunuh oleh para prajurit Kerajaan Batangpuan, bila Yun Labu tidak mengancam akan terjun ke jurang berbatu di perbatasan Kerajaan Batangpuan.

“Aku tak sudi pengembara itu menjadi bagian dari kerajaan ini,” desis Ginde Ulak dengan gigi bergemeretakan.

“Pun aku.” Putri Mayang tidak mau kalah. “Kabar terakhir yang kudengar, Napalong akan mengajar kuntau di Kerajaan Pagarbesi,” nada suaranya getir.

Ginde Ulak mengangguk-angguk. Bara di matanya belum padam. “Apakah Napalong benar-benar menguasai ilmu bela diri itu hingga dia dijadikan pelatih?”

Putri Mayang tersenyum miring. “Bila Napalong menjadi abdi, Yun Labu akan jarang berjumpa dengannya.”

“Di mana Yun Labu tinggal sekarang?” Ginde Ulak mengerenyitkan dahi. “Kau sudah memerintahkan prajurit membuatkannya pesanggrahan?”

“Napalong sudah membuatkannya pondok,” Putri Mayang mengibaskan ujung selendang yang melingkari pinggangnya.

“Hanya pondok?” Gindek Ulak melotot.

“Lupakah Yun Labu sejak remaja gemar sekali mempermalukan keluarga dengan menjadi Umak Panggung di hajatan rakyat? Dia pasti tidak menggerutu.”

“Ini karena kau terlalu membebaskannya dalam bergaul!”

“Kupikir putri kita benar-benar belajar membuat syair dari Napalong,” jawab Putri Mayang dengan penuh rasa bersalah. “Bukankah bangsawan yang cakap bersyair akan dipandang lebih terhormat dari yang lain?”

“Apa tidak sampai di telingamu kalau pemuda itu justru tak bisa menulis dan membaca huruf Ulu?”

Putri Mayang menatap tajam suaminya. Bagaimana mungkin seseorang disebut pujangga tanpa kecakapan menulis aksara udik. “Tentu saja aku tahu, Kak, tapi orang-orang tua dan peramal justru mengatakan itulah yang membedakan Napalong dengan penyair lain. Belum tersebut sepak terjangnya yang kerap menumpas para pembuat onar!”

“Lalu mengapa kau membiarkan saja Yun Labu bergaul dengan Nenek Bengkuang, bekas juru masak Kerajaan Pagarbesi?” gerutu Ginde Ulak.

“Keinginan Yun Labu untuk berurusan dengan kuali, periuk, tungku, dan rempah, tidak kuasa dicegah siapa pun. Kakak pasti tahu itu. Lagi pula, aku tidak pernah menyangka kalau Yun Labu diam-diam masih mengunjungi Nenek Bengkuang dan memaksa perempuan tua itu mengajarinya memasak,” Putri Mayang membela diri. “Dari dulu Yun Labu memang tidak peduli dengan gelar putri rajanya!” gerutu perempuan paruh baya itu seraya mendengus. “Oh ya, pondok tempat tinggalnya di selatan.”

“Maksudmu kampung yang belum kita namai itu?” sambar Ginde Ulak.

Putri Mayang mengangguk. “Batangpuan dan Pagarbesi ‘kan belum bersepakat siapa yang memiliki hutan di dekat perbatasan itu? Kakak lupakah?”

Ginde Ulak terdiam.

“Oh ya, kabarnya Wak Juai sudah sakit-sakitan.” Putri Mayang tersenyum licik.

“Kenapa kau malah membicarakan abdi Pagarbesi itu?” sahut Ginde Ulak, jengkel. “Lebih baik kausiapkan penyambutan putra kita yang akan tiba dari Tiongkok beberapa hari lagi. Apa kau tidak penasaran melihat Tanjung Samin setelah sepuluh tahun berpisah?”

***

Kehadiran Napalong membuat Yun Labu tidak lagi menjadikan Nenek Bengkuang sebagai satu-satunya pencecap masakannya sebelum disajikan. Walaupun Napalong tidak pandai memasak, tetap penting bagi Yun Labu untuk memastikan kalau apa-apa yang diraciknya akan disukai pemuda yang paling dia cintai itu.

Napalong dan Nenek Bengkuang tidak pernah berselisih paham tentang rasa masakan yang dihidangkan. Bila sambal terlalu pedas Nenek Bengkuang akan mengatakan kalau itu disebabkan beberapa potong nanas yang baru dia makan. Bila sayur bening terasa hambar, Napalong akan mengatakan dia terlalu banyak menambahkan gula batu pada tehnya hari itu.

Setelah sepekan menghabiskan bulan madu di pondok, Napalong meminta kesediaan Nenek Bengkuang untuk tinggal bersama istrinya. “Nenek dan istriku sudah sangat dekat, tinggal berdua akan membuat saling menjaga.” rayu Napalong.

Jarak antara tempat tinggal Yun Labu dan Kerajaan Pagarbesi tidaklah terlalu jauh, apalagi ditempuh dengan berkuda. Namun, Yun Labu dan Napalong paham benar bagaimana peraturan kerajaan bagi abdi baru. Pada tahun pertama pengabdian, mereka hanya disilakan pulang menemui keluarga sekali dalam tiga bulan. Dan adalah tabiat para istri untuk mengirimi suami mereka makan siang melalui kangantat. Petugas pengantaran barang kerajaan itu akan datang pada waktu Duha dengan kereta yang ditarik dua kuda.

“Berjanjilah,” kata Napalong kala temaram senja. Sedepa dari pondok mereka, di bawah kerimbunan pohon enau, dia masih bisa menangkap binar kedua mata istrinya. “Sebagai tanda kesetiaan, Adik hanya akan memasak masakan-masakan yang pernah kumakan saja.”

Yun Labu tertawa kecil sebelum kemudian membalas, “Tapi Kakak belum pernah kumasakkan gulai tempoyak ikan baung, sambal pie, nawan nangu kuah santan, atau gulai ampai dengan cendawan lebek, yang rasanya pasti bikin ketagihan.”

Napalong tersenyum lebar. “Yang sudah pernah kau masak, lebih dari cukup, Dik.”

Melambung nian perasaan Yun Labu.

“Tapi …,” Napalong menatap Yun Labu, “Benarkah kau akan setia, Dik?”

“Lha?” Yun Labu mengangkat alisnya. “Kenapa sekarang malah engkau yang meragukanku, Kak? Tergantung perasaanmu padaku, Kak.” Meskipun berusaha tegar, Yun Labu gagal menyembunyikan kegalauannya. “Aku akan jadi seperti apa yang kaupikirkan,” tangisnya pecah.

Napalong menyeka air mata istrinya. “Biar adil,” dia merangkulnya, erat. “Adik pun harus memberikan syarat kesetiaan kepada Kakak.”

Yun Labu terdiam sebelum merenggangkan pelukan dan menatap wajah Napalong dengan penuh kelembutan. “Bila sayak-betingkat-ku kembali dalam keadaan kosong, artinya kau masih menyambut kerinduanku. Tapi bila ada makanan tersisa, berarti Kakaklah sudah tak setia.”

Napalong mengangguk.

***

Dua bulanan kemudian, Kerajaan Pagarbesi berduka. Wak Juai, kangantat sepuh, yang telah mengabdi kepada Pagarbesi sejak masih remaja, berpulang.

Sore harinya, seorang pemuda yang mengaku bernama Rimau menghadap raja di pelataran singgasananya. Dia menyatakan kesanggupannya untuk menggantikan Wak Juai. Untuk meyakinkan pihak kerajaan, dia memamerkan kemampuannya meringankan tubuh sehingga bisa mendatangi tempat yang jauh dalam waktu singkat dengan menunggangi pelepah kelapa.

Raja, permaisuri, dan segenap petinggi Kerajaan Pagarbesi pun takjub dengan kebulatan tekad pemuda yang bersimpuh di hadapan mereka itu. “Baiklah,” Raja merengangkan sandaran bahunya dari singgasana, “Tutupi wajahmu dengan kain kecuali sepasang matamu ketika menjalankan tugas!” Walaupun tidak diungkapkan, Raja Pagarbesi menyimpan kekhawatiran. Ketampanan wajah Rimau mungkin saja menggoda perempuan-perempuan muda yang dengan setia menyiapkan sayak-betingkat untuk suami mereka.

Rimau menyanggupinya.

***

Meskipun sudah memasuki pekan kedua dari bulan ketiga tugasnya di Kerajaan Pagarbesi, Napalong masih tidak bisa mengajar para prajurit dengan pikiran yang jernih. Sama seperti hari dan pekan sebelumnya, dia tidak sabar menunggu matahari tepat berada di atas kepala, waktu kangantat datang dengan sayak-betingkat kiriman Yun Labu. Ketika pengganti Wak Juai datang, Napalong bertanya tentang keadaan istrinya.

Rimau membungkuk sambil berkata, “Maaf, Kisanak, selain hamba adalah kangantat baru, hamba pun tidak akan mencari tahu tentang para pengirim dan penerima sayak-betingkat.”

Siang itu, Napolong terkejut menemukan makanan yang lain dari yang diharapkan. Sayak-betingkat yang dia terima berisi nasi dan segenggam ikan seluang goreng di sayak paling bawah, gulai tempoyak ikan baung di atasnya, sambal cong di tingkat berikutnya, dan beberapa pucuk kemangi dan terong ungu di sayak paling atas — masakan yang belum pernah Yun Labu sajikan untuknya dalam masa bulan madu mereka. Meskipun begitu, dia memaksakan diri untuk menghabiskan isi sayak-betingkat itu. Dia tidak ingin kehilangan Yun Labu.

***

Hingga hari kesebelas dari bulan ketiga, setelah kepergian Napalong, Yun Labu tidak bisa lagi menyembunyikan kebahagiaannya karena sayak-betingkat yang dia kirimkan selalu kembali dalam keadaan kosong. Dengan penuh debar, perempuan itu pun menuliskan sajak kerinduannya. Wahai Kakak Sayang, sayang seorang …, Yun Labu menyenyumi larik pertama yang dia tulis, lalu menerawang.

Yun Labu tersenyum menulis larik-larik kerinduan seolah-olah dia sendiri tidak mampu menghentikan tangannya menggoreskan dawat. Diam-diam dia telah menghabiskan dua gulungan daun nipah.

Di hari kedua belas, Yun Labu membuka sayak-betingkat dengan tidak sabaran. Benar saja, yang paling dia tunggu pun ada di sana.

          Ai Adik nun di sana.

Yun Labu memejamkan mata seraya menempelkan daun nipah itu ke dadanya. Ah, Kakak, siapakah kiranya prajurit yang kaumintakan bantuan untuk menuliskan kata-kata indah yang kaututurkan? Yun Labu tersenyum sebelum melanjutkan membaca.

           Tentulah kehormatan tak tepermanai bagi hamba

          yang telah disilakan menikmati hidangan ketulusan

Yun Labu menerawang dengan mata berbinar. Membayangkan sang suami menyebut diri sendiri sebagai hamba dan makan siang kirimannya sebagai hidangan ketulusan membuat perasaan Yun Labu melayang di antara awan-gemawan ketersanjungan.

Yun Labu menyimpan surat itu diam-diam. Dia tidak ingin membagi rasa bahagia itu, kepada Nenek Bengkuang sekalipun. Yang membuatnya makin terharu adalah bahwa laki-laki berjiwa ksatria seperti suaminya telah bersusah payah menurunkan kejemawaannya di hadapan seseorang yang dia mintai bantuan untuk menuliskan syair untuknya.

Yun Labu memegang surat itu erat-erat. Menggulungnya lamat-lamat. Menciumnya dengan penuh penghayatan, seakan-akan bau badan suaminya melekat di daun nipah itu. Belum pernah dia sebahagia ini. Yun Labu pun mengingat-ingat. Kurang dari tiga pekan lagi suaminya akan kembali. Dia membalas:

          Aku tahu Kakak masih bersetia di sana.

          Habiskanlah sajianku. Tunaikanlah amanahmu.

          Adik tunggu dengan hati yang luluh.

Hari keempat belas.

           Di manakah kiranya kau berada, Dik?

          Jangan bermain-main. Cinta telah membuat Kakak buta.

          Pada tempat. Juga tanda-tanda.

Yun Labu tahu apa yang harus dia tulis.

           Tak usah tergesa-gesa, Kak.

          Orang-orang sabar senantiasa diganjar keajaiban.

Hari kelima belas.

           Jangan memanjangkan tali kelambu, Dik.

          Akan Kakak jelang dikau. Ke nirwana. Pun lembah kegelapan.

Kebahagiaan Yun Labu alangkah ruahnya:

          Adik tidak ke mana-mana, Kak.

          Masih setia merindu — di hatimu yang tiba-tiba biru.

Sebagaimana biasa, Yun Labu pun menggulung daun nipah itu lalu menyelipkannya di antara lalapan bunga kunyit di sayak teratas.

Hari keenam belas.

Petang itu, selain mengantar sayak-betingkat yang kosong ke pondok Yun Labu, Rimau juga menyampaikan sebuah amanah. “Maaf Puan, besok aku takkan menjemput sayak-betingkat sebab suamimu ingin makan siang di pondok kalian.”

“Maksudmu apa, wahai Kangantat? Bukankah dia harus tinggal dua pekan lagi di Kerajaan Pagarbesi? Aku minta tolong kepadamu untuk mengingatkannya tentang ini kepadanya.”
Rimau bergeming. Sesungguhnya, sejak kali pertama menggantikan Wak Juai aku menantikan pertemuan kalian besok. Dia kembali ke kereta kudanya dan hilang di balik pepohonan.

“Bila memang benar apa yang dikatakan kangantat itu, kau tak perlu khawatir, Yun,” Nenek Bengkuang yang sedari tadi menyapu di belakang pondok menghampiri dan mencoba menenangkan. “Bisa saja kangantat itu tak tega melihat Napalong yang selalu memikirkanmu.”

“Tapi, Nek,” Yun Labu mencoba menyanggah, “Bukankah setelah kami kawin, Kakak sudah berjanji untuk berhenti mengembara? Tidak mudah menjadi abdi kerajaan. Kenapa Kakak justru hendak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dua pekan itu tidak lama bila dia mau bersabar dan benar-benar memikirkan kehidupan kami.”

Nenek Bengkuang mengelus rambut Yun Labu. “Kudengar kangantat itu bukan orang sembarangan. Dia bisa menjangkau suatu tempat dengan perantara daun atau ranting atau pelepah. Siapa tahu dengan kesaktian yang dimilikinya dia akan mengantar Napalong untuk makan siang lalu mengantarnya ke kerajaan sesudahnya. Atau ….”

“Oh, benarkah itu, Nek?” potong Yun Labu. Lalu mengiba, seolah-olah langit mampu mendengar keresahannya, “Semoga dia juga tak lupa mengingatkan suamiku untuk bersabar.”

***

Sejak pagi Yun Labu memasak semua masakan yang pernah dia buat untuk Napalong. Seolah tahu diri, Nenek Bengkuang pun sigap membersihkan rumah dan menebas rumpun ilalang dan semak sikaduduk di sekitar pondok. Jelang matahari menudungi bumi dengan sempurna, Yun Labu telah mengangkat nasi dari periuk dan membubuhkannya ke dalam bakul daun pandan. Di atas meja kayu setinggi dua jengkal, nasi, lauk, sayur, sambal, dan ayam kampung panggang telah tersaji.

“Yun, perkiraan kita benar!” teriak Nenek Bengkuang dari luar. Suaranya bergetar.

“Kangantat itu benar-benar mengantar Kakak?” sahut Yun Labu juga dengan berteriak. Dia masih sibuk menata-nata meja makan.

“Kangantat itu terbang di atas pelepah nira!” mata Nenek Bengkuang membelalak, tangan kanannya menunjuk-nunjuk langit.

“Bersama Kak Napalong, ‘kan?” Yun Labu merapikan rambutnya. Wajahnya semringah.

“Bersama laki-laki tak dikenal,” Nenek Bengkuang buru-buru menuju Yun Labu, menyeret lengannya ke muka pintu.

Di luar, Yun Labu termangu sejenak sebelum berteriak, “Siapa yang kau bawa ini, Kangantat?” Dia menunjuk laki-laki yang menyunggingkan senyum. Ditaksirnya lelaki itu berusia sepuluh tahun lebih tua dari Napalong.

“Bukankah dia suamimu?” Rimau balik bertanya.

“Kau jangan membuat api di sini, Tuan!” Nenek Bengkuang angkat bicara. “Dia cucuku yang setia.”

“Tapi, bukankah dialah laki-laki yang selalu cucumu kirimi sayak-betingkat itu?” Lagi, Rimau balik bertanya.

“Apakah mendiang Wak Juai tidak mewasiatkan senarai penerima sayak-betingkat untuk penerusnya?” Dada Nenek Bengkuang megap-megap.

“Tentu aku menerimanya, Puan.”

“Lalu mengapa kau mengantar sayak-betingkat-ku kepadanya?” Telunjuk Yun Labu mengarah pada laki-laki yang dibawa Rimau. Dia benar-benar geram. Bukan hanya membayangkan semua masakannya dihabiskan oleh orang tidak dikenal, tapi juga kata-kata dalam surat yang selama ini begitu indah kini menjadi begitu menjijikkan.

“Puan,” ujar Rimau, nada suaranya tegang. “Aku mengantarkan ratusan sayak-betingkat tanpa peduli jati diri penerima — termasuk usia, asal, dan kegemaran mereka.”

“Mengapa kau tak mau tahu?” tanya Nenek Bengkuang, cepat.

“Itu cara terbaik untuk menguji ketangkasan dan ketelitianku.

“Dan kau telah gagal!” sambar Yun Labu.

“Walaupun belum lama mengambil alih pekerjaan Wak Juai, aku belum pernah membuat kekeliruan. Sayak-betingkat-ku selalu sampai di tangan yang tepat yang sebagian besarnya adalah laki-laki, termasuk mereka yang baru menikah. Ada juga, mereka yang dicintai sanak kerabatnya dan orang-orang murah hati yang tak ingin diketahui siapa dirinya. Sebagian lainnya adalah para duda .…”

“Dan aku duda,” sebuah suara tiba-tiba memotong.

Rimau, Yun Labu, dan Nenek Bengkuang, serta merta menoleh ke arah laki-laki yang sedari tadi diam.

“Nah kau!” Yun Labu kembali menunjuk-nunjuk duda itu, “Mengapa kau menghabiskan makan siang yang bukan hakmu. Mengapa kau malah merayuku seolah-olah kau adalah suamiku! Kau … kau … kau ….” tangis Yun Labu pecah.

Duda itu terdiam sejenak sebelum membentang dalih. “Apakah salah kalau aku juga beroleh keberuntungan sebagaimana Wak Dullah, Subir, atau Tuan Halipan, yang dikirimi sayak-betingkat oleh orang-orang yang tidak mereka kenal. Bahkan Subir akhirnya menikah dengan janda yang mengiriminya makan siang. Apakah salah bila aku juga mengharap? Apakah salah bila aku menaruh harapan pada seorang dermawan yang mengirimiku sayak-betingkat? Gadis atau janda sungguh aku tak peduli!”

“Aku bukan keduanya,” Yun Labu membelalak. “Aku seorang perempuan bersuami.”

“Benar kau bukan suaminya?” potong Rimau seraya menoleh ke duda itu. Kain yang melilit wajah menyembunyikan keterkejutannya.

Duda itu terkesiap mendapati pertanyaan Rimau. Dia terburu-buru mengangguk.

“Jawab saja!” desak Rimau.

“Adakah abdi lain di Kerajaan Pagarbesi yang mahir bersyair selain seorang juru tulis kerajaan sepertiku?” suara sang duda bergetar.

“Napalong!” sahut Yun Labu cepat. “Suamiku yang tak lain tak bukan adalah pelatih kuntau di Pagarbesi. Kau pasti kenal.”

Juru tulis kerajaan itu meneguk liur. Bagaimanapun, nama itu sangat masyhur di kerajaan.

Yun Labu mendengus tetapi sebelum sempat menumpahkan kemarahannya, kangantat bersuara.

“Maafkan saya, Puan dan Nenek,” Rimau membungkuk. “Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan ini?”

“Kau antar Yun Labu menemui suaminya besok agar masalah mereka beres!” ketus Nenek Bengkuang sebelum mengajak Yun Labu masuk dan menutup pintu pondok dengan serampangan.

***

Setelah berhari-hari berjalan kaki melintasi belasan sungai dan rimba, Napalong tiba di pondok mereka dengan kerinduan yang hampir meletus di dadanya. Sepelemparan batu dari pondoknya, dia melihat Yun Labu dan neneknya sedang bercakap-cakap dengan kangantat dan laki-laki yang tidak dia kenali. Sebagai seorang yang memegang syarat, janji, dan tanda-tanda, Napalong berikhtisar kalau dia telah keliru memilih perempuan untuk dititipi kepercayaan. Di matanya, Yun Labu telah mengabaikan kesepakatan sejak mengiriminya sayak-betingkat berisi masakan-masakan yang tidak pernah dia cicipi. Dia benar-benar kesal, bagaimana Yun Labu begitu tega mempermainkan perasaannya.

***

Sesampai di perguruan Pagarbesi, begitu mengetahui kalau Napalong sudah menghilang sekitar sepekan Yun Labu mati-matian menyembunyikan tangis yang meledak dalam mata dan dada. Peraturan melarang siapa pun meneteskan air mata di lingkungan kerajaan, sebab itu pertanda raja belum mampu menyejahterakan para abdi dan rakyatnya.

Ingin sekali Rimau memeluk Yun Labu. Ingin sekali dia berkata bahwa, kalau sang suami memang mencintainya, dia akan kembali. Namun … Rimau tidak ingin mengacaukan segalanya.

***

Tanjung Samin dengan bangga menunjukkan peti kecil yang bertuliskan Wasiat Wak Juai dalam huruf Ulu yang terukir indah. Dia telah diterima menggantikan Wak Juai di Kerajaan Pagarbesi sebagai kangantat, pekerjaan yang dilamar olehnya atas perintah orangtuanya.

“Tak percuma kau kami kirim ke Tiongkok untuk belajar siasat dan ilmu kesaktian, wahai putraku” ujar Putri Mayang seraya memeriksa tumpukan bilah-bilah gelumpai yang terdapat dalam peti. Di balik singgasananya, Putri Mayang membentang pesan terakhir Wak Juai. Dia terburu-buru menukar-letak dua nama penerima sayak-betingkat sebelum memasukkannya lagi ke dalam peti. “Sudah Ibu periksa nama-nama para pengirim dan penerima. Lakukanlah tugasmu. Kami yakin kau akan menunaikannya dengan baik,” ujarnya seraya memberikan peti itu kepada putra sulungnya.

“Tidak seperti adikmu, kau benar-benar anak yang membanggakan!” seru Ginde Ulak, jemawa. “Kau tidak mengaku bernama Tanjung Samin, bukan?”

“Aku memperkenalkan diri sebagai Rimau,” jawab Tanjung Samin, tegas dan bangga.

“Juga tidak mengaku berdarah Batangpuan.”

Ginde Ulak mengangguk-angguk puas. “Selain pesan ibumu agar kau mengabaikan jati diri penerima sayak-betingkat, kau juga harus memastikan kalau Yun Labu dalam keadaan baik-baik saja, apalagi memenuhi segala kebutuhannya. Tentu bukan untuk mengajaknya pulang. Bagaimanapun adikmu telah membangkang dan membuat malu keluarga dan kerajaan!”

“Sampai kapan dia dihukum, Yah?” suara Tanjung Samin melemah. Matanya sendu serta-merta.

Ginde Ulak membuang muka.

***

Nasib membuat keberhasilan Putri Mayang memisahkan Yun Labu dan Napalong dibayar setimpal. Tanjung Samin merasa telah menjadi orang kelaparan yang disajikan buah simalakama. Dan dia telah memilih untuk menyakiti adik yang sangat dia sayangi. Menyesal telah menyebabkan sang adik larut dalam penderitaan, Tanjung Samin kembali ke Tiongkok tanpa pamit kepada Ginde Ulak dan Putri Mayang.

***

Puluhan tahun kemudian, Tanjung Samin pulang untuk menggantikan Ginde Ulak di singgasana Kerajaan Batangpuan.

Dia memang berhasil membujuk Yun Labu kembali ke kerajaan. Namun, dia tidak kuasa menghentikan sang adik untuk setiap hari menanak nasi dan memasak gulai di dapur istana. Kepada orang-orang yang bertanya tentang perilaku sang adik, tanpa beban Tanjung Samin menjawab, “Memasak bukan hanya membuat kunyahan yang memenuhkan perut, tapi juga memuaskan kerinduan seseorang. Suatu hari, Napalong, sebagaimana orang-orang yang mendengar kisah ini, akan takjub dengan kesetiaan adikku.”

*****

 

 

Choose Site Version
English   Indonesian