In 2005, Umar Thamrin received a Fulbright grant and a Catherine and William L. Magistretti Graduate Fellowship for his graduate studies in the United States. He completed his Ph.D. in Southeast Asian Studies with the designated emphasis in Critical Theory at the University of California, Berkeley, in 2016. Before returning to Indonesia in 2017, he received a one-year appointment as a research and teaching fellow at the University of Oregon.
Back in his home country, Umar became disturbed by several social conditions he encountered there, and is saddened that the common people have remained marginalized while society ignores the lessons of its history. These conditions have prompted him to think, to remember, and to write. He is currently teaching linguistics at Alauddin State Islamic University.
Umar can be reached at: umar2x.umar@gmail.com
Cenning Rara
Caya berdiri dengan tangan terkepal menggenggam kerikil mengadang traktor yang akan merobohkan rumah teman halusnya. Dahan-dahan pohon ara sebesar dua kali lengan orang dewasa itu menjuntai menyentuh tanah. Sopir traktor sudah meneriakinya berkali-kali, tetapi Caya malah membalasnya dengan makian dan lemparan kerikil. Orang-orang yang berkerumun menggeleng-geleng. Gadis remaja kurus dengan tubuh cekung dan rambut terurai sampai ke pinggang itu benar-benar nekat. Bujukan yang disampaikan orang-orang pun tidak digubrisnya. Malah Caya menuduh orang-orang desanya bersekongkol untuk mengusir teman halusnya.
“Pergi,” teriak Caya sambil melempari traktor dengan kerikil.
Ayahnya muncul dari balik kerumunan.
“Papa, tolong usir pergi pengacau itu!” Caya menangis sejadi-jadinya sambil menunjuk sopir traktor. “Dia mau bongkar rumah temanku. Temanku tidak salah.”
Yusuf membujuk putri semata wayangnya itu. Caya kehilangan ibunya saat dia dilahirkan. Teman-temannya tidak ada yang mau bermain dengannya karena dia mengidap ayan. Yusuf meminta sopir traktor itu memberinya waktu membujuk anaknya.
Sopir traktor itu menggeleng. Dia tidak bisa menunggu. Pekerjaannya harus selesai hari ini. Kalau tidak, dia bisa dipecat. Dia punya keluarga yang butuh makan.
Yusuf terpaksa bermohon-mohon.
Karena sudah menjelang sore, akhirnya sopir traktor memberinya waktu sampai besok pagi.
Yusuf kembali menghampiri Caya yang tersenyum puas menyambutnya meskipun wajahnya masih basah dengan air mata. Yusuf duduk di dekat Caya, bersandar pada pohon ara. “Teman halusmu di mana, Nak?”
“Dia di dalam, tidak mau keluar, takut sekali lihat raksasa besi itu.”
Desa yang terletak di hulu Sungai Sampara, dekat Kota Kolaka, di Sulawesi Tenggara ini, dulunya adalah hutan belukar. Penghuninya ular, buaya, dan makhluk halus. Sekarang ular dan buaya sudah jarang terlihat. Makhluk halus pun merasa tidak lagi nyaman tinggal bersama manusia.
“Kenapa teman halusmu masih bertahan di sini, Nak?”
Caya menarik napas panjang, lalu menjelaskan. Teman halusnya iba melihatnya dan memutuskan tinggal untuk menemaninya. “Sekarang bagaimana saya bisa tega membiarkan rumahnya dibongkar?” kata Caya dengan nada haru sambil memandang traktor yang terparkir di tepi jalan. Beberapa pohon di sekitarnya bergelimpangan, tercabut dengan akar-akarnya.
“Jalanan ini ndak aman lagi,” kata Yusuf. Dari cerita kepala pelebaran jalan, dia tahu jalan ini akan ramai dilalui truk-truk raksasa pengangkut hasil tambang nikel. Persawahan sebentar lagi akan menjadi perumahan. “Nak, kamu harus kasi tahu teman halusmu, beginilah yang manusia sebut perkembangan.”
Caya mendongak, menatap daun-daun ara yang berisik tertiup angin.
“Temanmu pasti ndak tahan dengan suara ribut.” Yusuf terdiam sejenak, meluruskan punggungnya yang bersandar pada pohon ara, lalu berkata, “Kamu bicara dengannya, Nak. Kamu perlu melepaskannya. Dia juga pasti tahu apa yang sedang terjadi di desa ini.” Yusuf mengusap-usap kepala Caya, lalu berdiri dan melangkah pergi.
***
Yusuf duduk termenung di toko kelontongnya yang makin hari makin sepi. Dia sudah berusaha membujuk anaknya untuk merelakan pohon itu dirobohkan. Namun, dia kasihan juga melihat anaknya yang kesepian. Terkadang dia tidak habis pikir kenapa Tuhan tega menyiksa anaknya seperti itu. Tuhan sudah mengambil ibu Caya, dan Caya sendiri mengidap ayan. Mungkin ini karma. Sebelum istrinya meninggal, Yusuf memang bekerja sebagai lintah darat. Namun, semua penghasilan pekerjaan haram itu sudah dikembalikan kepada masyarakat.
Uang yang dipakai untuk modal toko kelontong adalah uang hasil penjualan kebun warisan orangtuanya. Tidak ada alasan Tuhan untuk menghukum anaknya. Anak itu tidak makan uang haram. Anak itu tidak berdosa.
Diam-diam Yusuf juga bangga melihat anaknya mengadang traktor itu dengan berani untuk membela teman halusnya. Tidak seperti diriku yang benar-benar lemah, tidak bisa membela anakku sendiri saat anakku membutuhkan. Caya kesepian dan satu-satunya teman bicaranya hanyalah teman halusnya. Yusuf merasa benar-benar tidak berguna sama sekali. Seharusnya dia malu kepada istrinya yang berkorban untuk melahirkan Caya dengan selamat. Yusuf memaki-maki dirinya sendiri.
Seseorang muncul di pintu.
Yusuf terkesiap. Baru kali ini dia melihat seorang calabai, bencong, berpakaian seperti ulama — Dia bersarung dan sorban putih melingkar menutupi songkok hajinya, sementara bagian ujung sorban itu menjuntai sampai ke bahu.
“Saya Bissu Saleh,” kata calabai itu, dan belum sempat Yusuf menjawab, dia pun menyambung, sambil mengerling kepada Caya yang duduk membisu di sudut toko, “Anak Puang bukan anak sembarangan.”
Yusuf menyambut uluran tangan Saleh.
“Banyak yang mengira saya ini calabai,” Saleh membuka pembicaraan. Dia pun bercerita tentang perbedaan antara bissu dan calabai. Bissu adalah calabai suci penasihat rohani kerajaan kuno Bugis-Makassar. Makanya, banyak orang menyangka bissu bukan Muslim. Saat kerajaan Bugis Makassar menerima Islam sebagai agama kerajaan, bissu patuh, dan menjadi Muslim. Hanya saja, bissu tidak menunaikan salat di masjid karena tidak ada saf untuk calabai. Banyak bissu yang sudah berhaji. “Saya tidak pakai ini, kalau saya belum haji,” kata Saleh menunjuk songkok hajinya. Saat menunaikan haji, dia harus memilih menjadi laki-laki, dan kembali menjadi calabai saat kembali ke desanya.
Saleh sama seperti Caya; dia mempunyai teman halus. Teman halusnya itu mengikutinya ke mana saja dia pergi. Bahkan dalam setiap pekerjaannya, teman halusnya ikut membantu.
Yusuf mengangguk-angguk mendengar penjelasan Saleh.
Sebenarnya Saleh datang atas panggilan saudaranya untuk menjadi indo’botting, perias pengantin Bugis, pada perkawinan putri saudaranya. Dia mendengar dari seorang ibu penjual nasi kuning, langganan pekerja jalanan, tentang Caya yang mengadang traktor untuk membela teman halusnya.
“Nak Caya akan kesepian terus sebelum dia punya sesuatu yang bisa bikin dia diterima masyarakat.” Saleh menatap Yusuf tidak lagi seringan tadi.
“Jadi?” sambar Yusuf.
Saleh tersenyum dan menyabarkan Yusuf untuk mendengarkan ceritanya. Semua orang mempunyai sesuatu yang membuat mereka bisa diterima di masyarakat. Pedagang mempunyai dagangan, orang-orang pintar ilmu pengetahuan, petani tanaman. “Kalau Caya apa?”
Yusuf menggeleng. Caya tidak bersekolah. Dia tidak tahan diejek teman-temannya.
Saleh cerita, dia dulu seperti Caya — terkucilkan sampai akhirnya dia bertemu Puang Matoa, pimpinan bissu. Puang Matoa mendidiknya menjadi bissu. Dia bukan lagi calabai bus malam, calabai yang hanya senang hura-hura dan meresahkan masyarakat.
“Saya mau minta izin Puang untuk mengangkat Caya menjadi anak muridku.”
Yusuf menoleh kepada Caya yang bersungguh-sungguh memperhatikan Saleh.
“Ilmu apa yang akan Bissu Saleh ajarkan?” Yusuf mendesak.
“Ilmu cenning rara,” jawab Saleh.
“Ilmu apa itu?” Yusuf diam menunggu penjelasan.
Namun, Saleh hanya menatapnya, lalu sambil berpaling kepada Caya dia bertanya,
“Puang tidak kasihan sama Nak Caya?”
“Saya harus tahu dulu, ilmu macam apa itu?” Suara Yusuf meninggi.
“Ilmu pemikat leluhur Bugis,” jawab Saleh sambil menyilangkan tangannya di depan dada.
“Ilmu musyrik,” sergah Yusuf.
Saleh meraih gelas air minum di depannya yang disajikan Caya, meneguknya, lalu meletakkannya kembali ke atas meja dengan perlahan-lahan.
“Puang tahu gincu?” tanya Saleh dengan tatapan masih tertuju pada gelas. “Dulu, di Eropa, perempuan yang memakai gincu dianggap pemuja setan.”
Yusuf menyeringai, “Pernah ke Eropa?”
“Pernah, kami keliling Eropa, pentas,” kata Saleh dengan dagu terangkat.
Yusuf meringis.
“Memang banyak yang salah sangka, orang-orang pikir bissu itu tinggal di desa terpencil, dan tidak tahu dunia luar.” Saleh pun menceritakan perjalanannya keliling Eropa.
Caya bersemangat mendengar. Sesekali dia menyela, bertanya saat ada hal yang menarik baginya.
Yusuf hanya terdiam mendengarkan, sambil memperhatikan Caya yang tersenyum lebar. Belum pernah anaknya sebahagia saat ini.
“Jadi Puang mengizinkan?” tanya Saleh dengan tatapan menodong.
Yusuf menghela napas, memperbaiki sikap duduknya, lalu berkata, “Anak bukan barang. Saat kita mati, putus hubungan. Doa anak bisa melapangkan dan menerangi kubur orangtuanya.”
“Tapi…” Saleh merapatkan punggungnya pada sandaran kursi.
“Tadi saya yang diam mendengar, sekarang tolong saya didengar juga,” hardik Yusuf dengan badan condong kepada Saleh.
Saleh terdiam.
Yusuf menjelaskan ketakutannya. Dia muslim yang taat. Kemusyrikan masuk dosa besar. Mereka yang musyrik tidak ditanya lagi saat kiamat nanti, langsung dilempar ke kerak neraka. Percaya pada mantra-mantra itu kemusyrikan. “Cukup sudah kita menderita di dunia ini, jangan lagi di akhirat.”
Matahari dengan cahayanya kemuning merasuk dari sela-sela dinding papan. Induk ayam berkotek-kotek memanggil anak-anaknya yang masuk mencari remah-remah makanan. Caya berdiri mengusir keluar anak-anak ayam itu, lalu kembali duduk.
“Boleh saya jelaskan, Puang?” tanya Saleh dengan sabar.
Yusuf mengangguk.
Saleh menjelaskan mantra bukan sesuatu yang tertulis di atas batu. Mantra mengikuti perkembangan kerohanian masyarakat. Dulu mantra-mantra itu berbahasa Bugis-Makassar kuno. Sejak Islam masuk, mantra-mantra memakai ayat-ayat dari Alquran. “Kita tidak lagi berdoa kepada dewata, tapi kepada Allah,” kata Saleh menutup penjelasannya.
“Untuk usir setan, iya, tapi untuk bikin orang suka kita, saya baru dengar,” sela Yusuf.
Saleh terdiam.
Yusuf pun melanjutkan, “Musyrik itu orang yang pake Alquran untuk guna-gunai orang supaya orang suka dia.”
“Percaya saya Puang. Saya ini haji,” kata Saleh dengan nada membujuk.
“Haji bukan jaminan. Lihat saja, banyak yang pergi haji, setelah pulang tambah rakus, makan uang rakyat.” Suara Yusuf kembali meninggi.
Saleh tersenyum. “Saya hanya menawarkan bantuan. Puang yang putuskan terima atau tidak.”
Caya memegang lengan kursi kuat-kuat, tetapi tangannya tidak cukup kuat untuk menahan badannya yang terempas ke depan.
Yusuf melompat menangkapnya, tetapi terlambat.
Caya terkapar dengan badan mengejang dan mulut berbusa.
Yusuf membopong Caya masuk ke kamarnya, lalu kembali ke ruang toko, dan berkata,
“Anak itu kalau terlalu tertekan, ayannya muncul.”
Saleh tidak lagi berkata apa-apa, kecuali minta pamit.
“Sampai kapan Bissu Saleh di sini?” Suara Yusuf tidak setegas sebelumnya.
“Kembali ke Pangkajene lusa.” Saleh berpamitan. Azan magrib mendayu-dayu mengiringi kepergian Saleh yang akhirnya menghilang di balik rimbunan bambu.
Tengah malam, Yusuf bermunajat. “Ya Allah, aku hanya ingin melihat anakku bahagia.” Yusuf mengulang-ulang perkataannya. Tidak seperti biasanya, suara-suara kalong yang berebut buah tidak terdengar. Angin pun berhenti bertiup. Yusuf terkesiap saat Caya menyentuh punggungnya.
“Pa, ayo kita ke masjid,” kata Caya.
Yusuf memandang wajah Caya yang bersinar dengan senyumnya. Azan subuh sayup-sayup terdengar. “Iya Nak, kita ke masjid,” kata Yusuf.
Dalam perjalanan pulang dari masjid, Yusuf berkata kepada Caya dengan nada bersungguh-sungguh, “Musyrik itu dosa besar. Setiap saat kita bisa musyrik. Iblis sangat lihai menipu manusia. Bahkan menjelang kematian kita, iblis masih bisa membuat kita musyrik.” Daun-daun bambu bekersik menggigil tertiup angin subuh di sudut jalan. Yusuf dan Caya berbelok masuk ke jalanan kecil menuju rumah. Yusuf bertanya pelan, “Kamu tahu Nak kapan kita selamat dari kemusyrikan?”
Caya menggeleng.
“Kita mengucapkan syahadat saat mengembuskan napas terakhir kita.”
***
Yusuf mengantarkan Caya ke terminal bus. Sepanjang jalan, tidak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Yusuf mengelus-elus kepala Caya saat anaknya mencium tangannya sebelum naik ke bus yang membawanya ke Pangkajene.
Saleh dengan sabar menunggu Caya melepaskan tangan ayahnya. “Jangan khawatir Puang, Caya sudah jadi anak saya sendiri.”
Yusuf mengangguk dengan isak yang tertahan di tenggorokannya.
“Kamu baik-baik di sana, Nak. Dengar Bissu Saleh.” Yusuf menyodorkan wajahnya lewat kaca jendela yang terbuka.
Caya secepatnya menghapus air matanya, lalu mengangguk-angguk.
Bus bergerak perlahan keluar dari terminal.
Caya menoleh ke belakang memandang ayahnya yang berdiri di tepi jalan sampai akhirnya pandangannnya terhalang oleh bus yang mengekor, lalu merebahkan punggungnya dan memandang truk-truk yang menumpahkan tanah ke atas persawahan yang mengering. Desa ini benar-benar sudah ramai. Rumah dan toko nampak di mana-mana. Segerombolan burung-burung pipit beterbangan saat bus berbelok di dekat semak-semak. Seharusnya bukan aku yang harus pergi belajar cenning rara agar pendatang-pendatang itu bisa menerimaku. Pendatang-pendatang itu yang harus bisa menerima diriku.
Caya menengok ke belakang sebelum bus berbelok dan merayap ke jalan yang memutar di pinggang gunung. Desanya sudah tidak nampak. Caya mengusap air matanya yang meleleh di sudut matanya. Aku harus secepatnya kembali. Kasihan ayahku, hidup sendirian.
Saleh duduk tenang di sampingnya.
Caya masih tidak percaya Saleh mau mengangkatnya menjadi anak murid, padahal dia baru saja mengenalnya. Alasannya hanya karena dia dulu bernasib sama dengan dirinya, terkucilkan, tidak masuk akal. Pasti ada alasan di balik itu, tetapi untuk apa aku menanyakannya. Yang terpenting Wa’ Saleh mau mengajarkanku sesuatu yang membuat aku tidak lagi kesepian.
“Kamu sudah lupa dengan temanmu?” tanya Saleh sambil mengangkat dagu seakan menunjuk di sampingnya. “Temanmu itu enak, naik bus, ndak bayar.”
Caya menoleh. “Iya Wa’, rumahnya juga ndak dibayar,” jawabnya dengan mata berbinar.
Saleh langsung menutup mulutnya dengan tangan, dan wajahnya memerah menahan tawa. “Ndak salah Nak saya mengangkatmu menjadi muridku,” katanya di sela-sela tawanya yang tertahan.
Caya menerima pujian itu dengan anggukan.
Bus meraung-raung saat melewati kelokan terakhir di puncak gunung, lalu meluncur dengan ringan melewati jalan yang menurun.
“Dulu saat saya kecil, saya seperti kamu, pemberontak.” Sepanjang jalan Saleh bercerita tentang masa kecilnya. Orang-orang membencinya hanya karena dia berjalan seperti perempuan. Ayahnya memukul kakinya sampai bengkak supaya dia berhenti berjalan seperti itu. Dia pernah mencoba, tetapi temannya mengejeknya. Kata mereka, cara jalannya seperti anak baru sunatan. Akhirnya dia capek mencoba, ayahnya juga capek memukulnya, teman-temannya capek mengejeknya.
Saat dia dewasa, dia senang membantu ibunya memasak. Ibunya dengan sabar menjelaskan bahwa memasak itu pekerjaan perempuan. “Kamu bantu ayahmu bertani,” kata ibunya. Dia pun membantu ayahnya menanam padi di sawah. Namun baru beberapa ikat selesai, dan matahari belum terlalu terik, ayannya muncul. Akhirnya ayahnya tidak pernah lagi mengajaknya ke sawah.
Untungnya setiap pagi, ibunya sangat sibuk. Mereka tujuh bersaudara, dan masih kecil-kecil. Terpaksa ayahnya mengizinkannya membantu ibunya menyiapkan sarapan. Dia bertugas membuat kopi dan teh. Setelah ibunya mengajarkannya, dia mahir membuat kopi dan teh. Malah lebih nikmat dari kopi dan teh buatan ibunya. Pelan-pelan, dia membantu ibunya membuat segala jenis sarapan, seperti nasi goreng, nasi ketan, dan bubur jagung.
Keahlian masak-memasak Saleh berkembang. Akhirnya dia mahir dalam memasak acara hajatan. Dalam sebuah pesta perkawinan dia bertemu Puang Matoa, pimpinan Bissu. Saat itu Puang Matoa diundang untuk menampilkan tarian ma’giri, tarian sakral bissu yang memperlihatkan kemampuan mereka menari dengan gemulai dan kekebalan tubuh dari senjata tajam. Hanya bissu yang mampu melakukan itu dan syarat menjadi bissu sangat susah. Dia harus suci dan harus punya roh pelindung. Dia harus berpuasa selama tiga hari. Setelah itu dia dikafani seperti sudah mati. Selama dikafani, rohnya akan menjelajahi alam gaib sedangkan calon bissu terselap. Seberapa jauh rohnya menjelajah, tergantung pada kekuatan roh bissu itu. Ketika roh pulang ke tubuh, saat itulah dia sah menjadi bissu. Kalau rohnya tidak pulang, dia akan mati.
“Kenapa Wa’ bisa nekat?” Caya melirik kepada Saleh.
“Ya, memang sudah nasib,” kata Saleh sambil mengusap-usap dada.
***
Pangkajene ternyata sebuah kota kecil dekat Makassar. Kota ini diapit oleh laut dan perbukitan batu. Sungai besar bernama Kali Bersih membelah kota kecil itu. Bukit-bukit batu mulai terkikis habis untuk dijadikan semen dan marmer. Saleh tinggal di sebuah rumah kayu panggung di tepi sungai belakang pasar. Suara bising tidak sedetik pun berhenti. Truk-truk di jalan dan ketinting-ketinting di sungai menderu-deru. Caya tidak bisa tidur sampai terdengar azan subuh. Azan subuh pun membahana dari segala penjuru, saling berlomba menggapai langit.
“Kamu ndak bisa tidur, Nak,” kata Saleh saat Caya keluar ke ruang tamu.
“Iya Wa’.” Caya merapikan rambut yang terurai di wajahnya.
“Beginilah nanti desamu, kamu harus mulai belajar.” Saleh meneguk kopi hangatnya. “Tapi bagus, makin ramai tambang, makin ramai juga masjid.”
Keramaian kota ini membuat Caya ingin segera kembali ke desanya. Untung, pada malam itu, dia sudah memulai pelajarannya.
Saleh memperkenalkannya kepada teman halusnya. Saleh memberi salam saat membuka pintu kamar arajang, pusaka, itu dan bau kemenyan merebak. Kamar itu lebih kecil dari kamar yang ditempati Caya. Di dalamnya, ada sebuah ranjang mungil, ditutupi kelambu. Kamar itu gelap, hanya cahaya dari ruang tamu yang menyelusup masuk. Saleh bersila dan berdoa sejenak, lalu membuka kelambu itu. Saleh menunu dupa di dalam mangkuk tembikar di sudut kanan depan ranjang. Nampak pernak-pernik kuno tertata rapi di atas ranjang. Saleh berbicara akrab kepada teman halusnya, lalu menarik tangan Caya mendekat dan duduk di sampingnya.
Saleh memperkenalkan Caya dan menjelaskan maksud Caya untuk belajar cenning rara.
Caya merasakan dirinya melayang, dan melihat teman halusnya berangkulan dengan seseorang berjubah putih yang bercahaya menyilaukan. Makin dia menatap lelaki berjubah itu, makin menyilaukan. Akhirnya, Caya harus menutup matanya dengan kedua tangannya, tetapi cahaya itu tetap terasa, bahkan makin menyilaukan. Caya pun berteriak sejadi-jadinya. Setelah itu, cahaya tadi menghilang, dan penglihatannya menjadi gelap gulita. Saat kesadaran Caya kembali, dia bertanya, “Apa yang terjadi?”
“Kamu lihat Nak?” Saleh menggenggam tangan Caya.
Caya pun menceritakan apa yang dilihatnya. “Sebenarnya siapa itu?”
“Seorang sufi. Tidak boleh saya sebut namanya.” Saleh meminta Caya berwudu, memakai sarung, dan kembali masuk ke kamar arajang. Mereka bersila di hadapan arajang lalu Saleh mengajarkan Caya mantra cenning rara.
Saleh mewanti-wanti agar Caya jangan menggunakan cenning rara untuk keburukan. Kalau dia melakukan itu, lelaki berjubah cahaya itu yang akan datang dan menghukumnya.
Caya mengangguk gembira dengan anggapan dia bisa segera kembali ke desanya, bertemu ayahnya, dan bisa tidur lelap.
Ternyata, Saleh masih menahannya. Dia masih harus mengajarkan Caya menggunakan cenning rara untuk merias pengantin. Dalam tiga bulan ke depan, ada tiga acara perkawinan, dan Saleh meminta Caya untuk membantunya menjadi indo’ botting.
Saleh mengajarkannya cara merias pengantin. Terkadang, dia tidak bisa menahan luapan kemarahannya, saat perhatian Caya terpecah. “Itulah gunanya kamu baca cenning rara saat merias, supaya kamu betul-betul perhatikan setiap garis yang kamu bikin. Ini bukan kertas, ini muka orang.”
Anak perempuan yang menjadi korban percobaan riasan Caya terkikik-kikik mendengar Saleh marah.
Caya pun membaca mantra cenning rara.
“Belum sekarang, nanti,” hardik Saleh, “kalau pengantin betulan.”
Anak perempuan itu memegang perutnya, tertawa terbahak-bahak.
Caya jengkel ditertawai dan diriasnya anak itu mirip topeng monyet.
Saleh tertawa terpingkal-pingkal.
***
“Kamu sudah siap, Nak,” kata Saleh saat melihat hasil merias Caya pada minggu kedua.
Awalnya Caya canggung saat merias pengantin untuk pertama kalinya dan di depan orang banyak. Namun, akhirnya dia bisa menunjukkan keterampilannya. Saleh memujinya.
Malam akhir pekan bulan ketiga, Caya duduk di teras dengan Saleh sambil memandangi gerimis. Raungan truk di jalan dan katinting di sungai bersahut-sahutan. Caya tersenyum. Suara bising yang dulu membuatnya tidak bisa tidur, sekarang malah membawanya terlelap.
“Kenapa kamu senyum-senyum?” tanya Saleh.
“Saya mulai senang tinggal di sini, Wa’.”
“Bagaimana perasaanmu, Nak, waktu berhasil merias?”
“Senang sekali,” kata Caya tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.
“Masa panen sudah lewat. Masa menanam sudah tiba. Musim panen, musim kawin; musim bekerja sebagai indo’ botting,” kata Saleh tersenyum simpul.
Gerimis bermain riang dengan cahaya lampu jalan yang temaram. “Akhirnya,” Saleh menghela napas panjang, “janjiku kepada Puang Matoa sudah saya tepati.”
Caya tersadar, rupanya itulah alasan Saleh mengajarinya.
“Kamu harus pulang besok. Papamu pasti sudah rindu sekali.”
“Terima kasih, Wa’,” kata Caya dengan lirih.
“Sama-sama, Nak.” Saleh berdiri dan masuk ke kamarnya.
***
Caya mengubah toko kelontong ayahnya menjadi salon kecantikan. Orang-orang menyukai caranya merias yang apik. Pelanggannya membeludak. Setelah menyelesaikan pekerjaan terakhirnya hari ini, Caya duduk beristirahat.
Yusuf datang menghampirinya. “Papa bangga sekali.” Setelah terdiam sejenak, dia melanjutkan, “Bagaimana dengan teman halusmu?”
“Malah bertambah banyak.” Caya tersenyum lebar.
Yusuf melemparkan pandangannya ke persimpangan jalan raya di mana dulu ada pohon ara. “Terima kasih, Nak,” kata Yusuf lirih.
“Saya yang berterima kasih, Pa.” Caya meraih tangan ayahnya dan menciumnya.
*****