Radixa Meta Utami was born in Denpasar, Bali on February 25, 1995. Her parents moved to Semarang, Central Java, when she was in elementary school.
Meta completed her high school in SMAN 1 Mungkid. In 2015, she enrolled at the Mathematics Department of the Faculty of Science and Technology at the University of Sanata Dharma. However, in 2016 she changed her major and currently studies Indonesian Literature at the Faculty of Letters at the University of Sanata Dharma.
Meta can be reached at Ni Wayan Tomboy n1w4y4nt0m130y@gmail.com
Alloy Bintang Kampung
Aku mulai suka lagu dangdut saat usiaku sepuluh tahun. Dangdut mampu menenangkan hatiku yang kacau ketika aku diganggu oleh teman-teman sekolahku. Mereka sering iseng seperti melempar gumpalan kertas secara diam-diam saat pelajaran berlangsung. Mereka sering mendesis olokan seperti, “Anak bangsawan kok berangkat-pulang sekolah dengan sepeda? Kenapa nggak dengan mobil aja? Hahahahaha…” Sering mereka menyenggolku hingga jatuh.
Pada saat aku berumur 15 tahun, setiap pulang sekolah aku mulai mengamen lagu dangdut keliling Jalan Paingan. Aku melakukan ini selama sekolah SMA. Lalu aku berpikir mengapa aku tidak menjadi penyanyi dangdut saja. Dan itu menjadi cita-citaku.
Suatu Jumat siang sepulang sekolah aku langsung masuk ke kamar tidurku untuk berganti baju. Kemudian, aku berjalan ke ruang tamu untuk bernyanyi karaoke. Sambil menunggu makan siang dari ibuku di ruang tamu, aku menyalakan alat pemutar kaset dan pasang lagu Yang Kurindu dari Denny Malik. Dengan lincah aku mengikuti suara Denny dan irama dangdut itu, “Jangan kau katakan… Ku sudah tak sayang… Sedangkan dirimu… Masih kurindukan…” Suaraku rupanya melayang ke telinga ibuku yang sangat muak dengan lagu dangdut.
Tiba-tiba Ibu berdiri di depanku dan melayangkan telapak tangannya ke wajahku.
Plakk…
“Waduh Ada apa, Bu?” tanyaku sambil mengelus sisi wajahku yang ditampar tadi.
“Alloy! Aku tidak suka kalau kamu menyanyi dangdut!”
“Ibu, mengapa tidak suka? Aku ‘kan ingin menjadi penyanyi dangdut!”
“Alloy! Kita ini orang Katolik. Mana ada orang Katolik yang suka dengan lagu dangdut? Mana ada orang Katolik yang bisa menjadi penyanyi dangdut? Apakah kamu pernah melihat orang Katolik yang berhasil menjadi penyanyi dangdut bahkan sampai tingkat dunia sekalipun? Tidak ada, ‘kan?”
Tak lama kemudian Ayah pulang dari mengajar. Ayah langsung melerai kami.
“Aduh! Ada apa ini?”
“Mas, anakmu ini ingin menjadi penyanyi dangdut. Aku tidak setuju, Mas!” jawab Ibu dengan kesal sambil meninggalkan kami berdua.
“Le, apa benar kamu ingin menjadi penyanyi dangdut?” Ayah, yang selalu menyapaku dengan panggilan Jawa untuk anak laki-laki, memelukku dengan erat.
“Benar, Ayah. Aku ingin menjadi penyanyi dangdut.” Aku menjawab Ayah dengan mulai terisak.
“Ya sudah, Nak. Kamu tidak usah khawatir. Nanti Ayah bantu,” kata Ayah sambil menenangkanku.
***
Atas persetujuan ayah, aku bergabung di Paduan Suara Mahasiswa Cantus Firmus (PSMCF) saat aku mulai kuliah di Universitas Sanata Darma, sebuah universitas swasta terkemuka di Yogyakarta. Di sana, aku tidak hanya mempelajari semua jenis lagu maupun cara mengolah suara, tetapi juga belajar bertanggung jawab dengan sesama anak PSMCF. Aku berlatih olah suara dari Senin hingga Jumat mulai dari pukul lima sore sampai dengan pukul sepuluh malam. Beginilah akibat yang kurang menyenangkan sebagai calon penyanyi dangdut. Harus pulang malam-malam dan menerima bentakan dari ibu setiap hari.
Setiap Sabtu sore, kami mengikuti misa di salah satu gereja Katolik di Sleman. Di situlah aku dan sesama anggota paduan suara yang lain menyanyikan lagu-lagu rohani Katolik dengan jenis lagu dangdut untuk pertama kalinya. Begitu kami menyanyi, para jemaat yang hadir justru merasa tersentuh dengan lagunya ketimbang syairnya, kecuali ibuku. Begitu juga dengan pastor dan para suster yang mulai penasaran dengan jenis lagu dangdut yang kami bawakan.
Usai misa, salah seorang suster datang menghampiri kami. “Puji Tuhan. Ini pertama kalinya kalian menyanyikan lagu-lagu rohani dengan lagu dangdut. Padahal, lagu dangdut ini sangat jarang didengar di semua gereja, terutama gereja kita.”
“Puji Tuhan. Terima kasih atas pujiannya, Suster. Kebetulan, ini atas prakarsa saya. Semoga jenis lagu ini mampu menghangatkan suasana umat di gereja kita ini,” ucapku untuk mewakili seluruh anggota paduan suara itu.
“Amin, Alloy. Amin.”
Setelah bertemu dengan suster, aku dan kedua orangtuaku langsung berangkat dengan Kijang meninggalkan gereja menuju Rumah Makan Gadjah Wong, rumah makan ternama di Sleman. Aku akan mengamen di sana. Naas, di tengah perjalanan, jalanan mulai macet. Astaga! Jangan-jangan, aku akan datang terlambat. Kulantunkan do’a Rosario di dalam hati. Puji Tuhan. Do’aku terjawab dan jalanan itu akhirnya mulai berjalan lancar.
Setibanya di rumah makan, Ayah tidak segan membantuku untuk mencari pakaian yang akan kupakai maupun lagu-lagu yang akan kubawakan nanti baik itu lagu-lagu dangdut maupun campursari. Beruntung aku sangat hafal dengan semua lagu dangdut maupun campursari, terutama lagu-lagu yang sering kubawakan saat bernyanyi karaoke di rumah.
Ibu hanya diam membatu sembari melihat kami bersiap-siap untuk tampil.
“Dik, mengapa kamu diam saja? Lebih baik kamu membantuku,” pinta ayah.
“Tidak mau. Aku malu, Mas,” sahut ibu yang cuek.
“Tidak apa-apa, Pak. Mungkin Ibu sedang marah,” ungkapku sambil menyelesaikan riasanku.
Tepat pukul delapan malam, aku tampil di panggung untuk bernyanyi. Seluruh pengunjung rumah makan yang hadir mulai heboh saat menyaksikan penampilanku. Aku biasanya menyanyikan sepuluh lagu selama dua jam berturut-turut. Bahkan, pihak rumah makan sering membayarku Rp 50.000 per lagu setiap malam Minggu. Lumayan, penghasilanku ini cukup untuk kebutuhan pribadiku setelah menyisakan uang tabungan untuk keperluan mengamen, liburan, maupun keperluan tugas kuliah.
Tiba-tiba, ketika aku menyanyikan lima lagu terakhir, sebagian pengunjung mulai iseng mengolok-olokku dari tempat duduk paling belakang.
“Aneh ya? Ada orang Katolik yang bisa menyanyi dangdut.”
“Lho? Kok kamu tahu kalau dia itu Katolik? Aku aja iri melihatnya.”
“Ya tahulah. Namanya saja Raden Mas Ralph Alloysius Bambang Sejati, adik tingkat kita sekaligus putra dari dosen kita tercinta yaitu bapak Raden Mas Agustinus Bambang Praptomo. Ibunya aja, guru matematika kita waktu SMP. Setahuku, mana mungkin penyanyi macam dia laku di kelompok lagu dangdut?”
“Maksudmu Ibu Raden Ayu Maria Sejati Yuniarti? Owalah… Tapi anehnya, suara merdunya itu melebihi suara merdu penyanyi dangdut Thomas Djorghi.”
“Ah, tidak mungkin! Suaranya saja mirip penyanyi dangdut Denny Malik.”
“Ah, mana mungkin itu? Memangnya dia terilhami dari penyanyi dangdut Denny Malik?”
Akibat ocehan mereka, suasana di rumah makan menjadi ribut. Namun, beruntung penampilanku berakhir dengan sempurna.
Selesai lagu terakhirku, hampir semua pengunjung berdiri dan bertepuk tangan. Mereka lalu berdesak-desakan untuk memberikan bunga maupun meminta tanda tangan kepadaku. Ada juga pengunjung lain mengajakku berswafoto bersama.
Aku menerima bayaran dari pihak rumah makan itu. Uang yang kuterima terlihat cukup banyak malam ini. Aku sangat bersyukur. Aku langsung menyilangkan tanganku ke kening, dada, dan kedua bahuku sambil tersenyum. Terima kasih Tuhan Yesus. Setelah aku menerima bayaran itu, aku langsung berlari menghampiri orangtuaku yang sudah menungguku di mobil untuk bergegas pulang.
Di tengah perjalanan pulang, Ibu dengan tiba-tiba mengecam pedas kepadaku. “Alloy, kamu dengar sendiri ‘kan omongan mereka? Semua pengunjung di rumah makan tadi bergunjing ria terhadap penampilanmu. Kamu dengar, nggak?”
“Lho? Bu, aku ‘kan tadi lagi nyanyi. Jadi, aku tidak sempat mendengar ocehan mereka.” Aku berusaha membela diri dengan berbohong kepada Ibu bahwa aku tidak mendengar ocehan mereka.
“Ibu sudah muak, Nak, Ibu ‘kan sudah pernah bilang sama kamu bahwa kita ini orang Katolik. Malu sama tetangga, apalagi jemaat gereja. Kamu kok malah nekat?” Ibu yang duduk di samping Ayah, membalikan badannya ke kanan dengan memutar sedikit kepalanya ke belakang. Lalu dengan geram, Ibu membentakku, “Pokoknya mulai detik ini, kamu harus berhenti menyanyi dangdut. Titik!”
Hatiku sungguh miris mendengarnya. Mengapa Ibu begitu terpengaruh atas ocehan mereka tadi? Aku bingung harus berbuat apa. Tuhan, ampunilah mereka yang telah mengolok-olokku. Ampunilah juga ibuku yang bersikap keras kepadaku.
Akhirnya kami tiba di rumah. Aku bergegas keluar dari mobil dan langsung berlari ke kamar tidur. Aku langsung membanting pintu dan menguncinya. Air mataku tak mampu terbendung lagi. Aku menurunkan tubuhku perlahan-lahan ke lantai. Aku lemas. Mengapa ini harus terjadi? Apa yang harus kulakukan?
TOK… TOK… TOK…
“Alloy, buka pintunya! Bapak ingin bicara empat mata denganmu,” pinta Ayah.
Yesus! Rupanya itu suara ayah yang mengetuk pintu kamarku. Aku pun langsung bangkit berdiri. Aku mengusap air mataku dan membuka pintu.
Ayah langsung merangkulku.
Aku terisak-isak sembari memeluk Ayah erat-erat.
“Nak, jangan dengarkan perkataan Ibumu! Sebenarnya, Ibumu tidak tahu tentang bakatmu yang sebenarnya.”
“Ayah, mungkin apa yang dikatakan Ibu tadi adalah benar. Mustahil orang Katolik sepertiku mampu mewujudkan impianku untuk menjadi penyanyi dangdut.”
“Jangan putus asa dulu, Nak. Ayah ‘kan pernah berjanji kepadamu untuk membantu mewujudkan impianmu menjadi penyanyi dangdut. Kamu harus semangat, Nak.”
Aku hanya bisa mengangguk pelan untuk mengiyakan perkataan Ayah. Aku percaya bahwa Ayah tidak akan ingkar janji kepadaku. Dia pasti akan membantu mewujudkan impianku menjadi penyanyi dangdut. Mungkin tangan Tuhan sudah mulai bekerja sekarang.
***
Sekarang aku sudah semester enam dan pada usia dua puluh tahun mendapatkan penghargaan sebagai mahasiswa yang berhasil dengan nilai dengan pujian tingkat fakultas. Tak hanya itu saja. Aku juga diutus universitasku untuk mengikuti ajang pemilihan Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) cabang menyanyi dangdut putra tingkat perguruan tinggi.
Di hari-H, aku diantar oleh ayahku dengan Kijang. Aku berdandan bak penyanyi dangdut Denny Malik.
Sambil jalan, Ayah memutarkan lagu dangdut untukku sambil mengingat lagu-lagu dangdut yang akan kubawakan ketika lomba nanti. Akhirnya kami tiba di Kampus Mrican, tempat aku mengikuti lomba itu.
Saat aku memasuki gelanggang lomba itu, aku berpapasan dengan Angella, teman sekelas, yang juga mengikuti lomba itu. Angella berdandan cantik bak penyanyi dangdut Selfi Nafilah.
“Selamat pagi Angella! Piye kabare? — Apa kabar?”
“Selamat pagi Alloy! Puji Tuhan. Aku baik, Loy. Kamu mengikuti ajang pemilihan Peksimida, ‘kan?”
“Ya. Aku mengikuti ajang pemilihan Peksimida cabang menyanyi dangdut putra. Kamu?”
“Sama. Aku juga mengikuti ajang pemilihan itu. Tapi, cabang menyanyi dangdut putri,” jawab Angella sambil tertawa manis.
“Owalah… Kamu suka lagu dangdut juga?”
“Ya, Loy. Aku juga suka dengan seni nada itu.”
“Sejak kapan?”
“Waktu aku berusia delapan tahun. Tepatnya dua belas tahun yang lalu.”
“Wah! Sudah lama sekali,” kejutku sambil mengelus dada.
Kami melakukan pendaftaran ulang di ruang K18. Lalu, kami menunggu nama kami dipanggil sembari berdo’a, menghafal lagu, dan meminum setengah botol air putih. Tak lama kemudian, nama kami dipanggil.
Dengan mantap aku menyanyikan lagu Yang Kurindu oleh Denny Malik. Aku berusaha menjiwai lagu itu agar para juri tidak kecewa. Usai aku bernyanyi, para juri langsung bertepuk tangan dengan semangat.
Aku meninggalkan ruang itu dengan gembira. Hore! Rupanya penampilanku berjalan dengan sempurna.
Begitu juga dengan Angella. Dia juga tampak gembira hari ini. Kami berjalan berbarengan sambil bercakap-cakap.
“Bagaimana, Loy? Berhasil?”
“Puji Tuhan, penampilanku berjalan dengan sempurna. Kamu?”
“Aku juga, Loy. Awalnya aku gugup. Tapi puji Tuhan gugupku mendadak hilang ketika aku bernyanyi. Mungkin, ini karena berkat do’a Rosario yang kulantunkan tadi malam.”
Tak lama kemudian, kami berpapasan dengan orang tua kami.
“Piye, Le? — Bagaimana, Nak? Berhasil?”
“Puji Tuhan, Ayah. Semuanya berjalan dengan sempurna.”
***
Sambil menunggu pengumuman hasil ajang pemilihan Peksimida, selama sebulan ini aku tetap melanjutkan kuliah seperti biasa. Begitu juga dengan kegiatan lain seperti mengikuti misa setiap Sabtu sore, mengamen, dan berkunjung ke rumah teman. Semoga Tuhan Yesus menjawab penantianku. Amin.
Waktu di jam tanganku menunjukkan pukul setengah lima pagi. Aku berlari mengelilingi Kampus Paingan sebanyak sepuluh kali putaran. Sambil berlari, aku mendengar suara burung-burung yang sedang bernyanyi bak paduan suara. Terlihat pula para petani yang mulai menginjakkan kakinya ke sawah untuk bercocok tanam. Perlahan aku menghirup udara segar. Ah, betapa bersihnya udara ini! Aku sangat bersyukur dengan lingkunganku yang Dia ciptakan. Aku bangga menjadi anak Kampus Paingan. Sembari menyanyikan lagu Didi Kempot, Stasiun Balapan, aku menuju pulang. Setibanya di rumah, aku langsung berpapasan dengan ibu.
“Alloy, tadi telepon genggam pintarmu berbunyi. Mungkin ada pesan singkat dari seseorang. Bacalah!” Ibu menyodorkan telepon genggamku kepadaku.
Astaga! Ternyata pesan singkat itu dari panitia ajang pemilihan Peksimida. Aku langsung membuka pesan singkat itu.
Dari : Panitia Ajang Pemilihan Pekan Seni Mahasiswa Daerah
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Tanggal: 24 Mei 2010
Waktu : 06.10 WIB
Selamat pagi saudara Alloy! Kami dari panitia ajang pemilihan Pekan Seni Mahasiswa Daerah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta menyatakan bahwa yang bersangkutan :
Nama : Raden Mas Ralph Alloysius Bambang Sejati
Jurusan : Perekonomian
Fakultas : Ekonomi
Angkatan : 2007
Dinyatakan LOLOS ajang pemilihan Pekan Seni Mahasiswa Daerah cabang lomba menyanyi dangdut putra. Saudara diharapkan hadir untuk melakukan pendaftaran sekaligus mengikuti pertemuan teknis jelang Pekan Seni Mahasiswa Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang akan dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 27 Mei 2010 jam 16.00-18.00 WIB, bertempat di Ruang Koendjono Gedung Pusat Kampus 2 Mrican Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Demikian pesan singkat ini kami sampaikan. Atas perhatian saudara, kami mengucapkan terima kasih.
“Puji Tuhan. Hore!” Aku bersorak dengan melompat girang. “Terima kasih Tuhan Yesus.” Aku menekan tilpon genggamku ke dadaku.
Ibu mulai menatapku dengan heran. “Ada apa? Tentang apa pesan itu?” Ibu bertanya menyelidiki.
“Tentang hasil ajang pemilihan Peksimida kemarin.” Aku berusaha mengendalikan suaraku yang sepertinya tersedak.
“Oh ya? ” tanya Ibu datar.
“Aku lolos ajang pemilihan Peksimida,” jawabku sambil menunjukkan pesan singkat dari telepon genggam pintarku kepadanya. Sebelum Ibu mampu berkata apa-apa, aku bergegas mandi cepat dan berdandan serapi mungkin.
Di ruang makan Ayah dan Ibu sudah menungguku untuk sarapan bersama. Kebetulan pagi ini Ibu baru saja memasak nasi goreng kampung Yogyakarta dengan lauk telur mata sapi. Selain itu, tersedia juga ayam goreng Kalasan, peyek tumpuk, dan wedang uwuh di meja makan. Terlihat juga beberapa jajan pasar seperti klepon, cenil, sawut, tiwul, dan kue apem yang tersedia di meja makan sebagai kudapan. Ah, enak sekali masakan Ibu!
Sembari menikmati sarapan, aku memberitahukan ayah tentang pesan singkat tadi. “Ayah, tadi aku mendapatkan pesan singkat dari panitia ajang pemilihan Peksimida di kampusku. Aku lolos!” Aku tersenyum lebar sambil menunjukkan pesan singkat dari telepon genggam pintarku di depan ayah.
“Puji Tuhan. Selamat ya, Nak. Semoga di ajang Peksimida nanti kamu juga berhasil,” ucap ayah dan mencium keningku.
“Amin, Ayah. Terima kasih atas doa dan dukungannya. Semoga Tuhan Yesus membalas kebaikan Ayah.”
“Sama-sama, Loy dan selamat berjuang.”
Pada pertengahan Juni, aku mengikuti ajang Peksimida cabang lomba menyanyi dangdut putra di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa di Yogyakarta yang juga merupakan tempat untuk mengikuti ajang Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) yang akan kami ikuti nanti. Ternyata Angella juga lolos untuk mengikuti ajang ini untuk cabang lomba menyanyi dangdut putri. Aku tak menyangka bahwa dia memiliki cita-cita yang sama denganku yaitu menjadi penyanyi dangdut.
Di Peksiminas, aku masih menyanyikan lagu yang sama ketika aku mengikuti ajang pemilihan Peksimida untuk lagu wajib dan lagu Darah Muda oleh Bang Haji Rhoma Irama sebagai lagu pilihan. Sementara Angella menyanyikan lagu Dua Kursi oleh Rita Sugiarto sebagai lagu wajib dan lagu Perahu Kaca oleh Selfi Nafilah sebagai lagu pilihan. Penampilan kami disaksikan oleh para hadirin, termasuk kedua orang tuaku maupun kedua orang tua Angella.
Puji Tuhan. Do’a kami, akhirnya terjawab juga. Dengan bekerja keras, kami terpilih sebagai juara. Kami pun menangis bahagia.
Ibu yang dulu bersikap keras terhadap cita-citaku akhirnya luluh juga dan dia mengakui bakatku yang sebenarnya.
Aku akhirnya berhasil membuktikan bahwa orang Katolik sepertiku bisa menjadi penyanyi dangdut. Usai lulus kuliah, aku bekerja sebagai ahli keuangan di sebuah perusahaan asuransi sekaligus sebagai penyanyi dangdut. Kini, aku menerima perjanjian kerja untuk meluncurkan album dangdut rohani Katolik. Sebagai rasa syukurku, aku memanfaatkan bakatku ini bukan hanya sekedar bidang pekerjaan yang dilandasi oleh pendidikan, tetapi juga sebagai bentuk pelayananku kepada Tuhan yang memberikan banyak berkat dalam hidupku.
***