Click here for:

Lelaki Ladang

Arafat Nur was born in Medan, on 22 December 1974. He has lived in Aceh since his elementary school years. He experienced the Aceh Conflict and his writing reflects several of its incidents. Nur’s work won numerous awards. Lampuki (Serambi, 2009) won the 2010 Dewan Kesenian Jakarta (Jakarta Arts Council) Award and the 2011 Khatulistiwa Literary Award; Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang Pustaka, 2014) was translated into English: A Bird Flies in the Dark of Night. His latest novel, Tanah Surga Merah (Gramedia, 2016), won the 2016 Dewan Kesenian Jakarta Award. Nur is a farmer and spends his spare time reading literary works and books about history and philosophy. He can be reached at arafatnur@yahoo.com

Copyright ©2017 by Arafat Nur. Published with permission from the author. Translation copyright ©2017 by Minerva Soedjatmiko.

 

 Lelaki Ladang

 

Hasan mesti bergegas memetik cabai di sepetak tanah di lembah dekat alur yang airnya hampir kering. Bagian tanah lembah yang tidak terlalu luas itu menjadi tumpuan harapan penduduk Buket Kuta di saat kemarau sedang melanda. Kampung itu tersembunyi di kedalaman sunyi rimbunan kebun kelapa terlantar yang telah berubah hutan belukar, berjarak lima belas kilometer dari jalan raya Medan-Banda sepanjang Aceh Timur. Untuk mencapai Idi, kota kecamatan yang tidak ramai, orang harus mempuh dua puluh kilometer lagi. Penduduk Buket Kuta tidak mengenal kota kabupaten, apalagi kota provinsi yang entah di mana letaknya, bahkan dengan angan-angan pun sulit mereka gapai.

Hasan bisa melihat di seberang sana, sisa Kampung Kulam, kampungnya dulu yang sudah tidak berpenghuni lagi. Pada tahun 1999, setahun setelah Soeharto terpaksa meletakkan jabatannya sebagai presiden dan Jakarta menjadi kacau, para pejuang mengambil kesempatan menyerang pos-pos tentara, sebagai pelampiasan terhadap pemerintah. Mereka mengecam karena tidak mendapat bagian hasil yang adil dari sumber daya alam Aceh yang habis dikeruk pemerintah pusat. Ketidakpuasan atas ketidakadilan ini disuarakan melalui pemberontakan yang terus menerus dilakukan.

Di Kampung Bukit Kuta cuma sekitar lima belas keluarga saja yang tersisa dari kampung mati itu, termasuk Hasan sebagai kepala keluarga, yang oleh tentara tidak ditemukan bukti keterlibatannya ikut membangkang pada pemerintah.

Hasan memang masih ingat bahwa di awal-awal perlawanan, tidak ada paksaan terhadap pajak nanggroe dan orang-orang kaya memberikan sumbangan dengan suka rela. Waktu itu perang masih seumpama api dalam sekam dan belum terlalu muncul ke permukaan. Kaki tangan pejuang bisa leluasa berkeliaran ke mana saja, menemui pengusaha dan orang-orang kaya di kota tanpa khawatir dicurigai tentara.

Serdadu yang jumlahnya masih sedikit hanya kenal satu dua dalang pemberontakan lewat foto yang mereka bawa, juga lewat selebaran-selebaran yang mereka tempelkan di dinding kedai, dan meunasah sebagai seruan kepada masyarakat agar melaporkan kepada tentara bila ada yang melihat orang-orang dalam selebaran itu.

Namun, kala perang berlangsung lama dan keadaan para pejuang makin terjepit, mereka meminta uang dengan paksa pada siapa saja sebagai biaya perjuangan. Mereka tidak bisa lagi menemui orang-orang kaya di kota. Sehingga, pajak nanggroe kemudian diwajibkan pada penduduk kampung yang masih bisa didatangi, tak peduli bahwa kaum petani itu hidup menderita dan papa.

Hasan terengah menarik karung berisi panenan diantara tanaman cabai di ladang.

Kampung Kulam yang tinggal kenangan dan telah menjadi hutan besar, tempat ular dan babi bersarang. Di kampung itu pula banyak penduduk yang mati dan telah terkubur. Hasan teringat bapak, mak, dan adik perempuannya. Seketika air mata jatuh menimpa ujung sepatu bot karet yang selalu dipakainya di luar rumah.

***

Sambil memetik cabai, Hasan mengunyah sebatang alang-alang sambil mengingat kembali saat para tentara marah besar sebab seorang pejuang nekat menghadang truk tentara dan membunuh sepasukan serdadu dengan tembakan bazoka.

Ratusan tentara datang keesokan harinya membakar rumah-rumah, dan menembaki siapa saja. Kampung tempat Hasan tinggal jadi ladang pembantaian. Tak peduli perempuan dan anak-anak, beberapa dari mereka ikut terkapar bersama laki-laki yang rubuh ke tanah bersimbah darah. Beruntung bagi Hasan dan istrinya, mereka saat itu tidak sedang di rumah. Mereka berada di ladang.

Dari ladang yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumah, mereka bisa mengetahui kegaduhan di pemukiman, teriakan-teriakan prajurit yang menghardik dan memaki, serta letusan tembakan berkali-kali yang getarannya sampai ke dada. Setiap kali bedil meletus, napas Hasan tertahan dan jantungnya berdebar. Saat letusan senjata terjadi saling sahut, seakan ada segerombolan lain balas menyerang, Hasan dan istrinya yang sedang bunting lari menghilang ke hutan.

Ketika sejumlah tentara itu pulang ke pos mereka masing-masing, Hasan menemukan kampungnya sudah rata. Tak ada lagi rumah orang tuanya, tak ada rumah tetangga, tak ada lagi rumah yang tersisa. Semua sudah musnah dibakar. Cuma mayat-mayat terkapar di halaman rumah, dan berserakan di ladang-ladang kelapa dan palawija. Hanya mereka yang berada jauh dari pemukiman saja yang selamat. Melihat semua itu, jiwa Hasan terguncang selama berhari-hari kemudian serupa orang hilang ingatan.

Ketika sadar, dia menangis. Mengutuki perang. Kemudian hari, setelah guncangan jiwanya mereda, dia belajar untuk lupa. Hidup di sini harus bisa melupakan luka. Hidup menuntutnya bekerja. Dia bersama istrinya membangun gubuk baru di kampungnya sekarang.

***

Ratusan, mungkin juga sudah ribuan kali tentara yang mendirikan pos di pinggir kampung Buket Kuta ini memeriksanya. Hampir saban hari isi rumahnya digeledah, setiap jengkalnya diperiksa, dan mereka tak pernah menemukan senjata. Meskipun begitu, setiap kali serdadu datang memeriksa dan mengawasi kampung itu, Hasan tetap menjadi bulan-bulanan penyiksaan, sebagaimana juga setiap lelaki yang mereka temui.

Tentara sengaja memukuli penduduk, agar orang-orang membenci pejuang. Tersebab pejuanglah mereka terus-terusan dianiaya. Karena tidak sanggup melawan prajurit-prajurit garang bersenjata lengkap itu, penduduk menjadi marah dan geram dengan orang-orang yang melawan pemerintah. Ketika serdadu datang, merekalah yang harus lari menyelamatkan diri ke hutan untuk menghindari penyiksaan.

Setiap kali tentara meninggalkan kampung-kampung sehabis memburu pejuang, Mando Gapi dan anak buahnya selalu muncul bagai dari dalam bumi. Panglima Sagoe, petinggi pejuang kecamatan, itu tetap menuntut pembayaran pajak. Lelaki berahang persegi itu tidak peduli terhadap keadaan penghuni kampung yang teramat susah.

Agaknya dia begitu kesulitan mencari anggota baru yang mau diajaknya berperang melawan serdadu pemerintah. Banyak sudah orang yang mati, dan yang tersisa begitu ketakutan ketika melihat senjata.

“Hutangmu pada kami semakin menumpuk, dan akan lunas semuanya jika kau bergabung dengan kami!” sergah Mando Gapi.

“Aku punya anak, Bang,” ibanya.

“Selalu itu alasanmu!”

“Aku tidak tahu harus bagaimana.”

“Kau masih beruntung punya keluarga. Kami tak punya siapa-siapa lagi selain senjata. Apa pun alasanmu, kau harus tetap membayar pajak. Itu adalah tanggung-jawab orang yang tidak mau ikut berperang!”

“Tapi, aku tak punya uang, Bang,” kata Hasan.

“Bukankah cabaimu hampir panen?”

“Tapi, aku belum memetiknya. Hutangku pada Dullah juga banyak,” keluh Hasan.

“Kau selalu mengeluh. Berperang pun menolak. Jadi jasa apa yang bisa kau sumbangkan demi kepentingan orang banyak, dan demi martabat bangsa Aceh yang sudah habis dinjak-injak pemerintah? Mereka merampas hasil bumi kita, menguras minyak, gas, dan menebang kayu-kayu untuk kertas. Ketika menuntut untuk merdeka, mereka mengirimkan tentara, membunuh lelaki dan memperkosa perempuan-perempuan kita. Pantaskah sekarang kau berdiam diri saja?”

“Kalau aku tidak punya anak dan istri, aku juga akan ikut berperang, Bang,” balas Hasan gugup.

“Alah, kata-katamu itu sungguh tidak meyakinkan. Kau tidak menunjukkan bukti apa-apa. Untuk memberikan pajak nanggroe saja kau kerap menghindar. Lihat kami yang telah mengorbankan semua harta kami untuk membeli senjata dan rela hidup sengsara di hutan yang selalu dalam intaian dan ancaman senjata serdadu laknat!”

Hasan mendengus bingung, “Aku tidak tahu, Bang.”

Mando Gapi menepuk keningnya, menggeleng-geleng, lantas berkacak pinggang.

“Dengar,” ucap Mando Gapi. “Aku ini mau berbaik hati padamu. Kaupetik itu cabai, jual, dan sisakan uangnya untuk kami. Aku akan mengambilnya besok atau lusa!”

Hasan terpaku di beranda rumahnya, memandangi Mando Gapi yang berbalik badan, meninggalkan rumahnya.

Sepeninggalan Mando Gapi, Hasan beringsut lunglai, menjongkok, lalu bersandar pada dinding rumah. Tiba-tiba tubuhnya begitu lemah, tak bertenaga, bahkan untuk berdiri saja sulit. Kata-kata Mando Gapi yang memaksa, berikut ancaman-ancaman yang bernada lunak, ditambah perkara utang-piutang di kedai Dullah, membuat kepala Hasan pening dan telinganya berdenging-denging.

Reza, anaknya yang berumur tiga tahun, muncul dari dalam rumah, menghampirinya, mengusik ketenggelaman dirinya dalam kegamangan.

Hasan menarik tangan anaknya ke dalam pangkuan, membelai-belai kepala bocah itu, sedangkan matanya menerawang jauh dengan pikiran tidak menentu. Dia terjepit antara Mando Gapi dan tentara. Sekarang juga dia harus memetik cabenya!

***

Sudah pasti prajurit yang tinggal di pos pinggir kampung itu mencium gelagat Mando Gapi menyusup ke kampung Buket Kuta. Karenanya para lelaki di kampung terpaksa melarikan diri ke hutan jika tidak ingin jadi bulan-bulanan mereka. Pagi tadi Hasan pulang, setelah teperangkap lima hari lima malam dalam hutan, kurang tidur, gelisah tidak menentu, dan tubuhnya begitu lelah. Di gubuk ditemui Saudah, istrinya, lagi tersedu. Reza, merengek-rengek minta makan.

“Kita tak punya apa-apa lagi, Bang. Beras habis,” ucap Saudah pilu.

Hasan menjawab dengan tatapan pedih. Perutnya juga perih. Bukan hanya wajahnya yang kumuh, otaknya juga lusuh. Hasan begitu geram, tak henti-henti mengutuk perang laknat itu.

Kalau saja hutangnya tidak menumpuk di kedai Dullah, dia pasti sudah melesat ke sana. Namun, dia begitu malu menemui lelaki empat puluhan itu untuk mengutang barang tiga bambu beras dan dua ons ikan asin. Dullah belum tentu bersedia memberikannya sebab hutang lama belum juga terbayar. Hasan membayangkan dirinya tidak akan sanggup menghadapi Dullah yang akan terus-terusan mengeluh rugi pada siapa saja yang datang mengutang.

Hasan tahu, setiap kali sepasukan tentara masuk ke kampung itu, Dullah terpaksa merelakan barang-barangnya, berikut beberapa rupiah uang di laci, yang langsung dikeruk tentara, seolah itu semua milik mereka. Dullah akan menyaksikan penjarahan miliknya di depan mata, tanpa berusaha menentang. Sikap tanpa perlawanan demikian, menyelamatkannya dari siksaan pasukan beringas yang sibuk memukuli dan menendang pantat dua tiga penduduk yang kebetulan sedang berkeliaran di sekitar kedai. Sambil melayangkan tendangan, mereka menunding wajah-wajah kotor petani itu sebagai pemberontak.

***

Hasan membuka kaus kumalnya yang koyak di sana-sini, lalu memukuli kepalanya dengan tangannya yang kekar. Bau pesing, bekas kencing anaknya di lantai tanah itu semakin membuatnya pusing. Dia berpikir keras sambil berjalan mondar-mandir di ruang sempit itu, dan beberapa kali hampir menginjak kaki Reza yang menyebabkannya menjerit.

Saudah membelah dua bagian mentimun yang dibawa pulang suaminya, yang ditemui Hasan di sebuah lading terlantar saat meninggalkan tempat persembunyian. Separuh dari mentimun itu diberikan pada Reza yang membuat anak itu seketika diam. Bocah itu dengan rakusnya mengigiti potongan mentimun itu. Airnya muncrat, meleleh di sekitar mulutnya.

Ketika Hasan duduk di lantai, Saudah datang dengan sebotol minyak tanah. Kulit hitam itu bengkak-bengkak serupa bekas gigitan serangga. Saudah mengoleskan minyak tanah itu ke sekujur badan lelakinya.

Hasan tahu betapa istrinya begitu mencintainya, dan Saudah juga tahu betapa suaminya sangat mencintai dia. Namun, mereka kehilangan cara untuk menanggapi atau menerima. Di tengah kemelut dan penderitaan yang begitu menyesakkan selain dari ketakutan semua perasaan terasa asing, seolah perang tak memberikan ruang sedikit pun untuk cinta.

“Sampai hutan mana Abang lari?”

“Hutan Damar.”

“Jauh sekali?”

“Tentara terus mengejar kami. Pasukan kami memancing tembakan. Mungkin ada tentara yang kena tembak. Laki-laki yang ingin selamat terpaksa melarikan diri bersama kelompok pejuang yang terus menyingkir ke tepi hutan.” Hasan memijit betisnya yang terasa pegal dan menyambung, “Serdadu pemerintah tidak akan memperbedakan lagi raut wajah petani dari wajah pemberontak, bentuk rupa mereka sama. Bau tubuh mereka juga sama, sebagaimana bau tubuh kumuh orang yang jarang mandi. Patutlah tentara mengamuk hari itu. Rupanya kami berhasil menembak salah satu dari mereka.”

Hasan berhenti sejenak dan melayangkan pandangan ke Saudah. “Apa yang mereka lakukan di sini?”

“Orang-orang termasuk anak-anak dikumpulkan di meunasah. Beberapa anak laki dipukul. Menuding-nuding bapak mereka penyebab seorang prajurit terbunuh.” Saudah mendesah.

“Kau diapakan mereka?”

“Cuma dibentak.”

Hasan terdiam sejenak lalu bertanya, “Mereka tak mengambil barang-barang dalam rumah?”

“Tidak. Mungkin tidak ada lagi barang yang akan mereka ambil. Tapi, mereka begitu kesal dan mengamuk. Ternak-ternak yang mereka lihat ditembaki.” Saudah menjelaskan.

“Kambing kita?” wajah Hasan cemas.

“Juga mati.”

“Kau tak memasaknya?”

“Bangkainya mereka bawa.”

Hasan menyentak tubuhnya, melesat lewat pintu. Dia berlari-lari ke kebun belakang, melewati pohon-pohon kelapa yang setahun belakangan ini engan berbuah. Kemarau membuat kuning daun-daunnya, dan banyak pelepah tercampak ke tanah. Hasan berhenti berlari. Kedua tangannya memukul-mukul kepalanya.

“Memang jahanam!”pekiknya. Dia berjalan gontai melewati semak-semak. Di dekat pematang sawah, tumbuh beberapa batang singkong. Sepintas ditatapnya batang-batang padi yang masih menancap ke tanah seperti seikat kecil batang lidi. Daunnya kering. Tanah tempat batang padi itu menancap pecah-pecah, retak di sana-sini. Padahal dia sudah banyak menghabiskan tenaganya untuk membajak dan mengurus tanaman di sepetak sawah itu, belum lagi kerugian biji gabah sebagai bibit yang akhirnya binasa. Tumbuhan padi itu tidak akan menghasilkan apa-apa, selain kurasan tenaga dan seperempat karung gabah yang terbuang sia-sia.

Di kebun singkong Hasan mengepalkan tinjunya dengan geram melihat batang-batang umbi tercerabut. Ada bekas kekasaran terjadi di sana. Tapak-tapak babi hutan itu sebagai bukti. Hasan memaki-maki. Perutnya perih. Dia teringat perut istri dan anaknya.

Akhirnya dibawa pulang juga sisa-sisa singkong yang masih tinggal di dalam tanah, yang tidak bisa dijarah babi hutan. Hasan mengorek sisa-sisa umbi yang masih tertinggal dalam tanah seperti ayam yang mengorek tanah mencari cacing. Umbi-umbi yang masih serupa akar kayu itu memang keras karena belum berisi.

Sesampai di gubug, Hasan menyerahkan ubi hasil korekannya ke Saudah. Dia kemudian merebus akar kayu yang keras itu tanpa bersuara.

Meskipun masih tengah hari, tubuh Hasan menginginkan tidur. Tubuhnya begitu keletihan sekembalinya dari pelarian, ditambah kurang tidur karena tidak ada tempat tidur selama di hutan, ditambah pula perasaannya yang tidak nyaman. Selama lima hari terperangkap di hutan, dia bersama pemberontak dan petani lainnya hanya tidur-tidur ayam. Perasaan cemas selalu menghantui, membuat mereka terjaga sebentar-bentar.

Setelah lama dia membolak-balikkan tubuh di ranjang kamar, mata lelahnya tidak kunjung bisa terpejam. Begitu pula keinginannya bercumbu yang terkadang timbul tak tentu waktu, yang kapan saja bisa berkobar, tak peduli siang, tapi tidak ada nyala gairah sama sekali meskipun istrinya kemudian ikut merebahkan diri di sampingnya.

“Aku mau petik cabai,” Hasan meloncat dari ranjang, lalu menyambar karung kosong di sisi pintu.

***

Sekarang, dengan bersemangat Hasan mondar mandir di antara tanaman cabai mengisi karungnya. Tangan kekar itu agak gemetaran menyambar buah-buah cabai, tidak peduli merah atau hijau. Tangannya seolah begitu terampil, cepat menyambar buah itu pada tiap-tiap batang yang bergelayut. Tetapi, seringkali pula tangan itu menyambar daun, yang disangkanya buah hijau. Kadangkala buah busuk yang tangkainya masih menempel di dahan ikut terenggut dalam genggamannya. Dia berusaha memusatkan pikiran pada pekerjaannya, tapi sering gagal. Selalu saja ada bayangan menganggu yang berkitaran tak jauh darinya.

Hasan sendiri di sana, lenyap dalam kesunyian senja. Seraya memetik cabai, seringkali dia tebarkan pandangannya ke sekeling begitu dirasakan ada sosok lain yang hadir, seolah telah berdiri di belakangnya selayak hantu. Dia begitu khawatir kalau tiba-tiba sepasukan tentara sudah berdiri mengelilinginya—itu kerap terjadi karena pasukan pengintai sering mengendap di semak-semak selama berjam-jam dan muncul tiba-tiba tanpa menimbulkan suara.

Para prajurit tidak akan percaya lagi kalau dirinya cuma seorang lelaki ladang. Sekalipun petani, di petang hampir gelap semacam ini tidak ada lagi yang berkeliaran di ladang. Kecuali pemberontak kelaparan yang sedang mencuri tanaman petani.

Hasan ingin lekas-lekas menyudahi pekerjaannya. Tangganya itu begitu cepat menyambar, tanpa peduli pucuk-pucuk cabai muda yang ikut terengut. Dia tahu, harga cabai lagi mahal. Kalau buah-buah cabai itu habis dipetiknya maka dia bisa menukarkan dengan satu karung beras, cukup bagi keluarganya untuk bertahan selama sebulan, tanpa perlu mendengar keluhan istri dan rengekan anaknya yang minta makan.

Jalur pokok cabai yang sudah dipetik itu bagai dijamah binatang liar. Batang-batangnya patah, dan beberapa buah berserakan di tanah bersama daun-daunnya yang gugur dan tercerabut dari tangannya. Hasan menyadari kerusakan tanaman cabainya itu, dia tahu daun-daun pada cabang-cabang yang patah itu nantinya akan layu berguguran.

Terasa begitu lambat pekerjaan itu, dan waktu begitu cepat melesat. Kini buah masak, hijau, bahkan putik dan busuk masuk ke dalam karung. Nanti malam di rumah dia bisa memisahkannya dari buah yang bagus. Karung itu sudah penuh. Hasan segera bangkit. Dadanya berdebar-debar begitu disadari hari sudah meremang. Perasaannya bercampur aduk antara senang dan ketakutan. Terbayang pula istri dan anaknya yang menunggunya dengan cemas membawa pulang beras.

Secepatnya dia mengikat mulut karung itu dengan tali plastik bekas. Lalu menyeretnya di jalan setapak yang diapit ilalang tebal. Matanya menyebar ke segala arah. Sengaja dia tidak memikul karung itu supaya tidak kelihatan jika ada orang yang menengoknya dari jauh. Hasan berjalan mengendap-endap sambil menyeret karung cabainya.

Ketika melalui jalan setapak yang terhalang semak-semak tinggi, Hasan bisa berjalan tegak dan merasa lega. Kalaupun ada orang di kejauhan sana, mereka tidak akan melihatnya. Hutan belukar di sekeliling melindunginya dari pandangan orang-orang.

Hasan teringat istri dan anak. Dia sadar bahwa meskipun apa yang terjadi dia harus tetap ke ladang, menanam padi, singkong, dan cabai. Padi dan singkong bisa dimakan. Cabai dijualnya pada Bang Dullah. Jika kena harga, istrinya bisa belanja ke Pasar Idi, beli baju, dan barang-barang lainnya. Dia tidak mau ikut-ikutan berperang dengan hidup tidak menentu. Keinginannya cuma sederhana, hidup bahagia,seadanya, bersama istri dan anaknya.

Sekonyong-konyong, seperti bayangan hantu berkelebat, beberapa sosok berpakaian loreng menyergapnya dekat semak-semak situ. Tentara. Hasan terkesiap, karung cabai di tangannya terlepas. Sebelum suaranya sempat keluar, sesuatu yang keras telah menghantam tengkuknya dengan begitu kuat. Hasan langsung rubuh terjerembab ke tanah. Tubuhnya tidak berkutik lagi.

***

Choose Site Version
English   Indonesian