Click here for:

Robodoi, Bajak Laut dari Tobelo

Yudhi Herwibowo was born in Palembang, South Sumatra, but grew up in Tegal (Central Java) and Kupang (East Nusa Tenggara). He now lives in Solo (Central Java) and manages BukuKatta, a home publishing and printing company. He graduated with a degree in architecture, but he finds writing short stories and novels compelling. His stories have been published in Koran Tempo, The Jakarta Post, Jawa Pos, Media Indonesia, Suara Merdeka, Horison, Femina, and Esquire. His novels are Cameo Revenge (Grasindo, 2015), Halaman Terakhir (Noura Books, 2015), Miracle Journey (Elex Media Komputindo, 2013), Enigma (Grasindo, 2013), Untung Surapati (Tiga Serangkai, 2011), Lama Fa (Sheila, 2010), and Pandaya Sriwijaya (Bentang, 2009).

Find his writings at yudhiherwibowo.wordpress.com. Reach him at hikozza@yahoo.com.

Copyright ©2017 by Yudhi Herwibowo. Published with permission from the author. Translation copyright ©2017 by Oni Suryaman.

 

 

Robodoi, Bajak Laut dari Tobelo

 

Apakah ini hari-hari terakhirku?

Robodoi termenung sambil mengeja kata-kata itu dalam hati. Malam ini di kesendiriannya di tepi pantai, ia merasakan semua pertanda seakan mengarahkan ke hari-hari terakhir itu. Kerlip bintang-bintang di angkasa yang makin meredup, bisik angin yang makin tak terdengar di telinga, dan udara yang makin terasa terbatas dihirupnya. Semuanya seperti mengarah ke titik penghabisan. Tubuhnya pun bahkan terasa menggigil karena tamparan-tamparan angin malam yang seperti mampu menusuk ulu hatinya. Sesuatu yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Walau ikarena semua tahu, sejak dulu pertanda-pertandalah yang mengantar jalan hidupnya hingga sampai seperti sekarang.

Robodoi, berasal dari Tobelo, sebuah daerah di Pulau Halmahera Utara. Ia laki-laki yang lahir saat langit tanpa bintang. Waktu itu tahun 1785, hanya ada bulan sabit yang nampak di atas sana, bersama angin dingin yang seperti berniat membekukan semua yang ada, dan kesenyapan terasa paling sempurna. Orang-orang desa kemudian berbisik-bisik, “Malam seperti ini adalah waktu yang tak diinginkan bagi sebuah kelahiran. Bayi-bayi akan mudah mati. Namun bila ia bertahan, ia akan menjadi sangat kuat.”

Ucapan itulah juga yang selalu diucapkan Papa Tatto – begitu Robodoi memanggil ayahnya – bertahun-tahun kemudian. Awalnya, Robodoi tak pernah benar-benar mengerti arti ucapan itu. Namun semakin dewasa, ia mulai mengamini ucapan itu, hingga hari ini, saat usianya telah begitu menua.

Lalaba, salah satu kawan seperjuangan Robodoi selama ini, yang sejak tadi duduk di sudut yang lain, melangkah perlahan mendekat. Sejenak ia duduk dalam diam, sengaja tak ingin menganggu kediaman Robodoi. Ia hanya menoleh sejenak memandang wajah orang yang hampir sepanjang hidup diikutinya. Membiarkan angin memainkan anak-anak rambutnya yang panjang, sambil sesekali menampar-nampar tubuhnya yang makin menua. Entahlah, di suasana seperti ini, ia seperti bisa merasakan apa yang sedang dipikirkan Robodoi. Kesendirian ini seperti telah mengikis semua semangat yang dulu membuncah. Mungkin itu karena tak ada lagi Yoppi, dan Pilatu, kawan-kawannya yang dulu selalu bersama.

Lalaba akhirnya menyentuh pundak Robodoi. Membuat laki-laki itu menoleh perlahan. Di bawah sinar bulan, kerut-kerut keriput wajah di depannya itu seperti tak lagi bisa di sembunyikan oleh malam. Lalaba sendiri sebenarnya sudah setua Robodoi, namun wajah pimpinannya ini nampak jauh lebih tua darinya.

“Semua sudah usai,” ucapan Lalaba  terdengar pelan.

Robodoi merasakan suara itu begitu jauh. Namun walau begitu, ngiangnya seperti tak pernah selesai terdengar di telinganya.

***

Semua sudah usai….

Itu ucapan yang tak pernah terbayangkan oleh Robodoi. Sejak bocah, garis hidupnya seakan sudah diarahkan pada satu titik. Robodoi ingat, saat ia berusia tujuh tahun, Papa Tatto membawanya ke tepi pantai. Didudukkan tubuh kecilnya di rakit bambu. Lalu Papa Tatto menarik rakit itu ke tengah lautan dengan perahu. Setelah dirasa cukup jauh, Papa Tatto kemudian melepaskan ikatan rakit itu.

Itu adalah pertama kalinya Robodoi merasakan ketakutan yang begitu menulang. Ombak terus menghempas rakit berulang kali. Membuat tubuh seakan tertampar berkali-kali. Beberapa kali ia nyaris jatuh, namun masih bisa memegang tepian rakitnya. Inilah yang membuat tenaganya habis. Pada akhirnya, ia tak lagi bisa menahan tubuhnya saat ombak besar kembali datang. Tubuhnya terpelanting dari rakit. Air asin tak henti masuk ke mulutnya, membuat rasa perih di tenggorokannya. Ombak semakin bersemangat, kali ini diikuti pusaran air yang seperti menarik-narik kakinya. Ia hanya bisa terus meggapai dengan sisa-sisa tenaganya. Di saat-saat terakhir itulah, ia berhasil meraih kembali rakitnya.

Ketika pada akhirnya Robodoi tiba di pantai dengan tubuh lunglai, Papa Tatto hanya berujar pelan, “Kalau kau selamat kali ini, itu bukan karena kau hebat. Kau hanya beruntung. Karena lautan tak akan pernah bisa kau kalahkan!”

Robodoi terdiam memandang wajah Papa Tatto yang mendekat.

“Maka itu… jadikan laut sebagai sahabatmu,” ujar Papa Tatto sambil menepuk pundaknya. “Dengan begitu, ia tak akan pernah menenggelamkanmu!”

Sekarang, Robodoi ingat bagaimana Papa Tatto mengajaknya pertama kali dalam perahu. Ia tak banyak bertanya kala itu, namun ketika Papa Tatto menyerahkan sebatang tombak padanya, ia sadar kalau ini tentu bukan sesuatu yang biasa.

Robodoi telah tahu sejak lama bila Papa Tatto menjadi anak buah Sultan Nuku. Itu adalah sebutan bagi pemimpin Kesultanan Tidore, Muhammad Amiruddin. Sejak lama, kesultanan itu memang tengah berperang melawan VOC, kongsi dagang milik Kerajaan Belanda yang sejak lama berdagang di kepulauan itu. Maka itulah, darah Robodoi segera mendesir ketika Papa Tatto menyuruhnya bersama beberapa pemuda lainnya menuju lautan.

Masih benar-benar diingatnya saat itu. Sebuah kapal pedagang budak Iranun membawa puluhan budak-budaknya menuju Sape, sebuah daerah di kepulauan Nusa Tenggara.

Awalnya Papa Tatto memerintah Robodoi dan pemuda-pemuda lainnya untuk menunggu. Papa Tatto sepertinya ingin menunjukkan ia dirinya dan perahu-perahu lainnya menghancurkan kapal pedagang budak itu dan merebut budak-budak yang ada.

Tapi ternyata suasana saat itu benar-benar tak bisa dikendalikan. Teriakan-teriakan penuh semangat, panah-panah yang mulai mengisi langit, membuat dada Robodoi dan pemuda-pemuda yang ada di atas perahu ikut bergejolak. Apalagi saat sebuah tembakan meriam mulai mengarah pada perahu mereka.

Mau tak mau Robodoi dan pemuda-pemuda lainnya meluncur ke tengah peperangan. Itu adalah peperangan pertama Robodoi. Napasnya seakan terhenti saat perahu yang ditumpanginya mulai meluncur. Teriakan pemuda-pemuda lainnya mengalahkan debur ombak, bagai teriakan burung-burung bangkai di kala menemukan mayat. Seiring itu panah-panah menyebar ke langit, bersamaan desingan senapan-senapan yang memekakkan. Lalu tak lama berselang, orang-orang dari perahu berhasil melompat ke atas kapal musuh yang jauh lebih tinggi. Teriakan-teriakan kematian kemudian memecah tak lagi bisa dibedakan, diakhiri pekikan-pekikan kemenangan.

Ini adalah hari yang menentukan. Tombak yang selama ini dikenal Robodoi hanya untuk berburu binatang hutan dan ikan, kini merasakan tubuh-tubuh musuh yang hangat. Darah yang sempat mengalir nampak mengering dan hitam. Sungguh, kematian seakan telah diciptakan untuknya.

Dan kemenangan selalu menjadi candu. Kemudian Sultan Nuku semakin terdesak oleh orang-orang berkulit pucat itu. Setelah Papa Tatto tewas di sebuah pertempuran, Robodoi memutuskan pergi bersama orang-orang yang tersisa, yang dulu megikuti ayahnya. Mereka kemudian berpindah-pindah tempat selayaknya orang buruan; mencoba membaur dengan penduduk desa yang ada di beberapa tepian pantai, lalu pindah lagi ke Raja Ampat.

Tapi lautan selalu memanggil Robodoi. Ya, sejak ucapan Papa Tatto padanya semasa kanak-kanak dulu, diam-diam Robodoi sudah menjadikan laut sebagai sahabat terbaiknya. Secara teratur ia manaiki sampan kecil untuk sekadar menikmati angin dan ombak laut. Ia juga tetap menghabiskan waktunya berenang ke kedalaman laut, untuk sekadar melihat aneka ikan-ikan dan gua-gua yang belum didatangi sebelumnya. Lebih dari itu, ia mulai memberi persembahan kepada laut, entah itu berbentuk kepala kerbau atau pun kepala sapi yang masih segar. Maka itulah, Robodoi merasakan bila dirinya dan laut seperti memiliki ikatan yang tak bisa dipahami orang lain.

Robodoi benar-benar tak pernah bisa meninggalkan lautan. Ia mungkin bisa menjauhinya beberapa bulan saat bersembunyi dari kejaran musuh, terutama kapal-kapal Belanda. Tapi itu seperti menahan kerinduan pada seorang kekasih. Ia rindu saat-saat mendorong perahunya ke pantai. Ia rindu dayungannya yang membelah lautan. Percikan-percikan air laut di wajahnya, seperti mampu membuat semangatnya membuncah. Juga teriakannya yang memecah langit, yang akan segera diikuti oleh semua anak buahnya. Sungguh, itu adalah hidupnya. Dan tak ada satu pun yang bisa mengekangnya, walau dirinya sendiri.

Maka di waktu-waktu tertentu, Robodoi bersama beberapa orang yang ia pikir sejalan dengannya, mulai mengendap-ngendap mengeluarkan perahu yang selama ini disembunyikan ke hamparan lautan.

Itu adalah cara Robodoi dan kawan-kawannya bertahan hidup. Awalnya, tak ada orang-orang desa yang mengetahui rahasia itu. Namun semua berubah saat Robodoi berhasil mendapatkan harta karun dalam rampokannya yang jumlahnya tak sedikit. Beberapa guci berisi emas dan perhiasan mahal.

Dari situ Robodoi mampu membeli duabelas perahu dan juga perlengkapan yang lebih lengkap. Ia bahkan mampu membeli beberapa meriam dan mulai berani mengajak pemuda-pemuda pengangguran untuk bergabung bersamanya.

Maka beberapa bulan berselang saja, Robodoi sudah merampok beberapa kapal milik pedagang Gujarat dan China. Ia bahkan berani menghancurkan beberapa kapal Belanda yang sedang melakukan patroli. Tak heran, bila hanya beberapa bulan saja namanya sudah menjadi momok menakutkan.

Ia berdiri di atas perahunya, memandang sepuluh kapal besar di hadapannya. Itu adalah kapal-kapal Belanda yang nampaknya baru datang di lautan ini. Mereka nampak tak peduli melihat kehadiran puluhan perahunya. Barulah saat ia memerintahkan serangan, dan ratusan panah meluncur ke langit, nampak kegelisahan di atas kapal. Meriam-meriam segera dipasang, dan serdadu-serdadu mulai mengeluarkan senapan untuk mulai balas menembak.

Tapi mereka terlambat. Yoppi dan Pilatu yang memimpin perahu-perahu dari arah belakang kapal-kapal itu, sudah menyusul serangan. Hanya butuh beberapa saat saja, lautan dipenuhi mayat-mayat yang mengambang hampir di semua penjurunya. Itu adalah mayat-mayat musuh-musuhnya dan anak buahnya.

Gara-gara perang itulah, namanya semakin berkibar. Orang-orang datang, dan meminta bergabung dengannya. Tak heran, sebulan sejak perang besar itu sudah ada 400 orang lebih yang mengikuti perintahnya. Orang-orang yang diyakininya, siap mati untuknya.

Kini, bukan lagi kapal-kapal kecil yang menjadi incaran Robodoi. Semua kapal tak lagi membuat mereka takut. Ia pernah mengalahkan kapal-kapal Gujarat dan kapal-kapal China, bahkan kapal-kapal Belanda yang dikenal memiliki banyak meriam. Perang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi mereka semua.

Tapi tentu saja, sepanjang tindakan itu, Robodoi tak selalu beruntung.

Pernah dalam sekali, pasukan dari  Kesultanan Ternate berhasil menangkapnya. Namanya sebagai perusuh, nampaknya sudah membuat pihak kesultanan gerah, hingga mengirim pasukan khusus untuk menangkapnya.

Untungnya saat pihak Kesultanan Ternate akan membawanya ke daratan, anak buahnya berhasil menghadang kapal mereka. Pilatu, Yoppi dan Lalaba yang memimpin perahu-perahu itu.

Maka tak bisa dihindari lagi, peperangan di dekat pantai pun terjadi. Beberapa tembakan meriam sempat saling dilepaskan. Namun karena jumlah perahu-perahu Robodoi lebih banyak, pasukan Kesultanan Ternate kemudian memilih menyerah.

Robodoi dapat bebas saat itu. Namun ia yakin, pihak Kesultanan Ternate pastilah akan sesegera mungkin membuat rencana lain yang lebih besar untuk menangkap dan menghancurkannya. Maka Robodoi memutuskan untuk menepi sejenak. Ia membawa semua pengikutnya ke daerah di tepi SulawesiTimur. Ia mencoba pergi sejauh mungkin dari jangkauan Kesultanan Ternate. Namun tentu saja, sepanjang perjalanan itu, Robodoi sama sekali tak menghentikan upaya untuk menaklukkan kapal-kapal lain di lautan.

Robodoi memandang Lalaba. Teman akrabnya tetap duduk di sampingnya. Lalaba adalah orang yang paling berhati-hati di antara semua pengikutnya. Dia terlalu banyak berpikir, hingga kadang terlihat seperti penakut. Saat kawan-kawan yang lain penuh semangat untuk mengangkat senjata, ia selalu berucap berbeda dari lainnya.

Pernah suatu kali, Lalaba berkata dengan suaranya yang terdengar lembut seperti suara perempuan, “Sekarang kita semua harus memahami. Kini, semua sudah berubah. Apa kalian tak menyadari kalau kita sudah terlalu besar? Penduduk mulai menjauhi kita. Kita tak lagi bisa membaur bersama mereka.”

“Kita akan hidup dimana pun tempatnya, Lalaba!” Yoppi memotong cepat.

“Dengar,” ujar Lalaba lagi. “Kita sudah berkali-kali mengacaukan kapal-kapal orang-orang berkulit pucat itu. Mereka memang nampaknya tak terlalu menanggapi tindakan kita. Tapi aku yakin mereka pastilah sedang melakukan sesuatu yang besar untuk membalas itu semua. Sudah kudengar kapal-kapal mereka mulai berdatangan menuju perairan ini.”

Pilatu dan Yoppi tertawa berbarengan.

“Bukankah mereka selalu datang?” ujar Pilatu. “Dan bukankah kita pun selalu bisa menghancurkan mereka?”

Lalaba terdiam, ia mengalihkan padangannya pada Robodoi seperti meminta dukungan.

Tapi Robodoi rupanya lebih setuju dengan pendapat Pilatu dan Yoppi. Sudah berkali-kali mereka mengalahkan orang-orang bermuka pucat itu. Beberapa kapal yang kini digunakan bahkan merupakan kapal yang direbut dari mereka.

Robodoi memang tak pernah takut dengan kapal-kapal milik orang-orang berkulit pucat itu. Walau kapal mereka besar dan diisi dengan banyak meriam di sisi-sisinya, gerakannya sangat lambat. Hanya dengan satu kali perintah penyerangan saja, Robodoi bisa menaklukkan kapal-kapal mereka.

Tapi dugaan Lalaba ternyata tak keliru. Kedatangan kapal-kapal orang berkulit pucat itu kali ini bukan seperti sebelumnya. Ada beberapa kapal yang datang sekaligus dengan bendera Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Dan kapal-kapal itu ternyata dapat bergerak dengan lebih cepat.

Hanya dengan satu penyergapan saja, mereka berhasil menghancurkan duabelas perahu milik Robodoi. Tak terhitung lagi banyaknya anak buah Robodoi yang tewas dalam pertempuran itu.

Kemarahan Robodoi memuncak.  Ini adalah kekalahan paling memalukan.

Robodoi kemudian memerintahkan untuk membeli beberapa perahu lagi. Ia kembali menyusun serangan balasan. Saat seorang pengikut melaporkan sebuah kapal berbendera Angkatan Laut Kerajaan Belanda nampak terpisah di daerah Raja Ampat, Robodoi tak menyia-nyiakan kesempatan ini.

Malam itu juga, di bawah perintahnya secara langsung, Robodoi segera memerintahkan menyerang kapal itu. Yoppi dan Pilatu memimpin perahu-perahu lainnya untuk menyebar membentuk setengah lingkaran. Sedang perahu Robodoi dan Lalaba mengarah lurus ke depan.

Anehnya, kapal Belanda di depan nampak tak berupaya melarikan diri. Padahal jelas keadaanya telah terkepung. Mereka bahkan nampak tak terlalu kebingungan. Saat Robodoi mulai mengangkat tangannya sambil berteriak,“Sera-a-a-ngg!” ratusan panah lepas memenuhi langit. Hanya satu-dua kali saja terdengar dentuman  meriam sebagai balasannya. Robodoi langsung menebak, kalau tak banyak orang dalam kapal itu. Hanya beberapa saat saja, Robodoi sudah menaklukkan kapal itu. Namun saat mereka akan menaiki kapal untuk mengangkat meriam-meriam dan mesiu-mesiu dari kapal itu, tiba-tiba saja muncul kapal-kapal Belanda lainnya, yang entah datang dari mana, sudah mengepung mereka dalam sebuah lingkaran besar.

“Perangka-a-a-p!” Pilatu berteriak lantang. Mereka segera mencoba kembali ke perahu masing-masing. Tanpa menunggu perintah mereka mencoba menyebar ke segala arah, membuat musuh kebingungan memilih sasaran.

Namun meriam kapal-kapal Belanda itu dengan mudah menghancurkan beberapa perahu terdekat.

Malam tiba-tiba saja menjadi sangat mengerikan. Dalam pelariannya, Robodoi masih bisa melihat beberapa mayat pengikutnya yang hancur mengambang di lautan yang mulai memerah karena darah.

***

Robodoi terdiam dikesendiriannya di tepi pantai. Dibiarkannya angin berhempus pelan pada keriput di wajahnya.

“Semua sudah usai,” ucapan Lalaba terdengar pelan seperti menelisip di telinganya.

Lalu lanjutnya, “Semuanya sudah menyerah. Kita tak lagi bisa melakukan perlawanan. Pelarian ini sudah begitu melelahkan.”

Robodoi tak menyahut. Lalaba ada di sebelahnya, tapi suaranya terasa begitu jauh. Ini karena ia sudah merasa sangat lelah. Ia tak lagi ingat sudah berapa tahun melarikan diri. Orang-orang berkulit pucat itu seperti tak pernah merasa lelah memburunya. Padahal sudah beberapa tahun ini, ia tak lagi membajak seperti dulu.

Robodoi memejamkan mata. Akhirnya, semua yang diucapkan Lalaba memang benar adanya. Sedikit ia menyesal, kenapa beberapa tahun lalu tak menanggapi ucapannya saat ia meminta dukungannya.

Kini, Robodoi hanya bisa menarik napas panjang. Sepertinya ia memang tak punya pilihan lain. Semua sudah berubah. Laut memang masih menjadi sahabatnya yang terbaik, tapi ketuaan ini tak lagi bisa ditolaknya.

***

Maka akhirnya, dengan ditemani oleh Lalaba, Robodoi memutuskan pergi menuju Tobungku, salah satu daerah di Kesultanan Ternate. Waktu itu tahun 1852, beberapa anak buahnya masih mengawal dirinya, walau ia sudah berkali-kali menyuruh mereka pergi. Ia tahu, mereka sebenarnya sudah begitu lelah, namun mereka masih mencoba tetap setia padanya.

Namun saat tiba di Tobungku, orang-orang Kesultanan Ternate mengirimkan empatbelas buah kora-kora, perahu perang khusus Namun anehnya, di tengah perjalanan mereka memisahkan Robodoi dari semuanya. Mereka bahkan kemudian menutup mata Robodoi dengan kain hitam dan mengikat erat kedua tangannya ke belakang badannya.

Robodoi mulai merasa tak enak. Namun tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Tanpa banyak bicara, orang-orang Kesultanan Ternate itu menggiringnya. Ia rasakan bila mereka membawanya ke atas sebuah kapal yang besar.

Lalu setelah beberapa lama tak terjadi apa-apa, seseorang akhirnya membuka kain penutup mata Robodoi dengan kasar.

“Jadi ini orang yang menyusahkan kita selama ini?” seorang berkulit pucat menatapnya dengan seringai yang tak hilang-hilang dari bibirnya.

Robodoi memandang ke sekelilingnya. Hanya ada beberapa laki-laki berkulit pucat dengan seragam biru putih yang tengah tersenyum mengejek padanya. Beberapa dari mereka bahkan menyorongkan senapan ke arah kepalanya. Ia kemudian sadar kalau Kesultanan Ternate ternyata bersekongkol dengan orang-orang Belanda untuk menangkapnya. Ini membuat amarahnya meluap. Kepalan tangannya mengencang. Walau ia tahu ada hubungan Ternate dengan Belanda, namun ia benar-benar tak pernah berpikir mereka menyerahkan dirinya pada Belanda.

“Kau tahu kenapa kami membawamu ke sini?” Lelaki pucat yang nampaknya pemimpin di kapal ini kembali menyeringai padanya. “Karena kau hanya pantas mati di lautan!” Sambil mengucapkan kalimat itu, ia mengangkat senapan pendeknya dan menembakkannya di paha Robodoi.

Seketika saja tubuh Robodoi terjengkang dari sisi kapal, dan jatuh ke dalam lautan, diiringi tawa dari atas kapal.

Sejenak, tubuh Robodoi tenggelam. Rasa perih dari titik di mana peluru bersarang di pahanya dengan mudah menyebar ke seluruh tubuhnya. Air di sekelilingnya mulai memerah.

Ombak kembali menghempaskannya berulang-kali. Seketika air laut menyapu wajahnya, Robodoi menarik nafas dan menyerahkan tubuhnya pada ayunan ombak. Dalam keadaan seperti ini, kilasan-kilasan  masa lalunya seakan hadir dengan cepat. Bagaimana saat pertama kalinya ia mengayun rakit dengan tangannya menuju lautan, lalu petualangannya yang menyenangkan saat menyelam di antara ikan-ikan yang indah dan gua-gua yang gaib. Juga teringat peperangan-peperangan yang dilakoninya hampir sepanjang hidupnya. Robodoi yakin, lautan adalah sahabat terbaiknya sejak lama. Bila hari ini laut ingin menelannya, ia akan membiarkannya dengan ikhlas. Maka ketika sekali lagi ombak menerpanya dan menghantam tubuhnya kembali ke dalam lautan, Robodoi memejamkan matanya. Ia yakin, laut tak akan mencelakakannya.

***

 

 

 

 

 

 

 

 

Choose Site Version
English   Indonesian