Click here for:

Cerita di Balik Tenun Ikat

Fanny J. Poyk graduated from the Jakarta Institute of Social and Political Science, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta (IISIP). She started writing in the early 1980s for magazines and newspapers. From 1994 to 2004, she was a journalist for Tabloid Fantasi, a media consultant for a high school mentoring program at the Indonesian Department of Education and Culture, and editor in chief at Majalah Sastra Komodo Courier and Majalah Orchid Magazine. Fanny’s short stories have been published in Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Pikiran Rakyat, Surabaya Post, Suara Karya, Timor Expres, and Kompas. In 2016, one of her stories was selected as one of Kompas‘s 20 best stories of the year.

Fanny can be reached poykfanny10@gmail.com.

Copyright ©2018 by Fanny J.Poyk. Published with permission from the author. Translation copyright ©2018 by Laura Harsoyo.

 

 

Cerita Di Balik Tenun Ikat

 

Bapa Tua Hermanus Messakh duduk termenung di depan rumah bebaknya yang terbuat dari anyaman bambu. Di depannya lima ekor babi dan ayam bergerak bebas ke sana-kemari. Beberapa ekor babi sudah dijualnya di rumah makan Bambu Kuning untuk dibuat menjadi daging se’i. Ya, daging asap khas kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, sangat laris dan disukai masyarakat sekitarnya. Beberapa ekor ayam kampung peliharaannya mati, konon ayam-ayam itu diracun orang karena Bapa Tua terlalu pelit untuk membagikan telur-telurnya ke penduduk sekitar.

“Eeee Bapa eee…itu ayam su batalor, kasih beta satu telur sa untuk sarapan ini pagi,” pinta Pinto Mauk, tetangga pengangguran yang doyan minum sofi, minuman berasal dari pohon lontar yang sudah diragi.

Bapa Tua marah sekali.  Hardiknya, “Lu pi sana, kerja cuma mabok mau makan enak terus!”

Pinto diam, namun di hatinya ia agak tersinggung. Dengan langkah limbung ia keluar dari rumah bebak Bapa Tua, berjalan ke kebun lontar milik David Taka. Dia hendak meminta satu buah gula lempeng yang dimasak isteri David, Mini. Lalu, keesokkan harinya, ayam-ayam Bapa Tua Hermanus Messakh beberapa mati. Dan sasaran utama yang menjadi tertuduh, Pinto. Lelaki pemabuk sofi itu terbengong-bengong tatkala Bapa Tua Hermanus Messakh menuduh dia yang membuat mati ayam-ayamnya.

Lu mangaku sudah, kamu yang membuat ayamku mati,” tuduh Bapa Tua.

Pinto berdiri, tapi masih terlihat limbung, pengaruh minuman keras sofi masih menghiasi otaknya. Matanya menatap Bapa Tua dengan kuyu. “Sambarang sabeta tidak membuat ayam-ayam Bapa mati. Beta cuma mau minta telor satu sa, tapi Bapa sonde kasih, jangan salahkan beta kalau ayam-ayam itu mati, beta sonde tau itu binatang makan apa,” ujar Pinto dengan kesadaran yang masih berada di angka lima puluh persen.

Bapa Tua Hermanus Messakh hanya diam, mungkin dia berpikir tak ada gunanya bertengkar dengan orang yang sedang mabuk. Dia berkata dalam hati, esok dia akan membawa beberapa ayam-ayamnya yang masih sehat ke pasar untuk dijual. Semua uang yang terkumpul nanti, akan dia belikan tenun ikat di toko Enci Yulia yang terletak di tepian Pantai Tode Kisar dekat Kota Tua Kupang.

***

“Untuk apa Bapa Tua beli kain tenun ikat?” tanya keponakannya Eben Messkah.

Lebe baek kumpul tenun ikat dari pada piara ayam, kain-kain itu akan beta jual di depan Hotel Yulia, dekat Pasar Koenino sana. Banyak orang bule menginap di sana, nanti beta bisa dapat untung lebih banyak dari pada piara ayam,” ujar Bapa Tua Hermanus Messakh masih dengan nada geram.

Kini, di ruang tamu rumahnya, sudah terkumpul dua puluh tenun ikat dari beragam kabupaten yang ada di NTT. Bapa Tua Hermanus Messakh membelinya di kampung Oesao dan desa Kefa dan Soe. Di kedua desa itu dia mencari penenun kampung yang mahir mencampur bahan-bahan pewarna alami agar tenunan terlihat kuno. Kata Bapa Tua Hermanus pada sang keponakan, Eben Messakh, “Ini tenun paling bagus di Soe, harganya mahal karena dibuat dari bahan-bahan alami yang ada di hutan-hutan di sana. Lu lihat, dia sonde luntur pas dicuci, warnanya juga tahan lama. Nanti, beta mau beli lebe banyak lagi, biar dapat untung lebe besar.”

***

Dalam beberapa bulan, Bapa Tua semakin tergila-gila pada tenun ikat ketika seorang nyonya Cina kaya asal Jakarta memborong seluruh jualannya. Bapa Tua lalu menjalin persahabatan dagang dengannya. Ia mengantar sang nyonya ke perajin tenun yang ada di seluruh Kupang, Oesao, Kefa, Soe, Timor Tengah Selatan hingga Belu yang berbatasan dengan Timor Leste. Setiap dagangannya habis, dengan mata berbinar ia tunjukkan uang hasil berdagang itu pada sang keponakan.

Si Bapa Tua mengutarakan niatnya untuk membeli tenun ikat Timor Tengah Selatan dan juga desa Belu lebih banyak lagi. Tenun-tenun dari dua desa itu terkenal dengan warna-warninya. Ia benar-benar tidak sempat lagi pada kegiatannya semula, berdagang minuman tuak dari pohon lontar, ayam kampung dan ternak babi. Semua peliharaannya itu diserahkan pada Eben Messakh sang kemenakan dengan perjanjian bagi hasil, 60 buat Eben, 40 untuk dirinya.

Beta adil kan? Lu dapat hasil yang lebe banyak,” katanya sembari memamah sirih, seluruh bibir juga giginya berwarna jingga karena sirih. Dengan menyirih Bapa Tua senang, sebab ia tak perlu menyikat gigi dengan odol lagi. “Irit toh? Menyirih itu sehat, gosok gigi dengan odol buat gigi keropos,” katanya selalu.

Eben Messakh, sang keponakan yang pengangguran namun telah memiliki dua anak, menganggukkan kepala tanpa membantah. Lelaki bertubuh gempal berusia sekitar tiga puluh tahun ini, mungkin otaknya telah berkarat karena meminum sofi. Sudah sejak memasuki usia akil balik, ia melakukan itu. Tanpa sofi hidupnya merana. Ia juga harus rela isterinya menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia.

Bapa Tua Hermanus Messakh selalu berpesan padanya untuk rajin-rajin membaca koran. Katanya, “Hee… kamu jangan pasang muka bodoh terus, pergi ke pasar Koenino, jadi tukang parkir di jalan biar dapat duit. Minum sofi terus otakmu akan berkarat. Bagaimana mau kasih makan kau punya anak-anak? Tiap hari lu juga harus baca koran, lu lihat pengumuman di koran, jangan sampai ada pengumuman binimu mati dengan isi perut kosong baru dibawa pulang. Lu jangan enak-enak saja, jadi TKI itu berat. Lu harus malu jadi laki-laki, jangan cuma bisa piara itu burung dan minum sofi saja.”

Eben Messakh menggerutu dalam hati. Anting di telinga kirinya berpendar kala tertimpa cahaya rembulan, tatto bergambar rajawali dan naga di kedua pangkal lengannya bertengger gagah, perkasa dan kekar. Kala dia berjalan lengkap dengan topi baseball yang bertulis freedom, Eben kian merasa dia mahluk kota besar yang sangat bergaya seperti yang dia lihat di layar televisi kala menonton Bruno Mars menyanyi. Sang Paman kerap dibuatnya kesal.

Lu pikir, lu su jadi penyanyi kah? Tiap hari minum sofi, lu kira lu sudah yang paling gagah di seantero Kupang. Sana, pergi ke pasar, lu jual telur-telur ayam ini!”

Tetapi tenun ikat kemudian menemukan jalannya yang cukup memilukan. Tatkala Bapa Tua Hermanus Messakh kembali ke tempat para perajin tenun, dia terkejut melihat nyonya Cina asal Jakarta sudah memborong seluruh tenun yang menjadi langganannya. Bapa Tua melalui tatap mata tuanya memandang nanar ketika semua tenun sudah tidak ada lagi.

Tenun ikat terbaik yang dibuat dari bahan-bahan alami bermutu tinggi, sudah dibawa ke Jakarta, di sana kain-kain itu akan dijadikan pakaian adibusana oleh para perancang papan atas. Selanjutnya perjalanan sang tenun yang telah berubah wujud menjadi pakaian kelas atas itu, akan diusung pada pameran pakaian adibusana musim semi dan panas di Paris, Milan, New York hingga Hongkong. Andai saja Bapa Tua Hermanus Messakh tahu harganya, dia akan pingsan sebelum kembali ke rumahnya.

Lalu, sambil berjalan pulang, Bapa Tua Hermanus menggerutu sendirian, “Eeee…tahu begitu beta sonde kasih tahu itu rumah-rumah penenun ke Aci Jakarta, beta manyasal.”

Sejak itu, Bapa Tua Hermanus Messakh, tak pernah mau tahu lagi tentang kisahnya bersama tenun ikat.

Eben Messakh sang keponakan, kali ini bisa berpikir lurus sedikit, ia melihat pamannya yang sedang murung lalu berkata, “Bapa eee…beta su bilang kalau Bapa jangan tarlalu percaya deng orang-orang Jakarta. Mereka suka baku tipu. Lebe baek kita bikin sofi, kita jual ke warung-warung kopi di Pantai Tode Kisar, untungnya lebe besar, kalau mereka mabok, itu sudah biasa. Biarkan saja.”

Bapa Tua Hermanus Messakh membisu.

Esoknya, kampung Oesao gempar. Mereka melihat Bapa Tua dan keponakannya jalan-jalan di tengah desa dengan tubuh telanjang bulat sambil memegang botol sofi; mereka mabuk berat setelah seharian meminum minuman itu.

Bapa Tua sambil berjalan dengan langkah terhuyung-huyung, terus-menerus mengoceh, “Itu Aci orang Jakarta, dia su ambil beta pung rejeki. Dia su ambil…”

 ***

Choose Site Version
English   Indonesian