Click here for:

Laki-Laki dari Ratenggaro

Maria Matildis Banda finished her graduate studies at Universitas Udayana (UNUD) in Denpasar, and now teaches at the Faculty of Cultural Studies of UNUD. She started writing short stories in 1981. Teaching and researching the oral traditions of Nusa Tenggara Timur (NTT), the southernmost province of Indonesia, has given her a strong basis for writing novels with an ethnic background. Between 2015 and 2021, she wrote and self-published three novels set in NTT: Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga, about postnatal care in Flores; Suara Samudra, about whale hunting; and Bulan Patah, about childbirth outside of wedlock. A fourth novel, Doben (Lamalera 2017), is set in Timor Island. Maria has written the column “Parodi Situasi” in the Pos Kupang Daily since 2000.

Maria can be reached at: bmariamatildis@gmail.com.

 

Laki-Laki dari Ratenggaro

 

“Selamat datang kembali, Julia. Kamu cantik seperti dulu,” Rita melepaskan pelukannya dan memperhatikan dengan saksama wajah Julia. Digenggamnya tangan Julia erat-erat, lalu membawanya ke dalam mobil. “Terima kasih sudah mau datang. Terima kasih Julia,” Rita menghapus air matanya.

Gha Bili tetap menjadi guru. Sama dengan Yusak, guru SMP,” kata-kata Rita mengantarkan mereka ke masa lalu, saat mereka berkawan akrab meski berada di sekolah yang berbeda. Rita dan kakaknya, Bili, datang dari Pulau Sumba bersama Yusak, teman Bili, untuk melanjutkan sekolah di Kupang. Rita yang datang untuk bersekolah Sekolah Pendidikan Keperawatan segera bersahabat dengan Julia dan menjadi simpul yang menghubungkan mereka berempat.

“Harusnya Gha Bili tahu kamu datang untuknya. Ya Tuhan… kamu sungguh-sungguh datang untuk Bilikah?” Rita melirik Julia sekilas.

***

Perjalanan dari Bandara Tambolaka di Weetebula, ke Ratenggaro, melewati padang-padang luas, menambatkan Julia pada kenangannya. Dia bersandar di sudut kursi dan melihat ke luar jendela.

“Terkenangkah?” tanya Rita dengan pelan. “Nanti kita akan lewat lapangan Maliti Bondo Ate.”

Julia hanya mengangguk. Dia terhanyut dalam gelombang kenangan tentang pertama kali dia datang untuk menghadiri pasola, acara adat Sumba Barat yang diselenggarakan setiap tahun antara bulan Februari dan Maret. Sesaat itu, dia nginap di sebuah hotel di Weetebula. Sebelumnya, Bili sudah menjelaskan kepadanya bahwa pasola itu adalah pertandingan ketangkasan berkuda sambil melemparkan lembing tumpul untuk menjatuhkan lawan.

Julia tersenyum saat teringat belajar kayikiling, bersuara seperti ringkikan kuda yang dikumandangkan para perempuan untuk mendukung perjuangan laki-lakinya di lapangan pasola.

Rita tertawa saat Julia berhasil dan berlari ke lapangan.

Dari tempat duduknya di panggung, Julia memperhatikan Rita yang penuh semangat sedang bercakap-cakap dengan Bili.

Bili mengangkat kepalanya sambil mengacungkan tangan tinggi-tinggi dan melambai.

Julia membalas lambaian itu dengan jantung berdebar. Rasa cinta memenuhi hatinya. Dia mengambil tas yang dibawanya, membuka kancing, dan memastikan bahwa lukisan Bili di atas punggung kuda dengan latar belakang pohon konji ada di dalamnya. Dia tersenyum saat terkenang bagaimana Bili meyakinkannya bahwa konji itu mirip sakura.

Saat itu, mereka sedang mengopi pada waktu istirahat kelas. Bili yang gemar memotret itu menyodorkan foto konji berbunga kepadanya. “Tumbuh di kampung,” kata Bili. Melihat ketertarikannya pada foto itu, Bili menyambung, “Di Sumba Barat, pohon konji tidak sebanyak di Sumba Timur. Yang pasti, konji ada di sekitar Ratenggaro, kampung saya. Nanti saya akan antar engko ke sana biar saksikan sendiri indahnya,” kata Bili.

“Sakura Sumba!” kata Julia.

“Konji Sumba. Bukan sakura Sumba.” Bili memperbaiki.

Sekarang, sambil bersandar pada kursi mobil yang sedang melewati lapangan kosong, Julia tersenyum teringat lukisan konji itu. Dia melukis pohon konji yang tinggi dan rindang bunganya memenuhi dahan dan ranting. Bili berpakaian Sumba lengkap. Dia duduk di punggung kuda dinaungi rindang bunga konji. Lukisan itu akan diberikan pada hari disaksikannya sendiri bagaimana Bili berlaga di lapangan Maliti Bondo Ate.

Namun hadiah itu tidak pernah sempat diberikan.

***

Ingatan Julia mengantarkannya kembali pada pasola 1979. Puluhan ekor kuda dengan to paholong, pelaku pasola, tampak berkejaran. Bili berada di tempat terdepan. Tubuhnya tampak lebih tinggi dari to paholong lainnya. Henggul, destar, berwarna merah melingkari kepala. Hanggi, sarung, melingkari pinggang dan menyilang di dadanya yang telanjang. Kudanya berlari kencang dan Bili mengangkat lembing, siap melempar.

“Ririri… ririri… ririri… riririiiii,” begitulah suara yang ditimbulkan ujung lidah bergetar menyentuh bagian bawah langit-langit gigi. Perempuan di sekitar melompat. Rita dan Julia pun melompat girang ketika Bili berhasil menjatuhkan lawan.

Terlihat Bili dan pengiringnya mengitari lapangan sekali dan berhenti di dekat kerumunan laki-laki dari kelompok lawan yang berupaya menolong anggota kelompok mereka yang terjatuh.

Julia dan Rita bergabung dengan kerumunan yang mengelilingi Bili dan korbannya.

“Oh, itu Gha Yusak,” Rita berkata ringan.

“Mereka tidak balas dendam? Setelah dijatuhkan tersungkur begitu, tidak marah?” tanya Julia sambil mengerutkan kening.

“Tidak.” Rita selanjutnya menjelaskan bahwa pasola adalah upacara adat Sumba yang diselenggarakan setiap tahun demi adat, keluarga, dan kemasyarakatan yang menjunjung tinggi sikap jujur, setia, dan kesatria.

Ketika pasola berakhir, Bili bersama beberapa to paholong pergi untuk memastikan Yusak dalam keadaan baik di kampungnya.

Julia bersama Rita dan beberapa perempuan duduk di kaki panggung. Banyak orang yang bertanya langsung siapa Julia. Tidak henti-hentinya Rita menjelaskan dengan ramah bahwa Julia adalah kekasih Bili yang bekerja di Kupang sebagai seorang perawat. Kelak akan tinggal di Ratenggaro bersama Bili.

Salah satu dari mereka bertanya, “Sudah ikut Bili tinggal di Ratenggaro?”

“Segera setelah nikah,” Rita tertawa sambil melanjutkan, “Julia orang Kupang. Dia tidak mau ikut Bili sebelum Bili datang melamar ke keluarganya di Kupang dan menikah.”

Derap kaki kuda mendekat dan memasuki lapangan pasola menarik perhatian mereka. Julia ingat jelas bagaimana dia memperhatikan segerombolan kuda dengan masing-masing dua penunggang berhenti di kaki panggung. Beberapa orang yang dibonceng melompat turun. Dalam waktu sangat singkat dan tanpa kata-kata, para laki-laki itu mengangkat tubuh Rita.

Rita berteriak dan memberontak, tetapi tenaganya tidak seimbang dengan tenaga para laki-laki itu.

Julia kembali bergidik saat diingatnya kembali peristiwa siang itu yang selama ini disimpan dan terkunci dengan baik. Dia kembali merasakan kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi. Dengan mata berkunang-kunang, dia melihat Rita didudukkan dengan paksa di belakang salah satu penunggang. Lalu, satu laki-laki meloncat duduk di belakang Rita yang terus-terusan memberontak dan berteriak-teriak marah. Laki-laki di belakangnya membekapnya erat-erat.

Julia berlari mengejar sambil berteriak-teriak memanggil Rita.

Sementara, orang-orang yang masih tersisa di lapangan menertawakannya.

“Rita dibawa ke mana?” tanya Julia.

“Diculik! Kawin tangkap!”

“Kawin tangkap? Maksudnya?” tanyanya lagi dengan wajah pucat ketakutan.

“Kawin tangkap. Dijadikan istri, karena ada yang sayang, karena keluarga mau, nanti perempuan juga mau,” jawab salah satu perempuan sambil tertawa ringan. “Dibawa ke rumah laki-laki, masuk kamar, dan tidak keluar lagi sebelum jadi istri. Ya, namanya juga sudah diculik dan dimasukkan ke kamar untuk tidur sama-sama. Ya nikah tinggal diurus…”

“Siapa laki-laki itu? Dari kampung mana? Saya akan lapor polisi,” Julia tambah pucat, tambah ketakutan ketika orang-orang meninggalkan lapangan tanpa beban.

Julia pun teringat jelas kegugupannya saat berjalan ke sisi jalan sendirian. Dia berharap penculikan itu hanya main-main antara orang-orang muda di sana. Dia mematung dan tidak mau beranjak saat beberapa orang penonton mengajaknya ke Ratenggaro, menunggu Bili di sana. Angin berembus kencang menimbulkan gemuruh saat merebahkan ilalang di padang-padang terbuka. Julia berjalan kian kemari, duduk dan berdiri, melihat di kejauhan, memasang telinganya untuk menangkap derap kaki kuda yang datang mendekat, mengharapkan Bili segera datang menjemputnya. Beberapa saat kemudian, didengarnya derap kaki kuda yang muncul dari arah Ratenggaro. Kian lama kian dekat. Julia memberanikan diri untuk menghentikan seorang laki-laki tua yang tampak terburu-buru.

Julia menceritakan dengan singkat apa yang terjadi dengan Rita dan memohon bantuan untuk sampai di jalan raya menuju Weetebula.

“Kawin tangkap,” kata laki-laki itu, “dalam satu tahun ini, sudah tiga terjadi. Rita jadi yang keempat.”

“Bapa tahu dia dibawa ke mana? Apakah ada yang melaporkan ke polisi?” tanya Julia.
Laki-laki itu menggeleng dan mengatakan bahwa hari ini juga keluarga penculik akan datang ke rumah keluarga perempuan.

Julia diam. Hatinya lega. Dia pun meninggalkan lapangan. Dia hanya ingin menjauh dari kegegeran kawin tangkap itu. Dia sangat takut mengalami hal yang sama.

Laki-laki itu mengantarnya sampai di tepi jalan raya.

“Hati-hati di jalan,” katanya.

Jantung Julia berdebar menyadari kebaikan laki-laki tua itu. Dia mengucapkan terima kasih beberapa kali, lalu segera naik angkutan umum ke Weetebula.

Julia memejamkan matanya. Dia memaksa dirinya untuk menyelesaikan ingatan pahit itu yang mengubah kehidupannya.

Di Weetebula, Julia mengurung diri di dalam kamar penginapan menunggu kedatangan Bili. Pada malam hari, salah satu anggota keluarga Bili mengantarkan sepucuk surat. Bili memintanya menunggu di penginapan selama dua atau tiga hari. Katanya dia akan menyusul Julia setelah urusan Rita selesai.

Hingga kini, Julia sukar menerima bahwa hal seperti itu bisa terjadi pada Rita, seorang perawat yang bekerja di Puskesmas Pembantu di desanya. Bagaimana mungkin Rita mau dinikahkan. Pertanyaan-pertanyaan dan rasa marah masih menetap di dalam hatinya ⸺ sulit dihapusnya. Julia menekankan tangannya pada dadanya. Dia menelungkupkan wajahnya dalam telapak tangan dan mengangkatnya kembali sambil mendesah. Dihapusnya air mata yang mengalir di pipinya.

Rita meraih tangannya dan meremasnya. “Engko terkenang tujuh tahun lalukah? Sudah,” katanya lembut, “engko sudah di sini sekarang. Gha Bili pasti akan senang sekali.”

Julia membuka jendela lebih lebar. Angin laut mengeringkan airmatanya dengan usapan segar. Julia menekan kepalanya ke sandaran kursi dan menuruskan kenangannya.

Terasa kembali risaunya ketika Bili belum juga datang ketika pada hari ketiga matahari mulai condong ke barat. Julia ingat dirinya keluar dari rumah penginapan dan berdiri di gerbang. Tiba-tiba, sebuah bemo menepi di tempatnya berdiri. Penumpangnya segera turun dan, dalam sekejap, Julia diangkut ke dalam bemo. Sopir segera tancap gas dengan kecepatan tinggi.

“Mana Bili!” Julia berteriak dan berusaha sekuat tenaga mendobrak pintu. Dia memukul dan menendang, terempas ke kiri dan ke kanan. Dia berteriak dan menangis kehilangan akal. Kedua lengannya lebam akibat genggaman tangan laki-laki yang mendekapnya.

Selebihnya dia hanya menangis kelelahan. Kendaraan tetap melaju kencang berbelok-belok, memasuki jalan yang lebih kecil, melewati padang-padang luas, dan berhenti di gerbang sebuah kampung saat senja sudah dijemput malam. Bili kamu di mana? jeritnya dalam hati.

Pintu bemo dibuka perlahan.

“Kamu berani culik saya? Kamu kira bisa kawin tangkap dengan saya? Awas kamu saya lapor ke polisi. Awas kalau sampai Bili pacar saya tahu!” Julia berteriak. Ketika dia menjejakkan kakinya di tanah, saat itu juga dia diangkut oleh empat laki-laki penculik. Dia segera dibawa naik ke rumah panggung dan segera pula dibawa masuk ke dalam salah satu kamar. Suara teriakannya menimbulkan keramaian warga kampung yang penuh sesak. Mereka mengepung dan menjaga Julia dengan ketat.

Julia merasa terancam. Dia menangis dan berusaha tenang. Sepertinya tidak ada ruang sedikit pun untuk kabur. Kamar itu berukuran satu setengah kali dua meter, berdinding bilah bambu yang disusun meninggi dan dirangkai tali. Loteng kamar adalah bagian dari ujung atap dari lipatan alang-alang. Lantai kamar sekaligus digunakan sebagai alas tidur yang dibuat dari susunan bambu bulat berjejer rapat terangkai tali dilengkapi dengan sebuah bantal tipis bersarung yang tampak masih baru. Kamar itu benar-benar untuk satu atau dua orang tidur. Kamar tanpa kain pintu dan tanpa daun pintu. Sekelompok perempuan berjaga-jaga tepat di depannya.

Suara gong dipukul beberapa kali dan keramaian di luar rumah lebih menakutkan Julia. Makanan yang disodorkan padanya tidak disentuhnya sama sekali. Dia duduk meringkuk di sudut kamar mendengarkan suara-suara di luar.

“Jangan takut,” suara seorang perempuan penjaga bicara. “Nanti laki-laki Inya akan datang. Baik-baik saja. Jangan berteriak. Nanti Inya akan ditertawakan orang-orang yang berjaga-jaga. Tabah saja supaya Inya tidak bertambah sakit.”

Sebutan inya, panggilan untuk perempuan yang dihormati dan dicintai menurut kebiasaan setempat, agak menenangkan Julia.

“Makanlah supaya Inya punya tenaga,” perempuan itu membujuk.

Hari makin malam dan suasana rumah itu makin ramai.

Tidak pernah terlintas sekilas pun dalam pikiran Julia bahwa dia akan mengalami nasib mengerikan seperti itu. Julia terisak, berusaha keras memikirkan cara untuk menyelinap dan menghilang dari keangkeran rumah yang akan menjadi saksi dirinya dibekap laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali. Tubuhnya sangat penat dan rasa sakit membalut hatinya.

Tengah malam Julia terkejut.

Tiba-tiba, seorang laki-laki muncul di kegelapan dan mendekapnya dengan memutar badannya supaya Julia tidak dapat melihatnya.

Julia memberontak. Tendangannya yang melayang kian kemari menimbulkan bunyi-bunyi di lantai dan dinding kamar. Suara tawa di luar kamar membuatnya lebih menggigil ketakutan sekaligus menjadikannya berbuat nekat. Dia menggigit dengan sekuat tenaga lengan laki-laki yang memeluknya.

“Tenang Julia, ini saya! Julia. Sayang…” suara laki-laki diikuti pelukan erat. “Jangan kuatir. Ini saya, Bili!”

“Kak Bili,” Julia tersentak dan terjatuh dalam pelukan Bili sambil menangis tersedu-sedu.

Suara-suara di luar kamar diliputi tawa dengan penuh tanda tanya tentang berlangsungnya kawin tangkap yang sedang terjadi antara perempuan yang diculik dan laki-laki yang memperistrinya. Sudah biasa, malam pertama yang menegangkan dan menyakitkan itu menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi kedua belah pihak. Urusan lainnya dapat diatur kemudian.

“Julia…sayang,” kata Bili lagi sambil mendekap Julia erat-erat.

“Kenapa kamu tega buat begini?” tanya Julia sambil menghapus air mata. Napasnya terengah-engah, sesak dengan kemarahan.

Julia berada dalam dekapan Bili tetapi masih dengan kewaspadaan penuh pada napas Bili yang memburu. “Saya mohon jangan lakukan apa pun. Diam saja,” Julia menangis perlahan Bagaimana kekasihnya sendiri bisa melakukan penculikan terhadap dirinya dengan tujuan kawin tangkap? Julia berusaha tenang dan berpikir keras apa yang akan dilakukannya.

Suara orang yang berjaga-jaga mulai berkurang. Cahaya pagi menyelinap melalui kisi-kisi dinding kamar dan jatuh pada wajah Bili. Betapa cintanya dia pada laki-laki itu, tetapi betapa bencinya pada kenyataan yang dipaksakan padanya.

***

Julia menarik napas panjang. Berikutnya bagian yang paling menakutkan dari ingatan itu. Dia mengambil sebotol air dari tasnya dan meneguknya, sebelum kembali ke masa lalu.

Hari itu, Julia menghadapi semua kejutan dengan tenang. Dia telah membuat perencanaan yang akan diwujudkannya satu per satu.

Dia diterima dengan ramah oleh ayah Bili dan segenap anggota keluarga.

“Bapa!” Julia tersentak kaget. Laki-laki yang mengantarnya ke tepi jalan raya ternyata adalah ayah Bili.

Julia menikmati hidangan nasi dan ayam rebus yang disiapkan ibu Bili.

Hatinya gelisah, ingin sekali dia bertanya tentang Rita, tetapi tidak ditanyakannya. Dia memperhatikan sekilas kampung dengan rumah-rumah beratap tinggi menjulang ke langit. Dia merasakan berembusnya angin pantai dan debur ombak yang memecah sepanjang waktu di kaki tebing kampung.

“Tolong antar saya ke Weetebula untuk ambil tas pakaian dan ole-ole lukisan yang saya bawa untukmu,” Julia berkata dengan berusaha santai ketika mereka kembali sendirian.

“Kita naik kuda. Berani?” tanya Bili sambil mengedipkan mata. “Sesuai janji, saya akan membawamu berkeliling sampai di tempat pohon konji berbunga. Saya akan ambil beberapa fotomu di sana. Kita berkuda,” Bili tertawa gembira.

Bulan Maret bukan saatnya konji berbunga, kata Julia di dalam hatinya. Namun dia berkata, “Ya, setelah kembali dari Weetebula. Saya harus ganti baju sebelum difoto. Kita kan akan kembali lagi ke sini? Bukankah penculikan ini artinya saya sudah jadi istri kamu?”

“Ya, beberapa hari ini keluarga akan ke Kupang melamarmu dan kita segera menikah di sana,” jawab Bili dengan bangga.

“Ya,” Julia berupaya melemparkan senyum, sedangkan pikiran dan hatinya mendidih oleh rasa marah.

***

Julia tidak pernah bertemu Bili lagi.

Di Weetebula, Julia masuk ke dalam kamar penginapan dan tanpa membawa apa-apa menyelinap keluar melalui jendela kamar mandi, melompati pagar belakang, dan segera menuju lapangan terbang Tambolaka dengan angkutan umum yang kebetulan lewat dan disewa khusus. Dia kembali ke Kupang dengan penerbangan pertama.

Berbagai upaya dilakukan Bili dan keluarganya untuk menebus kesalahan kawin tangkap itu. Mereka datang dengan sejumlah antaran sarung adat, kuda, sapi, dan kerbau sebagai tanda maaf dengan tulus. Kedua orang tua dan adik-adik Bili, termasuk Rita, ikut turun tangan meminta Julia menerima Bili kembali.

Rita menceritakan bahwa otak penculikan terhadap mereka sebenarnya adalah Yusak yang dijatuhkan Bili di lapangan Pasola dan teman baik mereka ketika sekolah bersama di Kupang. Rita tidak memiliki kekuatan menolak akibat rasa malu karena sudah dibawa ke rumah laki-laki itu.

Akan tetapi, Julia tetap menolak. Dia tetap merasa bahwa kawin tangkap melalui penculikan itu telah menenggelamkannya ke dalam ketakutan. Dia takut hidup di lingkungan itu sebagai seorang istri dari lelaki yang ikut dalam kebiasaan yang ditentangnya.

Julia mengepalkan tangan. Hari itu dia menutup riwayat cintanya dengan Bili. Sekarang dia sudah bertahan tujuh tahun. Dia meneguk air dari botol minumnya.

***

Tujuh tahun berlalu. Kini Julia bersama Rita dalam mobil menuju Ratenggaro.

Rita bercerita tentang Bili. Katanya, Bili tidak pernah membicarakan Julia. Guru SMP itu menghabiskan waktunya setelah pulang sekolah dengan beternak di padang, duduk sendirian atau bersama kudanya di bawah pohon konji, menulis buku, dan berjaya di lapangan pasola setiap musim.

“Apakah engko masih marah?” tanya Rita. Setelah beberapa saat dalam keheningan, dia melanjutkan dengan lembut, “Sudah lama sekali…. Sejak melahirkan anak pertama, rasa marah saya berangsur-angsur hilang. Yusak laki-laki yang baik. Entah mengapa dia memilih menikahi saya dengan cara kawin tangkap. Kami memiliki dua anak perempuan. Gha Yusak dan Gha Bili bertobat dan berjanji menjadi penentang kawin tangkap. Mereka sadar bahwa perlakuan kawin tangkap adalah penghinaan pada perempuan dan gadis-gadis zaman sekarang tidak boleh mengalaminya. Kamu bagaimana? Sudah tujuh tahun, Julia. Inya dan Bapa juga sudah tidak ada. Apakah kamu datang untuk Bili?”

Julia tidak menjawabnya. Setelah bekerja di Puskesmas Kota Kupang selama tiga tahun, Julia melanjutkan kuliah di Fakultas Keperawatan selama empat tahun. Pekerjaan dan kuliahnya lancar dan berhasil baik. Dalam kesendiriannya, dia tahu bahwa dia masih mencintai Bili. Akhirnya dia memutuskan bertemu Rita dan berkunjung ke Ratenggaro untuk memastikan bagaimana keadaan Bili sekarang.

Mereka hampir tiba. Debur ombak dari kejauhan menyambut kedatangannya. Mereka melewati barisan kubur-kubur batu di kiri kanan jalan menuju gerbang. Mobil berhenti di dalam gerbang utama Kampung Ratenggaro yang menelannya ke dalam masa lalu.

Rita turun dari mobil dan Julia menyusul.

“Gha Bili,” Rita berteriak.

Bili keluar dari kambu luna, kolong rumah, yang baru saja dibersihkannya. Laki-laki itu terpaku menatap Julia.

Julia menatapnya tanpa kata-kata. Tubuh Bili tampak lebih tinggi dan kurus. Rambutnya terpangkas rapi. Rahangnya kukuh dan sorot matanya tampak teduh. Mata itulah yang pernah membuat Julia jatuh cinta setengah mati. Julia mengulurkan tangan.

Bili diam menatap wajah Julia lekat-lekat. Diraihnya tangan Julia, lalu ditangkupnya dengan kedua tangannya. “Saya tahu saya menyakitimu, Julia,” kata Bili dengan suara serak. Dia menunduk. Setelah diam sejenak, diangkatnya kembali kepalanya dan berkata pelan,

“Pulanglah. Saya tahu kamu masih sendiri. Terima kasih. Pada waktunya nanti, saya dan keluarga akan ke Kupang melamarmu dengan cara yang seharusnya.” Bili membawa tangan Julia ke dadanya. Beberapa saat kemudian, tangan Julia dilepaskannya.

Bili berbalik dan berjalan menuju kudanya yang sedang merumput dalam rindang pohon beringin di samping rumahnya. Dia melepaskan tambatan dan melompat ke atas punggung kuda, menarik tali kendali, dan membawa kudanya lari melalui gerbang kampung.

Julia memperhatikan punggung laki-laki itu yang menjauh menuruni jalan di antara makam. Derap kaki kuda melesat jauh meninggalkan Ratenggaro.

Julia mengikuti Rita memasuki rumah yang dulu begitu mengerikan baginya. Tergetar hatinya saat Rita mengajaknya ke kamar tidur Bili. Kamar tidur di mana dia diringkukkan tujuh tahun lalu. Julia terpaku pada lukisan di dinding yang menampilkan laki-laki dari Ratenggaro itu tegak di atas kudanya dengan latar belakang pohon konji yang sedang berbunga lebat.

Julia teringat lukisan yang ditinggalkan saat melarikan diri dari penginapan tujuh tahun yang lalu. Saat itu, dia berharap Bili akan mengantarnya ke tempat konji berbunga. Waktu itu bulan Maret dan konji belum berbunga. Julia tersenyum sekilas menyadari saat ini konji sedang berbunga dan menampilkan keindahannya pada musim kemarau.

Sementara itu, Bili menghentikan kudanya di bawah pohon konji yang berbunga lebat ⸺ tempat pertemuan yang dijanjikan pada kekasihnya yang gemar melukis itu.

*****

Choose Site Version
English   Indonesian