Lan Fang was born in Banjarmasin, Kalimantan, Indonesia on March 5, 1970, and passed away on December 25, 2011. She was the oldest daughter in the Gautama family of business people.
Despite a law degree from the University of Surabaya, Lan Fang chose to pursue a writing career. Her novel, Lelakon, won the Khatulistiwa Award in 2008. Her short stories have appeared in 20 Cerpen Terbaik Indonesia as a part of the Anugerah Sastra Pena Kencana (Pena Kencana Literary Awards) in 2008 and 2009.
In 2009, the newspaper Kompas published Lan Fang’s “Ciuman di bawah Hujan” as a serial and in 2010 Gramedia Pustaka Utama published the story as a novel under the same title. Other books by Lan Fang from the same publisher include: Reinkarnasi (2003), Pai Yin (2004), Kembang Gunung Purei (2005), Laki-Laki yang Salah (2006), Yang Liu (2006), Perempuan Kembang Jepun (2006; reprinted 2012), Kota Tanpa Kelamin (2007), and Lelakon (2007).
Lan Fang is known in Indonesia as an accomplished writer, and also a philanthropist with deep concern for social welfare. Her beliefs are shown in her writing, as well as through her volunteer work as a mentor for several writing workshops in schools.
Unfortunately, this prolific writer’s life was cut short. Lan Fang passed away at the age of 41 while being treated for liver cancer in Singapore. Her untimely death is a great loss to the Indonesian literary community, and to every reader who appreciates evocative, truthful writing of the heart.
Sujono
(Bagian 4)
Sejak Hiroshima dan Nagasaki lebur karena bom atom Sekutu, kekalahan Jepang menjadi berita di mana mana. Aku mendengar dari radio, berita di koran, ataupun pengumuman yang ditempel di jalan, pemuda pemuda Indonesia langsung mengambil tindakan penting. Proklamasi kemerdekaan didengungkan, pemerintahan baru sesegera mungkin dibentuk, tentara-tentara Jepang dilucuti, instansi-instansi penting dikuasai, juga orang-orang Jepang dipulangkan dengan kapal laut. Mereka disuruh mendatakan diri. Sementara ini mereka dikumpulkan di penjara Kalisosok.
Suasana menjadi tidak menentu karena adanya peralihan kekuasaan.
Pagi itu aku sangat gelisah ketika tidak menemukan Matsumi di rumahnya. Halaman rumah tampak sepi. Tidak terlihat siapa pun, termasuk Karmi, pembantu Matsumi.
Perasaan tidak enak langsung menyergap hatiku. Matsumi tidak pernah meninggalkan rumah. Ia merasa canggung berkumpul dengan perempuan-perempuan Cina tetangganya walaupun di sini ia mengaku sebagai orang Cina. Ia tidak pernah ke pasar. Setiap hari Karmi-lah yang berbelanja ke pasar. Matsumi tidak pernah berjalan-jalan tanpa kudampingi. Ia selalu di rumah. Bermain dengan Kaguya, membuat orisuru sambil duduk di pinggir jendela, membiarkan sinar matahari menjilati kulitnya yang gading ⸺ kadang aku cemburu pada sinar matahari yang bisa setiap saat menjilati kulitnya ⸺ selain itu juga bercinta di bawah futon yang hangat denganku.
Aku mengenal Matsumi sebagai kembangnya kelab hiburan di Kembang Jepun. la kerap membeli kain di toko Babah Oen, toko orang Cina tempat aku bekerja. Selanjutnya, Babah Oen sering juga menyuruhku mengirim kain ke kelab tempat Matsumi bekerja. Aku jadi semakin sering melihat dan bertemu dengannya.
“Haiya … Kita lepot sedikit mengantal kain ke kelab tidak apa-apa. Dalam keadaan pelang sepelti ini, dagang sangat susah. Toko sepi. Untuk makan saja olang-olang pada susah, apalagi mau beli kain. Untung ada kesa-kesa (geisha-geisha) yang halus selalu pakai baju balu …,” begitu kata Babah Oen kalau menyuruhku mengantarkan kain.
***
Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: https://gpu.id/book/80265/perempuan-kembang-jepun