Click here for:

Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati

Agus Noor is a prose and short story writer as well as a playwright. He was born in Tegal, Central Java and graduated from ISI, the Indonesian Insitute of Art, in Yogyakarta. His short stories are published in several anthologies such as Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia (Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002), Jl. Asmaradana (Cerpen Pilihan Kompas, 2005), Ripin (Cerpen Kompas Pilihan, 2007), Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia, Pembisik (Cerpen-cerpen terbaik Republika), and 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 (Pena Kencana). His short story Kunang-Kunang di Langit Jakarta was awarded the 2011 best short story by Kompas.

Agus Noor can be reached at agus2noor@yahoo.co.id

Published in February 2020. Copyright ©2020 by Agus Noor. Published with permission from the author. Translation copyright ©2020 by Oni Suryaman.

 

Kopi dan Cinta yang Tak Pernah Mati

 

Kebebasan selalu layak dirayakan. Maka selepas keluar penjara, yang diinginkan ialah mengunjungi kedai kopi ini. Kebahagiaan akan semakin lengkap bila dinikmati dengan secangkir kopi. Hanya di kedai kopi ini dia bisa menikmati kopi terbaik yang disajikan dengan cara paling baik.

Ada orang-orang yang bersikeras mempertahankan kenangan, dan kedai kopi ini seolah diperuntukkan bagi orang-orang seperti itu. Nyaris tak ada yang berubah. Meja kursi kayu hanya terlihat makin gelap dan tua.

Yang dulu tak ada hanya pengumuman bergambar bayangan wajah lelaki berkumis tebal, yang terpasang dekat jendela.

Ada tulisan di bawah pengumuman itu, seperti larik puisi. Pada kopi ada revolusi, juga cinta yang tak pernah mati. Dia tersenyum. Sejarah memang aneh: dulu lelaki itu pembangkang, kini dianggap pejuang.

Beberapa orang di kedai kopi langsung menatap tajam saat dia masuk. Dia mengenali beberapa dari mereka, para pembangkang yang sejak dulu memang selalu berkumpul di kedai kopi ini. Dia tetap tenang. Apa pun bisa terjadi. Mungkin seseorang akan menyerangnya. Sepuluh tahun dalam penjara membuat kewaspadaannya makin terasah.

Dia meraba pistol di balik jaket. Sekadar berjaga. Kita harus selalu berhati-hati menghadapi kebencian, batinnya, saat menatap anak muda penyaji kopi yang terus memandanginya.

Mata itu mengingatkan pada mata laki-laki yang dulu dibunuhnya. Umur anak muda itu baru sebelas tahun saat bapaknya mati. Kini terlihat seperti banteng muda yang siap meluapkan dendamnya. Pemuda itu mengangguk pelan saat dia memesan.

Panas udara siang membuat wangi kopi terasa semakin kental. Tak akan pernah dilupakannya harum kopi yang menenteramkan ini, seolah wangi itu dicuri dari surga.

Ketika ditugaskan ke kota ini, komandannya memberi tahu, agar tak melewatkan kedai kopi ini dari daftar yang harus dikunjungi. Kedai kopi yang menyediakan kopi terbaik. Kedai kopi yang bukan saja istimewa, tetapi juga berbahaya.

Bertahun lalu, dia dikirim ke kota ini untuk menghabisi seorang pembangkang yang dianggap berbahaya bagi negara. Saat itu unjuk rasa nyaris meledak setiap hari. Kota ini menjadi kota yang selalu rusuh oleh gagasan gila perihal kemerdekaan.

Para perusuh itu, begitu tentara menyebut, tak hanya bergerak di hutan-hutan, tetapi juga menyusup ke kota, menyerang pos keamanan atau menyergap pasukan patroli keamanan.

Tentara melakukan pembersihan. Puluhan orang ditangkap, diculik dan tak pernah kembali. Ada peristiwa yang tak akan pernah dilupakan oleh penduduk kota ini, ketika suatu hari tentara menghajar delapan anak muda di perempatan pusat kota. Mereka diseret, dibariskan satu per satu, kemudian ditembak tepat di kepala. Kekejian seperti itu terkadang diperlukan untuk menciptakan ketakutan. Tapi siapa yang bisa membunuh gagasan? Kepala bisa ditembak sampai pecah, tetapi gagasan akan terus hidup dalam kepala banyak orang. Peristiwa itu mendapat protes keras, dan makin memicu perlawanan.

Amnesty International menekan pemerintah pusat untuk menghentikan kekerasan. Saat operasi militer dianggap tak lagi berdaya guna, dia pun dikirim.

Sebagai seorang mata-mata yang terlatih dia pun dengan cepat mengetahui, bagi orang-orang di kota ini kedai kopi bukan sekadar tempat untuk menikmati kopi. Hampir di setiap jalan di kota ini selalu ada kedai kopi. Rasanya tak ada penduduk kota ini yang tak menyukai kopi. Di kedai kopi waktu seperti berhenti. Orang bisa sepanjang hari duduk di kedai kopi untuk berkumpul, berbual atau menyendiri, mempercakapkan hal-hal rahasia, kasak-kusuk perlawanan, juga tempat paling tepat untuk menyelesaikan masalah. Pertengkaran bisa diselesaikan dengan secangkir kopi. Semua keterangan di kota ini akan dengan mudah didapatkan di kedai kopi.

Dari keterangan yang dimiliki dia mengenali lelaki yang mesti dihabisi. Yang dianggap musuh negara paling berbahaya ternyata bukan seorang berperawakan kekar, yang hidup berpindah-pindah dalam hutan memimpin gerilyawan, dan karena itu tentara tak pernah berhasil menangkapnya. Orang yang dicarinya itu hanya bertubuh kecil, nyaris kurus, berkulit gelap, rambut agak ikal. Dia terlihat keras, tetapi selalu berbicara dengan nada santun. Jadi inilah orang yang selalu menghasut anak-anak muda untuk melakukan perlawanan dan menuntut kemerdekaan. Dia hanya penyaji kopi.

***

Anak muda penyaji kopi itu telah berdiri di dekatnya, menyodorkan secangkir kopi yang sedikit bergetar ketika diletakkan di meja. Dia tahu anak muda itu gugup, tetapi berusaha mengendalikan perasaannya.

“Ini kopi terbaik yang kusajikan untukmu yang di dalamnya tersimpan rahasia, yang hanya bisa kau ketahui setelah kau meminumnya.” Anak muda itu menatapnya. “Tapi aku tak yakin, apakah kamu berani meminumnya habis.”

Di luar, jalanan ramai lalu lalang kendaraan. Klakson angkot, knalpot sepeda motor meraung kencang. Lagu dangdut terdengar dari kedai kopi seberang jalan. Tapi dia merasakan suasana begitu sunyi di kedai ini. Semua orang dalam kedai terdiam dan memandang ke arahnya, seolah berharap terjadi perkelahian seru.

“Duduklah,” akhirnya dia berkata. “Seperti yang selalu dikatakan orang-orang di kota ini, mari kita selesaikan semuanya dengan secangkir kopi.

Terdengar kursi kayu digeser, dan anak muda itu duduk. “Seperti ketika kamu menghabisi ayah aku!”

Lagu dangdut masih terdengar dari kedai seberang: Tuduhlah aku, sepuas hatiiimuuuu, atau bila kau perlu bunuhlah akuuuu…

“Kau pasti membenciku.” Dia mengisap rokok dalam-dalam.

“Untuk apa membenci seorang pengecut. Pengecut lebih pantas dikasihani.”

“Kalau kukatakan aku bukan pembunuh ayahmu, pasti kau tak percaya. Tapi baiklah, bila aku memang kau anggap pembunuh ayahmu, kau pasti tahu kenapa ayahmu harus dibunuh.”

“Selalu tersedia cukup banyak alasan untuk menjadi pembunuh. Hanya pengecut yang membunuh dengan cara-cara licik.”

“Jangan terlalu percaya pada apa yang diberitakan koran-koran. Asal kau tahu, aku mengagumi ayahmu. Kematian ayahmu bukan tanggung jawabku. Itu tanggung jawab negara.”

“Yang pertama-tama dilakukan para pengecut memang selalu mencari pembenaran. Itu sebabnya para pengecut selalu selamat.”

Dia kembali menyalakan sebatang rokok. Padahal rokok di asbak masih panjang. Dia ingin meminum kopi di cangkir itu pelan, tapi seperti ada yang menahannya, naluri yang mengharuskannya bersikap hati-hati dalam keadaan seperti ini. Jari-jarinya berkedut, hal yang selalu terjadi bila dia merasa cemas, hingga rokok di jarinya nyaris lepas. “Aku telah menghabiskan sepuluh tahun dalam penjara untuk sesuatu yang dituduhkan padaku yang sebenarnya tak pernah kulakukan.”

“Pengecut tak akan pernah berani mengakui kejahatan yang dilakukan!”

“Aku sendiri hanya orang yang dikorbankan untuk menutupi kesalahan orang lain. Salah alamat bila kau mendendam kepadaku.”

“Ini bukan soal dendam. Ini soal keadilan,” tatapan anak muda itu makin tajam. “Kamu memang sudah dihukum. Dan aku yakin, sepanjang hidupmu, kamu akan terus dihukum oleh kepengecutan dan ketakutanmu. Tapi itu bukan alasan bagiku untuk berhenti menuntut keadilan.”

“Apa yang kamu tuntut dari keadilan? Keadilan tak pernah membuat yang mati hidup kembali.”

“Yang mati memang tak akan pernah hidup kembali…”

“Kecuali Tuhan,” dia menimpali ucapan anak muda itu, mencoba berkelakar mencairkan suasana tegang.

“Keadilan bukan perkara orang per orang. Ini bukan persoalan antara aku dan kamu. Juga bukan persoalan kamu dan ayahku. Jika kamu menganggap ini hanya persoalan pribadi, semestinya kamu menantang ayahku untuk berkelahi satu lawan satu, sampai salah satu di antara kalian mati. Itu jauh lebih jantan dan terhormat. Tapi aku tahu, pengecut semacammu tak akan pernah berani bersikap jantan seperti itu. Menyedihkan memang, pengecut selalu selamat oleh kepengecutannya.”

“Aku bukan pengecut!” Suaranya terdengar mengambang di udara.

“Kalau begitu, minum kopi itu, dan kita tunggu apa yang terjadi.”

Ketika dia hanya terdiam gamang memandangi cangkir kopi, anak muda itu tertawa masam. “Apa kamu pikir dengan berani datang ke kedai ayahku ini kamu sudah membuktikan keberanianmu? Tidak! Aku yakin kamu datang kemari bukan untuk meminta maaf. Kamu datang kemari justru karena ingin membuktikan bahwa kamu tidak bersalah telah membunuh ayahku. Kamu merasa, dengan dipenjara sepuluh tahun, sudah cukup untuk menganggap selesai persoalan.

Bagiku, tak ada kata lupa untuk kejahatan. Pembunuh selalu bersikeras melupakan korbannya. Bahkan, aku yakin, kamu sudah lupa seperti apa ayahku.”

Dia diam-diam melirik pada pengumuman di tembok kayu itu; wajah lelaki berkumis tebal itu tak akan pernah mungkin dilupakannya. Wajah itu selalu muncul dalam mimpi buruknya. Dia tak akan pernah lupa pada saat-saat dia mulai mendekati lelaki itu.

Masuklah ke dalam hati musuhmu melalui apa yang disukainya. Ketika dia selalu mengajaknya bicara tentang kopi, lelaki itu dengan cepat menyukainya. Saat menikmati kopi di sore bergerimis, dari lelaki itu dia tahu rahasia menyajikan kopi. Sentuhan tangan penyaji kopilah yang membedakan rasa kopi. Biji kopi terbaik tetap saja tak akan enak bila tangan penyaji kopi itu tak mengenali jiwa kopi. Dia pun mengerti kenapa di kedai ini tak ada mesin penggiling kopi. Lelaki itu mengolah sendiri biji-biji kopi dengan tangannya.

Sentuhlah biji-biji kopi itu dengan seluruh perasaanmu, kamu akan merasakan sesuatu yang lembut. Dan kamu akan tahu mana biji kopi terbaik yang pantas disajikan untuk pelanggan.

Sebenarnya dia tak hendak percaya. Namun pada kenyataannya kopi di kedai kopi ini memang terasa paling nikmat di lidahnya. Dia sudah sering menikmati kopi di banyak kedai kopi, tetapi tak ada yang bisa membuatnya merasa begitu nikmat senikmat setiap kali dia menikmati kopi di kedai ini. Seakan dalam secangkir kopi itu ada kebahagiaan yang dikekalkan. Bahkan ketika dalam penjara, diam-diam dia sering minta tolong pada sipir untuk membelikan kopi dari kedai ini. Dengan sogokan tentu saja.

“Tak pernah ada sebelumnya yang membiarkan kopi di kedai ini menjadi dingin tanpa menyentuhnya,” suara anak muda itu membuyarkan ingatannya. “Itu sudah cukup membuktikan bahwa kamu bukan saja pengecut karena tidak berani meminum kopi yang aku sajikan, tetapi juga meyakinkanku kalau kamu memang pengecut yang dihantui ketakutanmu sendiri.”

Anak muda itu bangkit meninggalkannya sendirian.

***

Langit gelap dan kosong ketika dia keluar dari kedai itu. Tapi perasaan kosong dalam hatinya menghamparkan kehampaan melebihi luas langit yang dipandanginya. Rasanya dia merasa lebih terhormat bila anak muda itu menghajarnya hingga babak belur ketimbang membuatnya merasa terhina seperti ini.

Tak akan pernah berani lagi dia kembali ke kedai kopi itu. Kopi yang disajikan anak muda itu benar-benar telah membuatnya diluapi perasaan takut; mengingatkannya pada peristiwa saat dia menuangkan arsenik ke dalam cangkir kopi lelaki berkumis itu.

Dia melihat seorang gadis berjalan bergegas menyeberang jalan. Gadis itu memakai kaos bergambar sablon wajah lelaki berkumis itu. Kematian seorang pengecut seperti dirinya tak akan pernah mendapat kehormatan seperti kematian lelaki yang dibunuhnya.

Saat melintas di depan toko kelontong berkaca lebar dia berhenti, memandangi bayangan muram tubuhnya; kulit coklat gelapnya tersamar warna jaket yang telah pudar, mata cekung dan alis matanya yang semurung sayap burung sedikit tertutup rambut yang mulai gondrong. Bayangan di kaca itu seperti hantu masa lalu yang tak ingin dilihatnya.

Kemudian dia berjalan menuju kelokan, dan untuk terakhir kali memandang kedai kopi itu dari kejauhan, sebelum akhirnya menghilang ke dalam cahaya kota yang remang. Bila pada akhirnya dia benar-benar menghilang dari dunia ini, adakah seseorang yang masih mengingat dan mengenangnya?

***

Choose Site Version
English   Indonesian