Click here for:

Zakaria

Author and journalist Linda Christanty’s essay, “Militerisme dan Kekerasan di Timor Leste” (Militarism and Violence in East Timor), won the 1998 Human Rights Award for Best Essay. Her collection of short stories, Kuda Terbang Maria Pinto (Maria Pinto’s Flying Horse), won the Khatulistiwa Literary Award in 2004. She is also the author of Tongkat Sultan (Sultan’s Stick), a novel about the thirty-year conflict in Aceh, and From Java to Atjeh, a collection of articles about sharia law, political conflict, ethnic nationalism, and homosexuality. In 2010 she won another Khatulistiwa Award for another collection of short stories, Rahasia Selma. Formerly chief editor of Aceh Feature based in Banda Aceh, Sumatra, Linda is now living in Jakarta, and working as senior editor of Dewi, a prestigious women’s magazine.

In Zakaria, one of her many short stories set in Aceh during and after the political conflict, Linda reveals the very human face of Aceh to the world.

Copyright (c) 2011 by Linda Christanty. Published with the author’s permission.
Translation (c) 2013 by Dewi Anggraeni.
 
 

***

 

ZAKARIA

Zakaria termenung di kamarnya, yang tak pantas disebut kamar. Ruang ini markas kawanan perabot, tempat kakaknya menyimpan perkakas dapur dan peralatan makan untuk kenduri, hari raya atau menjamu tamu keluarga dari lain kota.

Sarang laba-laba sambung-menyambung di antara tumpukan perabot itu, memerangkap laron atau menjaring nyamuk sekaligus menandai kamar ini luput dari perhatian penghuni tetapnya. Di tengah riuh kepungan dandang, talam, panci, piring, mangkok dan gelas itu, terbentang sehelai kasur tipis kumal Zakaria, lelaki kurus kering yang terlentang di atasnya dengan setengah badan beralas rambut panjang sepinggang, yang sungguh hitam dan tebal, tapi berminyak dan bau apak.

Sepasang mata Zakaria terbuka lebar. Senyumnya merekah sesekali. Ia membayangkan orang-orang pilihannya yang akan ikut aksi sore nanti. Geuchik Syawal ada di urutan pertama orang pilihannya. Geuchik Syawal punya ilmu menghilang, jadi zat tak tercium dan tak teraba di saat-saat yang dianggap perlu. Lelaki ini menyimpan azimat tulang kucing. Berkat azimat itu pula Geuchik Syawal pernah mabuk Stephenson tanpa dilihat orang. Istrinya yang mondar-mandir menjemur pakaian di pekarangan rumah bahkan tak melihat suaminya tersandar di bawah sebatang kelapa di samping kandang ayam mereka.

Zakaria mendengar kisah tadi dari teman-temannya, yang mengetahui kehebatan Geuchik Syawal dari gunjingan orang-orang kampung. Tapi anehnya Zakaria enggan mencari kebenaran dari mulut sang tokoh sendiri. Ia khawatir kebenaran membuatnya kecewa dan melumpuhkan semangatnya untuk menghadapi hari-hari sulit. Kelak azimat tulang kucing Geuchik Syawal jadi kisah yang mengilhami begitu banyak orang, terutama kaum yang tak berdaya dan tertindas untuk menemukan kembali semangat hidup mereka melalui benda-benda mati.

Namun, tidak semua tulang kucing bisa dijadikan azimat. Tulang kucing hitam mata merah adalah satu-satunya jenis tulang bertuah itu. Untuk mendapatkan azimat tulang kucing hitam mata merah juga tidak mudah.

Si pemburu azimat harus mengejar-ngejar dan menangkap kucing-kucing hitam, lalu memeriksa mata mereka satu per satu, seperti cara dokter memeriksa pasien di ruang praktik. Sementara itu kucing hitam mata merah juga sudah langka akibat ulah para pemburu azimat tulang kucing. Andai kamu beruntung memperoleh seekor kucing hitam mata merah, jangan bersorak girang dulu. Ujianmu belum selesai.

Kamu harus menempuh cara berkorban Nabi Ibrahim saat mempersembahkan putranya Ismail pada Allah. Pertama-tama, perlakukan kucingmu sebagai buah hati. Peliharalah ia sampai jinak, sampai rasa sayangmu membuat kaulupa bahwa kucing ini sama sekali tak berguna ketika hidup. Di puncak rasa sayangmu itulah kau wajib menyembelihnya. Kau harus tega mengakhiri riwayat si manis yang biasa menyuruk manja ke pangkuanmu dan meringkuk lelap di situ.

Setelah melewati tahap ini, nasibmu agak berbeda dengan Nabi Ibrahim. Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang kelak menyelamatkan persembahan Ibrahim. Ia menukar Ismail, putra Ibrahim, dengan seekor domba. Semua cerita ini tertera dalam kitab suci. Tapi kucing yang kau sembelih itu benar-benar terkulai mati dan tidak bangun lagi. Kau harus menguburnya di titik temu empat jalan tanpa seorang pun tahu. Di hari yang kauanggap daging kucing itu telah hancur menyatu dengan tanah dan tinggal tulang-tulangnya yang tersisa, datanglah ke tempat tersebut bersama seorang teman terpercaya. Bongkar kuburan kucing. Minta temanmu menyaksikan kamu memegang setiap tulang. Sebab tak semua tulang kucing hitam mata merah menyimpan tuah. Tulang yang membuatmu hilang saat memegangnya, itulah tulang bertuah dan pantas kausimpan sebagai azimat.

Zakaria memperoleh resep azimat tulang kucing dari tabib tua, tetangga kakaknya. Ia sudah hapal proses pembuatannya di luar kepala.
Sebelum bertemu langsung dengan Geuchik Syawal, Zakaria pernah mengerahkan teman-temannya mencari kucing hitam mata merah. Tapi tidak seorang pun berhasil menangkap kucing itu hidup-hidup meski dua minggu berputar-putar di pasar ikan dan mengintai-intai tempat-tempat sampah. Zakaria pantang menyerah. Ia kemudian memasang perangkap kucing di samping rumah kakaknya. Dua hari kemudian dilihatnya ayam betina kakaknya yang mondar-mandir dalam perangkap itu.

Berdekatan dengan pemilik azimat tulang kucing juga membuat kamu bisa menghilang, asal ia menggandeng tanganmu tepat sebelum menghilang. Zakaria juga tahu soal ini. Mengajak Geuchik Syawal ikut serta dalam aksinya tentu saja bukan tanpa maksud tersembunyi. Selain Geuchik Syawal, ia meminta Taufik, temannya sejak kecil, turut bergabung. Taufik tidak memiliki azimat. Tapi ia senang berurusan dengan azimat. Ia pernah membantu Zakaria mengejar-ngejar kucing hitam. Ketika teman-teman lain mulai putus asa dan menghindari pasar ikan dan tempat sampah, Taufik masih saja berputar-putar di dua lokasi khusus ini. Zakaria menghargai kesetiaan Taufik, lalu mengganjarnya dengan ajakan istimewa.

Di sore hari itu tiga lelaki tampak riang dalam truk yang melaju. Geusyik Syawal menyetir, Taufik di tengah, Zakaria di ujung sana. Geuchik Syawal asyik merokok sejak roda truk berputar dari titik keberangkatan.

Di bak belakang, tertutup kain terpal, bersemayam muatan rahasia untuk dikirim ke Pulau Jawa. Pos jaga ada di mana-mana. Mereka perlu waspada. Namun, kesaktian Geuchik Syawal membuat hati Zakaria tenang.

Truk menembus malam, berjam-jam. Jalanan sunyi. “Kalau bisa mobil ini juga tak terlihat, Chik Wal,” cetus Zakaria.

“Oh, ya, ya, tentu….” Geuchik Syawal tertawa-tawa.

Ia masih saja dipanggil geuchik, meski sudah lama pensiun sebagai kepala desa atas permintaan sendiri. Ia lebih suka berniaga ketimbang mendengar macam-macam masalah warga yang membuatnya pening kepala dan darah tinggi.

Di tengah jalan tiba-tiba melintas seekor kucing. Putih belang-belang. Sorot lampu tak membuatnya bergegas. Geuchik Syawal menghindari kucing itu dengan sigap. Selain sakti, ia pengemudi andal.

“Pertanda apa ini?” tanya Taufik.

“Pertanda buruk,” tukas Zakaria, bergurau.

Geuchik Syawal diam saja.

Setelah kucing melintas, di kejauhan tampak riuh sorot lampu mobil-mobil. Jantung Zakaria berdetak. Mereka akan mengalami masalah berat.

“Kita akan kena, kita akan kena,” gumam Geuchik Syawal, langsung menghentikan truk di pinggir jalan.

Zakaria menyaksikan lelaki itu buru-buru membuka pintu truk lalu berlari ke arah kebun. Semula ia mengira Geuchik Syawal sedang menyiapkan azimatnya agar mereka menghilang bersama. Tiba-tiba Taufik melompat keluar truk, mengusul lelaki itu, menghilang dalam gelap. Zakaria terkesima. Namun, dengan cepat ia mulai menangkap ada yang tak berjalan semestinya.

Ia pun bergegas membuka pintu mobil, tidak menyusul kedua temannya ke dalam gelap, melainkan merayap di tanah, lalu menyuruk ke bawah truk dan bersembunyi di balik roda belakang.

Tak berapa lama mobil-mobil mendekat dan berhenti. Suara riuh-rendah. Orang-orang berseragam. Mereka bergegas mengerumuni truk, membuka dan membanting pintu. Ada yang menggerutu tak menemukan kunci kemudi. Ada yang meminta temannya menusukkan sangkur ke muatan truk itu, menikam orang-orang yang barangkali bersembunyi di bawah terpal dan membuat mereka menjerit untuk ditemukan.

Zakaria merasa sekujur tubuhnya bagai kehilangan darah dan ia menggigil hebat. “Sangkur saja. Sangkur saja!” seru salah satu dari mereka pada temannya, dengan menyebut huruf “u” yang seolah berimpitan dengan huruf “o” dan huruf “j” yang terdengar lebih tebal dari semestinya.

Ia melihat sepatu-sepatu lars mereka hilir-mudik. Kadangkala sepatu-sepatu itu berhenti tepat di sisi roda tempat ia berlindung. Dada Zakaria mulai sesak. Tenggorokannya seperti tercekik.

Salah seorang dari pasukan berseragam itu kemudian memerintahkan semua bersiap melanjutkan perjalanan demi keselamatan. Ia, barangkali komandan mereka, khawatir truk ini cuma pancingan pihak lawan untuk menyerang mereka di tengah malam.

Mereka bahkan tidak sempat membuka terpal dan menemukan muatan rahasia itu. Derap sepatu bergegas menjauh. Mesin-mesin mobil menderu.
Zakaria sengaja tak bergerak selama setengah jam. Ia menenangkan dulu detak jantungnya. Setelah merasa aman, ia keluar dari bawah truk, masuk kebun gelap. Berkali-kali ia jatuh tersandung tonjolan akar dan semak, tapi akhirnya dilihatnya kerlip lampu.

Ia lega, karena disangkanya lampu itu berasal dari gubuk penjaga kebun. Namun, ia tidak ingin mengejutkan para penghuninya. Ia hanya akan tidur dekat gubuk itu dan bersyukur telah selamat dari bahaya. Tinggal beberapa meter lagi dari gubuk tersebut, langkah Zakaria terhenti. Seekor anjing menyalak, keras.

Perlahan-lahan Zakaria mengerti bahwa gubuk itu tidak dihuni manusia, melainkan beberapa ekor sapi. Bau kotoran binatang mulai tercium. Anjing galak ini bertugas menjaga sapi-sapi.

Zakaria memutuskan mundur pelan-pelan, menjauhi gubuk. Anjing terus menyalak. Zakaria terjerembab di tanah bercampur kotoran sapi. Namun, ia sama sekali tak sempat mengumpat. Ia ingin cepat-cepat pergi, menghindari gigitan anjing.

Ia terus berjalan menyusuri kebun-kebun, sampai kelelahan dan tiba-tiba menemukan lagi jalan raya. Pikirannya masih diliputi cemas. Jangan-jangan ia masih terlalu dekat dengan truk tadi. Geuchik Syawal dan Taufik benar-benar menghilang. Apakah mereka berhasil mencapai perkampungan? Apakah mereka bersembunyi di kebun orang? Azimat tulang kucing atau gelapkah yang lebih mahir menyembunyikan dua kawan tak setia tadi?

ZAKARIA berdiri di tepi jalan raya, melambai pada mobil-mobil lewat. Sorot lampu mobil-mobil itu menguak gelap dan menyinari tubuh Zakaria. Tapi mobil-mobil tak satu pun menepi untuk memberinya tumpangan. Mobil-mobil justru menambah kecepatan mereka begitu mendekatinya, sehingga tubuh Zakaria tersentak ke belakang dilanda angin kencang.

Sudah lima mobil lewat dengan tabiat serupa. Jalanan kembali sunyi. Zakaria nyaris putus asa. Badan bau kotoran sapi. Tubuh penat luar biasa. Perut berkeriyuk berkali-kali. Dingin menggigit tulang.

Lama-kelamaan baru disadarinya para pengemudi itu barangkali mengira ia hantu. Rambutnya panjang sepinggang, tergerai dan kusut masai. Dari kejauhan, ia tampak sebagai makhluk dari dunia lain.

Kelak cerita tentang hantu gadis berambut panjang di Padang Tiji menyebar dari kampung ke kampung dan akhirnya sampai juga ke telinga Zakaria. Teman-temannya bergunjing tentang hantu itu, siang malam. Arwah orang yang mati terpaksa. Sebelum dibunuh, dia sempat disekap di rumah besar itu dan diperkosa. Dia bukan orang Padang Tiji, tapi dari kampung lain. Zakaria ingin memberitahu teman-temannya kisah yang sebenarnya, dari sudut pandang manusia yang dituduh hantu yang tak lain dari dirinya sendiri, tapi ia kemudian mengurungkan niat itu. Biarlah tahayul menghibur mereka di masa yang muram dan berat ini.

Setelah Zakaria mengepang rambut, mobil keenam berhenti di hadapannya. Ada dua lelaki dalam truk itu. Mereka tak keberatan ia menumpang, malah memintanya naik buru-buru dan duduk di jok depan.

Zakaria duduk dekat pintu, setelah lelaki yang tadi duduk di situ menggeser badannya ke tengah. Pengemudi truk dan temannya menyangka ia baru turun dari bukit. Truk ini membawa alpokat, kol, dan kentang dari Takengon, daerah pegunungan yang jauh dari sini.

Ketika sampai di kota, si pengemudi menghentikan laju truknya di muka pasar. Zakaria pun turun di situ, lalu berjalan kaki ke rumah kakaknya. Satu hari yang melelahkan telah usai.

Ia bersyukur masih selamat dan pulang ke rumah dalam keadaan segar-bugar. Seperti pagi kemarin, Zakaria kembali berbaring di kasurnya, di markas perabotan. Ia kini sudah mandi dan keramas.

Matanya benar-benar mengantuk, sehingga kasur tipis itu terasa empuk. Sebelum matanya terpejam dan alam nyata berganti mimpi, ia mendengar pintu kamarnya dibuka orang.

Perempuan berkerudung melangkah masuk, lalu pelan-pelan mendekati tempatnya berbaring.

“Dik, cepat sekali kau pulang. Bagaimana barang kita?” bisik perempuan itu.

Zakaria segera bangkit dan duduk di kasur. Kepalanya pening sebelah. “Tidak sampai ke tujuan, Kak. Panjang ceritanya,” katanya, lirih.

Wajah kakaknya langsung muram. “Dua ratus kilogram ganja hilang begitu saja dan tak ada uang sepeser pun kau bawa. Apa ceritaku nanti pada Panglima? Bagaimana mereka beli senjata?,” rutuk kakaknya, panjang-pendek, tapi tetap berbisik.

“Bukan hilang, Kak, tapi kami tinggalkan dengan truknya sekalian. Geuchik Syawal ternyata bukan orang sakti, Kak. Dia itu pembohong.”
“Kalau dia sakti sudah lama dia kaya-raya, tak payah cari makan. Orang macam dia masih kau percaya juga,” desis kakaknya.

Zakaria terdiam.

Kakaknya kemudian bergegas ke pintu, seraya beramanat, “Ingat ya, jangan sampai Abang kau tahu kerja kita.”

Suami-istri tiap malam tidur seranjang, tapi isi kepala sendiri-sendiri, batin Zakaria.

Abang iparnya kepala polisi. Tiap kali mereka makan malam bersama, abangnya selalu memaki orang-orang yang nekad mendirikan negara sendiri. Kakaknya tak pernah menanggapi. Ia selalu sibuk mengunyah-ngunyah atau mengedarkan piring lauk-pauk dan sayur.

Seharian itu Zakaria tak ditegur kakaknya

***

 

Choose Site Version
English   Indonesian