Click here for:

Merdeka Iman

Aryl Timothy Madilah loves reading and learning about language. He studies translation at the English Literature Department, Faculty of Languages ​​and Arts, at Satya Wacana Christian University.

Madilah has taught at the Pelangi Nusantara Course and Training Institute since 2023, and also teaches Indonesian for foreign speakers and English for high school students. He often writes fantasy-style stories on his Wattpad page and shares short poems on Instagram, @himthatlilomayday.

Aryl’s winning question: Does the story’s location actually exist and, if not what inspired you to create it? How and why did you choose which Indonesian words to translate and which Indonesian words not to translate for the English reader?

Aryl Timothy Madilah: timothymadilah024@gmail.com.

 

***

 

Merdeka Iman

Angin sepoi bertiup masuk dari jendela-jendela kelas, mengusir rasa gerah yang disebar oleh terik Magelang. Langit hari itu bersih dari awan meskipun Maret baru bersua, sehingga atap genting kelas itu tidak cukup untuk mencegah udara beringsang. Para murid di kelas itu baru selesai memberi salam serempak kepada Paulus, guru pelajaran agama, setelah jam pelajarannya berakhir. Dia beranjak dari meja guru, sementara para murid kembali duduk, merapikan meja, mengorek-ngorek isi tas, dan saling bercengkerama.

Paulus menghentikan langkahnya tepat di ambang pintu, lantas berbalik dan memanggil seorang murid. “Mardika!” Dengan alis mengernyit, bibir melengkung ke bawah, dan mata memicing, Paulus mencari sosok yang dia panggil. “Nanti ke ruang guru. Saya mau bicara denganmu.”

Perhatian para murid teralihkan sejenak. Ada yang menoleh ke arah Paulus, ada yang menoleh ke arah Mardika. Paulus kembali melangkah keluar dari kelas itu, sementara Mardika mengembuskan napas pelan, menatap lelah ke arah Paulus yang pergi meninggalkan kelas.

Bunyi lonceng berdentang keras, menggema mengisyaratkan jam istirahat.

***

Para murid berbondong-bondong keluar, menyapa semburat keemasan di luar kelas. Lapangan sekolah menjadi ramai oleh murid-murid yang lalu-lalang dengan tas di punggung mereka. Mardika berjalan menyusuri selasar dengan langkah lambat dan mata terpatri ke depan. Tidak menyadari ada Rahardian di belakangnya.

“Woi!”

Mardika tersentak kecil, punggungnya ditepuk sampai berbunyi halus. “Kaget!” Dia menoleh kesal pada Rahardian, pemuda yang kini berjalan beriringan di sebelah kanannya. “Kenapa?”

Rahardian tergelak. “Jalanmu kayak orang lesu. Gampang dibikin kaget.”

Mardika hanya menggeleng. “Kebiasaan.”

Rahardian menghela dan mengembuskan napas, meredakan tawanya. Dia merangkul Mardika sampai bahu Mardika oleng sedikit. “Pak Paulus bilang apa aja tadi? Aku tunggu kamu sampai istirahat selesai, kamu tidak muncul-muncul.”

“Biasa,” jawab Mardika. “Di mejanya di kantor guru, aku diceramahi panjang lebar soal nilai agamaku. Katanya aku tidak ada niat belajar, tidak ada keinginan berubah. Suaranya keras banget sampai guru-guru lain melirik-lirik ke meja kami. ‘Minggu depan sudah penilaian tengah semester, kamu mau nilaimu anjlok kayak semester lalu?’ Begitu katanya. Habis itu aku malah didoakan sama dia. Dimintakan tuntunan Roh Kudus.”

Rahardian kembali tertawa, keras tawanya mengundang mata beberapa murid di parkiran sekolah. “Memang ya, bapak kita itu. Kelakuan luarnya aja mendukung kepercayaan berbeda, padahal aslinya cari muka. Mana ada guru agama, guru agama Islam sekali pun, yang bacain ayat ke siswa di dalam ruang guru? Ngawur, sembarang.”

“Hus, Yan, banyak orang,” tegur Mardika.

Rahardian membalas dengan decak tak acuh. “Nggak salah, kok. Biar aja didengar orang.” Mereka sampai di pelataran parkir. “Ayo, cari makan dulu.”

Mardika mengernyit. “Belum makan?”

“Kamu ‘kan lama banget di sana tadi.” Rahardian menyodorkan helm candangan dan menyalakan motornya. “Ayo. Sembahyangmu masih lama, ‘kan?”

Mardika menggeleng, tidak percaya bahwa Rahardian sudah sabar menunggunya supaya mereka bisa makan bersama. “Ayo. Di tempat biasa ya?”

***

Lampu teras telah menyala temaram ketika Mardika tiba di depan rumah. Dia melakukan salam kepalan kepada Rahardian, mengucapkan terima kasih dan bilang sampai bertemu besok. Rahardian lantas melaju melewati jalan kecil berpenerangan remang-remang. Ketika Mardika memasuki halaman rumah, motor bebek hitam telah terparkir di kiri pintu pagar sebelah dalam, siap untuk dibawa keluar. Melihat itu Mardika buru-buru masuk ke dalam rumah.

Sugeng dalu, Pak, selamat malam,” ucap Mardika ketika memasuki rumah. Dia menghampiri Hartono, ayahnya, yang sedang duduk di kursi ruang tamu. Mardika menyalami ayahnya dengan membungkuk dan menempelkan dahinya ke punggung tangan ayahnya.

Sugeng bengi, selamat malam Nang,” balas ayahnya. “Kenapa baru pulang?”

“Tadi pergi makan sebentar, diajak Rahardian,” jawab Mardika halus. “Bapak sudah siap?” tanyanya, mengabaikan penampilan ayahnya yang sudah berpakaian rapi dengan lurik, kemeja coklat tua berlengan panjang dengan bujur garis hitam, dan blangkon, penutup kepala khas Jawa. Di sebelah ayahnya, juga ada bungkusan.

“Tinggal tunggu kamu.” Ayahnya berdeham sekali. “Mandi dulu sana. Mau sembahyang harus bersih.”

Mardika berjalan cepat menuju kamar, melepas tasnya, dan melesat ke kamar mandi. Setelah kira-kira lima menit berlalu dia sudah kembali ke kamar. Sesaat kemudian dia keluar dengan kemeja dan celana panjang serba hitam, menghampiri ayahnya yang sudah berdiri di ambang pintu dengan bungkusan di tangan.

“Astuti tidak ikut, Pak?” Mardika celingak-celinguk.

Dari bagian dalam rumah terdengar suara melengking menyahut, “Ogah!”

Ayahnya memejam.

Mardika menggelengkan kepala sambil menggumam, “Anak itu.”

“Sudah, sudah. Sudah makin malam, tidak baik berlama-lama,” putus ayahnya. Dia mengangkat bungkusan yang dipegangnya sampai setinggi dada Mardika. “Nang, pegang ini. Ayo kita pergi.”

Mardika menerima bungkusan itu, melangkah keluar rumah sembari menutup pintu dan menguncinya.

***

Mardika dan Hartono melintasi jalan setapak di antara kubur-kubur berkijing. Mereka kemudian berhenti di sisi sebuah kuburan dengan nisan kayu yang berterakan nama Watiningsih, ibu Mardika. Mardika membuka bungkusan yang berisi dupa, kemenyan, dan kantung kecil berisi kembang. Dia menaburkan kembang ke atas kuburan itu, sementara Hartono meletakkan dupa dan kemenyan di depan nisan. Sesudah menyalakan dupa dan kemenyan itu, keduanya bersimpuh. Mereka mengatupkan tangan, memejamkan mata, dan memanjatkan doa.

Dalam doanya untuk sang ibu, Mardika terbayang peristiwa tepat setahun lalu, ketika keluarganya berduka karena kepergian sang ibu. Hanya ada Pak RT dan sedikit warga yang membantu pemakaman waktu itu, karena pembatasan akibat wabah COVID masih diberlakukan. Namun yang lebih membekas di ingatannya adalah kenyataan bahwa ibunya dimakamkan menurut tata cara Islam. Semua warga yang menyempatkan diri membantu, yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, seluruhnya muslim.

Hati Mardika ngilu seakan ditusuk jarum tiap kali teringat akan hal itu. Orangtuanya adalah penghayat Kapribaden yang teguh, yang giat dalam menjalankan ajaran Romo Semono. Namun, keadaan memaksa mereka untuk melepas kepergian sang ibu dalam tata cara yang tidak mereka anut. Dalam doanya untuk sang ibu, Mardika menyisipkan permohonan pada Moho Suci, pada Tuhan, agar ketika ajal menjemput, ayahnya maupun dirinya dapat dimakamkan menurut tata cara penghayat Kapribaden.

Ketika Mardika membuka mata, dia mendapati ayahnya sedang merapikan barang yang mereka bawa. Walaupun raut muka Hartono datar, Mardika merasakan ada kelegaan yang terpancar dari wajah itu. Mardika ikut berdiri, memegang nisan kayu itu sesaat, kemudian melangkah mengekori ayahnya dalam diam.

“Bapak ya, Nang,” Hartono membuka percakapan, “dulu sebenarnya pengin Ibu disemayamkan menurut Kapribaden.”

“Hm.” Mardika membalas, antara terkejut dan tidak. Kepalanya sedikit menunduk mencoba mengatur langkah di jalan setapak yang berpenerangan remang-remang.

Hartono meneruskan. “Waktu itu memang susah. COVID bikin kita tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa narimo, menerima dan ikhlas. Bapak, ya, Nang, bukannya tidak suka dibantu mereka. Toh caranya juga mirip dengan cara kita menyemayamkan orang meninggal.”

Iya, mirip, hati Mardika menyahut, tapi

“Tapi rasanya Ibu seperti dijauhkan dari kita, Nang.” Hartono meneruskan suara hati Mardika.

“Iya, Pak.” Mardika kini menyuarakan isi hatinya. “Aku usahakan Bapak kelak enggak sampai seperti itu.”

Hartono terkekeh pelan. “Masa depan tidak ada yang tahu, Nang. Tapi yang paling penting kamu tetap teguh dengan kepercayaan kamu. Tetap dituntun Moho Suci untuk menggapai apa yang mau kamu gapai. Bapak bangga sama kamu, Nang, karena kamu tidak malu mewarisi apa yang Bapak-Ibumu ini percayai. Bapak yakin, nantinya orang-orang akan lebih terbuka lagi dengan orang-orang seperti kita ini.”

“Iya, Pak,” jawab Mardika.

Mardika berhenti sejenak ketika mereka sampai di gapura pekuburan. Dia menengadah, memandang bulan yang hampir berwujud separuh. Awan mendung perlahan menutupi langit, dan rasanya ada setitik air menyentuh pipinya. Mardika buru-buru menghampiri Hartono yang telah menyalakan motor.

***

Bekas hujan yang mengguyur basah Magelang malam itu hilang sama sekali pada keesokan harinya. Terik siang menembus rambut Mardika yang sedikit gondrong, membuat kepalanya kepanasan selagi dia dan Rahardian melintasi lapangan sekolah. Begitu sampai di selasar depan kelasnya, mereka berdua duduk di lantai.

“Panas banget, gila!” Rahardian mengeluh. “Lain kali jangan tinggalin bukumu di rumah.”

Mardika mengipasi tengkuknya dengan buku catatan yang baru saja mereka ambil dari rumahnya. “Ya maaf, kupikir udah masuk tas tadi pagi,” dalihnya. “Makasih udah pinjamin motor, ya.”

“Aman.” Rahardian mengangkat jempol, kemudian mengibas-ngibaskan kerah seragam batiknya. “Untung Pak Satpam baik, mau ngijinin tadi. Oh ya, catatan agamamu lengkap, ‘kan?”

Mardika berhenti mengipas, membuka-buka buku catatan yang dipakainya mengipasi tengkuk dan leher sedari tadi. “Lengkap, kok,” jawabnya yakin setelah memeriksa isi buku itu tiga kali. Dia lalu menoleh kepada Rahardian. “Terakhir yang Perdamaian dalam Budaya itu, ‘kan?”

Rahardian mengangguk. Kemudian dia terkekeh kecil, sepertinya tergelitik oleh sebuah ingatan yang menyelip muncul.

“Kok ketawa?” Mardika mengernyit.

“Enggak, jadi ingat aja,” ujar Rahardian. “Waktu itu ‘kan Pak Paulus bahas soal beriman lewat iman orang lain. Lucu aja, soalnya kelakuan beliau ke kamu itu justru nggak mencerminkan hal itu.”

Sontak Mardika memutar ingatan. Benar memang, waktu itu Paulus membahas banyak tentang bagaimana semangat tolong-menolong dan gotong-royong itu sudah ada di Indonesia sejak dulu kala. Beliau juga dengan penuh semangat menekankan bahwa semua itu adalah nilai Kristiani yang muncul dengan corak kedaerahan. Bagi beliau, itu adalah bukti kehadiran jiwa Kristiani di bumi pertiwi ini. Pendapat itu menggelikan bagi Mardika, mengingat semua contoh itu sudah lama ada sebelum agama Kristen masuk.

“Aku memang bukan Kristen taat ya,” Rahardian melanjutkan, “tapi bukannya contoh-contoh yang dikasih Pak Paulus itu semuanya lebih ke arah nilai budi pekerti ya? Artinya bukan cuma punya orang Kristen. Pendeta gerejaku kalau bahas soal itu juga selalu bilang, semua agama, semua kepercayaan itu punya nilai budi pekerti yang umum sifatnya, yang menuju pada kesejahteraan manusia.”

Mardika menyetujui. “Semua kepercayaan memang tujuannya untuk kesejahteraan manusia kok, tapi selain itu juga kesejahteraan manusia dengan dunia sekitarnya. Semua adat yang kami lakuin itu nggak cuma asal menyembah roh, apalagi setan. Aku pernah bilang ‘kan, kami mengajarkan untuk laku tresno welas lan asih marang opo lan sopo wae, mencintai dan berkasih sayang kepada apa dan siapa saja. Adat kami itu ya sama saja dengan ibadah yang dijalankan oleh para penganut agama.”

“Makanya. Beliau itu sebenarnya justru enggak menerapkan nilai-nilai yang beliau ajar kalau masih memandang rendah kamu. Katanya saja, ‘Kasihilah musuhmu,’ tapi ini murid sendiri kok tidak dikasihi,” rangkum Rahardian.

Mardika mengangguk, bersependapat. Tepat setelah itu dentang lonceng terdengar, mengisyaratkan para murid untuk kembali ke kelas.

***

Tiga hari telah berlalu sejak percakapan Mardika dengan Rahardian, tetapi Mardika masih bisa mendengar samar-samar perkataan Rahardian di telinganya. Apapun yang berurusan dengan kepercayaannya akan selalu meninggalkan bekas di jiwa Mardika. Buku catatan agama yang diterawanginya sedari petang turut menimbun gundah. Sekeras apapun Mardika mencoba mempelajari kisi-kisi ujian agama besok, gundah hatinya selalu mengganggu perhatiannya. Otak Mardika masih bergelut dengan kenyataan bahwa kebebasan iman belum juga bisa benar-benar dia rasakan.

Mardika merasa pelipisnya seperti ditusuki jarum. Dia memutuskan untuk berhenti sejenak. Dia melempar bukunya ke atas meja ruang tamu sampai menimbulkan bunyi kecil. Tepat pada saat itu, matanya menangkap sosok Astuti berjalan menuju pintu depan. “Mau ke mana, Dik?” Alisnya mengkerut mendapati adiknya berpakaian rapi dan santai, juga menyampirkan tas selempang kecil.

“Ikut temen, ke kota,” jawab Astuti tanpa menoleh pada Mardika.

Mardika menjeling ke arah gawainya yang menyala, memeriksa jam. Sudah pukul enam sore kurang sepuluh menit.

“Ikut ibadah bareng di gereja temenmu lagi?” Mardika menebak, samar-samar terdengar dengusnya.

“Iya, Mas,” Astuti menjawab, pendek dan datar. Tangannya membuka pintu, tetapi dia belum melangkah keluar. Dia menawarkan dengan suara malas, “Mau ikut?”

Mardika mengembuskan napas. “Enggak. Cuma tanya.” Dia heran juga dengan tawaran adiknya.

Astuti menggeleng kecil. “Anak muda itu ya bergaul toh, Mas. Bukan sibuk sembahyang aja.” Tangannya melepas pegangan pintu, merogoh ke dalam tas selempangnya dan mengeluarkan gawai.

Oh, anak ini …. Kernyitan heran Mardika berubah menjadi kernyitan jengkel. “Mulutmu itu ngawur banget, sembarangan. Keluar rumah itu pamit, bukan cari perkara.”

“Iya, iya. Pergi dulu, temenku udah sampai.” Astuti melangkah keluar, setengah tergesa.

“Hati-hati di jalan! Pulang nanti jangan kemalaman!” seru Mardika. Dia lalu berdiri, pergi menutup pintu yang ditinggalkan terbuka oleh Astuti.

“Ikut ibadah bareng temen cuma cari seru-serunya aja,” gumam Mardika sembari menutup pintu. “Ibadah macam apa itu. Dasar. Dikiranya sembahyang itu nggak guna, apa?” Mardika kembali duduk di kursi ruang tamu. Menatap penat buku catatannya.

Bagi Mardika, belajar untuk ujian itu bukanlah hal yang amat sulit. Hanya saja, dia selalu kehilangan minat setiap bertemu dengan pelajaran agama. Sedari sekolah dasar, nilainya di setiap ujian, dengan rentang nilai tertinggi seratus, tidak pernah melebihi tujuh puluh. Mardika tidak pernah puas dengan belajar agama orang lain; dia ingin merasakan belajar agamanya sendiri di sekolah.

Bukan berarti Mardika tidak diajarkan sama sekali tentang agama dan kepercayaan oleh ayahnya. Namun, Hartono memang lebih sering mengajarkan padanya berbagai ajaran dan cara hidup sebagai seorang penghayat Kapribaden. Mardika mempercayai dan melakukan semua itu dengan penuh keyakinan hingga kini, dan selalu merasakan kedamaian dengan melaksanakan ajaran-ajaran itu. Itulah yang membuatnya teguh pada kepercayaannya.

Namun Mardika rindu untuk mempelajari kepercayaannya, yang baginya adalah agamanya, dengan bebas di sekolah.

***

Hartono duduk menemani Mardika, setelah meminta izin dari kantor kepolisian tempatnya bertugas untuk mengikuti penerimaan hasil ujian anaknya. Keduanya duduk menghadap Paulus yang sedang memaparkan perolehan nilai Mardika. Siang itu langit penuh oleh awan kelabu.

Sepanjang pemaparan yang dilanjutkan penjelasan oleh Paulus, perhatian Mardika berkelana ke mana-mana. Otaknya enggan mendengarkan kata-kata wali kelasnya itu. Toh penjelasannya itu-itu terus, pikir Mardika, nilai-nilainya bagus tapi masih bisa ditingkatkan.

Ketika Paulus membahas pelajaran agama, Mardika tetap tidak acuh. Pelajaran itu selalu menjadi titik rendahnya, titik yang wajib dia tingkatkan. Telinganya sudah lelah dengan nasihat itu.

“Makanya saya jadi khawatir dengan perkembangan rohani anak Bapak,” ujar Paulus, menatap Hartono lekat-lekat sambil berdeham kecil.

Mardika yang menangkap perkataan itu seketika mengernyit tipis, melirik Paulus.

Hartono mengguratkan senyum kecil dan terkekeh singkat. “Bapak tidak usah khawatir soal itu. Saya selalu mengajarkan ihwal kerohanian pada Mardika juga kok di rumah, Pak,” jelasnya.

“Itu bagus, Pak Har,” tanggap Paulus, “tapi karena ini pelajaran Agama Kristen, saya sebenarnya berharap Mardika bisa belajar lebih giat juga untuk mendapat nilai yang memuaskan seperti di pelajaran lainnya.” Paulus mengunci kedua tangannya di atas meja. Matanya beralih sesaat ke arah Mardika.

“Iya, cuma memang nilai itu tidak betul-betul bisa dijadikan patokan ya, Pak,” balas Hartono.

Mardika tersenyum samar mendengar sanggahan lembut ayahnya.

“Justru itu salah, Pak Har.” Paulus menyanggah. “Nilai ini ‘kan capaian pemahaman, ya. Tapi pemahaman itu juga dilihat dari sikap dan kepribadian. Karena ini pelajaran agama Kristen, sepatutnya capaian siswa itu menunjukkan kalau dia mampu dalam hal hidup sebagaimana yang diajarkan.”

Tiba-tiba saja rasa gerah merayapi sekujur tubuh Mardika. Perutnya bergejolak, dadanya ngilu, kepalanya panas.

Hartono kembali terkekeh pendek. “Mardika ‘kan bukan Kristen, Pak.” Hartono halus mengingatkan sebelum melanjutkan, “Bisa dapat nilai segitu, walaupun agama itu bukan punya dia, buat saya memuaskan kok, Pak.”

Paulus menunduk, menggeleng pelan. “Bukan apa-apa, ya, Pak Har, cuma saya tetap menekankan capaian yang lebih baik lagi. Selama bersekolah di sini nilai agama Kristen Mardika selalu saja hanya rata-rata. Maka dari itu, pemahamannya tentang agama Kristen harus ditingkatkan, bukannya dibiarkan. Penghayat itu ‘kan juga menerapkan nilai-nilai Kristiani sebenarnya,” jelasnya.

Kepala Mardika kini terasa mendidih. Tangan kanannya mengepal di atas pahanya, sedikit gemetar. Kejengkelan yang menimbun ngilu di dadanya hampir mencapai lidah dan membuatnya ingin memuntahkan bantahan.

Hartono, masih menyambut penjelasan Paulus dengan senyum. Sudut matanya dapat melihat tangan Mardika yang mengepal. Diam-diam Hartono menggenggam kepalan Mardika. “Nanti saya bicarakan ke Mardika lagi, ya, Pak,” tutup Hartono.

Mardika mengatur napas pelan-pelan, mencoba menelan semua kejengkelannya.

Mardika dan Hartono berdiri. Mereka menyalami Paulus, kemudian beranjak pergi dari kelas itu. Mendung siang itu mulai menebarkan rintik-rintik ketika mereka pergi.

***

Sudah dua hari hujan dan gerimis bergantian tumpah mengguyur Magelang. Mardika duduk bersila di lantai kamarnya, ditemani suara rintik gerimis dan temaram lampu. Hawa senja nan sejuk yang mendekap Mardika membuatnya tenang. Matanya memejam, napasnya dalam dan teratur. Tangan kanannya lekat di depan ulu hati, dengan telapak menghadap ke kiri, sementara tangan kirinya berada di kiri tubuhnya, sedikit di bawah rusuk. Mardika bersembahyang, menumpahkan gundah dan kesalnya.

Dalam batinnya, Mardika mengingat kembali perkataan Paulus. Mardika merenungkan mengapa perkataan itu membuatnya begitu marah. Dia lantas mengingat semua perkataan, juga perlakuan yang pernah diterimanya. Mardika menarik napas dalam lalu mengembuskannya, ya mengembuskan semua beban hati itu keluar. Dia mengukuhkan keadaan batinnya dan menerima semua yang telah berlalu. Kemudian berdoa untuk keluarganya dan semua penghayat kepercayaan agar mampu manunggal, menyatu dengan Moho Suci.

Tepat ketika Mardika membuka mata menyelesaikan sembahyangnya, terdengar suara motor tiba. Mardika berdiri dan melangkah keluar kamar. Di teras dia mendapati Hartono sedang membuka jas hujan.

“Sugeng dalu, Pak, selamat malam,” sapa Mardika, menghampiri dan menyalami Hartono dengan menempelkan dahi ke punggung tangan ayahnya.

“Sugeng bengi, Nang,” balas Hartono. “Daerah Mungkid deras banget. Teman-teman pegiat yang lain tadi pengen nunggu di sekolah habis menanyakan soal pengadaan pelajaran buat penghayat, tapi Bapak nggak mau. Pengennya langsung balik, tidur.”

Keduanya berjalan ke dapur mendapati Astuti yang asyik makan di ruang makan sambil sesekali membuka gawainya.

“Sugeng bengi, Ndhuk. Lagi makan toh?” Hartono menyapa Astuti.

“Sugeng dalu, Pak. Iya,” balas Astuti ringkas.

“Gimana, Pak?” Mardika mengeluarkan semangkuk garang asem ayam dari lemari makan.

“Masih susah, Nang.” Hartono menyeduh air, kemudian mengambil dua piring dan dua sendok. “Waktu kami datangi, tiga minggu yang lalu, katanya permohonan untuk pengadaan mata pelajaran agama bagi penghayat sedang diurus.

“Sekarang mereka berkata, ‘Tidak bisa dilanjutkan. Harus menghadap dinas DIKBUD.’ Padahal waktu itu pengajar buat penghayat ada dan bareng kami, segala berkas juga sudah lengkap.” Hartono mematikan kompor, menuang air panas ke salah satu gelas, lalu mencampurnya dengan sedikit air dingin dan mengakhiri, “Kan menyusahkan begini ini.”

Mardika dan Hartono membawa semua makanan dan minuman itu ke ruang makan. Astuti beranjak ke dapur dengan piring kosong.

“Jadi masih belum bisa ada pelajaran penghayat di sekolah ya.” Mardika menyimpulkan. Dia memejam sesaat, komat-kamit berdoa, kemudian membuka mata dan mulai menyantap makanannya.

“Bisa, sebenarnya,” ujar Hartono, “cuma baru bisa sebagai pelajaran tambahan, bukan wajib.”

“Itu pun nggak masalah menurutku.” Mardika meyakinkan ayahnya.

Hartono menatap anaknya, tersenyum. “Nanti bakal bersurat lagi ke sekolahmu, mau bantu nganterin?”

Mardika ikut tersenyum. “Mau dong.”

“Mantap.” Hartono terkekeh singkat.

Mulai dari langkah kecil, batin Mardika. Hatinya mantap untuk mengusahakan kebebasan beragama yang selalu bergema lewat berita dan semboyan, di dunia nyata maupun dunia maya. Mardika bertekad membantu mengusahakan hadirnya pendidikan agama bagi penghayat kepercayaan, mulai dari sekolahnya. Mengumpulkan sesama murid yang juga penghayat kepercayaan di sekolahnya. Mardika ingin mendorong mereka untuk teguh dalam iman mereka sebagai penghayat dan menyuarakan hak mereka untuk merasakan kesetaraan dalam mengenyam pendidikan agama. Ramai-ramai bertemu dengan pihak sekolah, kalau harus, batin Mardika lagi, atau sekalian bawa pihak DIKBUD.

Mardika bertekad menggapai kebebasan beragama, beriman, atau berkepercayaan yang sesungguhnya. Mereka akan bebas mengamalkan kepercayaan masing-masing sesuai dengan hak hidup masyarakat merdeka.

 

*****

 

Choose Site Version
English   Indonesian