Click here for:

Mata Yang Menyala

Mona Sylviana was born in Bandung, West Java. She graduated from the Faculty of Communication Science of Padjadjaran University, spending most of her time at the university’s student union for arts, literature, theater, and film (GSSTF). A former member of Bandung’s STB theater troupe, Mona is now active in Teater Nalar (formerly Teater Prung Bandung). She is co-founder of the nonprofit organization focused on equality and plurality, Institut Nalar Jatinangor. Her short stories have been published in many newspapers and magazines, and in the anthologies Improvisasi X (along with Hikmat Gumelar and M. Syafari Firdaus), Sastra Indonesia Angkatan 2000, Dunia Perempuan, and Living Together (International Literary Biennale, 2005) anthologies. She also participated in the residency program of the 2009 Ubud Writers & Readers Festival.

“Mata yang Menyala” first appeared in the short story collection, Wajah Terakhir (PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), copyright © 2011 by Mona Sylviana. Revised version copyright © 2013 by Mona Sylviana. Published with permission of the publisher and author. Translation copyright © 2013 by Indah Lestari.

***

 

Mata Yang Menyala

Hujan bersisa. Bau lembab tanah menempeli pucuk daun pisang, buluh-buluh bambu, daun-daun mangga. Angin liar mengayun-ayunkannya. Mereka saling menyentuh, bersuara. Siutan panjang tanpa jeda.

Titi menarik ikatan karet gelang di rambut. Helai-helai hitam itu tergerai, menutup kedua cuping telinganya.

Langit bersih. Bulan bulat serupa kancing baju.

Sisa hujan di pinggiran jalan. Bungkus sampo, kotak rokok, tas plastik, berserak tertahan reranting. Tanah longsoran mengendapi selokan. Nyamuk berkerumun.

Titi menaikkan resleting jaket rajut. Tangannya mendekap dada. Ia tengadah. Jalanan mulai mendaki.

Jalanan menanjak yang seolah menyentuh langit itu melengkungkan punggung Titi. Kulit paha berlapis lemak tebal yang saling bergesekan memperlambat langkah kaki. Titi melangkah pelahan. Sesekali ia berhenti. Dada yang nyaris menyentuh gelambir di perut menyendatkan aliran udara keluar-masuk lubang hidung.

Titi menghela nafas.

Hampir dua tahun ia melewati jalanan yang sama. Tanjakan yang dilaluinya itu tidak pernah berubah, tidak pernah bertambah tinggi, tapi masih juga ia megap-megap. Titi tidak mengerti. Kambing aja kalau tiap hari dikasih roti bakal bisa ngomong Inggris…

Titi berhenti. Mengangkat dagu. Tiga temannya nyaris hilang ditelan ujung tajam jalanan. Bayang-bayang mereka memanjang. Celana jins yang membungkus ketat paha padat mereka seperti kepunyaan patung lilin yang dilihat Titi di toko semua lima ribu. Titi melirik celana katunnya. Ukuran 35.

Betis Titi terasa bergetar.

Di pelipis mulai muncul bintik-bintik air. Titi masih di tengah-tengah tanjakan. Masih terengah-engah. Titi memejamkan mata. Dadanya terasa ditindih.

Titi ingat emak.

Seperti ini malam, malam itu pun sehabis hujan.

***

Aku belum delapan tahun.

Titi berbaring menghadap dinding bilik kamar. Tangan emak mengusap-usap rambutnya. Seperti biasa. Di luar, tetesan sisa hujan jatuh ke ember. Jatuh juga ke sumur samping rumah. Sesekali terdengar suara kodok.
Sesekali keciprak langkah. Sesekali sendawa Wak Ohim.

Titi hapal langkah Wak Ohim. Pamannya selalu menyeret sendal jepit seperti itu. Untung hanya dia, tidak bersama mereka yang biasa datang ke rumah untuk menonton televisi. Jadi Titi bisa nyenyak tidur tanpa terganggu tawa dan obrolan mereka. Tidak ada batas yang menghalangi masuk-keluar rumah sesuka mereka. Bahkan tidak jarang mereka masuk ke kamar. Beberapa kali ketika Titi sedang mengganti baju, mereka tiba-tiba membuka tirai dan masuk kamar.

Wak Ohim yang paling sering begitu. Titi malu tapi tidak bisa marah. Emak hanya mendelik. Juga tidak bisa marah.

Untung hanya Wak Ohim

Malam itu Titi sangat lelah. Sore sebelum mengaji, Titi beradu renang dengan Suki. Mereka empat kali pergi-pulang menyeberangi sungai yang meluap karena musim. Titi sebenarnya ingin membalas kekalahan minggu lalu tapi sore tadi pun ia kalah lagi. Tangan emak lembut. Mengusir pegal tungkai kaki dan bahunya.

Bulu di kelopak mata Titi digayuti berat. Bayang-bayang di dinding buatan lampu kamar yang berayun mulai mengabur. Hampir saja ia terlelap ketika telinga Titi menangkap suara yang bukan irama percik yang jatuh ke ember. Bukan gema percik di sumur. Itu sendawa. Dengus. Seperti babi hutan.

Elusan emak berhenti. Titi mau membalikkan badan. Mau merengek. Tapi tangan emak menahan punggungnya.

“Ssh, tidur lagi.” Suara emak keluar dari gigi yang menggigit bibir, tercekat.

Titi kembali mencoba lelap.

Dengus babi hutan itu makin kerap dan keras. Dan sendawa.

Apa babi hutan bisa sendawa?

Titi berusaha membuka kelopak matanya yang memberat. Sesuatu tampak di atas emak.

Suara semakin dekat. Titi ingin berbalik tetapi dia terlalu lelah dan mengantuk.

“Mak.”

“Ssh, tidur. Ssh…”

Dipan kayu bergoyang. Berkeriut.

Jari-jari emak di bahu Titi. Kuku-kuku emak menancap. Perih. Dada Titi sesak. Bukan karena siku emak yang menekan punggungnya tapi Titi melihat sesuatu. Dalam remang lampu kamar, Titi melihat mata menyala.
Tangan emak cepat menutup mata Titi. Membalikkan mukanya kembali ke dinding kamar.

“Tolong, Wak. Di luar…”

Kemudian telapak tangan babi hutan yang sebesar daun jati itu menarik emak keluar kamar. Titi ingin berteriak. Ada yang menculik emak. Tapi mulutnya seperti dipenuhi biji salak, tidak bisa bersuara. Hanya tangannya meraba kasur yang masih ada panas tubuh emak.

Kain emak tertinggal. Emak pasti kedinginan. Titi menutup muka dengan kain berbau emak. Di luar, angin bertiup, dan dahanan saling bersentuhan. Emak ke mana?

Titi merayap turun dari dipan. Tapi pekik kelelawar menariknya berbaring lagi. Kain emak dililitkannya menutup tubuh. Dalam ketakutan Titi menatap remang dan mendengar suara hujan jatuh ke ember. Sampai ia tertidur.

Sebelum ayam turun dari pohon nangka, Titi merasa emak menarik kain yang menutup mukanya. Emak pulang? Hangat tangan emak melingkari leher Titi. Rambut emak basah.

“Mak…”

“Ssh…”

“Mak dari mana?”

“Ssh…”

Paginya, emak membakar baju yang dipakainya malam itu. Emak beberapa kali mandi. Beberapa kali keramas. Dan tidak pernah membicarakan babi hutan yang masuk kamar. Apa memang ada babi hutan? Emak diculik?
Emak diam.

Titi jadi ragu. Ia tidak sepenuhnya percaya pada mata dan telinganya sendiri. Mungkin hanya mimpi. Lagi pula babi hutan jadi-jadian hanya mencuri uang, tidak pernah menculik orang. Genderuwo yang paling mungkin menculik. Tapi itu pun ia tidak terlalu yakin. Gunderuwo hanya menculik anak-anak yang masih main setelah magrib atau yang rambutnya berkutu untuk ditinggal di pohon kapuk. Malam itu emak di dalam kamar dan rambut emak bagus, tidak berkutu.

Seterusnya mereka tidak pernah menyinggung soal itu.

Tapi emak berubah.

Perempuan itu banyak berdiam di muka cermin lemari pakaian. Bergumam sendiri.

Emak benar-benar berubah.

Emak jadi suka makan. Banyak sekali. Mulutnya berubah gorong-gorong yang menelan semua sampah musim hujan. Tidak sampai satu tahun, badan emak yang selurus batang singkong melebar.

Tidak hanya itu.

Emak juga memaksa Titi menghabiskan dua piring setiap kali makan. Sepulang sekolah, sebelum nasi masak, emak menyuruhnya makan rebusan singkong atau ubi. Setelah mengaji, sebelum makan nasi, emak memaksanya menghabiskan sisa roti jualan. Titi mau muntah. Tapi mata emak membesar melebihi kelereng. Atau kalau tidak, emak berteriak-teriak dengan mengayunkan gagang sapu.

“Jangan rewel. Nanti kamu terima kasih sama emak. Makan. Kalau kamu makan banyak, kamu jadi gemuk. Jadi jelek. Enggak akan ada yang bawa kamu. Enggak enak, Ti. Sakit. Sakit. Kamu enggak tau… Sekarang makan.”
Titi takut.

Titi ragu.

Titi merasa babi hutan memang pernah menculik emak. Dan binatang bernafas panas itu telah salah mengembalikan. Itu bukan emaknya. Perempuan yang kembali malam itu tidak pernah membeli bungkusan sampo sebelum mandi. Emak selalu membersihkan rambut lurus hitamnya. Rambut emak wangi. Rambut perempuan itu lengket. Berkutu. Setiap kali Titi tercium rambut perempuan itu isi perutnya mendesak-desak keluar. Ia mual.

Titi tidak lagi mau berdekatan ketika tidur.

Titi ingin babi hutan datang lagi, mengembalikan emaknya. Tapi Titi tidak yakin binatang itu mau kembali. Apa dia mau kalau lihat tetek sebesar pepaya bonyok sama rambut yang baunya kelapa basi?

***

Titi menggigil. Sendiri saja di jalan itu. Ia membungkuk., menggosok-gosokkan tangan ke paha. Jalan masih menanjak.

Suara knalpot merasuki telinga.

“Ojek?”

Motor berhenti di sampingnya. Dari mulut laki-laki berjaket kulit itu tercium bau bangkai tikus. Di bibir hitamnya terselip rokok kretek menyala.

Titi sejenak ragu. Tapi dengkulnya lemas. Perjalanan ke kamar kontrakan terbayangkan masih panjang, semakin panjang.

Titi mengangguk. Kakinya menekan sadel. Tangan Titi memegang bagian belakang.

“Kerja siang?”

“Kenapa?”

Motor mengurangi laju. Angin malam masih terasa menyapu telinga dan helai rambut. Bulan tidak lagi bulat. Sebagian tertutup awan yang melayang seperti kapas.

“Kerja siang siang?”

“Ya.”

“Pamalik?”

“Ya. Samping mesjid.”

“Di atas ada hajatan.”

“Oh.”

“Deket pesantren.”

“Hem…”

“Besok kerja jam berapa?”

“Libur.”

“Nonton dangdut koplo yuk.”

Titi terdiam.

Sebenarnya, ia tidak terlalu suka melihat dangdut di hajatan. Tubuh para penyanyi berbadan patung lilin itu yang meliuk-liuk seperti batang bambu. Menantang. Lebih lagi melihat para laki-laki berjoget di atas panggung. Mereka saling bersentuhan, merangsek. Merapatkan dada mereka ke payudara yang setengah terbuka. Tangan mereka menyentuh pantat penyanyi.

Musik itu terdengar seperti sendawa panjang. Sendawa babi hutan. Mata-mata itu tampak merah, bernafsu, birahi yang membakar.

Laki-laki itu menoleh sejenak. Dari gigi kuningnya sepercik ludah menempel di pipi Titi. Tangan kiri laki-laki itu menyentuh paha Titi. Titi tidak bergerak. Laki-laki itu menggeser pantat, mundur. Punggung menekan dada. Motor melonjak. Berbelok menjauhi arah kamar kontrakannya. Laki-laki itu lagi menoleh. Matanya terbakar. Titi hapal mata yang nyala itu. Ia melihatnya di para penyanyi dangdut. Di mata Wak Ohim.

***

 

Choose Site Version
English   Indonesian