From Chapter 1:
Aku Mata Hari.
Aku minta dengan hormat kepada kalian, Père dan Soeur, sebagai orang yang memilih selibat di Prancis sini, janganlah segampangnya mencibiri bakat jalang-sundal-lacur.
Aku pelacur tulen. Tapi aku penari sejati. Dan aku Belanda berdarah Indonesia. Nama Mata Hari adalah bahasa Indonesia untuk ’sun’ di Inggris, ’sonne’ di
Jerman, ’soleil’ di Prancis, atau ’zon’ di Belanda, dan seterusnya.
Pernah juga orang menyebutku Lady MacLeod, mengikuti nama suamiku Rudolph John Campbell MacLeod, orang Skotland yang bekerja sebagai opsir untuk ketentaraan Belanda di Indonesia. Dan, sumpah demi ibuku, aku benci MacLeod karena dia lelaki yang paling tidak jujur di dunia.
Aku tidak boleh menyangkal pada suara hatiku, bahwa alasan yang mendorong kemauanku untuk menjadi pelacur adalah bakat.
Jangan kaget. Memang aku berpendapat begitu. Bahwa menurut pandanganku, bakat jalang-sundal-lacur adalah, percayalah, urusan Tuhan juga, bukan hanya iblis. Sulit memisahkan wilayah Tuhan dan wilayah iblis di dalam diri manusia, kalau yang dijadikan tempat persinggahan fitrah kebajikan dan fiil kejahatan, adalah hati manusia, dan hati manusia selamanya tidak swatantra.
Maksudku, keliru hanya menyalahkan iblis melulu, sementara di belakang kekuasaannya ada Tuhan yang memberi mandat leluasa untuk menguasai manusia. Begitu kesimpulan yang aku tarik dari membaca kisah tentang Nabi Ayub.
Aku rasa tidak perlu membahas itu dengan kalian berdua, Père dan Soeur, sebab aku tidak terpanggil bicara bertele-tele, sampai bibir lecet, atas sesuatu yang hanya merupakan wacana sekolahan dari orang-orang yang merasa pandai tapi tidak cerdik, dan orang-orang cerdik tapi tidak cendekia, sementara hati itu justru yang menentukan akal untuk berkesimpulan soal bakat.
Lebih dulu, aku harus menandaskan, bahwa aku bangga menjadi diriku seperti ini, adalah dasarnya karena keputusan hati itu.
Senyampang eksekusi terhadap diriku oleh otoritas Prancis belum dilaksanakan sebagai terdakwa penari dan pelacur yang menjadi agen ganda mata-mata Jerman dan Prancis, maka biarlah aku mengurai tentang alasan-alasan awal mengapa aku menjadi seperti ini.
Kisahnya harus dimulai dari Indonesia, pulau Jawa, asal darah ibuku Antje van der Meulen.
Rindu dan dendam di hatiku bergaung dari sana.
Aku menjadi begini karena suamiku MacLeod yang aku panggil Ruud. Dialah yang mendorong aku berpikir cemar. Dan, setelah itu, aku membuktikan, bahwa tidak ada lelaki yang begitu tangguh untuk sanggup bertahan terhadap godaan wanita, ketika mereka harus menerima arti kehidupan nyata, bahwa tidak akan ada keindahan paripurna atas naluri lelaki selain di dalam vagina. Di situ aku mencatat dalam ingatan, sejumlah pejabat tinggi negara dan para perwira militer yang biasa berdiri di depan rakyat dengan memasang muka-muka kudus tapi di dalam otaknya tersembunyi pikiran-pikiran kudis atas semata-mata sensasi ranjang.
Aku sekarang berada di penjara Saint-Lazare karena tuduhan berkhianat kepada Prancis untuk kepentingan Jerman. Padahal aku tidak peduli soal kebangsaan mereka. Yang aku lakukan selama ini, menurut kata hatiku, adalah kiprah kemanusiaan. Artinya, kalau aku memilih kata ’kemanusiaan’, maka yang mukim dalam pikiranku adalah suatu pengertian asasi tindakan etis tentang menjunjung fitrah manusia lebih dari sekadar mempersoalkan batas negara dengan penduduknya yang disebut bangsa, dan semangatnya yang disebut ’kebangsaan’.
Nyata terlihat saat ini, bahwa karena alasan kebangsaan itulah, yang tidak sama antara satu dengan lainnya, maka manusiamanusia berperang. Tapi dengan caraku, mengejawantah keindahan dalam seni-pertunjukan, aku menghayati perdamaian tanpa mempersoalkan batas kebangsaan tersebut.
Di atas alasan ini, aku kira ikhtiarku dan ikhtiar siapapun yang beralas pada kemanusiaan, seharusnya tidak boleh dibilang sebagai tindakan khianat, tapi nyata harus ditempatkan sebagai tindakan kemanusiaan. Itu sebabnya aku marah benar pada tuduhan pihak Prancis yang mengatakan aku pengkhianat.
Celakanya, aku menyumpahi Pierre Bouchardon, kapten Prancis yang kerempeng dengan mata seperti manik-manik, karena penampilannya yang bebal, tidak menghargai pikiranku tentang harkat kemanusiaan. Saban-saban, ketika dia menginterogasi aku sebagai seseorang dengan latar perbedaan kebangsaan, dia menekan aku dengan rasa benci, menyuruh aku mengakui diriku mata-mata Jerman dengan kode H 21. Jika aku bilang ”tidak”, dia malah bilang ”ya”.
Lebih menjengkelkan lagi, pertanyaan yang sudah aku jawab, masih diulang-ulang lagi, terus, berkali-kali, sampai hatiku berasap, kepalaku menyala, lantas dia hanya senyam-senyum njelehi dengan kebiasaan menggigit-gigit jari telunjuknya.
Aku sudah dua bulan di penjara Saint-Lazare ini, dan dua bulan di sini serasa seperti dua abad di neraka.
Perasaan paling menyiksa dalam diriku sebagai wanita berdarah Indonesia, adalah kebiasaan Indonesia mandi dua kali sehari yang tidak terpenuhi di penjara Prancis ini. Di penjara ini tidak ada kamar mandi. Air untuk basuh-basuh hanya tersedia satu mangkok dalam seminggu, dan harus dicukup-cukupkan untuk menyeka muka dan badan lainnya. Aku kuatir dengan ini aku telah menjadi tua sebelum waktunya.
Aku ditangkap di atas kereta dari Spanyol ke Prancis pada tanggal 13 Februari 1917 ketika salju sedang memutihkan bumi di luar sana, mula-mula dibawa ke Élysées Palace Hotel, kemudian ke tahanan Saint-Denis, dan akhirnya di sini penjara Saint-Lazare.
Duduk soalnya dimulai dari awal pecah Perang Dunia I, ketika aku di Berlin menari eksotik yang aku gali dari natya di dinding Candi Borobudur, sebagai cara menjadi medium roh moyang ibuku, aku didekati intelijen Jerman, diperkenalkan pada lesbian Elsbeth Schragmüller, ditawari imbalan yang lebih dari honorarium satu repertoar tari. Untuk itu aku dikobari adorasi semangat kebangsaan dengan mengingatkan bahwa aku Belanda, dan dalam lagu kebangsaan Belanda memang dimulai dari pernyataan darah bangsa Belanda adalah Jerman: ”Wilhelmus van Nassouwe ben ick van Duitschen bloet.” ) Tugasku, memata-matai Prancis demi Jerman.
Sebulan, dua bulan, di dalam penjara Prancis ini mulai membuatku merenung-renung, apakah aku salah? Mungkin yang benar aku tenahak. Pertanyaan yang tidak mau aku jawab, mengapa aku terlalu mencintai tubuhku, menjadikan tubuhku sebagai berhala fornikasi, bersenggama dengan begitu banyak lelaki.
Memang di antara lelaki-lelaki itu, akhirnya aku yakin hanya satu lelaki yang sungguh-sungguh aku cintai, kapten muda berusia 21 tahun orang Rusia, Vadim Maslov, atau orang lain mengejanya Vladimir de Masloff.
Lambat atau cepat orang-orang itu semua akan terlupakan dari sejarah, tapi aku yakin orang-orang akan selalu mengingat aku, Mata Hari.
Sambil menerawang ke lembar masa silam, aku makin yakin, garis nasibku saat ini tak boleh tidak merupakan karma dari jalan hayat yang pernah aku lalui sejak aku menikah dengan MacLeod yang aku panggil Ruud, dan memulai kehidupan yang punya catatan-catatan tersendiri di Indonesia.
O, ya, kenapa dari tadi aku selalu menyebut nama kepulauan Nusantara itu ’Indonesia’, padahal aku tahu pemerintah kolonial Belanda menyebutnya Nederlandsch Indië, artinya ’Indianya Belanda’, atau dieja menurut bahasa Melayu ’Hindia Belanda’, kemudian suamiku yang bercakap Inggris dengan logat Skotland menyebutnya Dutch East Indies.
Aku lebih suka menyebut ’Indonesia’ sebab aku setuju pada gagasan orang Jerman, Prof. Dr. Adolf Bastian dalam bukunya yang terbit pada 1884. ) Sekaligus dengan itu aku mengingatkan diriku sendiri, bahwa ibuku itu memang orang Indonesia, blasteran Belanda dengan Jawa.
Dan, akhirnya dengan bangga aku harus berkata namaku Mata Hari adalah bahasa Indonesia. Aku bisa terjemahkan kata Mata Hari dalam tujuh bahasa, sebab sebagai penari yang menari di antero kontinen Eropa sampai Turki dan Mesir, dan juga merangkap melacur di situ, aku bisa bercakap dengan bahasa-bahasa setempat. Dengan melihat diriku yang jalangsundallacur dan bercakap dengan tujuh bahasa, maka orang menyebutku ’polyglot harlot’. Tidak ada alasan untuk tersinggung. Aku malah merasa tersanjung.
Suatu waktu nanti, kalau aku sudah tidak ada, sebab kematian adalah suatu kepastian dalam kehidupan, maka aku ingin mati sebagai manusia biasa, bukan bangsa tertentu dengan bahasa kebangsaannya, tapi tetap sebagai sosok penari telanjang. Itu sebabnya, kalau aku mati, aku ingin telanjang pula, memahami betapa eloknya nas yang aku baca dari cerita Nabi Ayub dalam bahasa Belanda, ”Naakt ben ik uit mijne moeders buik gekomen, en naakt zal ik daarhenen wederkeren.”
================================================
From Chapter 2:
Leeuwarden anno 1876.
Itu tahun Masehi di mana aku lahir dari rahim Antje van der Meulen yang berdarah Indonesia.
Oleh ayahku Adam Zelle aku diberi nama Margaretha Geertruida. Kata Ibu, Ayah memilih nama ini dari catatan nama-nama santa dalam tradisi Katolik, dan aku anggap itu aneh, sebab tetangga kami di Leeuwarden, provinsi paling utara Belanda, Friesland—yang sehari-harinya tidak bercakap bahasa Belanda melainkan bahasa sendiri Fries yang berinduk pada bahasa Anglo-Saxon—adalah sebagian orang-orang Protestan dari latar Calvinis kaku.
Aku tidak peduli namaku nama santa.
Ayah memanggilku Margriet, nama bunga; Ibu memanggilku Rietje, nama sayang.
Semua akan lupa nama-nama itu, termasuk aku pribadi, sebab pada waktunya kelak aku lebih dikenal sebagai Mata Hari, nama yang aku bikin sendiri demi karierku, tanpa upacara saji bubur merah-putih seperti lazimnya dalam tradisi Ibu.
Umur 14, setelah datangbulan, aku merasa terjadi sesuatu yang ajaib dalam kelaminku. Tiba-tiba aku merasa menemukan kesenangan meraba-raba dan mengorek-ngorek kelaminku dengan jariku. Kemudian, ketika aku lena, aku membayangkan jariku itu membesar seperti entah wortel entah kentang, yang masuk-keluar di situ dengan irama tertentu.
Ternyata kesenangan itu merupakan tindaktanduk insani yang telah mendorong jiwaku untuk lebih cepat meninggalkan masa kanak lantas berangkat menjadi akilbalig. Maka, di usia 18 tahun aku kawin, gerangan tidak tahan lagi untuk terus menerus menikmati apa yang dulu aku bayangkan sebagai wortel atau kentang.
Aku kawin dengan lelaki berumur dua kali lebih tua dari usiaku yang mencari jodoh lewat iklan di suratkabar ’s-Gravenhage. Isi iklannya memukau perhatianku: seorang opsir berkebangsaan Skot yang bekerja untuk ketentaraan Kerajaan Belanda mencari istri yang segera dibawanya ke negeri jajahan Belanda, Indonesia.
Dua perhatian yang merangsang kemauanku di situ.
Pertama, dengan mengalami kawin maka aku menjadi sepenuhnya perempuan. Bahwa arah langkah perempuan akhirnya adalah ibu. Sebelum menjadi ibu, perempuan lebih dulu menjadi istri. Dalam kedudukannya sebagai istri, dengan sendirinya perempuan membutuhkan lelaki untuk menjadi suaminya. Aku tahu, menjadi perempuan yang sejati harus dibangun dengan adanya seorang lelaki dalam hidupku. Lelaki adalah tempat aku menguji keperempuananku. Tidak mungkin aku menguji diriku sebagai perempuan yang sejati dan sempurna, kalau tidak ada lelaki yang masuk dalam diriku. Supaya lebih gamblang, dan tanpa tedeng aling-aling, aku harus berkata: menguji diri sebagai perempuan didasari pada kenyataan menerima vagina sebagai sebuah desain rekaan Sang Maha Pencipta untuk dimitrakan dengan penis dalam cara kerja koeksistensi damai. Ini hukum alam dari dasar pengetahuan insani yang berlangsung dalam semua abad melalui kemungkinan cinta dalam kecenderungan pemberdayaan vagina dan penis. Sampai mati pun aku tetap percaya pada hukum alam ini.
Perhatian kedua, kalau aku menjadi istri opsir yang bertugas di Indonesia, aku pikir bisa kembali bertemu dengan roh moyang ibuku, bersatu dengan mereka di pusat kebudayaan Jawa, Borobudur, menghayati misteri mistis dalam bunyi-bunyi gending pada laras entah slendro entah pelog. Yang aku angankan, bagaimana aku bisa menggali keindahan mistis Jawa itu dengan membiarkan diriku menjadi medium roh moyang ibuku dalam bunyi gamelan. Ketika aku mengangan-angankan ini, yang melintas dalam pikiranku adalah menari, bagaimana aku merdeka dari kaidah estetika Barat yang terlalu teknis dalam tariantariannya, lalu membiarkan tubuhku bergerak leluasa di bawah nada-nada gending yang secara alami menyugesti bahasa tubuhku dalam suatu kaidah estetika yang murni, lugu, liar, dan baru.
Sampai sejauh ini, bahkan setelah aku nikah dan tinggal di Indonesia, mula-mula di Tumpung, lalu Ambarawa, dan Batavia, aku belum berpikir bahwa dengan bisa menari membebaskan tubuhku dari kaidah-kaidah gerak estetika Barat, aku bisa memperoleh uang darinya. Entah besok, pikiranku berubah. Sebab, dalam hal ini aku hafal betul peribahasa Latin yang sudah melekat dalam ingatanku sejak umur 10 tahun, tentang isyarat dalam kehidupan manusia yang galib berubah di tengah zaman yang bergeser: Tempora mutantur nos et mutamur in illis. Siapa tahu, aku tak tahu, barangkali aku akan lebih cepat berubah sebelum zaman bergeser.
Dengan suamiku, John Rudolph MacLeod, aku mengalami hidup yang benar-benar nyata, tidak seperti dalam dambaan dan mimpi masa kanak-kanak. Ketika aku mengatakan tentang ”hidup yang benar-benar nyata”, dengannya aku bermaksud menerangkan dengan kalimat yang singkat dan sederhana, bahwa berkeluarga, yaitu menjadi orangtua dengan dua orang anak di dalam sebuah rumah, memang merupakan suatu pilihan yang berat. Dalam tiga minggu saja usia perkawinanku, aku sudah merasa kuatir tidak akan sanggup melanjutkan langkah kakiku ke depan sana.
Agaknya itu yang aku maksudkan dengan rasan-rasan: aku bisa lebih cepat berubah sebelum zaman bergeser.
Padahal, sebelum disandingkan sebagai mempelai, aku begitu bangga, merasa aku telah tiba di gerbang surga, disambut oleh malaikat-malaikat. Saat itu aku memandang John Rudolph MacLeod sebagai pahlawan yang lebih dari Robin Hood. Kumisnya yang ketel, terpuntir ke atas, persis dengan tokoh wayang wong yang aku kenal di kemudian hari, Gototkoco.
Sewaktu aku bertemu dengannya untuk pertama kali, setelah aku menjawab iklannya di suratkabar, dan dia datang menemuiku, aku sangat terkesan oleh kumisnya itu. Cara dia bicara pun termasuk menarik. Dia bercakap bahasa Belanda yang sangat tertib, bahasa Belanda yang baik dan benar, atau istilah resminya Algemeen Beschaafd Nederlands, sehingga ayahku pun menaruh hormat padanya.
Ketika aku menyampaikan kepada ayahku, bahwa aku ingin kawin dengan opsir ini, lebih dulu Ayah mendelik, tapi kemudian mengerling dan menguap, lantas berkata enteng kepadaku dengan bahasa Fries:
”Ik bin de baas, mar ik doch wat myn wiif seit.” Aku heran, terkesima, kenapa Ayah bilang begitu. Apakah Ayah mengira dan melihat seakan-akan Ibu ada di hadapannya?
Mungkin juga ada penyesalan tersembunyi di balik ungkapan Ayah itu melihat hal yang nyata bahwa istrinya sudah tiada, dan sifat-sifat buruknya—dari pandangan umum Barat yang diserap dari ajaran gereja, tentang menomerduakan kodrat perempuan dengan akibat-akibat kecenderungan negatif dalam diri lelaki—telah mengantar istrinya lebih cepat pulang menuju ke rahmatullah.
Ibuku wafat ketika aku berusia 14 tahun, bersamaan dengan saat-saat getaran badani mendambakan lelaki dalam imajinasi sekitar wortel atau kentang. Ibu tidak tahan didera geram oleh tenahak Ayah. Ayah merasa sangat terhina karena usahanya membuat topi sudah di tepian bangkrut, terkalahkan oleh saingan topi-topi pabrikan yang diimpor dari Jerman, Prancis, bahkan Amerika yang lebih bagus. Dan, apabila bangkit rasa marah karena getirnya, Ayah memilih mabuk, lantas ujungnya gampang main tangan terhadap Ibu. Ibu sendiri terlalu nrimo— ini sifat-sifat Jawa dalam kepribadiannya—sehingga dia kurang berani untuk menjadi tegas terhadap Ayah.
Mauku, kalau Ibu bisa tegas, maka Ibu harus melawan Ayah, yang selain karena seenak udel, juga lembek menghadapi nasibnya. Menurutku, lelaki yang mencari pelepasan dengan minum sampai mabuk, sebetulnya lelaki yang lembek, tidak tegar menghadapi nasib. Padahal nasib tidaklah permanen. Nasib harus dilawan dengan tindakan kreatif. Tapi Ibu pun keliru, tidak mencoba melawan. Seakan-akan nasib itu suratantangan. Seakanakan itu urusan takdir.
Aku sering gregetan melihat Ibu mengalah. Rasanya kalau aku jadi Ibu, dan berhadapan dengan suami seperti Ayah, aku akan ajak dia berkelahi di atas ring tinju, lantas sebelum abaaba aku akan langsung memukulnya tanpa jeda, lalu menendang selangkangannya, kena wortelnya atau kentangnya, biar dia nyaho, biar dia kapok.
Dengan anganan itu aku mau bilang tidak peduli pada tradisi Barat yang terjaga sampai saat ini, menaruh perempuan sebagai pihak nomer dua. Dalam tradisi Barat tersebut, lelaki memang dikatakan sebagai kepala rumahtangga—begitu moral gereja dibaca bangsa-bangsa Barat dari surat injili St Paul )—sehingga selama berabad-abad perempuan hanya menjadi ’pelengkap’ lelaki: obyek karikatur dalam teater, musik, senirupa. Aku benci pada gereja yang tidak serius membaca surat injili St Paul yang lain, yang menyebutkan lelaki dan perempuan sama di bawah hadirat Tuhan. Makanya, kalau tiba saatnya nanti, demi ibuku, aku bersumpah akan menghajar lelaki yang semena-mena itu.
Tapi, wai, sebelum aku memasuki hari-hari matang yang membentuk diriku menjadi tegar melalui peristiwa-peristiwa pahit, luka, dan pilu karena seorang suami bernama John Rudolph MacLeod, ibuku keburu berpulang. Aku sedih, meratap, tapi aku sadar airmata tidak pernah menolong manusia bebas dari benci ataupun cinta. Pengetahuan ini akan menjadi cendramata ketegaran pada hari-hari mendatang yang entah bagaimana wujudnya, namun yang mesti aku hadapi dengan pandai, melebihi cekatannya tupai meloncat di sembarang dahan dan ranting.