Award winning and acclaimed Indonesian author Ahmad Tohari was born on June 13, 1948 in Tinggarjaya, a village near the city of Banyumas in Central Java. Born into a large farming family, Ahmad carried the countryside he loved in his heart wherever work took him during his younger years. He voiced this love in his writing, which mostly centers on village life and morality. His father, a devout Muslim, passed his own strong beliefs to Ahmad, who sees himself as a progressive religious intellectual. He supports Islamic beliefs and laws while living in harmony among Indonesia’s diverse ethnic cultures and traditions.
Ahmad Tohari is a prolific writer and the author of eleven novels, two short story collections, and many other literary accomplishments. He is the recipient of the South East Asian Writers Award and was awarded a fellowship to the International Writing Program of Iowa City, Iowa. He is also a respected journalist who makes regular contributions to Suara Merdeka, the well-known Central Java newspaper, and Tempo, the established Indonesian weekly.
Ahmad Tohari is best known as the author of the trilogy, Ronggeng Dukuh Paruk (The Dancing Girl of Paruk Village), published by Gramedia in 2011. The novels have been translated into Dutch, English, German, and Japanese, and producer Shanty Harmain adapted the novels into the film, The Dancer. Tohari is also held in high regard for his knowledge of Javanese art. He currently lives near Purwokerto, where he runs an Islamic school with his family and is consultant for the regional office of the Indonesian Ministry of Culture and Education. For a complete list of Ahmad Tohari’s published work, visit
www.ahmadtohari.com
Blokeng first appeared in the short story collection, Senyum Karyamin (PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), copyright © 2000 by Ahmad Tohari. Revised version copyright © 2013 by Ahmad Tohari. Published with permission of the publisher and author.
Translation copyright © 2013 by Elisabet Titik Murtisari.
***
BLOKENG
Maka Blokeng pun melahirkan bayinya: perempuan. Lalu kampungku tiba-tiba jadi lain, terasa ada kemandekan yang mencekam. Kampung penuh kasak-kusuk, bisik-bisik, dan cas-cis-cus. Jelas ada keblingsatan, tetapi masih dalam bentuknya yang laten. Keblingsatan itu kini baru tampak menggejala sebagai merosotnya jumlah senyum sesama warga, berganti menjadi wajah-wajah kaku karena curiga. Saling curiga tentang siapa ayah bayi Blokeng.
Perihal perempuan hamil di luar nikah, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan yang mengesankan di kampungku. Sudah acap terjadi babu dari kampungku pulang mudik membawa buntingan anak majikan. Atau entah anak siapa. Ada anak perawan mendadak lenyap dari kampung dan pergi entah kemana untuk mencari tempat yang jauh agar kelahiran haram-jadahnya luput dari pengetahuan orang sekampung. Banyak lagi cerita seperti itu.
Tetapi tentang si Blokeng memang tak ada duanya. Kecuali dia adalah perempuan yang secara hayati sempurna__seperti baru saja terbukti__sama halnya dengan perempuan-perempuan lain. Selebihnya, siapa pun tak sudi diperbandingkan apalagi dimiripkan dengan Blokeng. Ini kepongahan kampungku yang dengan gemilang telah berhasil memelihara rasa congkak dengan cara mempermainkan nilai martabat kemanusiaan.
Jadi, ketika Blokeng bunting, lalu melahirkan bayi perempuan, kampung blingsatan. Perempuan-perempuan berdecap-decap sambil mengusap dada.
“Gusti Pangeran, bajul buntung mana yang telah menyerbu Blokeng?” Ya, perempuan. Mereka masing-masing punya suami yang tak bisa membebaskan diri dari kecurigaan yang telah menutup seisi kampung. Atau karena perempuan-perempuan itu sudah sama-sama merasakan perihnya melahirkan bayi. Perih, tak peduli bayi itu sudah lama diidamkan, lagi pula anak seorang suami yang sah. Bagaimana tentang si Blokeng yang melahirkan anak antah berantah?
Kaum lelaki kampungku cengar-cengir. Tanpa seorang pun terkecuali, mereka bergabung dalam paduan sas-sus. Tanpa kecuali, sebab mengasing diri sama artinya dengan mengundang perhatian khalayak dan pada gilirannya tanpa ampun lagi bakal tertimpa tuduhan menghamili Blokeng. Dan kampungku memang pongah. Tuduhan membuntingi Blokeng, di luar segala urusan hukum atau aturan lainnya, dianggap sebagai perilaku purba yang paling tidak bermartabat. Sebab Blokeng memang tak ada duanya dan setiap perempuan akan merasa demikian malu bila diperbandingkan dengan dia.
Dulu ketika Blokeng baru diketahui hamil empat bulan ada seorang hansip yang bertanya kepadanya, siapa ayah si jabang bayi.
“Mbuh,” jawab Blokeng acuh.
“Eh, katakana saja, demi kebaikanmu sendiri dan demi bayimu yang pasti memerlukan wali bila kawin kelak.”
“Mbuh, mbuh-mbuh-mbuh!”
“Eh, jangan alot seperti itu. Aku ini hansip, kamu tak boleh mungkir. Atau kudatangkan polisi kemari?”
Blokeng tak mengerti apa itu polisi. Tetapi dia mengerti orang-orang berseragam yang pernah menarik tangannya agar dia menyingkir dari onggokan sampah pasar karena bupati mau datang meninjau pasar. Seperti monyet melihat belacan. Takut dalam citra satwa. Itulah kesan perasaan yang tergambar dalam wajah Blokeng. Wajahnya menciut.
“Ular.”
“Ular? Yang membuntingimu ular? Baik, tapi katakan ular siapa?”
“Ular koros.”
“Aku tidak main-main!”
“Mbuh-mbuh-mbuh!”
Pak hansip mulai berang. Ternyata baju seragamnya tidak cukup ampuh sebagai alat penarik pengakuan Blokeng. Maka dicarinya tali. Pak hansip berpura-pura hendak membelenggu Blokeng.
“Aku tak boleh berkata apa-apa. Kalau mulutku bocor dia akan memukulku dengan ini.” Kata Blokeng sambil menggamit lampu senter pak hansip.
“Jadi ayah bayimu datang ke sarang ini membawa senter? Dia lelaki yang mempunyai senter?”
“Mbuh.”
Maka keesokan hari tersiar berita: ayah bayi Blokeng adalah seorang lelaki yang memiliki lampu senter. Kampungku yang pongah kemudian memperlihatkan gejala aneh. Lampu-lampu senter lenyap. Yang berjalan malam hari lebih suka memilih suluh untuk penerangan. Ronda malam dan hansip kena marah karena mereka menjaga kampung hanya dengan menggunakan korek api, bukan lampu baterai. Tetapi lampu senter terus menghilang dari kampungku yang pongah.
Sekali waktu ada sas-sus baru. Katanya, Blokeng memberikan keterangan lain tentang laki-laki yang membuntinginya. Dia adalah seorang laki-laki yang malam-malam merangkak ke dalam sarangnya dan memakai sandal jepit. Blokeng tidak tahu persis siapa dia karena sarang Blokeng yang terletak di atas tanah becek tak pernah berlampu. Tidak pernah. Dunia Blokeng adalah dunia sampah pasar, dunia tanah lembab, dan dunia yang tak mengenal lampu. Kampungku yang pongah berkelit dengan jurus yang lain lagi. Kini orang mencari bakiak dan bandol sebagai alas kaki. Sementara itu sandal jepit lenyap dengan serta merta.
Sampai Blokeng dengan selamat melahirkan bayinya dibidani nyamuk dan kecoa. Tapi bayinya tangguh seperti anak kerbau yang lahir di kubang lumpur. Bayi Blokeng adalah anak alam sendiri, meski alam becek penuh cacing. Kelahirannya ditandai oleh tingkah kampungku yang jadi blingsatan dengan kehebatan yang kian hari kian meningkat.
Adalah Lurah Hadining, lurah kampungku, kampung yang pongah. Sejak semula Lurah Hadining mengerti adanya kemandekan yang mencekam dan lalu meningkat menjadi keblingsatan kampung. Dalam perkembangan tertentu keblingsatan adalah keresahan warga. Lurah Hadining tidak punya tafsir lain atas keresahan ini kecuali sebagai seteru rancangan pembangunan. Tentu. Maka keblingsatan beserta anak cucunya harus dibedah, bila perlu dengan menggunakan sinar laser atau pancaran zarah.
Lurah Hadining tersenyum. Setelah sekian hari memikirkan cara buat melenyapkan keblingsatan warganya akibat kelahiran bayi Blokeng. Kini dia telah menemukannya. Semua laki-laki di kampungku disuruhnya kumpul. Tak ada yang mau mangkir karena ketidakhadiran berarti seorang diri menentang arus yang justru mengundang kecurigaan. Kampungku mengira Lurah Hadining hendak melotre siapa yang harus bertanggung jawab atas kelahiran bayi Blokeng.
Ternyata kampungku yang pongah salah duga. Lurah Hadining tidak memutar lotre. Dia berpidato lebar dan panjang. Katanya antara lain, “Blokeng bukan perawan Mariam. Dan bayinya bukan Yesus yang ketika lahir sudah mampu mengatasi keblingsatan semacam ini. Pokoknya Blokeng tidak seperti keluarga Mariam yang diberkati banyak hal surgawi. Blokeng hanya diberkati sampah pasar.”
Kemudian Lurah Hadining meminta kampungku menjadi saksi. Demi melenyapkan keblingsatan para warga maka dia menyatakan dengan sesungguhnya bahwa dialah yang bertanggung jawab atas kelahiran bayi Blokeng. Dia sudah membayar dukun bayi. Dia sudah menyiapkan lincak bamboo dan tikar pandan untuk mengangkat Blokeng bersama bayinya dari tanah yang lembab. Ibu lurah sudah siap dengan catu makanan sebelum Blokeng mampu berjalan kembali ke sampah pasar.
Sejenak kampungku terpana mendengar ucapan Lurah Hadining. Namun sesaat senyum legalah yang tampak di mana-mana. Lega. Kesaling-curiga sirna. Mereka berbondong-bondong berjalan mengikuti Lurah Hadining yang menuju sarang Blokeng. Ada yang memikul lincak, ada yang mengangkat gulungan tikar dan ada yang pulang dulu hendak mengambil pelita penuh minyak. Semua buat Blokeng. Semua ingin memperhatikan nasib orang yang paling tidak bermartabat di kampungku.
Gubuk Blokeng penuh dirubung orang. Suara langkah kaki di tanah becek. Suara anak terjatuh atau tergelincir lumpur atau tinja penghuni sarang itu. Lincak dipasang dalam satu-satunya ruangan dalam sarang Blokeng. Hampir penuh. Dan tikar digelar. Blokeng diminta bangkit dari tanah bersama bayinya. Dia naik ke tempat tidur tanpa sepatah kata, tanpa sedikitpun memperlihatkan rasa pada wajahnya. Blokeng hampir tak pernah berhubungan dengan siapa pun dalam bahasa yang memperlihatkan perasaan, apalagi bahasa lisan. Sekali lagi, Hadining meminta kampungku menjadi saksi bahwa bayi Blokeng adalah anaknya.
“Setidaknya ayah bayi ini pasti seorang lelaki. Nah, saya pun laki-laki, bagian yang sah dari kelelakian. Jadi, saya tidak bisa begitu saja dianggap mengada-ada dengan mengakui bayi Blokeng sebagai anakku.”
Lagi, kampungku memperlihatkan kelegaan yang demikian nyata. Namun kemudian kampungku terheran-heran. Mereka melihat di sana Blokeng termangu setelah mendengar kata-kata Lurah Hadining. Termangu dalam citra hewani. Lalu dalam gerakan sama sekali tidak bermartabat, tidak bertata krama, Blokeng melepaskan bayinya. Didekatinya Lurah Hadining. Dibukanya kopiah kepala kampung itu. Lurah Hadining yang terkesima membiarkan saja perilaku Blokeng.
“Tidak,” kata Blokeng sungguh tanpa tanda memperlihatkan perasaan, “yang datang kemari malam-malam tidak berkepala botak. Bukan orang ini.”
Kampungku tergagap, tak terkecuali lurahnya, sedetik setelah mendengar ucapan Blokeng. Lihatlah wajah-wajah mereka yang baur dan buram. Mereka menggaruk kepala masing-masing yang sama sekali tidak botak kecuali Lurah Hadining. Di bawah rambut lebat otak mereka mulai berpikir untuk berkelit menghindar dari kemungkinan tuduhan membuntingi Blokeng. Sungguh, keesokan hari kampungku sudah berubah gundul. Gundul di sini, gundul di sana, di mana-mana terlihat lelaki gundul. Dan keblingsatan tetap mencekam kampungku yang pongah.
Hanya Blokeng sendiri yang tidak ikut blingsatan. Dunianya yang tidak cukup akal membebaskannya dari dosa, dari keharusan mempunyai suami sah, dan dari kepongahan yang akan menelorkan keblingsatan dan kepura-puraan. Tetapi bukan berarti Blokeng sekali pun tidak bisa bertindak seperti perempuan kebanyakan. Suatu pagi Blokeng membawa bayinya ke depan pintu gubuk, dilelo-elo, ditimang-timang. “Cowet, anakku. Ayahmu itu mbuh. Tetapi jangan bersedih, yah. Lihatlah itu, orang-orang gundul. Lucu, ya?”
Seperti tahu kata-kata emaknya, Cowet yang masih bayi tertawa ngakak. “Hek-hek-hek. Hik-hik-hik.”
***