Dewi Anggraeni lahir di Jakarta, Indonesia dan sekarang tinggal di Melbourne, Australia dimana beliau berada di Sekolah Penelitian Kemasyarakatan dan Politik, Jurusan Ilmu Sastra, di Universitas Monash, Melbourne.
Selain sebagai perwakilan majalah Tempo untuk Australia, beliau juga penulis berita tetap untuk The Jakarta Post, Pesona, Femina dan sejumlah media cetak lainnya.
Penulis karya rekaan (fiksi) dan kisah nyata (non-fiksi) yang menguasai dua bahasa dan banyak berkarya ini adalah juga seorang peneliti masalah kemasyarakatan yang diakui. Anggraeni telah menerbitkan karyanya dalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Beliau memiliki hubungan dan pengaruh di Australia, Indonesia, Hongkong, Korea Selatan, Inggris, Belanda, dan Amerika. Anda dapat menemukan daftar karya penerbitan Dewi yang lengkap di www.indrabooks.com, www.equinoxpublishing.com, dan www.mizanpublishing.com
Karya kisah nyata (non-fiksi) Anggraeni yang terakhir berjudul, Mereka Bilang Aku China; jalan mendaki menjadi bagian bangsa. – Bentang Pustaka, Indonesia – Oktober 2010 ISBN 978-602-8811-13-2 dan Breaking The Stereotype; Chinese Indonesian women tell their stories. – Indra Publishing – Australia – November 2010 – ISBN 978-192-0787-19-6
AKAR TRADISI
Tanpa semangat sedikitpun, Rusdi naik, lalu duduk di tempat duduk belakang, dan Sadli, sopirnya, menutup pintu mobil. Dia tidak berkata apa-apa selama Sadli mencolok kunci mesin mobil dan menyalakan mesin dengan mulus. Tapi sebelum mobil bergerak dia bertanya, ‘Ibu Sepuh sudah kamu jemput tadi?’ Maksudnya mertuanya, yang baru datang berkunjung dari Palembang.
‘Sudah Pak. Saya langsung antarkan Ibu Sepuh ke rumah.’
Rusdi diam. Dia tidak suka membicarakan urusan keluarga di luar tugas sehari-hari dengan sopirnya, tapi dia tahu pasti Sadli mengetahuinya sampai serinci-rincinya. Sadli dan para pembantu rumah pasti merumpi, saling memberi kabar dan menduga-duga tentang keadaan rumah tangganya. ‘Lakonku dan Rifa tentu jauh lebih menarik daripada sinetron apapun di televisi’, pikirnya gemas.
Lalulintas di penghujung jam kantor, seperti biasa, macet. Tapi kali ini Rusdi tidak resah. Malah dia menikmati kelambatannya mencapai rumah, mengundurkan saat bertemu muka dengan mertuanya.
Dia tahu benar apa yang akan dihadapinya. Mertuanya sangat menentang niatnya untuk membawa Rifa menemui dokter ahli jiwa.
‘Tidak! Aku tidak mengizinkan! Tidak boleh!’ tegasnya di telepon.
‘Tapi, tapi Bu, dokter kami sudah mengatakan bahwa dia menderita tekanan bathin! Kalau tidak mendapatkan perawatan yang layak dia takkan pulih…’
‘Sudah berapa lama dia mengalami tekanan bathin? Mengapa kamu atau Rifa tidak memberitahu aku?’
Rusi mendehem menjernihkan tenggorokannya. Belum lagi sempat dia memikirkan jawabannya, mertuanya sudah memutuskan, ‘Jangan kamu berbuat apa-apa sampai aku melihatnya sendiri. Dan aku akan segera memesan tempat pada pesawat yang pertama yang ke Jakarta besok. Suruh sopirmu menjemputku!’
Setibanya di rumah, Rusdi turun di garasi dan masuk melalui pintu belakang, melewati dapur. Sadli memberikan aktentasnya kepada Titi, pembantu keluarga.
Ketika dia melangkah keluar dari dapur, Rusdi mendapatkan rumahnya sepi. ‘Ibu dan Ibu Sepuh di mana?’ tanyanya kepada Titi.
‘Mereka keluar tidak lama sesudah Ibu Sepuh tiba, Pak,’ sahut Titi dengan wajah bersih dari amarah.
Rusdi hampir mengerutkan keningnya, tapi dia tidak berhenti dan langsung memasuki kamar tidurnya, lalu menutup pintunya. Bebas dari tatapan orang-orang di sekitarnya, Rusdi duduk di tempat tidurnya dan menjatuhkan kepalanya ke dalam genggaman tangannya.
Rasa sakit dan pening di kepalanya agak menyurut, dan diapun tidak bergerak selama beberapa lama. Tiba-tiba dia mendengar pintu depan terbuka dan suara istrinya berbicara dengan Titi. Rasa takjub membuatnya mengangkat kepala. Belum pernah dia mendengar Rifa menggunakan begitu banyak kata-kata sejak beberapa minggu ini. Barangkali Rifa hanya berbicara kalau dia sedang tidak di rumah. Rusdi menunggu. Tapi yang ditunggu-tunggunya tidak muncul. Diapun bangkit pelan-pelan dan keluar dari kamar.
Di halaman belakang Rifa dan ibunya sedang duduk-duduk minum es teh. Rifa menoleh ketika Rusdi mendekat dan melemparkan senyum setengah hati. Rusdi mencium tangan mertuanya. Di dekat perempuan ini, Rusdi, sarjana arsitektur lulusan Universitas Melbourne dan sekarang memangku jabatan penting pada sebuah perusahaan perancang gedung dan bangunan terkenal, kembali pada tuntutan budaya dan adat-istiadat, tentunya sampai batas-batas tertentu.
Setelah menyapa istrinya diapun menarik sebuah kursi dan duduk, sedikit banyak menghadap Rifa dan ibunya. Tengkuknya terasa menegang bersiap menghadapi perang syaraf. Tidak lama mereka mengobrol basa-basi tanpa juntrungannya, karena mertuanya segera memulai ‘serangan’, ‘Rus, aku membawa Rifa ke dukun.’
Mata Rusdi melotot. ‘Apa? Oh, maaf, Ibu, mengapa, buat apa?’
‘Rus, aku ibu Rifa. Aku kenal benar anakku. Dia bukan seorang yang macam-macam. Bukan yang suka mudah mengalami tekanan bathin. Aku curiga ada yang menjahatinya. Dan ternyata aku benar. Kata dukun, dia diguna-guna…”
‘Tentu saja dia mengatakan begitu! Guna-guna macam apa, katanya, kalau saya boleh bertanya?’
Mertuanya bangkit pelan-pelan, melangkah ke dapur, dan kembali dengan sebilah pisau. Tanpa sadar Rusdi merapatkan kedua pahanya dan menempatkan tangannya di pangkuannya. Matanya tidak berkedip mengikuti gerak-gerik mertuanya.
‘Ayo, kalian berdua,’ kata sang mertua dengan tenang.
Rusdi melongo. Rifa bangkit dan mengikuti ibunya, ke kamar tidur mereka! Dengan hati berdebar-debar sarat dengan rasa ingin tahu, sekaligus lega bahwa pisau yang dipegang mertuanya bukan ditujukan pada bagian tubuh dirinya, diapun bangun dan mengikuti mereka. Untung pada saat itu ada sinetron yang mulai, kalau tidak pasti pembantu dan tukang masaknya akan mengintai dari balik pintu dapur.
Di pintu dengan ragu-ragu Rusdi berhenti dan mengawasi mertuanya melangkah ke ranjangnya, lalu berpaling kepadanya dan bertanya, ‘Kamu tidur di sisi mana, Rus?’
‘Di sisi itu,’ sahut Rusdi, perasaan terperangkap mencekamnya.
‘Jadi, kamu tidur di sisi ini, Rif?’ kini si mertua bertanya kepada putrinya sendiri. Rifa mengangguk.
‘Rus, ada guna-guna yang tertanam dalam kasur kalian, di bawah bantal Rifa.’
Rusdi tertegun. Marah dan rasa tak berdaya melumpuhkan syaraf-syaraf tubuhnya. Istrinya sudah diperiksa menderita tekanan bathin. Omong-kosong apa ini, guna-guna? Apa mertuanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa putrinya membutuhkan perawatan dokter jiwa? Apa dia harus memindahkan rasa malunya pada sumber di awang-awang agar tidak hilang muka?
‘Jadi itu yang dikatakan si dukun?’ tanya Rusdi sambil meringis.
Mertuanya tidak menjawab, tapi menyerahkan pisau itu kepadanya. ‘Kalau kau tidak percaya, mengapa kau tidak membongkarnya dan melihatnya sendiri?’
Rusdi tak dapat lagi menahan diri. ‘Apa? Aku tidak akan merusak kasur bagus dan enak cuma karena seorang penghuni gua yang sangat kuno, atau seorang penipu yang mengaku sebagai dukun mengatakan bahwa ada guna-guna di dalamnya! Astaga Ibu, kita hidup di abad keduapuluh satu!’
Mertuanya tidak beringsut dari tempatnya berdiri. ‘Tenang Rus, aku juga seorang sarjana, kau ingat? Namun aku tidak pernah melupakan akar budaya dan adat-istiadatku! Nah, jangan mengelak, bongkar kasur ini! Sebelah sini!’
Rusdi meraih pisau tadi, dan sebelum dia menggerakkannya ke arah tenggorokan mertuanya, dia memburu ke tempat tidurnya, menarik selimutnya dan menusuk lalu merobek kasur pada tempat yang ditunjuk mertuanya. Lalu, masih mengikuti petunjuk mertuanya, dia memasukkan tangannya ke dalam lubang yang dibuatnya, mencari-cari.
Tiba-tiba, air mukanya berubah. Tidak lagi memancarkan ‘aku harap tak seorangpun tahu aku melakukan ini’. Tangannya menyentuh sesuatu, dan dia segera menariknya keluar. Sebuah kantong kain putih berada dalam genggamannya. Entah mengapa, dia langsung menjatuhkannya ke lantai. Wajahnya pucat. Dia mematung memandanginya selama tigapuluh detik, lalu memeriksa kasur yang dirusaknya. Tangannya meraba ke sana, ke mari. Tidak ada bekas jahitan atau lubang rahasia yang tadi luput dari perhatiannya. Jadi, dengan kata lain, tidak mungkin barang itu dimasukkan dengan tangan manusia ke dalam kasurnya.
Ketika dia membungkuk untuk memungut kantong putih itu, mertuanya berkata, ‘Jangan!’
Dikeluarkannya sebuah botol kecil dari tas tangannya, yang tentunya didapatnya dari si dukun, membukanya dan menuangkan cairan isinya ke atas kantong putih di lantai, yang mengeluarkan bunyi ‘hsssss’ bagai ular. Kemudian, di depan mata mereka, kantong itu terbuka. Sejumlah paku dan pecahan-pecahan gelas keluar dari dalamnya, jatuh berantakan di lantai. Kalau Rifa tidak menjadi lunglai dan jatuh pingsan, mungkin mereka masih berdiri memaku di tempat masing-masing.
Keesokan harinya di kantor, Rusdi tidak melihat Korina, perancang ruangan gedung yang baru bekerja selama tiga bulan pada perusahaan itu. Di kantornya yang berdinding kaca, dia mencoba menelepon Korina pada telepon genggamnya, lalu ke rumahnya. Pembantunya menjawab dan mengatakan bahwa majikannya sakit dan tak dapat menjawab telepon.
Siang itu Rusdi iseng-iseng bertanya kepada Ita, salah seorang arsitek yang lebih tua dari dirinya, di mana Korina. Ita menatapnya, lalu sebuah senyum ringan tersungging pada wajahnya. ‘Korina? Aku dengar dia pergi ke dukunnya buat urusan sangat penting,’ ujar Ita.
Rusdi tercengang. ‘Korina ke dukun? Astaga! Ternyata kita tidak tahu banyak tentang orang-orang yang kita…’ dia menggumam. Tiba-tiba dia bertanya-tanya, apa tiap orang di kantor mengetahui hubungannya dengan Korina?
‘Apa kata orang tentang aku dan Korina?’ akhirnya dia menemukan suaranya.
Ita memandangnya dengan bauran rasa kasihan dan rasa tidak percaya. ‘Rusdi, kau tidak dilindungi aji halimun. Tiap orang bisa melihat gerak-gerikmu,’ katanya.
Rusdi jadi panik. ‘Jadi, eh, menurut kau, istriku juga tahu?’
Wajah Ita jadi bersungguh-sungguh. ‘Rusdi, semua orang tahu. Coba pikir, mengapa istrimu menderita tekanan bathin?’
Sementara itu di rumah, Rifa sedang duduk di tempat tidur ibunya, menyuapi dirinya soto ayam yang bahan-bahannya disediakan oleh dukun mereka. Ibunya duduk di sisinya, menghiburnya. ‘Semua beres sekarang, Rif,’ bisiknya.
******