Click here for:

Kandei pun Enggan Kembali

Wigati Yektiningtyas-Modouw born, raised, and educated on the island of Java, Indonesia, has lived in Jayapura, Irian Barat, Indonesia, since 1986. She is a lecturer at the Faculty of Teacher Training and Education, Cenderawasih University. In addition to writing educational books and papers in national and international journals, she actively produces children’s stories in Indonesian, regional Papuan languages, and English. Her writing focuses on preserving the cultural heritage of Papua and improving the reading, writing, and arithmetic skills of Papuan children. In 2021, she was named as one of the Best Literacy Activists in Papua.

Modouw recently started writing short stories as one of her efforts to introduce nature, society, and Papuan culture to the world.

She lives with her husband, James Modouw, on the shores of Lake Sentani surrounded by hills.

Wigati Yektiningtyas-Modouw: wigati_y@yahoo.com

***

 

Kandei pun Enggan Kembali

Sinar matahari pagi yang mengintip dari celah-celah dinding papan rumah dinasnya membangunkan Onomi pagi itu. Onomi membuang selimut yang membungkus badannya semalaman. Dia harus bergegas menuju bandara Wamena. Dia bersyukur karena akhirnya dia memperoleh libur sekitar sebulan setelah menyelesaikan tugas mengajarnya selama dua tahun di pedalaman Papua, di sebuah SMP di Tiomneri, Lanny Jaya.

Hati Onomi penuh dengan rasa bahagia. Dia dapat menengok mamanya di kampung halamannya. Pulau Asei adalah salah satu dari sembilan belas pulau yang berada di Danau Sentani, Jayapura.

Onomi segera mengikat rambutnya yang keriting kecil dengan pita biru. Anak-anak rambutnya yang dibiarkan lepas mempercantik wajahnya. Tanpa sarapan dia berlari menuruni bukit menuju rumah ibu kepala sekolah yang kebetulan akan belanja peralatan sekolah di Wamena. Dibalasnya sapaan anak-anak yang sedang bermain di depan halaman honai, rumah asli suku Lanny.

Onomi jadi ingat muridnya, yang dengan bangga menceritakan honai di depan kelas. Dia menjelaskan bahwa honai adalah bangunan berbentuk lingkaran dengan garis tengah sekitar tiga meter, terbuat dari papan kayu, dan tanpa jendela. Atapnya yang bulat terbuat dari rumput. Lantainya pun diberi alas rumput. Karena dingin, para penghuninya membuat perapian di dalam honai untuk menghangatkan badan.

“Ibu Guru, hati-hati! Jangan lari-lari, nanti jatuh!” seru anak-anak itu.

Onomi hanya tersenyum lebar mendengarnya. Tidak lama kemudian, sampailah dia di depan rumah ibu kepala sekolah.

“Cepatlah, Onomi! Kenapa ko lama sekali?” ibu kepala sekolah menegur.

“Maaf, Ibu,” kata Onomi sambil menggigit bibir bawahnya. Kebiasaan yang dilakukannya manakala dia merasa gugup dan bersalah.

***

Setelah lima puluh menit perjalanan dengan mobil sewaan, sampailah mereka di depan bandar udara Wamena. Begitu turun dari mobil, tidak lupa Onomi mengucapkan terima kasih kepada Ibu Kepala Sekolah atas pemberian tumpangannya.

Bandara penuh dengan calon penumpang karena bulan Juni adalah musim libur sekolah akhir semester.

Setelah setengah jam menunggu, Onomi pun naik ke pesawat. Dia bersyukur mendapatkan kursi di dekat jendela yang memungkinkannya menikmati pemandangan yang membentang dari Wamena sampai Jayapura.

Benar saja, Onomi melihat indahnya barisan pegunungan Maoke dengan Puncak Trikora yang tampak hijau kebiruan serta sungai Baliem dan Membramo yang melingkar bagaikan sepasang ular raksasa yang sedang tidur.

Setelah empat puluh menit terbang, Onomi dapat melihat Gunung Dobonsolo dan Danau Sentani dengan puluhan pulaunya ⸺ danau yang begitu indah, bersih, dan tenang. Dilihatnya beberapa perahu milik penduduk setempat yang sibuk mengantar penumpang antarpulau. Bahkan dia bisa melihat kampungnya, Pulau Asei, yang tampak lebih padat perumahannya. Tiba-tiba saja air matanya mengalir. Kerinduannya kepada mama dan kampungnya semakin menggebu. “Pasti sudah banyak perubahan setelah aku tinggalkan selama dua tahun,” gumam Onomi.

Setelah pesawat dua baling-baling itu mendarat sempurna, Onomi turun. Dari tangga pesawat dia ingin berlari agar cepat sampai rumah. Namun tidak bisa. Dia harus terlebih dulu berdesak-desakan karena penumpang lain juga ingin cepat-cepat keluar dari bandara.

Setelah berhasil lepas dari kerumunan, Onomi segera berlari ke pangkalan ojek motor di sudut bandara. Dia merasa kepanasan dan melepaskan jaketnya. Setelah tinggal dua tahun di Tiomneri yang bersuhu udara 15° C, badannya kaget dengan suhu Jayapura yang 28° C saat itu.

Setelah hampir setengah jam perjalanan menggunakan ojek motor, sampailah Onomi di Dermaga Kalkhote, di tepi Danau Sentani. Dari ujung dermaga dia bisa melihat kampungnya. Dia bahagia. Namun, kebahagiaannya itu hanya sebentar dirasakannya. Dilihatnya danau yang begitu kotor. Sampah plastik menggunung di sekitar dermaga, botol kemasan minuman pun mengapung liar di permukaan danau. Apakah danau juga semakin dangkal? begitu batinnya bertanya-tanya. Meski airnya keruh, dia masih dapat melihat sandal, sepatu, dan kaleng makanan menjelempah di dasar danau. Air matanya mengalir, kemudian semakin deras, sampai akhirnya dia menangis tersedu.

Tangisan Onomi mirip tangisannya tahun lalu, yakni ketika dia gagal meraih emas dalam lomba renang di PON 2021 yang diselenggarakan di Jayapura. Namun, tangis kali ini dipenuhi dengan amarah pada tangan-tangan yang telah membuat Danau Sentani bagaikan tempat pembuangan sampah raksasa. Kedua tangannya ditudungkan di kepalanya. “Hanya dua tahun kutinggalkan, dan sekarang danau ini telah berubah seperti ini,” desahnya di tengah tangisnya. Danau di depan mata memang tidak seindah seperti saat dia melihatnya dari udara.

“Onomi! Onomi! mari sudah kitong pulang.” Terdengar suara mamanya memanggilnya. Mamanya berseru dari atas perahu tidak jauh dari dermaga.

Onomi tersentak dan berusaha menyembunyikan tangisnya. Dia melompat ke perahu dan memeluk mamanya sekuat-kuatnya. Tangisnya kembali pecah di dada mamanya yang menyimpan keheranan atas perilaku anaknya yang tidak biasa.

***

Sampai di rumah, Onomi disambut Martha yang memeluknya dengan hangat.

“Martha, ko su tinggi sekali, su lebih tinggi dari sa,” seru Onomi sambil terus menyapu adiknya dengan pandangan matanya dari kepala sampai kaki.

“Kak Omi,” kata Martha yang memanggil Onomi dengan panggilan kesayangannya.

“Kitong makan dulu yo, sa su masak. Pasti kakak suka masakan sa,” lanjut Martha dengan percaya diri.

Onomi tersenyum. Dia bangga dan bahagia sekarang adiknya sudah pandai memasak. Padahal dulu Martha adalah anak yang paling sering membuat mamanya sakit kepala. Dia malas bangun pagi, mandi pagi, bersih-bersih rumah, apalagi masak. Kini dia sudah besar bahkan sudah pandai masak.

Mama, Onomi, dan Martha makan bersama dengan lahap. Martha memasak keladi dan ubi jalar, ikan goreng saus tomat, tumis kangkung bunga pepaya, dan sambal kesayangannya. Makanan khas Sentani yang kaya akan bumbu ini akhirnya dapat dinikmati lagi oleh Onomi yang makan dengan lahapnya. Di Tiomneri, dia cenderung makan apa adanya karena kesibukannya mengajar.

“Kenapa ko tidak masak ikan kandei? Ko malah masak ikan lohan dan gastor?” tanya Onomi yang telah membayangkan akan makan ikan kandei kesukaannya. Selain dagingnya yang enak, tulangnya teratur dan mudah dipisahkan dari dagingnya. Ikan kandei sudah terbiasa dimakannya sejak kecil. Dia tidak dapat menemukannya di tempat lain. Gastor dan ikan lohan ditebarkan orang secara liar di Danau Sentani. Gastor merupakan singkatan Gabus Toraja sedangkan Ikan lohan juga dijuluki “Setan Merah.” Kedua ikan ini menjadi pemangsa ikan-ikan asli Sentani.

“Kak, sekarang kitong tidak bisa dapatkan kandei dengan mudah,” Martha menjelaskan. “Kemarin sa su mancing berjam-jam tetapi sa hanya dapat ikan lohan dan gastor. Mungkin ada di tengah danau, itu kata mama, tapi sa tra berani mancing sampai ke sana – takut gelombang.”

“Ma, besok pagi jalan-jalan keliling danau, yok!” ajak Onomi tiba-tiba seolah tidak menghiraukan cerita Martha.

“Ko tra capek kah?” tanya mamanya.

“Sa tra capek,” jawab Onomi sambil tersenyum.

“Sa tra bisa ikut ya, sa harus latihan lari,” sela Martha. “Sa ikut lomba lari minggu depan di Manokwari.

***

Esok pagi yang ditunggu Onomi pun tiba. Keliling danau memang kebiasaannya. Bahkan ketika bapaknya masih hidup, dia selalu minta diantar berperahu. Ayah Onomi adalah mantan olahragawan dayung yang dengan kelompoknya sering memenangkan penghargaan emas di ajang PON. Sebelum meninggal, ayahnya adalah pelatih dayung andalan Papua.

“Onomi, ko cepat sudah!” teriak mamanya dari atas perahu di bawah kolong rumah panggungnya. Penduduk di Pulau Asei biasa membuat rumah panggung di sekeliling pulau itu. Mereka menyandarkan perahunya di kolong rumah mereka.

“Ya, Ma!” Onomi berteriak. Dia berlari secepat kilat dan melompat ke perahu.
Dengan cekatan mamanya mendayung perahu ke arah barat. Seperti kemarin, Onomi melihat sampah-sampah plastik mengapung di danau. Dia berusaha menutup matanya untuk tidak melihatnya, tetapi dia tidak bisa menutup hatinya. Dia sedih melihat kenyataan bahwa sampah dibuang semaunya oleh orang-orang tidak bertanggunjawab.

“Ma, kenapa sekarang banyak sampah di danau?” tanya Onomi memecah keheningan. Lalu dia melanjutkan, “Perasaan sebelum sa ke Tiomneri danau masih bersih. Paling tidak, sampah tidak sebanyak ini.” Matanya nanar menatap gelombang air danau. Perasaan marah dan gelisah berperang dalam benaknya. Tiba-tiba tangan kanannya meninju permukaan air danau. Kepala dan wajahnya yang basah terciprat air sedikit mendinginkan isi kepalanya yang mendidih menahan amarah.

“Onomi, kalau kitong bicara sampah di danau, orang bukan hanya buang sampah ke danau. Ko lihat nanti di jalan-jalan. Banyak orang buang sampah sembarangan. Jika hujan sampah masuk selokan, masuk ke kali, kemudian akhirnya masuklah ke danau. Sekarang danau jadi tempat pembuangan sampah.” Mama Onomi menghela napas sebelum melanjutkan, “Kitong yang tinggal di tepi danau jadi korban. Danau Sentani jadi dangkal, air danau kotor, rumput danau mati. Ikan-ikan danau tidak ada lagi dekat kitong pu pemukiman. Kitong jadi susah. Mau ambil air untuk minum saja kitong harus pergi ke tengah danau. Karena hanya di tempat itu saja yang kitong rasa airnya bersih.” Mamanya bicara panjang lebar.

“Dulu, waktu Bapak masih hidup, Bapak sangat galak kepada orang-orang yang membuang sampah ke danau,” kata Onomi yang bangga akan bapaknya. Bapak Onomi dulu kepala suku yang amat disegani oleh masyarakatnya. Onomi masih ingat waktu kecil, dia selalu diingatkan bapaknya untuk tidak membuang sampah sekecil apa pun ke danau. Ungkapan bapaknya, “Nanti dewa marah” kembali terngiang di telinganya.

“Ma, dulu Bapak bilang kalau orang buang sampah ke danau, dewa marah, itu betul kah?” tanya Onomi, pertanyaan yang sudah dia ketahui jawabannya.

“Ya itu dulu orang-orang tua bilang begitu.” jelas ibunya. “Kalau dewa marah, dia tidak akan mengirim ikan ke danau,” lanjut mamanya.

Sebagai lulusan Universitas Cenderawasih, yang menekuni bidang ilmu alam dan lingkungan, Onomi tersenyum. Dia mulai mengambil kesimpulan sendiri bahwa yang diajarkan orang-orang tua Sentani kepada anak-anaknya merupakan cara masyarakat Sentani menjaga alam mereka. Pengetahuan lingkungan leluhur inilah yang dahulu telah menyelamatkan masyarakat Sentani dari bencana alam dan kelaparan.

“Ko tahu Onomi, ikan kandei sudah jarang sekali ditemukan di danau. Ikan kandei tidak bisa tinggal di tempat kotor– ikan itu pasti akan mati.” Mamanya menerangkan. Dulu mamanya pernah memberitahukan bahwa ikan kandei merupakan salah satu jenis ikan asli Danau Sentani yang juga sering disebut sebagai ikan kakap danau.

“Jadi ikan itu pergi ke tempat yang lebih bersih?” tanya Onomi.

“Ya. Jadi bukan karena dewa marah, tapi karena manusia tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan. Ikan yang suka lingkungan bersih seperti kandei musnah atau berpindah,” jawab mamanya.

Satu jam lebih mendayung, sampailah mereka di tengah danau. Onomi takjub melihat beberapa burung bangau danau yang bertengger berbaris rapi di atas batang kayu yang mengapung. Tanpa terusik oleh kedatangan mereka, burung-burung itu tetap santai berayun di batang pohon yang bergoyang di atas gelombang yang diciptakan perahu mereka. Bahkan ada bangau-bangau yang terlihat tengah bercanda. Coba kalau burung-burung itu di pedalaman Pulau Asei, habislah mereka ditembak ketapel anak-anak usil, batin Onomi.

Onomi melihat dengan jelas perbedaan antara keadaan di tepian danau dan tengahnya itu. Tiba-tiba dia bertekad untuk berbuat sesuatu demi menyelamatkan danau dari sampah dan membuatnya menjadi rumah yang aman bagi satwa dan tumbuhan. Namun, dia tidak tahu pastinya akan berbuat seperti apa.

***

Setelah seminggu sejak kedatangannya di Pulau Asei, Onomi terbangun karena dering telepon genggamnya. Yakoba, sahabat baiknya ketika masih kuliah, mengajaknya jalan-jalan keliling kota Jayapura. Setelah mandi dan sarapan, Onomi menemui mamanya yang sedang sibuk memberi makan babi-babi piaraan mereka.

“Mama, sa boleh pinjam perahu mama kah? Sa mo ke dermaga dulu, Yakoba ajak sa jalan-jalan di Jayapura,” pintanya.

“Pakailah, biar Mama nanti pinjam perahu Martha jika mau keluar. Ingat ya, ko ikat perahu baik-baik, jangan sampai hanyut,” kata mamanya sambil tersenyum.

Onomi tahu mamanya sedang menggodanya karena dia sering lupa mengikat perahu sehingga perahu hanyut di danau. “Baik Ma, sa akan ingat,” jawabnya cepat.

Setelah mendayung sekitar lima belas menit, sampailah Onomi di dermaga. Mobil putih Yakoba tampak diparkir di bawah pohon ketapang. Setelah mengikat perahunya di sebuah batang pohon di tepi danau, dia lari secepat angin ke arah mobil Yakoba.

Yakoba lalu membuka pintu mobilnya dan melompat memeluk sahabatya dengan erat. Dia tertawa lebar. Deretan gigi putihnya tampak menghiasai wajah manisnya. “Selamat pagi, Putri Duyung, ko cantik sekali pagi ini.”

Onomi tertawa bahagia. Sudah lama tidak ada yang memanggilnya Putri Duyung. Itu adalah julukannya sejak 2016, ketika dia mulai mempersiapkan dirinya untuk mewakili Papua di PON 2021. “Cenderawasih, sa su rindu ko.” Wajah Onomi tampak berseri. Mata bulatnya bersinar indah. Yakoba dijuluki Cenderawasih karena dia cantik dan mempunyai perhatian khusus pada kehidupan cenderawasih yang mulai terancam punah di Papua. Dia kini menjadi peneliti di World Wildlife Fund Jayapura yang berkantor pusat di Swiss.

“Sa juga rindu ko, Putri Duyung,” timpal Yakoba. Mereka tertawa renyah.

Setelah dua tahun di Tiomneri, Onomi kaget melihat Jayapura yang kini padat dengan mobil dan motor. Jayapura jadi penuh asap. Sementara di Tiomneri jarang ada motor dan mobil. Sepi dan bersih udaranya. Dia pun lalu merindukan suasana Tiomneri.

Onomi memandang hiruk-pikuk kota yang sudah lama tidak dilihatnya. Tiba-tiba botol plastik terbang dari jendela kanan sebuah mobil mewah di depan mereka. Tidak lama kemudian botol kedua dan kantong plastik besar yang mungkin berisi sisa makanan dilempar dari jendela kirinya. Onomi berteriak kaget. Dia tidak percaya dengan kejadian yang dilihatnya.

Yakoba yang sudah terbiasa dengan pemandangan ini hanya tersenyum mendengar teriakan Onomi.

“Yakoba, kita ikuti mobil itu!” pinta Onomi.

“Ko mo bikin apa?” tanya Yakoba.

“Kelakuan buruk mereka harus kitong hentikan. Sampah yang mereka buang ke jalan seperti tadi bakal berakhir di danau. Ko ingat, sa tinggal di tepi danau,” Onomi meremas jari-jari tangannya.

“Bagaimana kalau kita ambil foto nomor mobilnya saja?”

Seperti ada yang memberi aba-aba, mereka serentak mengambil foto nomor mobil yang ada di depan mereka.

“Sa mau unggah foto ini di sa pu Facebook. Sa mau tulis cerita tentang mobil mewah yang mengotori jalan ini,” kata Onomi.

“Mungkin itu lebih bijak. Kalau kitong kejar mobil itu lalu tegur mereka, pasti mereka malah marah kitong. Sa sedang malas ribut deng orang.” Yakoba menimpali.

Onomi mengangguk menyetujuinya.

“Sa juga mau bagi di sa pu Facebook,” lanjut Yakoba.

“Sa pikir, untuk dapatkan mobil mewah pasti mereka dulu bersekolah tinggi, lalu dapat pekerjaan bagus, dan lantas bisa beli mobil mahal. Tapi nyatanya kelakukan mereka seperti orang tra sekolah.” Omoni mencurahkan kekesalannya.

Belum selesai dengan masalah mobil, tidak lama kemudian mereka melihat dua orang pengendara motor yang membuang plastik minuman ke selokan di pinggir jalan. Mereka, seusia Martha, tampak tidak merasa bersalah berbuat begitu. Hal itu membuat Onomi berang dan Yakoba pun terpancing.

Yakoba tancap gas mengejar motor itu dan menghentikannya.

Onomi langsung membentak anak muda bertubuh kurus itu. “Hai ko tadi buang apa di selokan? Ko tahu akibatnya kalau selokan penuh sampah, sampah plastik pula!”

“Ko masih ingat banjir tahun 2019 di Jayapura yang menyebabkan ratusan orang meninggal? Salah satu penyebabnya ya sampah itu,” tambah Yakoba.

“Sekarang ambil sampah tadi dan bawa pulang!” perintah Onomi tidak main-main.

Tampak dua anak muda itu enggan untuk melakukannya. Namun, Onomi dan Yakoba memasang wajah marah dan setelah melirik Onomi yang berperawakan tinggi dan tegap, keduanya melakukannya dengan ogah-ogahan. Mereka tampak bingung menentukan sampah yang barusan mereka buang karena banyak sampah plastik di selokan itu.

“Angkat saja semua sampah yang ko bisa!” bentak Onomi lantang.

“Nih, ko kumpulkan di tempat ini!” Yakoba melemparkan tas belanja yang diambil dari mobilnya. Suaranya keras menghardik.

Dua pemuda dengan perawakan kerempeng seperti pecandu obat terlarang gemetar ketakutan. Mereka buru-buru mengambil tumpukan sampah plastik dan memasukkannya ke dalam tas yang dilemparkan oleh Yakoba.

“Ingat ya bawa pulang sampah itu, jangan ko ulangi dan bilang ko pu teman-teman untuk tidak melakukan yang sama.” Onomi mengingatkan mereka dengan dengan raut wajah garang.

Onomi dan Yakoba bertukar tatapan, ada rasa puas di sana.

***

Unggahan foto mobil dengan nomornya, dan cerita tentang pengendara mobil dan motor yang mengotori jalan, ramai di dunia maya. Banyak pula yang membagikannya ke orang-orang lain. Muncullah berbagai tanggapan, yang sebagian besar mengecam perbuatan mengotori jalan itu. Menariknya, ada berbagai macam cerita serupa. Kisah tentang anak-anak yang membuang sampah di jalan dan selokan, juga dibagi oleh pengguna jaringan daring pribadi lain.

Akhirnya, ada keberanian dari orang-orang yang peduli kepada kelestarian lingkungan untuk memunculkan warta-warta pencemaran alam kepada masyarakat. Muncul pula ungkapan dari beberapa tokoh masyarakat mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan terutama danau yang sudah parah limbahnya.

Atas tindakannya itu, Onomi dan Yakoba tidak “selamat” begitu saja. Telepon dan jaringan pemberitaan daringnya penuh dengan makian dan umpatan yang menuduhnya mencari ketenaran dengan memunculkan cerita di perangkat daring ini.

Umpatan dan makian itu tidak menggentarkan kedua gadis pemberani itu, tetapi justru membuat mereka semakin tak terhentikan.

“Kita sudah terlanjur terjun ke dalam air, Putri Duyung. Mari kita berenang menyeberang sekalian,” kata Yakoba suatu hari.

“Siapa takut, Cenderawasih, ko tahu sa to, apa yang sudah sa mulai akan sa akhiri dengan baik.” Onomi menanggapi.

Onomi dan Yakoba dahulu memang terkenal sebagai mahasiswi pemberani. Sebelum menjadi juara renang tingkat provinsi, Onomi sering gagal memenuhi batas waktu yang ditentukan pelatihnya. Dia sudah terbiasa dengan kerasnya latihan. Yakoba sudah terbiasa keluar masuk hutan untuk meneliti cenderawasih. Keganasan hutan yang biasa dihadapinya jauh lebih berat jika dibandingkan dengan umpatan dan makian orang di jaringan pemberitaan daring pribadinya.

Tidak lebih dari sebulan setelah heboh cerita dan berbagai tanggapan orang di jaringan pemberitaan daring, Onomi dan Yakoba diundang oleh Sekolah Adat Sentani yang telah mengumpulkan puluhan anak muda. Ternyata kegalauan Onomi dan Yakoba tentang sampah plastik di danau juga menjadi kekhawatiran para pengurus Sekolah Adat.

Onomi dan Yakoba diminta kepala Sekolah Adat untuk memimpin pertemuan itu. Banyak gagasan baik yang lahir dari pertemuan itu. Dengan tidak banyak menyita waktu, sekian hari kemudian di tempat umum di sekitar danau dan jalan raya mulai berdiri papan-papan dengan tulisan himbauan seperti Cintai Lingkunganmu, Bawalah pulang sampahmu, Danau bukan tempat sampah, Hanya orang bodoh yang membuang sampah sembarangan, dan tulisan-tulisan lain yang senada.

Yang menarik, anak-anak muda dengan suka rela bergabung dan menamai kelompok mereka dengan Anak Muda Penjaga Danau. Mereka bersepakat untuk memberi pelajaran mengenai pentingnya lingkungan yang bersih dan teguran kepada orang-orang yang membuang sampah sembarangan. Mereka juga melakukan kegiatan bersih-bersih danau dan lingkungannya.

Melihat bersemangatnya gerakan masyarakat ini, Onomi dan Yakoba tersenyum puas. Mereka sadar bahwa memang tidak mudah menertibkan orang-orang yang sudah terbiasa dengan kebiasaan buruk. Tetapi paling tidak, diharapkan gerakan anak muda ini akan membuat orang lain yang suka membuang sampah sembarangan menjadi malu. Menjadikan orang malu membuang sampah semaunya memang butuh waktu yang lama.

“Cenderawasih, kalau nanti danau sudah bersih, sa bayangkan ikan-ikan asli Sentani akan keluar dari persembunyiannya ⸺ kandei, kayou, kahe, dan yang lain. Sa jadi ingat dulu sa pu Bapak melantun tentang aneka ragam ikan danau.” Onomi bercerita sambil mengenang mendiang bapaknya.

Onomi lalu melantun dengan merdunya.

Igwabun neiboi manende (mendekati sepanjang wilayah Igwa)
Ebaeit yo miyae kandei holo ereijae ereyole (perempuan dari
kampung Ebaeit melihat kawanan ikan kandei)
Thaibun neiboi manende (mendekati sepanjang wilayah Thai)
Hayaere yam miyae kahe holo haleijae haleyole (perempuan dari kampung Hayae   melihat kawanan ikan kahe)

Yakoba terpana, dia tidak menyangka bahwa Onomi mampu melantun dalam bahasa Sentani dengan fasihnya.

“Yakoba ko tahu,” kata Onomi tiba-tiba. “Kalau danau kotor, jangankan sa, kandei pun enggan kembali.”

 

*****

 

 

Choose Site Version
English   Indonesian