Arafat Nur was born in Medan, on 22 December 1974. He has lived in Aceh since his elementary school years. He experienced the Aceh Conflict and his writing reflects several of its incidents. Nur’s work won numerous awards. Lampuki (Serambi, 2009) won the 2010 Dewan Kesenian Jakarta (Jakarta Arts Council) Award and the 2011 Khatulistiwa Literary Award; Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang Pustaka, 2014) was translated into English: A Bird Flies in the Dark of Night. His latest novel, Tanah Surga Merah (Gramedia, 2016), won the 2016 Dewan Kesenian Jakarta Award. Nur is a farmer and spends his spare time reading literary works and books about history and philosophy.
He can be reached at arafatnur@yahoo.com
***
Bab 20
Bangkitnya Perlawanan Kecil
yang Segera Tenggelam
Kerusuhan dan ketakutan mulai merebak lagi. Pasukan yang dipimpin Wakil Panglima Pejuang Wilayah Pasai, Ahmad Kandang, melancarkan serangan dengan menembaki kawanan tentara yang berlalu di jalan raya. Mereka juga melemparkan bom rakitan di depan kantor polisi di Lhokseumawe.
Pada hari Selasa, tanggal 4 Pebruari 1997 siaran radio terus-terusan memberitakan perampokan bank BCA pada siang hari di tengah keramaian kota. Perampokan, yang dilakukan oleh tiga orang pemberontak bersenjata, menyebabkan tewasnya penjaga dan kasir serta terlukanya supir dan tiga Polisi Militer.
Aku tidak bosan-bosannya mendengarkan berita perampokan itu dari radio yang kubawa ke ladang. Aku khawatir pemerintah akan kembali mengerahkan tentara ke kampung-kampung, termasuk ke Alue Rambe. Aku termenung-menung di dangau, sambil sesekali melirik ke ladang sebelah.
Manakala kulihat Zulaiha muncul di ladangnya, segera kupadamkan radio dan bergegas melompat turun dari dangau.
Zulaiha tersenyum manis.
Kami bersama-sama memetik polong-polong hitam kecil sepanjang jari telunjuk. Aku memerhatikan polong hitam tua yang baru kupetik, polong yang membungkus sepuluh sampai lima belas biji kacang hijau di dalamnya. Sejenak aku mengalihkan pandangan ke arah langit barat daya. Cahaya matahari redup tersaput gumpalan awan putih kelabu. Ada sekawanan burung terbang di antara rimbunan pohon-pohon di pemukiman penduduk.
“Apa rencana Abang ke depan?” tanya Zulaiha tiba-tiba.
“Maksudmu?”
“Bukankah semua orang punya rencana?” tanya dia lagi.
Aku berpikir untuk menangkap maksudnya. “Aku tidak tahu apa rencanaku ke depan,” kataku.
“Apakah Abang tidak punya rencana melamar seseorang?” Suara itu terdengar bergetar. Sementara tangannya yang terlihat gugup terus memetik kacang hijau.
“Tentu saja aku punya,” jawabku meraba maksud pertanyaannya. “Namun, sekarang aku belum bisa menjawabnya.”
Zulaiha menunduk. Bayang topi caping menutup wajahnya dari terik matahari. Dia menggulir-gulirkan sebuah polong yang terapit di antara ibu jari dan jari telunjuknya.
Aku ingin ungkapkan sesuatu yang mengganjal hati kepadanya, tetapi aku tidak tahu cara mengutarakannya. Terlalu banyak persoalan yang kuhadapi dan aku tidak mungkin mengatakannya sekarang. Aku belum siap untuk kawin. Selain masih terlalu muda, aku berencana untuk bergabung dengan pasukan Ahmad Kandang.
*****
Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: