Dari tahun 1989 sampai 2002, Nazir menyaksikan sejarah kelam bangkitnya pemberontakan di kampung halamannya. Dia putra tunggal seorang petani di Alue Rambe, kampung terpencil di pegunungan Aceh Utara sebelah selatan kota Lhokseumawe.
Ayah Nazir menafkahi keluarganya dari hasil berkebun dan berladang dengan menanam kelapa, pinang, kemiri, padi gunung, dan kunyit.
Munculnya pemberontakan, yang terkenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka, seketika mengubah kehidupan seluruh penghuni kampung.
Arkam, adik ibu Nazir, adalah seorang pemberontak yang menghasut penduduk untuk melawan tentara yang dikirim dari Jakarta untuk membasmi pemberontakan. Arkam membujuk Ayah untuk menerima jabatan camat dalam Gerakan Aceh Merdeka.
Arkam terlibat dalam penyerangan markas tentara di Krueng Tuan pada 26 September 1989 dan di Buloh Blang Ara pada 28 Mei 1990. Tentara mengamuk atas serangan itu; mereka membalas serangan pemberontak yang menyebabkan penduduk kampung dicengkeram ketakutan siang dan malam. Akhirnya Arkam tertangkap dan dibunuh tentara dalam perjalanan pulang dari menjenguk ibunya yang sekarat.
Nazir, yang waktu itu masih siswa SMP, hanya mampu menyaksikan betapa parahnya kehidupan orang-orang di sekitarnya. Dia akrab dengan keluarganya dan rajin membantu Ayah di ladang. Ayah menekankan pentingnya pendidikan kepadanya.
Melihat Ayah yang menderita akibat bujukan Arkam, yaitu untuk menjadi camat dalam gerakan pemberontak, membuat hati Nazir resah tidak menentu. Terlebih saat sejumlah serdadu memerkosa kakaknya dan membunuh Ayah, jiwa Nazir begitu hebat terguncang. Kehilangan gadis cinta pertamanya yang terseret dalam pergaulan bebas dengan tentara menyebabkan dendamnya terhadap tentara semakin membara.
Setelah Ayah tewas, Nazir terpaksa menggantikan tanggung-jawab ayahnya sebagai kepala keluarga. Susah payah dia menyelesaikan SMA yang ditempuhnya sambil bekerja di ladang dengan bantuan ipar, ibu, dan dua kakaknya. Sementara itu, kerusuhan akibat perseteruan antara pemerintah dan pemberontak terus berlanjut, dan kekacauan itu menyebarkan penderitaan pada rakyat Aceh; korban pun terus berjatuhan setiap harinya.
Dalam keterpurukan hidup dan terperangkap dalam buruknya keadaan, Nazir tetap bersekolah dan bekerja di ladang. Dia merindukan ketenangan dan kedamaian dengan hidup tanpa ketakutan.