Budi Darma – Sastrawan dan Guru Besar di Universitas Negeri Surabaya:
Novel Dasamuka berhasil menggambarkan keruwetan kebudayaan orang Jawa menjelang Perang Diponegoro (1825-1830) dari sudut pandang seorang peneliti dari Universitas Edinburgh. Adat kebiasaan, kesetiaan, pengkhianatan, kebejatan,dan rasa tanggung jawab orang Jawa digambarkan dengan baik oleh pengarangnya, Junaedi Setiyono. Melalui novel ini pembaca juga digiring untuk memahami perbedaan antara kebudayaan Jawa dan kebudayaan Eropa, baik dari segi kebaikan maupun dari segi keburukan kedua bangsa berbeda ini. Dalam usahanya untuk menampilkan nilai-nilai perlambangan dalam novel ini, Junaedi Setiyono telah berhasil pula dalam meramu novel ini dengan unsur-unsur pewayangan, khususnya mengenai perselingkuhan antara ayah dan anaknya dalam memperebutkan istri. Dari sini lahirlah Dasamuka untuk mewakili sisi buruk manusia, dan diimbangi oleh saudara sedarah sedaging Dasamuka, yaitu Kumbakarna sebagai lambang dari kemuliaan hati manusia. Meskipun dalam pewayangan Dasamuka adalah tokoh hitam dan Kumbakarna adalah tokoh putih, dengan kecintaannya pada dunia wayang dan dengan ketrampilannya dalam menulis fiksi, dalam novel ini Junaedi Setiyono mampu menggambarkan tokoh abu-abu sebagai gambaran dari kerumitan kebudayaan Jawa, dan juga kerumitan kebudayaan Eropa.
==================
Ribut Basuki – Dekan Fakultas Sastra Universitas Kristen Petra, Surabaya:
Dasamuka, novel sejarah karya Junaedi Setiyono, sangat menarik karena dua hal; yaitu kiasannya terhadap dunia pewayangan dan catatan sejarah yang terlewat dari ‘grand narrative’ sejarah Indonesia jaman penjajahan.
Pertama, kiasannya ke dunia pewayangan yang saling menjelaskan antara tokoh-tokoh pewayangan dan tokoh-tokoh dalam novel itu membuat perilaku tokoh-tokoh Jawa di dalam novel itu dapat dipahami dengan lebih mudah, baik oleh pembaca Indonesia maupun barat. Kedua, ‘catatan pinggir’ tentang sejarah Indonesia yang ditulis dari sudut pandang tokoh barat Skotlandia memberikan warna baru bagi pembaca Indonesia, dan tentu saja juga pembaca barat, yang biasanya membaca sudut pandang tokoh barat yang Belanda.
Hubungan kuasa antar tokoh-tokoh barat, antar tokoh-tokoh Jawa, dan antara tokoh-tokoh barat dan tokoh-tokoh Jawa diramu dengan baik sehingga novel ini memberikan gambaran yang hidup mengenai budaya penjajahan di Jawa.
==================