Introduction to 2025 series of short stories.

Dalang published Footprints / Tapak Tilas, the 49 short-story, bilingual compilation in 2022. The publication celebrated our tenth anniversary and acknowledged the contributing 44 authors and 18 translators. This launch resulted in the seven short stories to be featured here in 2025.

Each of these short-story authors represents one of the seven areas Indonesia is known for.

During the Footprints / Tapak Tilas launch event in each region, we asked the audience for questions and offered a competition. The most in-depth question submitted, that would help an up-and-coming author or translator, would win and receive a copy of Footprints / Tapak Tilas. The winners were requested to write a short story and promised that the professionally edited work and its translation would be featured on our website.

These authors are mostly young, aspiring writers with a keen interest in literature and sense of nationalism. We hope that being published on our website will give them a foothold into the literary world and inspire them to continue the journey with their writing muse.

Our stories are not only geared to develop writing skills, but are also aimed at nurturing Indonesian literature with the hope of breaking through international walls. As for our foreign readers, we hope our stories bring enlightenment regarding Indonesian customs, culture, history, and society. For the Indonesian readers, we hope to awaken and/or nurture a sense of pride in their home country and the bounty it has to offer.

A recording of the events can be found at:
https://sites.google.com/view/bincangsastra-eng/beranda


Junaedi Setiyono

Junaedi Setiyono received a scholarship from Ohio State University to conduct research as part of his doctorate degree in language education, which he received in 2016 from the State University in Semarang, Central Java. He felt being part of Dalang Publishing after he was entrusted with the edit of Lolong Anjing di Bulan (Sanata Dharma University Press 2018), a novel by Arafat Nur, and the translation of two short stories: Mengenang Padewakkang, by Andi Batara Al Isra, and Ketuk Lumpang, by Muna Masyari — both published in 2022 in Dalang’s Footprints/Tapak Tilas, a bilingual short story compilation.

Setiyono’s most recent assignment — to edit the 2025 series of six short stories to be published in installments on Dalang’s website — gave him the opportunity to improve his own writing skills, including accurate word placement, appropriate sentence structure, and careful examination of the storyline’s plausibility as composed by the author.

Dalang has published two of Setiyono’s novels: Dasamuka (Penerbit Ombak 2017) and Tembang dan Perang (Penerbit Kanisius 2020).

Setiyono teaches writing and translation at his alma mater, the Muhammadiyah University of Purworejo. He received three awards for Dasamuka from: the Jakarta Arts Council; the Indonesian Ministry of Education and Culture; and the Southeast Asian Literature Council.

Junaedi Setiyono: junaedi.setiyono@yahoo.co.id

 

Terre Gorham

Terre Gorham has spent her entire life coaxing words to sing. Briarcliff Elementary School “published” her first short story when she was in 2nd grade. She went on to earn a degree in writing. She freelanced her work until she landed a full-time job as editor of The Downtowner Magazine, in Memphis, TN, where she wrote, edited, and guided young writers for more than 20 years. Gorham has ghost-written a novel for a non-profit organization that helps abused women. She joined Dalang Publishing in 2017 as the English language editor. Her words have been published in hundreds of publications. She is currently working for an event production company where she edits documents ranging from client presentation decks to policy manuals. Now, nearing “retirement age,” she continues her editing work on a freelance basis once again.

Terre Gorham: terregorham@gmail.com

 

 

 

 


Antara Lepet Dan Sura

Tria Oktafianawas born in Probolinggo, East Java,and currently works as an Indonesian language teacher at SMP Negeri 41, a state junior high school in Purworejo. She is aliteracy activist and writes literary and cultural fiction. Oktafiana has loved writing and literature, especially poetry and short stories, since she was young. Her poems and short stories have been published in several anthologies. Akar Serumpun Anyaman Rasa (SIP Publishing Indonesia 2025) was published as the output of Festival Puisi Tiga Negara, a three-country poetry festival in Indonesia, Malaysia, and Singapore. Her work is included in Gendang Gending 100 Tahun Kinartosabdho (Dewan Kesenian Provinsi Jawa Tengah 2025), a poetry anthology that showcases 100 poets. Oktafiana’s work is inspired by her daily experiences that she records as insightful stories.

Tria Oktafiana: triaoktafiana56@gmail.com

*****

 

Antara Lepet Dan Sura

Pagi itu Dusun Beji diramaikan oleh suara kokok ayam. Namun, para petani belum banyak yang berkegiatan di luar rumah. Kepulan asap tampak putih membubung pertanda penduduk kampung itu sedang memasak untuk sarapan dan bekal mereka pergi ke sawah.

Suntre, anak lelaki satu-satunya dari tetua desa, sudah duduk di dapur bersama Sasandewi, kakak perempuannya

“Mbak, kita buat kupat lepet lagi?” tanya Suntre yang terheran-heran karena dia dan kakaknya sudah membuat kupat lepet berulang-ulang kali.

Sasandewi, mengangguk dan berkata, “Ya, dan kelak kau juga harus mengajari anak-anak Dusun Beji membuat lepet.”

“Kenapa harus aku, Mbak? Kenapa tidak Mbak saja?” Suntre menanggapi dengan kedua alisnya terangkat.

“Kau satu-satunya anak laki-laki, dan Bapak adalah seorang tetua dusun. Kelak siapa yang akan menggantikan Bapak jika bukan kau, Suntre?” Sejak dulu, urusan membuat kupat lepet selalu menjadi tanggung jawab Sasandewi. Suntre, yang usianya belum genap tujuh belas tahun, hanya bisa duduk di samping Sasandewi sambil memperhatikan jemari kakaknya menganyam selongsong kupat yang cantik.

“Tapi …,” gerutu Suntre sebelum dia melanjutkan ucapannya, “ya, sudah kuteruskan pekerjaan kita biar kupatnya jadi banyak.” Raut wajah Suntre cemberut tetapi tangannya tetap melakukan pekerjaannya itu. Akibatnya, kupat lepet buatannya jadi kurang rapi bentuknya.

Kupat lepet merupakan makanan khas yang mudah didapat di Dusun Beji yang terletak di wilayah Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo. Makanan ini dibuat penduduk pada masa panen padi. Pembuatannya menjadi kebiasaan khusus yang hanya dilakukan saat padi sudah siap dipanen, sebagai tanda dimulainya pesta panen. Masyarakat mempercayai kata-kata leluhur mereka bahwa setelah makan kupat lepet dan membaca doa bersama tetua Desa Beji, kegiatan memanen padinya menjadi berkah. Terhidangnya makanan itu juga sebagai wujud penghormatan mereka kepada alam sekaligus juga ungkapan rasa syukur atas hasil panennya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sang pemelihara tanah dan penumbuh setiap bulir padi di sawah.

Makanan khas tersebut terbuat dari campuran beras ketan, kelapa parut, dan garam. Tahap-tahap pembuatannya dimulai dengan memasukkan beras ketan yang telah tercampur dengan kelapa parut, daun pandan, dan garam ke dalam selongsong yang terbuat dari janur. Kemudian selongsong yang telah terisi itu direbus hingga matang. Daun kelapa yang dipilih adalah daun muda yang masih segar berwarna kehijauan, lentur dan harum alami. Alasan memilih janur memang bukan hanya karena mampu membungkus ketan dengan rapat. Masyarakat yakin janur juga membawa lambang kesucian dan keberkahan, seolah setiap helai daun itu menyimpan doa yang terjalin di sela seratnya.

Lepet selalu disajikan bersama dengan sayur sura yang gurih dan menyatu dengan cita rasa lepet. Sayur ini biasanya terdiri dari daging ayam atau sapi, telur puyuh, dan telur ayam. Kedua macam telur tersebut direbus tidak sampai terlalu matang, lalu dikupas dan dikeringkan. Selanjutnya daging dan telur itu dimasak dalam santan kelapa bersama-sama tumisan berbagai rempah, seperti kunyit, jahe, lengkuas, daun salam, dan serai. Beraneka rempah ini memberikan bau harum dan cita rasa yang kuat. Lepet dengan sayur khasnya ini menjadikan hidangan ini tidak hanya sekadar makanan, tetapi juga lambang rasa syukur atas hasil panen.

Sambil menarik napas panjang dan menghembuskannya kembali Suntre mengucapkan kekesalannya, “Gusti, berikanlah aku ilmu yang mampu menembus langit agar aku mampu untuk tetap menjalankan kebiasaan Bapak.”

Mendengar ucapan Suntre, Sasandewi menepuk pundak kanan adiknya itu dan berkata, “Kebiasaan itu memang baik. Aku yakin kau mampu melakukannya dengan baik dan penuh tanggung jawab.”

***

Suntre sebenarnya tidak suka menerima takdir itu. Bagaimana tidak, ada banyak hal aneh yang harus dipelajarinya, termasuk sesuatu yang tidak masuk akal. Sebagai contoh keanehannya adalah kejadian beberapa hari lalu. Saat itu mendung tiba-tiba menggulung langit, mengancam penghuni dusun dengan akan segera datangnya hujan deras. Ketika kegelapan semakin menggelayuti pelataran, ayah Suntre mengeluarkan sapu lidi dan beberapa bumbu dapur, seperti bawang merah, bawang putih, terasi, dan cabai.

Aneh memang apa yang dilakukan ayah Suntre, tetapi dalam kepercayaan orang dusun, itu hal biasa. Ayah Suntre berjongkok di tengah pelataran tanah yang mulai lembap. Jemarinya yang kurus menancapkan bumbu-bumbu itu pada sapu lidi yang didudukkan terbalik di tengah pelataran di mana biasa digelar kepang untuk menjemur gabah. Itulah langkah yang perlu diambil untuk menghadapi datangnya hujan lebat yang disertai angin kencang. Suntre melangkah cepat mendekati ayahnya dan memperhatikan setiap tindakan yang dilakukannya. Sang ayah pernah menjelaskan bahwa bumbu-bumbu itu adalah tumbal yang dipersembahkan kepada alam dengan harapan alam akan senang dan tidak menumpahkan hujan dan angin dengan berlebihan.

Mungkin bagi orang di luar Dusun Beji, tindakan ayah Suntre ini dianggap konyol. Namun, bagi sang ayah dan masyarakat dusun itu, hal itu adalah bagian dari kepercayaan yang telah membudaya, yang telah mereka jalani turun-temurun. Di tengah alam yang kadang tidak terduga dan tidak terkendali perangainya, manusia mencari cara untuk berdamai dengan kekuatan alam. Dengan kebiasaan seperti itu, warga dusun menemukan dan merasakan kedekatan mereka dengan alam.

“Bapak sedang menolak hujan? Mana mungkin hujan bisa dicegah dengan itu?” Suntre, yang masih tidak percaya dengan apa yang dilakukan ayahnya, menunjuk ke arah sapu lidi yang didudukkan terbalik dengan bumbu yang menancap di ujung lidinya.

“Ilmu itu luas, Le. Yang sekarang kita kenal sebagai adat, kebiasaan dan budaya, itulah ilmu yang dimiliki leluhur kita. Kita tak boleh menyia-nyiakan ilmu itu. Ilmu tak hanya dicari di bangku sekolah, kau juga harus mencarinya di alam terbuka.” Jawaban ayah Suntre selalu kembali ke pentingnya adat, budaya, alam, dan leluhur.

***

Suasana malam itu di pelataran pendapa Dusun Beji semakin meriah karena pagelaran wayang kulit akan segera dimulai. Para seniman dari desa tetangga beserta pengombyong-nya telah tiba. Para pembawa alat dan pendukung pertunjukan, mulai bekerja menyiapkan panggung di lapangan desa. Pagelaran wayang kulit malam itu bukan sekadar hiburan biasa, melainkan pesta panen raya yang ditunggu-tunggu warga. Wayang kulit dihadirkan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil bumi yang diperoleh warga desa. Denting gamelan dan tembang sinden menandai waktu panen. Pertunjukan itu dilangsungkan sebagai wujud syukur, silaturahmi serta pengingat untuk hidup selaras dengan alam.

Warga kampung berkumpul dengan membawa makanan dan minuman untuk dinikmati bersama pada saat pertunjukan wayang berlangsung.

Sasandewi dan Suntre baru saja selesai memasak kupat lepet beserta sayur sura. “Mbak, suara gamelan dan sindennya sudah terdengar!” seru Suntre.

Ketika lampu panggung dinyalakan dan suara gamelan mulai mengalun, semua mata tertuju pada kelir, – layar putih tempat bayangan wayang bergerak mengikuti setiap alur cerita. Di balik layar itu, tangan dalang dengan lincah menghidupkan tokoh-tokoh yang membuat penonton terdiam terpaku. Orang-orang berkerumun di lapangan desa dengan kegembiraan yang terasa di udara. Ada yang datang bersama keluarga, ada juga yang memilih menikmati pertunjukan sendirian. Sebagian mengenakan baju terbaik mereka, sementara yang lain lebih memilih tampil santai dengan baju yang biasa dipakainya sehari-hari. Namun, terlepas dari penampilan mereka, semuanya berkumpul dengan gairah yang sama untuk menyaksikan sebuah pertunjukan yang mereka tunggu-tunggu. Dengan senyum lebar menghiasi wajah mereka, Sasandewi dan Suntre duduk berdampingan di depan kelir.

“Ini adalah cara kita untuk merayakan hasil panen,” bisik Sasandewi kepada adiknya saat melihat berbagai sosok wayang dengan beraneka perwatakannya muncul di atas panggung, “Acara ini juga untuk bertemu satu sama lain, agar bisa saling memaafkan,” lanjutnya.

“Saling memaafkan itu lambang dari kupat lepetnya ya, Mbak?” tanya Suntre sambil menggigit kupat lepet yang masih hangat yang dibawanya dari rumah untuk bekal. Kata kupat memang sering dikaitkan dengan kata lepat yang berarti salah.

Sasandewi mengangguk. Kemudian telunjuknya mengarah ke kelir yang sudah terisi oleh bayangan tokoh-tokoh wayang. “Kau bisa lihat wayang-wayang Ki Dalang Marta, kan? Dia memainkan semua tokoh pewayangan sesuai dengan apa yang ingin dia tampilkan. Kiranya begitulah manusia, kita ini hanya wayang Tuhan,” jelas Sasandewi pada adiknya. “Wayang adalah bayangan, dan bayangan-bayangan itu melambangkan kehadiran manusia di bumi milik Tuhan,” lanjutnya.

“Kalau sindennya? Gamelannya? Itu ada maknanya juga, Mbak?” kembali Suntre bertanya.

“Jelas ada. Syair lagu-lagu yang dinyanyikan sinden itu maknanya dalam, musik gamelan juga mempunyai makna tersendiri. Makanya kamu tanya Bapak besok, biar tahu,” jawab Sasandewi.

Malam itu, Ki Dalang Marta mementaskan kisah Sesaji Rajasuya. Bukan lakon wayang yang kaku dan resmi, tetapi lakon yang dibumbui bahasa Jawa logat Dusun Beji yang khas. Tokoh-tokoh wayang dihidupkannya dengan lucu dan menarik. Prabu Jarasanda digambarkan sebagai tokoh yang kasar tetapi juga memiliki sisi kelembutan manusiawi. Prabu Puntadewa ditampilkan dengan keanggunan dan kekuatan batin yang mengilhami. Di sela-sela pementasan, Ki Dalang mengaitkan kisah itu dengan kehidupan sehari-hari warga Dusun Beji, kearifan budaya yang mengajarkan nilai-nilai kebajikan seperti kejujuran, kesetiaan, dan keberanian. Pesan kebajikannya disampaikan dengan bahasa yang sederhana, tetapi penuh makna. Sasandewi dan Suntre tampak sangat menikmati kisah ini. Sementara itu ayahnya duduk di kursi paling depan bersama para tamu undangan lainnya.

***

Menjelang sore sebelum magrib, di bawah pohon beringin tua, anak-anak Dusun Beji berkumpul. Bukan untuk bercerita hantu, mereka berkumpul untuk bermain selongsong kupat lepet. Selongsong-selongsong itu dibentuk menyerupai pedang, keris, tombak, dan wayang. Bayangan pementasan wayang kulit yang dibawakan oleh Ki Dalang Marta beberapa hari lalu masih terbayang jelas di benak mereka dan kini diwujudkan dalam permainan.

“Ini Bima!” seru anak laki-laki berambut ikal sambil menyodorkan selongsong kupat lepet yang dibentuk menjadi wayang Bima.

“Nah, ini Arjuna! Bisa memanah!” sahut teman perempuannya, dengan selongsong kupat lepet berbentuk wayang dengan panahnya.

Suara tawa riang anak-anak memenuhi udara senja. Mereka beradu peran, menirukan adegan-adegan pewayangan yang mereka saksikan pada pentas wayang beberapa malam yang lalu. Bayangan wayang kulit seolah hidup kembali dalam permainan mereka. Selongsong kupat lepet yang sederhana menjadi sarana untuk mereka-reka dan menghidupkan kembali cerita pewayangan. Mereka asyik mereka-reka di bawah pohon beringin tua di Dusun Beji.

***

Kisah tentang Dusun Beji, tetua desa, Sasandewi, dan Suntre adalah kisah masa lalu. Setelah ditinggal tetua desa lebih dari sepuluh tahun lalu, Dusun Beji seakan kehilangan rohnya.

Sawah-sawah warga menjadi perumahan. Hasil panen tidak lagi melimpah. Dan, musim yang sulit ditebak menjadi pelengkap penderitaan Dusun Beji saat ini. Sudah tidak ada lagi mentari sore yang tampak menyelinap di balik Gunung Sumbing, semburat jingganya sudah tertutup tembok gedung-gedung baru. Sudah tidak tercium lagi bau harum janur direbus yang mengepul uapnya. Sudah tidak ada lagi anak-anak Dusun Beji yang bermain janur untuk membuat benda-benda seperti keris, bola, dan berbagai bentuk hewan. Kearifan daerah Dusun Beji sudah terkikis. Untung masih ada orang yang pulang kampung, kemudian mencoba melestarikan kebiasaan Dusun Beji, mirip seperti yang dilakukan tetua desa yang sudah berpulang – ayah Sasandewi dan Suntre.

***

Di sudut kota yang jauh dari Desa Beji, sebuah kedai kopi pinggiran menghadirkan suasana hangat yang menyambut setiap pengunjung. Kehangatan suasana bagi sebagian orang akan semakin lengkap bila dinikmati bersama secangkir kopi yang harum menggugah selera.

Di pojok kedai, Endarwati dan Jaka duduk bersama asyik bercakap-cakap. Mereka memang bersepakat bertemu setelah tidak berjumpa sejak acara hajatan keluarga di desa beberapa bulan lalu. Keduanya sekarang telah tinggal di kota yang tidak jauh dari Dusun Beji. Kedai kopi yang sederhana itu menjadi tempat pilihan mereka berbagi cerita. Setiap kali Endarwati tersenyum, lesung pipinya muncul. Endarwati meneguk kopi yang tersaji di meja dengan perlahan. “Kopinya sedap. Aku jadi teringat saat berlibur ke rumah Eyang Ndewi, kopinya hanya ditambah sedikit gula.”

Sorot mata Jaka tampak teduh saat menceritakan langkahnya dulu, dari tanah tenang hijau kampung halaman menuju kota yang sibuk riuh. Dalam percakapan hangat itu, kenangan lama menemukan tempatnya kembali.

“Menurut Eyang Untre, di desa, kopi digunakan untuk kanca melek. Kopi juga menjadi bagian gugur gunung, kerja bakti. Orang-orang yang punya hajat akan menyediakan makanan ringan beserta minumannya untuk warga desa yang dengan sukarela lek-lekan. Lembur hingga larut malam itu digunakan untuk nyengkuyung keberhasilan acara. Memang sudah menjadi kebiasaan untuk bersama mendukung keberlangsungan acara empunya hajat pada keesokan harinya.” Jaka menanggapi.

“Sukarela? Maksudmu cuma-cuma begitu? Kalau di sini kan sudah ada E-O? Kita tinggal bayar pengelola kegiatan itu dan semua bakal beres. Apakah di desa semua warga dengan sukarela nyengkuyung acara?” tanya Endarwati dengan mengangkat alisnya.

“Itulah gugur gunung, semua ikut handarbeni, merasa sama-sama memiliki.” jawab Jaka.

“Kalau dengar kisahmu, terutama cerita dari kakekmu, mungkin lebih enak tinggal di desa. Ternyata, di kota, bising pipa asap dan ribut tuter bikin telinga sumpek tiap pagi,” kata Endarwati.

“Bisa iya, bisa tidak. Sawang-sinawang,” Jaka menjelaskan bahwa apa yang tampak indah di mata seseorang, belum tentu terasa indah bagi orang yang menjalaninya.

Alis Endarwati terangkat dan matanya membesar seolah menahan rasa ingin tahu. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, dia kagum pada kekayaan kosa kata daerah yang meluncur begitu alami dari mulut Jaka, karena dia sudah lama larut dalam gaya bahasa zaman sekarang.

“Ya itu kan dari sudut pandangmu bilang begitu, dari sudut pandang orang lain bisa jadi kebalikannya. Siapa yang tahu jika ternyata banyak orang desa yang juga berpikir bahwa hidup di kota sepertimu justru lebih enak?” Ada nada getir yang terselip di balik tawa ucapannya — seakan dia ingin meyakinkan Endarwati, bahwa hidup perlu selaras dengan alam dan kebiasaan desa.

“Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kini hubungan manusia satu dengan lainnya dipahami sebagai hubungan kebendaan. Kehangatan dan cinta kasih memudar. Kebanyakan orang kini telah kehilangan kepribadian,” ucap Endarwati lirih. Jemarinya menggenggam gagang cangkir yang mulai dingin. Tatapannya menerawang ke luar jendela kedai, menatap lalu-lalang kendaraan dengan sorot mata yang meredup.

Benar, sepertinya ada yang hilang,” Jaka menanggapi keluhan Endarwati. “Ya, termasuk kepribadian kita sebagai orang Jawa yang memang dikenal dengan kearifannya. Sopan santun, salah satu contohnya, merupakan perwujudan kearifan itu.”

Jaka menatap ke arah pintu masuk kedai itu. Suaranya tenang tetapi ada semburat getir yang sulit disembunyikan. “Yang hilang tidak selalu harus disesali,” ujar Jaka, seolah dia ingin meyakinkan dirinya sendiri; dan, upayanya itu sama kuatnya seperti saat dia meyakinkan Endarwati arti sawang-sinawang.

Endarwati menoleh cepat. Alisnya berkerut, bibirnya terbuka setengah, menampakkan keterkejutannya yang bercampur penasaran. “Maksudmu?” tanyanya pelan, matanya menelisik Jaka seakan ingin menyibak lapisan perasaan yang tersembunyi di balik kalimatnya.

Jaka menegakkan tubuhnya, kedua alisnya bertaut rapat. Tatapannya menancap lurus pada Endarwati, seakan ingin menekankan tiap kata yang keluar melewati bibirnya. “Kepribadian kita sebagai orang Jawa atau orang timur mungkin saja menjadi penghambat kita untuk maju sebagaimana majunya orang-orang yang kita sebut sebagai orang barat,” katanya, kali ini dengan nada mantap.

“Menurutmu fried chicken, hamburger, dan pizza, lebih pas untuk makan kita sehari-hari daripada ayam ingkung, arem-arem, dan sengkulun?” Endarwati, memancing Jaka berbicara tentang kepribadian orang barat yang sebenarnya dia sukai. Tanpa menunggu jawaban Jaka, dia melanjutkan, “Menurutku tidak bermasalah jika itu memang lebih disukai oleh kawula muda Indonesia saat ini.”

Perbincangan antara Endarwati dan Jaka terpotong karena kopi pesanan kali kedua mereka datang.

Jam malam beranjak jauh, tetapi pertanyaan Endarwati justru semakin mengakar. Sebenarnya, masih banyak lagi yang ingin ditanyakannya kepada Jaka. Namun, semakin dalam Endarwati bertanya, semakin kosong pandangan mata Jaka. Tatapannya semakin menjauh, seolah dia sedang menatap dunia di balik dinding kedai. Malam Minggu memang suasana yang menenteramkan untuk berbincang-bincang. Namun, tidak untuk malam itu. Kopi dan makanan ringan yang tandas seolah menengarai perpisahan mereka.

Malam itu, Jaka berpamitan singkat. Dia membawa pulang keyakinan bahwa dia ingin tetap berpijak pada nilai leluhurnya, bukan pada pola kebaratan yang disukai Endarwati.

Endarwati menarik napas panjang, matanya menerawang ke luar jendela. Sadar bahwa zaman terus bergerak dan sulit dibendung, dia yakin pada akhirnya sejauh apa pun anak muda merantau, desa selalu punya cara sendiri untuk memanggil mereka pulang. Kisah-kisah Dusun Beji pun harus tetap hidup agar warisan leluhur menjadi penuntun di tengah arus zaman. Endarwati tersenyum tipis, dia yakin bahwa setiap cerita akan menemukan jalan pulangnya sendiri.

*****

 

 

Puppet Show

Purwanti Kusumaningtyas teaches at the English Literature Bachelor’s Program, Faculty of Language and Arts, Satya Wacana Christian University in Salatiga, Central Java. She earned her master’s and doctorate degrees from the American Studies Graduate Program, Faculty of Cultural Science, Gadjah Mada University, Yogyakarta. She has a wide range of interests, including mountain climbing and hiking, as well as poetry and short-story writing.

She has published her poems and short stories in anthologies, among others, “Furtive Notions” (DeePublish 2022) and “They Are Here” (DeePublish 2023). Some of her poems have been musicalized and performed in various non-profit, humanistic events, including LETSS Talk, a prominent feminist initiative in Indonesia, and Festival Musik Rumah (FMR). She has worked with Dalang Publishing since 2013, after discovering that she and the publisher share a passion to preserve and introduce Indonesia’s diversity to the world.

Purwanti can be reached at: purwanti.kusumaningtyas@uksw.edu

*****

 

Puppet Show

Noisy roosters announced the morning in Dusun Beji, Central Java. Columns of white smoke spiraling upward signaled that villagers were busy inside, cooking breakfast and lunch to take to the fields.

Suntre sat in the kitchen with Sasandewi, his sister.

Mbak, are we making kupat lepet again?” Suntre asked in astonishment. Lately, he and his sister had repeatedly made the sticky rice cake.

Sasandewi nodded. “Yes, and later, you have to teach the children in Dusun Beji how to cook it.”

“Why me, Mbak?” Suntre raised his eyebrows. “Why not you?”

“Because you are Bapak‘s only son, and he is the village elder here. Who will succeed Father if it’s not you?” The lepet-making matters had been Sasandewi’s responsibility for all of Suntre’s sixteen years. He stared at his sister’s deft fingers weaving janur, turning the young coconut leaves into tight rice-cake wrappers.

“But …” Suntre pouted. “Oh, all right, I’ll keep folding these janur so we can have plenty of kupat.” Reluctantly, he returned to his task; consequently, his wrappers came out sloppy and loose.

Kupat lepet, a traditional food of Dusun Beji was prepared when the rice crop was ready to be cut, marking the beginning of the feast of harvesting time. Fresh, fragrant young coconut leaves were chosen, not simply for enclosing the sticky rice into tight bundles, but also because of the symbolic purity and blessings carried in the prayers of each green leaflet. Like their ancestors, the villagers believed that eating kupat lepet together and chanting the harvest prayer with the village elder led to a plentiful rice harvest. Kupat lepet symbolized the villagers’ respect for nature, as well as expressed their gratefulness to God the Almighty, who had cared for the soil and allowed every single grain of rice in the field to grow.

To make lepet, a mixture of sticky rice, grated coconut, fragrant pandan leaves, and salt was poured into the janur wrappers and boiled. Lepet was always served with the savory sura curry: Quail eggs and chicken eggs were soft-boiled and peeled, then simmered with chicken or beef in spiced coconut milk. Sauteed spices and herbs — turmeric, ginger, galangal, bay leaves, lemongrass — gave the curry its strong aroma and complementary taste. Lepet served with this special curry turned the meal into a symbol of thanksgiving for the harvest.

Taking a deep breath and exhaling his annoyance, Suntre said, “God, please grant me the ability to fly, so I will be capable to walk in my father’s footsteps.”

Sasandewi patted her brother’s shoulder. “I’m certain you will handle it well and responsibly.”

***

Secretly, Suntre didn’t want to succeed his father as village elder. There were a lot of things he had to learn, including some things that didn’t make sense. A few days ago, for instance, dark clouds had suddenly appeared, which, to Suntre, just meant a storm was coming. But his father had quickly gathered some onion, garlic, shrimp paste, and chilies from the kitchen, grabbed a whiskbroom, and went out into the yard. With the rain just beginning to fall, he stuck the broom’s handle into the ground, at the place where they usually sun-dried the unhulled rice grains. Then, his father speared and smeared the kitchen items to the tips of the broom’s bristles. His father explained that these were offerings to make nature happy, with the hope that the thunderstorm would not cause too much damage.

“Bapak, are you trying to stop the rain?” Suntre had pointed in disbelief at the whiskbroom and its adorned brush. “How could you possibly stop the rain this way?”

People outside Dusun Beji, might regard these traditions as silly. But people in the hamlet had performed the ritual for longer than anyone could remember. It was one of their rooted beliefs, performed from generation to generation. Living in an unpredictable and uncontrollable world, people sought ways to appease nature’s power. By performing rituals like this, the villagers felt they had found ways to garner nature’s favors.

“Knowledge is wide, Son,” his father had said. “What we now know as tradition, habits, and culture is from our ancestors’ knowledge. We cannot waste it. Knowledge is not only obtained from schools; nature is a teacher, too.”

Suntre’s father always emphasized the importance of tradition, culture, nature, and ancestors.

***

The courtyard of Dusun Beji’s open hall grew merrier as the beginning of the shadow-puppet show neared. Villagers gathered with food and drinks to enjoy. Stagehands prepared the show’s set-up in the hall’s courtyard. A dalang for story-telling and a sinden to vocally accompany the gamelan music players had arrived with other performing artists from neighboring villages.

The shadow-puppet show that night was special. The gamelan music and the sinden’s chant signaled the opening of the long-awaited festival and expressed the villagers’ gratitude for their crops. Conducted by the dalang and Javanese singer, the celebration served as both social event and thanksgiving — another reminder to live in harmony with nature.

Sasandewi and Suntre had just finished cooking the kupat lepet and sura curry. “Mbak!” Suntre exclaimed, “I hear the gamelan and sinden already — let’s go!”

As lights illuminated the stage in the courtyard and the gamelan music began, everyone focused on the kelir. Behind the white curtain, the puppeteer’s agile hands brought the puppet characters to life for the spellbound spectators. The crowd’s cheerfulness filled the air. Some came with their families; some chose to enjoy the show alone. Some wore their best clothes; others dressed casually. Regardless, everyone gathered with the same enthusiasm to watch the long-awaited performance. Smiling, Sasandewi and Suntre sat side by side in front of the stage.

“I like our harvest thanksgiving event,” Sasandewi whispered to her brother while watching the puppets on the stage display their qualities and shortcomings. “This event is also an opportunity for villagers to socialize. It gives us the chance to mend fences.”

“Forgiveness is what the kupat lepet symbolizes, isn’t it?” Suntre asked, biting into the warm rice cake he had brought from home. The term “kupat” was often linked to the word “lepet,” which means wrong in the Javanese language, and the dish can be construed as a peace offering.

Sasandewi nodded. “You can see Ki Dalang Marta’s puppets, can’t you?” She pointed at the stage puppets and their shadows. “The puppeteer is manipulating the puppets so that they behave according to what he wants to show us. Perhaps, it’s the same for humans. We’re just God’s puppets.” The shadows come from the puppets, which symbolize human presence on God’s earth.”

“What about the sinden and the gamelan music? Do they mean something, too?” Suntre asked.

“Of course! The song lyrics the sinden sings have very deep meanings, as does the gamelan music. You should ask Bapak to explain everything. That way, you’ll know for sure.”

That night, Ki Dalang Marta performed the epic story of Sesaji Rajasuya, which examines the sacrifice of cosmic processes, human nature, and the virtues of true leadership. The performance had been modified to include some local Dusan Beji dialect. The puppets’ characters were enlivened in attractive and humorous ways. The antagonist king, Prabu Jarasanda, was depicted as a cruel yet compassionate figure. The protagonist king, Prabu Puntadewa, was portrayed as grand with inspiring inner strength. Between the scenes, Ki Dalang Marta tied the story into daily life in Dusun Beji and the local culture that emphasized noble virtues. The ethical messages were delivered in simple but meaningful language.

Sasandewi and Suntre enjoyed the story immensely, while their father sat with guests in the first row.

***

Before the early evening prayer call the next day, the children of Dusun Beji gathered under the old banyan tree. They did not gather to tell scary ghost stories, but to play with empty kupat lepet wrappers. The images of Ki Dalang Marta’s shadow puppet performance were still vivid in their minds and were now expressed in their games, as they turned the kupat containers into swords, daggers, spears, and puppets.

“This is Bima!” a curly-haired boy exclaimed, holding up a kupat lepet wrapper that he had re-formed to look like one of the puppet characters.

“Look! This is Arjuna!” A girl held up a container she had shaped like the puppet with his arrow. “He’s good at shooting arrows!”

The children’s loud laughter filled the early evening air, as they imitated the puppets’ actions and scenes they had watched the night before. The puppet images came to life again in their games, as the children used the simple kupat lepet cases to reimagine and re-enliven the puppets’ story. Each of them took delight in making up stories under Dusun Beji’s old banyan tree.

***

During the ten years after the village elder, Sasandewi and Suntre’s father, died Dusun Beji lost its spirit.

The rice fields didn’t produce abundant harvests anymore; they had been turned into housing. The sunset sliding behind Mount Sumbing vanished; its orange spectrum was now blocked by tall buildings. The aroma of boiling janur leaves never filled the air. Children no longer made daggers, balls, or puppets from rice cake cases. And, the unpredictable seasons completed the current suffering. The local wisdom of Dusun Beji had eroded.

***

Near Dusun Beji, a coffee shop was known to be a warm and friendly place, completed by customers as they enjoyed the aromatic coffee.

In a corner of the shop, Endarwati and Jaka sat chatting. The two cousins had grown up in Dusun Beji, and had agreed to meet that Saturday night to catch up after not having seen each other since the last family gathering several months ago.

Endarwati slowly sipped her coffee. “Nice coffee.” She smiled. “It reminds me of my last visit to Eyang Sasandewi’s house.” Her dimples deepened. “But at Grandma’s house, the coffee was a little sweeter!”

Jaka told her about his move from their quiet home village to the noisy, busy city. Their conversation took Endarwati back to the days when they grew up together in Dusun Beji.

“In the village, people often have to stay up late to work at volunteer projects,” Jaka said, referring to gugur gunung, a traditional Indonesian philosophy that promotes community-driven initiatives and volunteerism. “According to Eyang Suntre, coffee functions as kanca melek, a stimulant, and is a part of gugur gunung. People who host a celebration serve snacks and drinks to the villagers who volunteer to work through the night in order to have a successful event. It is also customary for the volunteers to attend the party on the next day.”

“Volunteers? Do you mean for free?” Endarwati looked curious. “Aren’t those activities arranged by an event organizer? In the city, we just hire an EO and everything is taken care of. Does everyone in the village volunteer to support the event?”

“That’s what gugur gunung is about,” Jaka explained. “Everyone feels handarbeni, they participate and belong.”

“Listening to your stories, especially those from your grandfather, it might be better to live in a village,” Endarwati said. “The city noises of screeching cars and honking horns hurt my ears every morning,”

“Maybe yes, maybe no. Sawang-sinawang. The grass is always greener on the other side. What might appear attractive to an outsider, might evoke an opposite reaction from the person actually living the situation.”

Endarwati raised her eyebrows and smiled lightly. She was enthralled by the colloquial language Jaka was using, especially since she had fallen into the craze of internet-inspired vernacular.

“From your perspective, you think it’s good, but other people may view it the opposite,” Jaka continued. “Who knows how many more villagers think that living in the city, like we do, is even better?” Jaka’s voice carried a tinge of bitterness, as if he wanted to convince Endarwati of the importance to live in balance with nature and their childhood village’s traditions.

Endarwati’s hand cupped her now cold coffee. “Unlike in earlier times, human relationships today are based on economics. Warmth and love have faded. Most people have lost their personalities.” She looked out of the window and watched the traffic.

“True, there’s something missing,” Jaka agreed, “including the Javanese traits that set us apart as Javanese. Politeness, for example, is one of the expressions of such wisdom.”

Jaka stared at the entrance of the shop. He sounded calm, but his face betrayed his bitterness. “We should not regret what’s lost,” he said, seemingly trying to convince himself as, earlier, he had tried to convince Endarwati when he brought up sawang-sinawang as a contrast to life in the city.

“What do you mean?” Endarwati peered at Jaka, trying to figure out the meaning of his words.

Jaka straightened and said slowly, “Our personalities as Javanese — as “Easterners” — might have kept us from developing the same way as the people we refer to as Westerners.”

“Do you think fried chicken, hamburger, and pizza are more suitable dishes for us to eat than our ayam ingkung, whole roasted chicken, arem-arem, filled rice cakes, and sengkulun, sweet sticky rice cake?” Endarwati asked, intentionally provoking Jaka to elaborate on his feelings about the Western lifestyle she had become enamored with. Without waiting for his response, she added, “It shouldn’t be a problem, if that’s what today’s Indonesians like.”

Their second order of coffee arrived, interrupting their conversation.

It was getting late, but Endarwati had more questions for Jaka. Yet the more intense she became, the less engaged he was. He kept looking away as if trying to see the world behind the shop’s walls. Saturday night should have been a peaceful time to catch up, but not that evening. The empty coffee cups and snack plates became symbols of their separation.

Jaka quickly said good-bye and left, convinced that he wanted to hold on to his elders’ values instead of adopt the Western lifestyle Endarwati had fallen for.

Endarwati sighed and looked out of the window, convinced that time moved on and it was difficult to keep the old ways. But she also knew that no matter how far away young people strayed, their village would always have its own ways of calling them home.

Dusun Beji’s stories must continue to be told to preserve their ancestors’ heritage and thus become a pathfinder for its people. Endarwati smiled. She was certain that every story would find its way back.

*****

 

 

Choose Site Version
English   Indonesian