Dalang published Footprints / Tapak Tilas, the 49 short-story, bilingual compilation in 2022. The publication celebrated our tenth anniversary and acknowledged the contributing 44 authors and 18 translators. This launch resulted in the seven short stories to be featured here in 2025.
Each of these short-story authors represents one of the seven areas Indonesia is known for.
During the Footprints / Tapak Tilas launch event in each region, we asked the audience for questions and offered a competition. The most in-depth question submitted, that would help an up-and-coming author or translator, would win and receive a copy of Footprints / Tapak Tilas. The winners were requested to write a short story and promised that the professionally edited work and its translation would be featured on our website.
These authors are mostly young, aspiring writers with a keen interest in literature and sense of nationalism. We hope that being published on our website will give them a foothold into the literary world and inspire them to continue the journey with their writing muse.
Our stories are not only geared to develop writing skills, but are also aimed at nurturing Indonesian literature with the hope of breaking through international walls. As for our foreign readers, we hope our stories bring enlightenment regarding Indonesian customs, culture, history, and society. For the Indonesian readers, we hope to awaken and/or nurture a sense of pride in their home country and the bounty it has to offer.
A recording of the events can be found at:
https://sites.google.com/view/bincangsastra-eng/beranda
Junaedi Setiyono received a scholarship from Ohio State University to conduct research as part of his doctorate degree in language education, which he received in 2016 from the State University in Semarang, Central Java. He felt being part of Dalang Publishing after he was entrusted with the edit of Lolong Anjing di Bulan (Sanata Dharma University Press 2018), a novel by Arafat Nur, and the translation of two short stories: Mengenang Padewakkang, by Andi Batara Al Isra, and Ketuk Lumpang, by Muna Masyari — both published in 2022 in Dalang’s Footprints/Tapak Tilas, a bilingual short story compilation.
Setiyono’s most recent assignment — to edit the 2025 series of six short stories to be published in installments on Dalang’s website — gave him the opportunity to improve his own writing skills, including accurate word placement, appropriate sentence structure, and careful examination of the storyline’s plausibility as composed by the author.
Dalang has published two of Setiyono’s novels: Dasamuka (Penerbit Ombak 2017) and Tembang dan Perang (Penerbit Kanisius 2020).
Setiyono teaches writing and translation at his alma mater, the Muhammadiyah University of Purworejo. He received three awards for Dasamuka from: the Jakarta Arts Council; the Indonesian Ministry of Education and Culture; and the Southeast Asian Literature Council.
Junaedi Setiyono: junaedi.setiyono@yahoo.co.id
Terre Gorham has spent her entire life coaxing words to sing. Briarcliff Elementary School “published” her first short story when she was in 2nd grade. She went on to earn a degree in writing. She freelanced her work until she landed a full-time job as editor of The Downtowner Magazine, in Memphis, TN, where she wrote, edited, and guided young writers for more than 20 years. Gorham has ghost-written a novel for a non-profit organization that helps abused women. She joined Dalang Publishing in 2017 as the English language editor. Her words have been published in hundreds of publications. She is currently working for an event production company where she edits documents ranging from client presentation decks to policy manuals. Now, nearing “retirement age,” she continues her editing work on a freelance basis once again.
Terre Gorham: terregorham@gmail.com
In 1998, one year after Noce Aimoly was born, a humani-tarian conflict in Maluku between Indonesian Christians and Muslims, forced Aimoly to spend his childhood as a refugee. In 2022, Burung Kakatua, his first short story, won the Children’s Story Script Writing Competition, held by the Maluku Provincial Language Office.
Fuli Magazine, a publication of the Ministry of Education, Culture, Research, and Technology of Maluku Province, published these works by Aimoly: Menogok sagu menggunakan peralatan tradisional di dusun Nusa Ina (2024), Bobi, si bocah petualang (2023), Pranala kerajaan Nunusaku dan sebutan sungai basi bagi masyarakat Patahuwe di Pulau Seram (2023).
Aimoly has participated in various writing activities since 2018. He is currently employed by Xaverius High School on Ambon Island, Indonesia.
Aimoly’s winning question: How do you manage the storyline in such a way that the story “comes alive” for the reader?
Noce Aimoly: noceaimoly12@gmail.com.
***
Anak Darah
Pagi-pagi buta, tidak dapat kulihat apa pun di hadapanku. Listrik padam. Bermodalkan naluri, aku meraba loga-loga, alat pancingku ⸺ tali senar yang direkatkan pada sepotong buluh. Kuayunkan langkah ke tepi pantai Pulau Seram, kuturunkan perahu kecilku, dan kudayung membelah lautan.
Rumah kami cukup dekat dengan Pantai Nusa Ina di Pulau Seram. Tidak heran setiap harinya kami makan ikan-ikan segar dari hasil memancing setiap pagi buta. Kumelaut saat subuh sampai matahari menyingsing dari ufuk timur, setelah itu menyandarkan perahu di bibir pantai dan pulang ke rumah. Begitulah hari-hari kujalani.
Sebelum kepergian Ibu ke alam baka, pernikahan kami tidak direstuinya. Dua hari sebelum kepergiannya, dia seakan diberi kekuatan oleh Sang Khalik. Pasalnya selama tiga tahun masa penderitaannya, dia tidak banyak berbicara dan bergerak, sampai-sampai bagian belakang tubuhnya seperti direkatkan dengan kasur. Sebelum kepergiannya, Ibu menuturkan silsilah keluarga kami dan keluarga Elis dari keturunan pertama sampai kami berada di Pulau Seram ini, pulau yang sering disebut sebagai “bumi para raja-raja berdiam.” Perkara silsilah inilah yang menjadi alasan bagi Ibu untuk tidak merestui aku dan Elis menikah!
Sambil mendayung perahuku, kuingat kembali ucapan ibuku bahwa Elis adalah bagian dari pela atau saudaraku. Ternyata, eyang Elis dan kakekku merupakan saudara sekandung. Ibu mengakhiri penuturannya dengan berkata, “Tak sepantasnya kamu menaruh hati pada Elis apalagi sampai menikahinya. Kalian berdua memang tak tinggal sekampung di sini, tapi kalian saudara sedarah dari satu silsilah keluarga.”
Sewaktu Ibu masih sehat, dia pernah bercerita. Konon, sekitar abad ke-tiga dan ke-empat sebelum Masehi, sudah berdiri kerajaan tua bernama Nunusaku. Kerajaan ini diyakini sebagai asal-usul semua masyarakat adat yang ada di Maluku. Hancurnya kerajaan itu terjadi pada akhir abad ke-empat sebelum Masehi. Hal ini dibuktikan dengan adanya parang serta tombak yang terbuat dari besi yang ditemukan dan dibuktikan terbuat pada zaman itu. Kerajaan itu memiliki lambang berupa pohon beringin tua, dikarenakan di kerajaan itu dahulu banyak terdapat pohon beringin yang dianggap sebagai pelindung.
Di Kerajaan Nunusaku terjalin hubungan yang sangat erat antara masing-masing mata rumah, keluarga dekat dan besar, sehingga kehidupan berlangsung begitu damai dan tenteram. Tidak ada ratapan karena kesedihan atau kertakan gigi karena kemarahan, sebab masyarakat hidup dengan saling mengasihi dan membantu.
Raja Kerajaan Nunusaku berwenang untuk menetapkan saat pelaksanaan tari adat maro-maro. Tarian maro-maro berlangsung menjelang masa panen sagu, padi, singkong, ubi, jagung, dan hasil alam lainnya. Masyarakat di kerajaan itu meyakini di bulan ke-enam, menjelang datangnya bulan purnama, semua hasil alam telah matang sehingga siap dipanen. Masyarakat lalu membawa sebagian dari hasil panen itu kepada sang raja di baileo, rumah adat masyarakat Maluku. Kemudian mereka menari maro-maro selama sehari-semalam untuk mensyukuri berkat-berkat alam itu.
Jadwal perayaan ditetapkan oleh raja Kerajaan Nunusaku. Dia memerintahkan para kapitan, pemimpin mata rumah, untuk memberitahukan kepada para kerabatnya mengenai penetapan. Begitu masyarakat mendapatkan pemberitahuan itu, mereka lalu berarakan menuju pelataran baileo. Para perwakilan setiap mata rumah tidak hanya menghadiri acara, mereka juga bertugas untuk menari maro-maro di pelataran istana Kerajaan. Pada malam perayaan, Putri Haniwele, yang merupakan putri semata wayang sang raja, turut menghadiri acara hikmat itu. Sang putri sangat terkenal dengan paras wajahnya yang cantik nan jelita. Pada malam perayaan seakan langit dan bulan ikut merayakan tarian maro-maro yang diperagakan sang putri dan para kapitan beserta seluruh rakyat.
Rakyat menari mengelilingi Putri Haniwele. Hati sang raja tentu sangatlah senang melihat rakyatnya bersuka ria dan bersorak-sorai. “Mereka pasti sangat berbahagia malam ini,” kata sang raja kepada kapitan pengawalnya. Makin larut malam kelompok penari makin bersemangat, dan makin banyak warga masyarakat yang ikut bergabung menari. Mereka berjingkrak menari mengelilingi sang putri. Melihat keberingasan mereka, hati kecil sang raja gelisah di sela kebahagiaannya.
Dikelilingi begitu banyak penari, Putri Haniwele kepanasan dan napasnya tersengal-sengal. Penari-penari itu tidak menghiraukan, mereka terus saja menari. Akhirnya, sang putri yang berada di tengah lingkaran itu jatuh pingsan. Para penari maro-maro yang makin beringas menari tidak melihatnya. Mereka terus menari dan akhirnya ada yang tanpa sengaja menginjak putri itu hingga dia tewas di tempat.
Sang raja yang menyaksikan dari atas panggung baileo kematian putri satu-satunya dengan cara diinjak berteriak, “Berhenti menari!”
Semua penari, yang tengah dirasuki kegembiraan berlebihan, merasa heran dan mengarahkan pandangannya ke rajanya.
Sang raja lalu berlari ke tengah para penari. Dia angkat putri kesayangannya seraya lantang bersumpah. “Demi alam semesta, barang siapa yang tega membunuh putri semata wayangku ini, dia tak akan kubiarkan hidup,” teriaknya.
Sang raja marah besar, kemurkaan yang menimbulkan kekacauan. Sesama warga masyarakat mulai saling menuduh. Dan, tidak ada yang mau mengaku.
Sang raja lalu memerintahkan para kapitan suruhannya untuk membunuh setiap orang yang malam itu ikut menari maro-maro di pelataran baileo.
Cerita Ibu tentang Raja Nunusaku dan Putri Haniwele masih kuingat dengan baik. Sambil menurunkan tali senar aku masih ingat cerita Ibu tentang banyaknya penduduk yang berlarian meninggalkan kerajaan. Mereka berlari berpencaran meninggalkan Pulau Seram, berlayar ke Saparua, Pulau Ambon, Haruku, bahkan ada yang ke Masohi, utara Pulau Seram, dan sekitarnya. Orang-orang yang semula berdiam di kerajaan itu pergi berpencar berdasarkan mata rumah masing-masing. Sampai sekarang di Maluku terdapat pulau-pulau yang didiami marga-marga tertentu yang merupakan kumpulan orang-orang yang dulu pergi berpencaran.
Hubungan pela mulai terjalin erat saat masyarakat mulai menyadari bahwa mereka adalah saudara dekat yang dulunya mendiami suatu kerajaan sebelum kerajaan itu hancur. Mereka semakin menyadari bahwa mestinya di antara mereka tidak perlu saling memusuhi. Namun, tindakan saling memusuhi bahkan membunuh antara satu dengan lainnya ⸺ karena masalah penguasaan wilayah pertanian, perburuan, atau pemancingan ⸺ sudah berlangsung sejak nenek-moyang.
Ketika orang-orang Maluku menyadari bahwa mereka dulunya berasal dari satu kerajaan yang sama, mereka pun mengangkat sumpah untuk mendidik keturunannya supaya saling memaafkan atas kesalahan yang telah mereka lakukan. Itulah yang dinamakan adat pela gandong, adat saudara. Adat pela ini sangat dipatuhi oleh orang-orang Maluku. Mereka sangat takut melanggarnya. Jika kedapatan ada yang melanggar isi sumpah para leluhur, mereka akan mendapat malapetaka besar, baik menimpa dirinya sendiri ataupun keturunannya.
Ombak menerpa badan perahuku. Terngiang lagi kata Ibu, “Dahulu, pada zaman awal Orde Baru berkuasa, sebelum perkampungan Patahuwe pindah ke wilayah pesisir, para leluhur mendiami wilayah pegunungan Takukulah. Kehidupan mereka berlangsung di situ. Berburu dan bertani, adalah pekerjaan mereka sehari-harinya. Mula-mula kampung kita ini satu wilayah dengan kampung orang-orang di Takukulah, kampung tempat Elis tinggal.”
Ingatanku terhubung dengan cerita Ibu dulu. Sekarang Ibu telah pergi, tetapi nasihat-nasihatnya masih hangat di telingaku, menusuk isi kepalaku, mengalir deras diantarkan darah ke hati, memompa jantung yang menyebabkan berdebar tidak karuan. Elis sudah tiga bulan menjalani masa kehamilannya. Rencananya seminggu setelah mengetahui Elis hamil, aku akan melaporkannya kepada Ibu. Niat baik itu terhalang ketika seminggu berikutnya kami mendapatkan pemberitahuan dari kakak Elis bahwa aku dan Elis bersaudara. Jantungku semakin berdebar. Bagaimana kalau Ibu mengetahui hal ini? Akhirnya aku menyimpan hubungan kami rapat-rapat sambil berharap tidak ada yang mengetahuinya.
Sebelum kepergian Ibu, kakak Elis menekankan untuk tidak melanggar titah yang dipesankan oleh para leluhur. Dia menyampaikan ancaman bahwa keluarga dari pasangan yang melanggar adat akan terkutuk kehidupannya ⸺ keturunannya akan lenyap secara aneh dan tidak akan ada yang mewarisi harta bendanya. Dia, yang rumahnya bersebelahan dengan rumah orangtua Elis, lalu memintaku untuk mengizinkan Elis tinggal bersamanya di rumahnya – sebagai langkah awal pemisahan kami sebagai sepasang kekasih.
Pada pertengahan bulan April 1992 pikiran membawa Elis kawin lari itu muncul. Ya, tidak ada jalan lain, selain membawanya kabur dari rumah kakaknya di Takukula. Setelah masa empat puluh hari perkabungan meninggalnya Ibu, jiwa ibuku tidak lagi mengembara di bumi dan menyaksikan hubunganku dengan Elis. Roh Ibu sudah tenang di surga.
Sebelum masa perkabungan Ibu selesai, aku menulis surat pada Elis. Kekasihku, aku berharap kau baik-baik saja. Saat ini batinku benar-benar gelisah tak tahu lagi harus berkata apa tentang cara mengatasi ujian yang sedang kita hadapi. Aku berharap kau memahami dan menyetujui pendapat konyolku ini. Sehabis masa perkabungan ini, aku akan mengendarai sepeda motor menuju kampungmu. Jika terdengar ketukan tiga kali di jendelamu pada waktu subuh, aku berharap kau membuka jendela dan menjenguk ke luar. Siapkan pakaianmu. Kita akan pergi jauh. Aku berharap kau memahaminya dan mengikuti arahanku nanti. Salam manis dari Lois, kekasihmu.
Hari perkabungan telah usai. Saat penculikan tiba. Ayam-ayam kampung beterbangan mencari tempat tidurnya yang nyaman pada rerantingan pepohonan yang tumbuh di sekitar pekarangan rumah. Kulipat beberapa potong baju dan celana ke dalam tasku. Tidak lupa kubawa balsam. Aku dapat mengoleskannya pada bagian dada dan pinggul agar tubuhku hangat bila nanti pada perjalananku menuju Takukula angin kencang menghantamku. Tidak seorang pun di rumah sempat membaca gerak-gerikku.
Aku mendorong sepeda motor tuaku sejauh tiga puluh meter dari rumah. Kuputar ke kanan kunci motor. Kuayunkan beberapa kali kakiku sampai akhirnya mesin motor berbunyi.
Perjalanan pun kumulai. Berbekal kenekatan kukendarai motor itu melewati lebatnya hutan demi hutan. Di tengah Hutan Sapalewa terdapat banyak sekali pepohonan beringin. Selain rimbunnya pohon beringin, terdapat perkebunan cengkih dan kelapa milik masyarakat setempat. Tidak sedikit pun ada rasa takut, bimbang, atau pun khawatir akan perjalanan ini. Cinta kuat menarikku menyusuri jalanan bebatuan keluar-masuk hutan demi hutan selama delapan jam. Malam itu, hanya ada satu hal dalam pikiranku ⸺ menculik Elis.
Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Dengan sigap penuh kehati-hatian kuketuk jendela kamar Elis. Aku mendengar hembusan gelisah napas dan suara Elis, “Lois?”
Dengan gugup kujawab, “Tolong, cepat buka jendela.”
Rupanya Elis telah membaca dengan jelas nada suaraku. Dia membuka jendela.
Aku melompat masuk ke dalam kamarnya, membereskan beberapa barang bawaannya, dan melemparkannya keluar melewati jendela kamar. Lalu kami berdua dengan cepat keluar melewati jendela sebelum ayam berkotek menandakan hari baru telah tiba dan membangunkan seisi rumah.
Tidak seorang pun dari anggota keluarga kakak Elis menemukan jejak langkah kami berdua. “Aku hendak membawamu pergi jauh dari sini, ke arah barat tempat matahari terbenam,” kataku saat kuhidupkan mesin motor.
Elis hanya diam dan mengangguk menuruti kemauanku.
Kembali kukendarai motor tuaku. Tidak ada lagi desiran angin subuh yang dingin. Elis menghangatkan tubuhku dengan pelukan dan kasihnya yang membara.
Di perjalanan kusampaikan kepada Elis bahwa kami berdua akan tinggal di Lumoli bersama sahabat dekatku sewaktu sekolah dulu. Welem, sahabatku itu, tidak mengetahui kedatangan kami ini. Sesampainya di sana aku bisa menjelaskan kepadanya permasalahan yang kami hadapi. Jika diizinkan, kami akan tinggal di sana sampai anak di perut Elis itu lahir.
Sampailah kami di rumah Welem. Dia menerima kami berdua, juga bayi yang berada di perut Elis, dengan baik. Kami diizinkannya tinggal di situ sampai tiba masa Elis melahirkan bayinya.
Selama Elis menantikan hari kelahiran bayinya, aku merasa kewalahan karena harus berjibaku dengan laut terus menerus agar kebutuhan pokok kami sehari-hari dapat terpenuhi. Hanya itulah satu-satunya mata pencaharianku selama masa pelarianku itu.
***
Sebelum anak dalam kandungan itu lahir, kami berdua telah menyepakati nama yang cantik. Jika anak kami lahir perempuan, kami beri nama “Pince”. Jika anak itu laki-laki, dia akan bernama “Ulis”. Kedua nama ini memiliki arti yang sama, yaitu anak pertama yang tangguh.
Tiba hari yang tidak terlupakan dalam sejarah hidupku. Saat subuh dini hari aku bersama Elis berdoa seperti biasa. Sesudah doa usai, Elis berpesan kepadaku, “Kekasihku, pergilah melaut tetapi jangan berlama-lama – segeralah pulang. Kita tengah berada dalam masa penantian. Saat bayi dalam kandungan ini lahir, kuharap kau di sisiku untuk mendoakan dan memberiku semangat.”
“Baiklah kekasihku,” sahutku.
Lautan Oktober bergejolak kencang. Angin menderu. Ombak menggelegak menghantam badan perahuku hingga hampir karam di tengah laut. Akibatnya, tidak ada satu ikan pun yang berhasil kupancing yang masih tersisa dalam perahuku. Aku teringat pesan Elis sebelum berangkat melaut subuh tadi. Secepat mungkin aku mendayung perahuku menuju bibir pantai dan menyandarkannya di sana. Aku berjalan dengan cepat menuju rumah Welem. Namun, sesampainya di rumah tidak kutemukan seorang pun termasuk Elis.
Tergopoh kudatangi rumah seorang tetangga. Menurut ceritanya, saat aku berangkat melaut, perut Elis terasa sangat perih tidak tertahankan. Syaraf-syaraf seakan berpadu menjadi satu, mengumpulkan kekuatan penuh pada dinding rahim Elis. Dia lalu meminta bantuan kepada tetangga di samping rumah. Beberapa ibu sekitar rumah datang dan menolong. Elis pun dilarikan ke rumah seorang dukun beranak.
Di Lumoli memang tidak ada tenaga kesehatan, apalagi rumah sakit tempat mereka bekerja. Aku berlari sekuat tenagaku menuju rumah si dukun. Dari jauh terlihat orang-orang kampung berdatangan mengerumuni rumah dukun beranak itu. Kuhampiri seorang di antaranya dan kubertanya, “Ada apa ini?”
“Ada ibu hamil meninggal,” jawab orang itu. Jantungku serasa melompat keluar dari rongga dadaku. Kusibak kerumunan. Dan, kulihat tubuh Elis yang terbujur diam.
Tubuhku terkulai lemas. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku. Air mata keluar bak mata air yang memecahkan badan gunung untuk menemukan hilirnya. Kutatap tubuh Elis kekasihku. Sungguh aku tidak berdaya. Aku memalingkan wajahku tidak kuasa melihat wajahnya, dan mataku mendapati bayi mungil yang lahir dari rahim Elis kekasihku. Mata bayi itu tertutup. Sesekali tampak dia menggerakkan kakinya.
Masa-masa perkabungan pun kujalani di rumah Welem. Aku diam membisu di hadapan ayah dan ibu Elis yang datang setelah mendengar kabar akan kepergian anaknya. Aku hanya mampu menatap ayah dan ibu mertuaku. Dan, Ulis, anakku, harus kuserahkan kepada mertuaku untuk dibawanya pulang menggantikan Elis ibunya.
Di kamar Welem, kutatap tulisan tangan Elis yang rapi pada secarik kertas di bawah piring nazar yang terletak di atas meja sembahyang kami. Kekasihku, kelak anak kita akan dewasa, semua senyumku ada pada wajahnya. Panggil pendeta di kampungmu untuk berdoa pengampunan dan pemutusan keterikatan hubungan pela antara kampung. Kumpulkan Kepala Suku dan para Saniri, majelis adat, untuk memutuskan hubungan darah ini. Anak kita harus hidup dan melanjutkan keturunanmu. Aku mungkin memang harus pergi. Namun, bila memang demikian, rohku akan tetap hidup bersamamu.
*****
Yuni Utami Asih has loved poetry, short stories, and novels since elementary school. She stepped into the world of translation after hosting the launch of Footprints/Tapak Tilas (Dalang Publishing, 2023), a bilingual short story compilation in celebration of Dalang’s tenth anniversary. The first novel she translated was Pasola (Dalang Publishing 2024), by Maria Matildis Banda. Her most recent work was translating the 2025 series of six short stories to be published in installments on Dalang’s website.
Apart from teaching at the English Language Education Study Program, Faculty of Teacher Training and Education, Mulawaran University, Asih is involved in educational workshops for teachers in Samarinda, East Kalimantan, Indonesia, and surrounding areas.
Yuni Utami Asih: yuniutamiasih@fkip.unmul.ac.id.
***
The Curse
Early in the morning, the electricity was out, so I could not see anything. Relying on instinct, I groped for my loga-loga, a stringed piece of reed I used as my fishing rod. I then walked to the shore of Seram Island, the largest island of Maluku province, Indonesia, where I pushed my small boat into the sea.
We lived close to the Nusa Ina beach. The ocean supplied us with fresh fish for every meal. I spent my early mornings at sea from before dawn until the sun broke the eastern horizon. Then I would pull my boat on the shore and return home.
Mother didn’t approve of my engagement to Elis. During the last three years of her life, Mother could only lie in bed, barely able to speak or move. But two days before her death, Mother suddenly became stronger and told me our family history. She told me the story of my forefathers, from the first descendants up to the time that our family and Elis’s settled on the island known as The Land of Kings. The story she told me held the reason she disapproved of our engagement!
Rowing my boat, I thought about Mother telling me how Elis was a part of my pela, my bloodline, and that Elis’s grandfather and mine had been brothers. “It’s not appropriate for you to fall in love with Elis, let alone marry her,” Mother had said. “Even though you don’t live in the same village, you are still blood relatives.”
***
Back when Mother was still healthy, she told me a story about an old kingdom called Nunusaku. It existed during the third and fourth centuries B.C. and was believed to be the source of all indigenous people in Maluku. The discovery of iron machetes and spears from the era proved its existence. Banyan trees grew abundantly in the kingdom and were considered to be protectors. Therefore, an old banyan tree was used as the royal symbol of Nunusaku.
Life in the kingdom was tranquil and serene because families lived by loving and helping each other. Thus, neither the wailing of sadness nor the gnashing of anger was heard anywhere.
The king of Nunusaku always determined when the annual maro-maro traditional dance would take place, after the harvest of sago, rice, cassava, yams, corn, and other crops.
The people in the kingdom believed that the celebration should take place in the sixth month, before the full moon. They took food to the baileo, courtyard, of the royal palace as an offering to their king. Afterward, they danced the maro-maro in the traditional house of the Moluccan people for a day and night to thank Mother Nature for her blessings.
As soon as the king of Nunusaku decided on the celebration date, he ordered each kapitan to relay that information. After each head of household imparted the news to his relatives, the people marched to the baileo. The kapitans of each mata rumah did not only attend the event, but also danced the maro-maro.
One year, during a maro-maro celebration, Princess Haniwele, the king’s only daughter, also took part. The sky and the moon seemed to join in with the beautiful princess, as she enjoyed the festivities and danced the maro-maro with the kapitans and the rest of the kingdom.
The crowd swirled around Princess Haniwele. Delighted, the king watched his people. “They must be very happy tonight,” he said to his escort kapitan. As the night grew late, the dancers became more frenzied, and more people joined in. They pranced around the princess and the king became worried as he watched the growing crowd.
Dancing in the center of the circle, surrounded by so many revelers, Princess Haniwele became hot and had a hard time breathing. She stumbled and losing her conscience, she fell. The dancers, not realizing the princess had fallen underfoot, continued their merrymaking.
From his stage in the baileo, the king saw his only daughter being trampled. “Stop dancing!” he thundered.
Astonished, the agitated dancers turned to look at the king.
The king ran into the crowd and picked up the lifeless body of his beloved daughter. “By the universe!” he screamed. “I swear that whoever killed my only daughter will die!”
The king’s fury and rage sent the crowd into chaos. People began to accuse each other, but no one confessed to killing the princess. Therefore, the king ordered his kapitan to kill everyone who had danced the maro-maro that night.
***
As I cast my line, I thought hard about my mother’s story about King Nunusaku and Princess Haniwele. Many of the kingdom’s people escaped and fled Seram Island. They scattered to Saparua, Ambon Island, Haruku, even to Masohi in the north, and beyond. They resettled on different islands and inhabit the islands of Maluku even now.
As the years went by, refugees began to realize that their forebearers had been close relatives living in the same kingdom before it was ruined. Their awareness of pela relationships became stronger. They started to understand that they were not supposed to harbor mutual hostility or kill one another over conflicts such as who controlled the farming, hunting, or fishing areas ⸺ issues they had inherited from their ancestors.
This awareness led them to create a mutual promise to teach their descendants to forgive each other for the mistakes they made. This oath became the essence of pela gandong, the law of brotherhood. To this day, the Moluccan people strictly adhere to that law and are very afraid to break it, because anyone caught disobeying the ancestral vow would suffer great calamity.
As the waves lapped at my boat, I thought more about my mother’s words. “Around 1966,” she told me, “in the early days of the New Order government, people lived in the Takukulah mountains, where Elis’s village is. Before our village moved to the coastal area, we hunted and farmed there. A long time ago, our ancestors lived in the same area as Elis’s.”
I thought about my mother’s story. She was gone now, but her words still pricked my mind and heart. I had planned to tell my mother about Elis’s pregnancy a week after I found out. But after Elis’s brother confirmed that Elis and I were blood relatives, I became even more nervous and decided not to. What would Mother do if she found out? In the end, I kept the pregnancy a tight secret, hoping she would not discover it.
Before my mother’s death, Elis’s brother emphasized the importance of not violating our ancestors’ commandments. He warned that the life of a couple who violated the oath would be cursed ⸺ their descendants would mysteriously disappear, and no one would be left to inherit their property. He asked me to allow Elis to live with him in his house, as the first step of Elis’s and my separation.
I started to think about eloping with Elis. Indeed, there was no other way but to take her away from her brother’s house in Takukulah. After the forty-day mourning period of my mother’s death, her soul would no longer wander on earth and witness my relationship with Elis. Mother’s soul would already be at peace in heaven.
As the mourning period for my mother neared its end, I wrote to Elis. My love, I hope you’re doing well. Right now, I’m restless not knowing what else to say about how to deal with the situation we’re facing. I hope you understand and agree with my crazy decision. After this mourning period, I will ride my motorcycle to your village. Pack a few clothes. If you hear three knocks on your bedroom window at dawn, open it and look for me. We will be going far away. I hope you understand that and will follow my directions. Loving greetings from Lois, your sweetheart.
Finally, the last day of mourning ended, and the moment of executing our escape had arrived. Chickens flew up into the trees growing around the yard, looking for a cozy bed for the night. I folded a few shirts and pants into my bag and brought along some menthol balm. I would rub it on my chest and lower back to keep me warm if a strong wind hit me on my way to Takukulah. No one at home noticed what I was doing.
Quietly, I pushed my old motorcycle about thirty meters from the house before I turned the ignition key. I had to kick the starter pedal a few times before the engine finally turned over.
Recklessly, I rode the motorcycle through the dense Sapalewa Forest. Banyan trees, cloves, and locally-owned coconut plantations filled the forest. I did not have any hint of fear, indecision, or worry about this journey. For eight hours, a strong love pulled me and my motorcycle along the rocky road in and out of forests. That night, I could only think about eloping with Elis.
It was three o’clock in the morning when I cautiously knocked three times on Elis’s bedroom window. I heard a nervous gasp and Elis’s voice. “Lois?”
“Please, open the window, quickly,” I whispered anxiously.
Elis caught my tone. She opened the window.
I scrambled into her room, grabbed her packed belongings, and tossed them through the window. Then the two of us quickly climbed out before the chickens’ clucking announced the dawn of a new day and woke up everyone in the house.
“I want to take you far away from here, to the west where the sun sets,” I said before starting the motorcycle.
Elis nodded silently in agreement.
Once again, I was astride my old motorcycle, but this time, I did not feel the cold of the early morning wind. Elis warmed me with her embrace and burning love.
On the way, I told Elis we would stay in Lumoli with my best friend from school. Welem didn’t know we were coming, but I planned to explain our situation when we arrived. If he allowed us, we would stay with him until our child was born.
When we arrived at Welem’s house, he welcomed both of us, as well as the unborn baby. He allowed us to stay until Elis gave birth.
Elis and I had already agreed on a beautiful name for our baby: Pince, if it was a girl, and Ulis, if it was a boy. Both names had the same meaning: a tough, firstborn child.
While we waited for our child to be born, I felt overwhelmed by my work at sea to meet our basic daily needs. My catch was the only income we had to live on during our time as runaways.
***
The most memorable day in the history of my life finally arrived. At dawn, after Elis and I prayed as usual, she said, “My love, go to sea but don’t linger. Come back soon. I think I have started my labor. When I give birth, I hope you’ll be by my side to pray and encourage me.”
The October sea churned violently as the wind howled. Rolling waves pounded at my boat and tossed me around in the middle of the sea. I couldn’t save a single fish I had caught. I remembered Elis’s parting words before I left for the sea that dawn. As quickly as possible, I wrestled my boat back to shore and anchored it.
I ran to Welem’s house but found no one there, not even Elis. I hurried to the next-door neighbor, who told me that after I went out to sea, Elis went into full labor with unbearable contractions and pain. She had run to the neighbor for help, and some women rushed Elis to the traditional midwife.
Lumoli had neither health workers nor a hospital. I raced to the traditional midwife’s house. As I approached, I saw villagers crowding around the house. “What’s going on?” I asked.
“A woman died giving birth,” a man replied. I pushed my way through the crowd and saw Elis lying still.
Unable to speak, I slowly collapsed. Like a mountain spring breaking loose to find its way downstream, tears ran. I stared at my beloved Elis until I couldn’t bear to look at her still body any longer. As I turned away, a movement caught my eye. I then saw the baby who Elis, my beloved, had given birth to, asleep, but kicking.
***
As I went through my time of mourning at Welem’s house, I could only stare at Elis’s parents when they arrived after receiving the news of their daughter’s death. According to custom, I had to give them Ulis, my son, to replace his mother, their daughter.
In Welem’s house, I found a piece of paper with Elis’s neat handwriting tucked under the votive plate on our prayer table. She had written:
My beloved,
One day, when our child has grown into an adult, he will carry my smiles. Ask the priest in your village to pray for forgiveness and the severing of the pela relationship between our two villages. Gather the Chief and the traditional Saniri, council of elders, to officially sever this blood relationship.
Our child must live and continue your lineage. I may not be present, but, my soul will live on with you.
*****